"Wah, rumah yang besar dan sunyi seperti museum! Aku akan kembali lagi nanti, tunggu aku barang-barang mahal. Tunjukkan keberadaan kalian padaku!" bisik Camille ke dirinya sendiri lalu tersenyum di balik kain cadar hitam yang menutupi separoh wajahnya.
Gadis cantik yang senang melakukan pekerjaan sampingan untuk mencuri di kediaman orang kaya itu sontak berbalik arah, saat telinganya mendengar suara getaran ponsel.
Bergegas, Camille meninggalkan ruangan mewah yang akan menjadi target mencurinya tersebut. Namun tanpa sengaja, saat Camille berbalik, tangannya menyenggol patung kristal di atas pajangan yang tergantung di dinding.
Prang!!!
Patung kristal yang berbentuk seperti kuda ukuran tiga puluh centimeter pada dinding tersebut hancur berserakan di atas lantai, membuat suara pecahannya terdengar sangat nyaring pada tengah malam nan sunyi.
Martin masih belum tidur, dia sedang memeriksa laporan dan dokumen pekerjaan yang diberikan oleh asistennya, Patrick. Ponsel Martin baru saja bergetar menandakan alarm tidur untuk pria itu segera menghentikan pekerjaannya namun Martin terkejut mendengar suara benda jatuh yang terdengar pecah dan sangat nyaring dalam ruangan lain di kediamannya.
Dengan cepat, Martin membuka pintu kamarnya dan tidak sempat untuk menghidupkan lampu, matanya menangkap siluet tubuh yang memakai pakaian hitam berlari ke arahnya.
Camille terkejut dengan kehadiran Martin dan melompat ke arah pria itu yang tidak sempat dia perhatikan selain pria yang berdiri di tengah ruangan kediaman mewah tersebut adalah pria yang memiliki tubuh tinggi atletis.
Camille menyibakkan cadar kain hitam depan bibirnya lalu membungkam bibir Martin dengan ciuman. Sebuah ciuman dalam yang sangat agresif dari seorang gadis!
Camille bukanlah gadis bodoh, meskipun dia sangat polos dan lugu belum pernah berciuman dengan lawan jenis sebelumnya. Tetapi dia sudah sering melihat bagaimana cara pria mencium para gadis di pesta yang bahkan tidak pernah dia tertarik untuk masuk ataupun membaur namun sering mengintip apa yang terjadi pada orang-orang yang menghadiri pesta.
Camille menekan belakang kepala pria di depannya dan memaksa pria itu membuka mulutnya yang Camille sendiri terkejut akan sensasi ketika lidah mereka bertemu.
Mata Camille melotot terkejut, begitu juga dengan Martin yang membeliak membola sesaat, kemudian segera menyipitkan tatapan matanya agar bisa melihat siapa orang yang sedang menciumnya.
Martin bisa merasakan bibir kenyal, tangan yang ramping dan buah dada sedikit menempel pada dadanya, menebak jika orang di depannya adalah seorang wanita.
“Apa yang kau lakukan?!” pekik Martin frustasi tetapi Camille menahan tubuh Martin agar tidak bisa bergerak dan menyadari siapa dirinya.
Camille masih terus melumat dan memagut bibir Martin tidak beraturan. Menciptakan sensasi geli dalam perut Martin namun juga nikmat! Pun juga sama dengan Camille sendiri.
Martin mendorong tubuh wanita yang menciumnya itu dengan panik, tangannya menjepit ujung hidung runcingnya dan matanya menyipit nanar menggelengkan kepala berkali-kali, menghindar juga ingin mengetahui siapa wanita yang sudah menyentuhnya tersebut.
Pria berusia 30 tahun namun memiliki penyakit alergi aneh yaitu tidak bisa bersentuhan dengan wanita. Martin akan menderita seperti penderita penyakit asma akut jika bersentuhan dengan lawan jenisnya, bahkan pernah beberapa kali dirinya dilarikan ke rumah sakit karena sekarat akibat ulah Ibu tirinya yang terobsesi menggoda Martin.
