"Kuharap kamu senang bekerja di sini," ucap Pierre Bastien, pemilik cafe Limoncello kepada Camille yang baru saja diantarkan Dylan ke sana.
Camille mengangguk dan tersenyum tipis, “Terima kasih, Mister Bastien!” sahutnya sambil menundukkan sedikit kepalanya memberikan hormat.
Pierre tertawa kecil melihat kepolosan dan keluguan gadis muda di depannya. Dylan juga ikut tersenyum bangga pada putrinya yang bisa bersikap sopan terhadap orang lain meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan formal.
“Panggil aku, Pierre, Tidak perlu sungkan. Kita semua rekan kerja di sini,” ucap Pierre kepada Camille sambil melirik ke arah Dylan yang mengangguk padanya.
Dylan segera pamit pergi untuk berbelanja keperluan jualan di cafe kecil-kecilannya bersama Solenne, setelah berjanji akan menjemput Camille pulang kerja nanti sore.
Pierre sudah beberapa kali bertemu dengan Dylan yang menurutnya memiliki kepribadian baik dan tentu saja dia langsung menerima Camille bekerja di cafe miliknya yang hanya terdapat dirinya dan Luca di bagian bartender serta beberapa Bibi di bagian dapur.
“Camille, sudah pernah bekerja sebelumnya?” tanya Pierre sambil mengajak Camille mengitari cafenya yang terdapat dua lantai.
Cafe milik Pierre selain menyediakan menu sarapan, makan siang, dan camilan sore juga menjual berbagai macam minuman yang bisa di pesan pada bartender. Selain menjadi pemilik, Pierre juga bergantian dengan Luca di bartender. Biasanya ada pekerja sambilan yang membantu menjadi pelayan di café Pierre, namun sejak beberapa hari terakhir mereka berhalangan datang dengan alasan berlibur.
“Belum pernah. