Share

Terjatuh Ke Jurang

Selanjutnya adalah perjalananku bersama Paman Nayaka dari satu tempat ke tempat lain, Paman tidak pernah menetap lama di suatu tempat, dan untuk menghindari kecurigaan orang paman tidak pernah membawa senjata dan tidak memanggilku pangeran atau Bayu melainkan Ubay, dan aku memanggilnya Ayah.

Setelah 10 tahun mengembara, inilah tempat tujuan akhir yang diperintahkan ayahanda kepada Paman Nayaka untuk mengantarku.

Tempat yang sangat indah, awan putih bergulung-gulung di bawah kaki, hanya beberapa ekor burung yang terbang di atasnya, sementara 2 buah batu besar bagaikan gapura yang seolah menyambutku laksana seorang Raja yang akan memasuki istananya, “Hmm tempat ini akan menjadi kuburanku atau tanah harapan tempatku memulai hidup baru, aku tidak tahu.”

Aku tersentak dari lamunanku ketika paman Nayaka berkata,

“Turunlah Pangeran! Ikatkan tali ini di pinggang dan peganglah dengan erat, hamba akan menurunkan Pangeran pelan-pelan.”

“Baik Paman, aku percayakan semuanya kepadamu” berbeda dengan jawabanku sebenarnya aku merasa ragu-ragu dan khawatir, ada apa di bawah sana.

Tali mulai diturunkan, semakin lama semakin dalam, ngeri sekali tergantung antara langit dan bumi hanya dengan seutas tali. Tapi kupaksakan untuk melihat kondisi dinding jurang itu, sepertinya sebagian besar adalah batu padas yang keras bahkan ada bagian yang menonjol dengan sisi yang tajam menempel pada tali, aku khawatir bila bergeser ke kiri dan kanan maka tali akan putus. Tidak ada apapun sejauh ini, hanya tiba-tiba sekelompok burung gagak terbang mendekat bahkan ada beberapa ekor mulai menabrak diriku, dengan panik aku mulai mencoba mengusir mereka, "Hush, hush ..." juga dengan lambaian tangan. Percuma, bahkan semakin banyak yang menabrakkan diri ke tubuhku, aku berusaha menghindar tanpa menyadari tali yang bergesekan dengan dinding padas yang tajam mulai rantas dan akhirnya putus, aku terkejut dan berteriak “Aaaaaaarrrgghh ... ” Dalam benakku, “Selesailah sudah.” Teringat akan dendam kematian ayahanda, keberadaan bunda yang entah di mana, sudah tidak mungkin lagi terselesaikan, hanya pasrah yang kurasakan, hingga sesuatu menghantam punggung dan tengkukku membuatku tak sadarkan diri.

Gunung Belah memiliki jurang yang dalam pada sisi sebelah Timur di mana belahannya berada, tapi ada sesuatu yang unik pada dinding jurang tersebut, sebatang pohon beringin tumbuh di tengah-tengah dinding jurang itu, seperti pohon kerdil dibanding dinding jurang yang tinggi itu. Kali ini lebih aneh lagi karena pada batangnya yang kokoh terbaring sesosok tubuh kecil hampir tidak terlihat karena tertutup daun yang rimbun dan kabut yang selalu menutupi pohon itu.

Tubuh kecil itu mulai bergerak pelan, “Aduuh ... ” dia mengeluh, tampaknya kesakitan.

“Dimana aku ... “ Sepertinya kesadarannya mulai kembali, dia melihat berkeliling dan terkejut bukan main ketika menyadari masih ada di tengah-tengah jurang hanya tertahan oleh sebatang pohon.

Ya tubuh kecil ini adalah Pangeran Bayu, pewaris sah takhta kerajaan Antakara.