Tetapi kini, Martin terkejut dengan fakta penyakit asma yang biasa menyesakkan rongga dadanya, tidak kambuh ketika mendapatkan ciuman dari seorang wanita yang wajahnya masih belum bisa dia kenali.
Tangan Martin terulur naik untuk menyibak cadar pada wajah wanita yang menyosor menciumnya. Tetapi terlambat, Camille sudah memukul pundak belakang Martin dengan tangannya dan pria yang masih terkejut akan ciuman juga reaksi tubuhnya tersebut, jatuh lemas tidak berdaya yang segera ditangkap Camille cepat agar tidak terjatuh ke lantai keras dan menimbulkan keributan lain.
Camille menarik tubuh besar Martin ke dalam kamar yang pintunya terbuka di belakangnya, lalu membaringkan tubuh pria tersebut pada atas ranjang. Melalui penerangan remang-remang dari lampu luar kediaman yang masuk ke dalam kamar, Camille berjingkat mundur saat menyadari wajah familiar dari pria yang baru saja dia cium bibirnya tersebut.
“Sial!” umpat Camille kasar lalu melompat turun melalui jendela besar dan pulang kembali ke rumah orangtuanya sambil mengusap bibirnya dengan perasaan kesal juga membuang ludah sembarangan, seakan ingin memuntahkan semua kotoran dari dalam mulut serta tenggorokannya.
Camille baru saja naik ke kamarnya di lantai atas pada rumah kecil sekaligus toko orangtuanya berjualan minuman pada tepi pantai Sorrento, Amalfi.
“Cammie,” panggil Dylan-Ayah angkat Camille yang dia panggil ‘Paman’, sedang duduk di kursi saat Camille masuk mengendap memanjat tiang samping rumah untuk masuk melompat ke dalam kamarnya.
Camille yang sedang menggerutu kesal dalam kepalanya, terkejut dan hampir terjatuh ke belakang menabrak meja. Dengan cepat tangan Dylan menarik pergelangan tangan Camille dan membawa gadis muda di depannya untuk duduk pada tepi ranjang.
“Paman belum tidur?” tanya Camille setelah mengatur laju pernapasannya, stabil.
“Bagaimana Paman bisa tidur jika kamu masih berkeliaran di luar sana,” gerutu Dylan disambut kekehan Camille santai.
Dylan menarik napas panjang, dia sangat menyayangi Camille seperti putri kandungnya sendiri. Perbuatan Dylan sebagai pencuri di rumah orang kaya, kini juga diikuti oleh Camille. Tentu saja hal tersebut membuat Dylan tidak bisa tenang karena Camille melakukannya sendiri, tanpa team seperti dirinya yang selalu bekerjasama dengan Christopher, rekan dalam misi mencurinya.
“Besok, Paman akan mengajakmu ke cafe kenalan Paman. Mungkin nanti kamu bisa bekerja di sana,” ujar Dylan memperhatikan Camille yang sedang melepaskan cadar pada wajahnya, kemudian duduk di sebelah putri cantiknya itu.
Camille beringsut lalu merebahkan kepalanya ke pangkuan Dylan, Pamannya yang sangat dia sayangi selain Solenne-istri Dylan yang sejak bayi mengasuh serta membesarkan Camille penuh cinta dan kasih sayang.
“Ya, aku akan menuruti apapun perkataan Paman dan Bibi,” sahut Camille lirih.
“Tetapi Abraham tidak boleh berhenti minum obat dan vitamin, juga dia harus mengkonsumsi makanan bergizi setiap hari. Aku hanya ingin membantu meringankan beban kalian,” tambah Camille menjelaskan tindakannya mungkin tidak akan bisa berhenti mencuri dari kediaman orang kaya untuk mendapatkan uang.
Abraham adalah anak jalanan yang berteman dengan Camille dan kini pria yang tidak mau di sebut anak kecil meskipun usianya baru sepuluh tahun tersebut sedang menderita penyakit kronis, dirawat oleh Dylan dan Solenne.
“Paman dan Bibimu akan menjaga dan merawat kalian. Percayalah, Abraham pasti sembuh,” ucap Dylan sambil membelai rambut panjang Camille dalam pelukannya.
“Paman dan Bibimu tidak ingin kamu melakukan pekerjaan ini. Paman juga berjanji pada Bibimu untuk tidak membuatnya cemas lagi. Kita pasti bisa hidup normal seperti orang lain dan memiliki uang banyak untuk pengobatan Abraham. Sudah malam, tidurlah dan ingat besok bangun pagi, Paman akan membawamu ke cafe kenalan Paman.” lanjut Dylan lalu mengangkat kepala dan tubuh anak gadisnya tersebut agar berbaring di ranjang dan kepalanya menjejak bantal.
“Terima kasih, Paman!” cetus Camille saat Dylan sudah berada di ambang pintu kamarnya.
Dylan mengangguk samar lalu berjalan cepat sambil menghubungi seseorang melalui ponselnya.
“Jangan libatkan putriku dalam misi lagi! Aku tidak akan memaafkanmu jika terjadi sesuatu pada putriku!” ucap Dylan berbisik tegas lalu segera mematikan ponsel tanpa mau mendengarkan pembelaan dari orang yang dia hubungi di sambungan telpon tersebut.
Dylan masuk ke dalam kamarnya, melihat istrinya yang juga terjaga.
“Maafkan aku, aku gagal menjadi Ayah yang baik untuk putri kita,” bisik Dylan sambil memeluk istrinya yang juga pastinya sangat kuatir seperti dirinya ketika Camille berada di luar rumah belum pulang bahkan setelah tengah malam menjelang.
“Kamu adalah Ayah yang hebat untuknya,” sahut Solenne, istri Dylan.
Solenne menumpukan keningnya ke kening Dylan dan mengambil udara yang sama dengan suaminya untuk bernapas. Meskipun mereka bukan orangtua kandung Camille, tetapi Dylan dan Solenne sangat menyayangi dan mencintai Camille yang di curi Dylan saat masih bayi merah.
"Kuharap kamu senang bekerja di sini," ucap Pierre Bastien, pemilik cafe Limoncello kepada Camille yang baru saja diantarkan Dylan ke sana. Camille mengangguk dan tersenyum tipis, “Terima kasih, Mister Bastien!” sahutnya sambil menundukkan sedikit kepalanya memberikan hormat. Pierre tertawa kecil melihat kepolosan dan keluguan gadis muda di depannya. Dylan juga ikut tersenyum bangga pada putrinya yang bisa bersikap sopan terhadap orang lain meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan formal. “Panggil aku, Pierre, Tidak perlu sungkan. Kita semua rekan kerja di sini,” ucap Pierre kepada Camille sambil melirik ke arah Dylan yang mengangguk padanya. Dylan segera pamit pergi untuk berbelanja keperluan jualan di cafe kecil-kecilannya bersama Solenne, setelah berjanji akan menjemput Camille pulang kerja nanti sore. Pierre sudah beberapa kali bertemu dengan Dylan yang menurutnya memiliki kepribadian baik dan tentu saja dia langsung menerima Camille bekerja di cafe miliknya yang hanya terd