Bayu mulai duduk di batang pohon sambil memeluk sebuah cabang agar tidak terjatuh. Diamatinya dengan lebih teliti keadaan di sekitarnya, pohon ini tumbuh di dinding jurang, akarnya mencengkeram kuat sebuah ceruk, dimana pada ceruk tersebut terdapat tanah yang cukup untuk tumbuhnya bibit pohon pada awalnya, tetapi semakin besar pohon ini bukankah membutuhkan tanah dan air yang lebih banyak. Bayu menjadi bersemangat menyadari hal itu, artinya di dekat akar pohon pasti ada sumber air dan tanah. Bayu nekat merambati batang pohon menuju akarnya pada dinding jurang. Hampir saja dia meloncat kegirangan ketika melihat ada celah sempit pada dinding jurang dimana akar pohon menjalar masuk ke dalamnya. Untung tubuhnya juga kecil sehingga muat masuk dengan memiringkan tubuhnya. Dia berada dalam ruangan yang sempit dengan dasar tanah yang lembek. Bila tanah di sini lembek, berarti ada air yang membasahinya. Karena kurangnya penerangan Bayu mencari sumber air itu dengan meraba dinding batu. Akhirnya dirasakan tangannya basah. Rabaan tangannya semakin ke atas, ternyata ada celah lagi di atas batu, sepertinya air mengalir dari situ karena batu tersebut berlumut. Dicoba membuktikannya dengan memanjat batu dan memasuki celahnya, berhasil dan “Byurr ... “ ia tercebur dalam kolam. Setelah berenang ke tepi di lihatnya ruangan ini lebih luas dengan kolam yang cukup dalam karena tadi kakinya tidak menyentuh dasar kolam. Satu permasalahan dalam bertahan hidup teratasi, air, tinggal satu lagi, makanan, bila ada maka dia yakin akan mampu tinggal di tempat ini.

Sebelum melakukan penelusuran lebih jauh di tempat ini Bayu memutuskan untuk istirahat dulu. Dia berpikir betapa ironis pengalaman hidupnya, mulai dari tinggal di istana megah, kemudian menjadi pengembara berpindah-pindah tempat, dan sepertinya sekarang siap untuk menjadi manusia purba yang tinggal di gua.

Bayu berpikir, “Kolam ini cukup besar dan dalam, seharusnya ada mata air yang menjadi sumber airnya, atau bahkan mungkin air mengalir menuju ke sungai bawah tanah yang muaranya nanti ada di luar sana.” Berpikir seperti itu semangatnya kembali menyala, 'Byuurrr ... ' Dimasukinya kembali kolam itu selain untuk mencari mata airnya juga siapa tahu ada ikan atau udang yang bisa mengganjal perutnya ini. Bayu mulai menyisir tepi kolam itu, hingga kembali ke posisi awal dia tidak menemukan apapun selain celah batu di mana dia masuk ke ruangan ini.

Dasarnya, dia harus melihat dasar kolam itu mungkin mata airnya ada di sana. Dia menghirup udara sebanyak mungkin yang bisa disimpan di paru-parunya, menyelam ke bawah terus dan semakin dalam, tapi tak juga sampai ke dasar kolam. Telinganya mulai sakit karena tekanan air dan nafasnya juga habis, terpaksa muncul kembali ke permukaan. “Heran ... dalam sekali kolam ini, lebih dalam dari sumur kelihatannya.”

Dicobanya sekali lagi menghirup udara lebih banyak, menyelam lagi. Kali ini baru setengah kedalaman yang tadi, dia merasakan air mulai bergerak ke bawah, tubuhnya juga terisap, semakin lama semakin kuat, air pun berputar, Bayu terseret arus ke bawah. Dia berusaha muncul ke permukaan, tapi dirasakannya dinding kolam semakin ke bawah semakin kecil hingga akhirnya benar-benar seukuran tubuhnya, tapi dindingnya bukan batu lagi, entahlah Bayu belum pernah melihat bahan seperti ini, sangat halus dan licin, air di sekelilingnya juga sudah berkurang, posisinya saat ini meluncur berbaring dengan kecepatan tinggi, dia hanya pasrah bahkan memejamkan mata. Harapannya kembali ke atas gunung atau di sungai di kaki gunung juga kecil sekali kemungkinannya, yang dirasakannya adalah dia meluncur semakin dalam ke perut bumi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status