Martin merasa yakin jika gadis yang sudah berani mencium bibirnya semalam adalah pelayan baru di cafe Lemoncello milik Pierre. "Untuk apa dia datang ke rumahku? Apakah dia orang suruhan Lili atau Ayahku?" gumam Martin sambil tetap mengamati dan curi-curi pandang memperhatikan Camille mengambil dan mengantarkan pesanan ke meja pelanggan lainnya di cafe. Lili adalah istri muda Gabriel, Papanya Martin yang selalu mencari kesempatan untuk menggoda Martin. Dan setiap kali itu pula penyakit alergi aneh Martin kambuh sampai pernah di bawa ke rumah sakit karena sekarat. Sedangkan Gabriel, sejak Martin menunjukkan reaksi serta alergi anehnya terhadap lawan jenis yang muncul saat dia berusia tiga belas tahun, Gabriel seperti tidak mempedulikan Martin. Namun akhir-akhir ini Gabriel semakin cerewet meminta Martin menikahi wanita-wanita yang dia carikan dan kenalkan kepada putra yang selama ini dia abaikan tersebut. Wanita-wanita yang memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk membuat Gabriel s
Hari ini adalah hari kedua Camille bekerja di cafe, dia memutuskan berangkat sendiri karena Dylan harus pergi ke tempat lain untuk berbelanja bahan makanan sebagai tambahan jualan di warung sederhana milik mereka. Kaki Camille melangkah seperti menari di jalanan, terkadang dia membuat lompatan kecil dengan senyuman ceria, semakin membuat wajahnya terlihat sangat cantik dan manis menggemaskan. Seorang gadis muda yang sangat berenergi memulai hari dan membuat siapapun yang melihatnya ikut menjadi bersemangat. “Hei, kamu datang pagi sekali, Cammie!” sapa Luca menepuk pundak Camille dari belakang. “Oh ya? Ku pikir tadi aku kesiangan hehe,” sahut Camille tertawa kecil yang ditanggapi Luca juga tertawa lalu mengeluarkan kunci dari gantungan tasnya untuk membuka pintu masuk cafe Lemoncello. Camille bergegas membersihkan ruangan cafe, meja dan kursi yang dia lap bersih dan tata sama seperti sebelumnya. “Kami bisa membantumu, Nona,” ucap Martha, salah satu Bibi yang bekerja di bagian
“Kamu ga pa-pa?” tanya Martin saat Camille di paksa Luca kembali ke meja tempat Martin masih menunggu menu sarapannya. Dua orang gadis pekerja part-time yang sebelumnya pernah membantu di cafe Lemoncello, hari ini datang untuk bekerja dan sudah mendapat ijin dari Pierre. “Uhm, ga papa!” sahut Camille singkat, memberikan senyum terpaksa di bibirnya pada Martin yang menatapnya lekat-lekat. Satu orang gadis datang membawakan menu sarapan untuk Martin dan Camille, meletakkannya di atas meja. Namun tanpa sengaja tangan sang gadis menyentuh tangan Martin yang berada di atas meja. Spontan Martin langsung menutup hidungnya yang terasa sesak, wajahnya memerah dan tubuhnya bergetar. “Takeaway sarapanku!” pinta Martin cepat pada Camille yang bingung mendengar intonasi suara Martin, seperti perintah dan sikapnya berubah 360 derajat dari sebelumnya. Martin sudah berlari masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di tempat parkir tidak jauh dari café Lemoncello. Tangan Martin bergetar mencari apap
Sama seperti hari sebelumnya, cafe Lemoncello ramai didatangi pengunjung yang ingin makan siang, makan camilan atau sekedar kongkow istirahat. Camille merasakan tatapan Donna sedikit tidak biasa memandangnya tetapi gadis itu berusaha bersikap cuek agar tetap profesional dalam melayani pelanggan yang datang ke Lemoncello. Menjelang sore, Pierre tiba di cafe dan langsung mencari Camille sambil tersenyum lebar. “Hai, sibuk?” goda Pierre melihat Camille di lantai dua cafe, baru saja selesai membersihkan salah satu meja yang di tinggalkan pelanggan agar bersih untuk pelanggan berikutnya. “Hai juga. Kamu baru datang?” sahut Camille sambil berjalan menyimpan peralatan bersih-bersih ke tempatnya diikuti Pierre di belakangnya. “Tadi Martin ke sini?” tanya Pierre mengabaikan pertanyaan Camille dan dia menatap lekat ke dalam mata gadis di depannya itu.Camille menoleh dan ikut menatap mata Pierre, “Uhm, tapi dia segera pergi. Apakah ada masalah dalam pasokan lemon ke cafe?” Camille bertan
Camille berhasil keluar dari rumah tanpa membangunkan siapapun, kaki jenjangnya berlari ke arah jalanan dan menumpang mobil angkutan umum yang membawanya ke Positano. Camille belum pernah datang ke Positano tetapi bukan berarti dia tidak bisa membaur atau mencium aroma uang dan harta yang tersimpan di dalam rumah-rumah orang kaya yang tampak megah dan mewah juga sunyi.Setelah membayar jasa angkutan, Camille berjalan menyusuri jalanan dan ketika tiba di tempat sepi, gadis muda itu langsung memakai cadar kain hitam untuk menutupi separoh wajahnya. Kemudian, meloncati pagar lalu berjalan cepat, mengendap dan mata indahnya sangat waspada mengenali serta menandai sekelilingnya. Camille menemukan sebuah rumah yang menarik perhatiannya, berada di tepi jurang. Sekeliling rumah terdapat bebatuan seperti batu karang, seakan membingkainya dengan kokoh juga sangat indah. Rumah yang hanya beberapa meter dari tempatnya saat ini berdiri dalam kegelapan. Cukup lama Camille mengamati pemandangan ru
Camille bangun kesiangan dengan kantung mata bergelantung tebal di bawah matanya. “Hei, kamu tidak pergi bekerja hari ini?” tanya Solenne begitu melihat Camille keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. “Bekerja, Bibi!” sahut Camille cepat lalu menutup pintu kamar mandi dan mandi dengan sangat cepat. “Apa yang kamu lakukan semalam, gadis kecil?” cetus Solenne sambil menyiapkan sarapan untuk putrinya tersebut. Camille tidak menjawab pertanyaan ibu angkatnya itu, sudah masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian dengan terburu-buru lalu segera keluar lagi, bersiap pergi bekerja. “Bibi …maaf, aku tidak sempat sarapan,” “Kalau begitu, kamu bisa membawanya! Kami semua sudah sarapan, Pamanmu dan Abraham sedang pergi terapi mandi air laut tadi,” sahut Solenne dengan telaten dan gesit memindahkan sandwich ke dalam tempat makanan dan memasukkannya ke dalam tas Camille. Mata Solenne terbelalak melihat dua gepok uang, pecahan seratus Euro ada di dalam tas putrinya tersebut yang dia sedan
Camille melangkah masuk ke dalam ruangan Dokter wanita yang tersenyum hangat menyambutnya. “Hallo …” sapa Camille sopan pada Dokter yang tersemat nama Elma pada dada jas Dokternya. Dokter Elma mengangguk pada Camille dan mempersilakan gadis muda di depannya untuk duduk. “Abraham?” “Itu nama saudaraku. Bagaimana, apakah saya bisa mendapatkan vitaminnya di klinik ini?” tanya Camille hati-hati dan berdoa di dalam hatinya, berharap mendapatkan vitamin untuk Abraham. Dokter Elma kembali mengangguk, “Bagaimana kondisinya? Jika memungkinkan, bawalah ke sini. Kebetulan saya juga bekerja pada yayasan kemanusiaan yang berfokus membantu penderita ODHA. Kalian bisa mendapatkan diskon harga untuk vitamin juga pengobatan khusus penderita ODHA,” ucap Dokter Elma sedikit meneliti keadaan Camille yang sederhana namun kecantikannya seperti mengingatkannya pada seorang sahabat lama. “Yang saya lihat, keadaannya baik-baik aja. Apakah siang ini Dokter masih berada di Klinik ini, saya bisa pulan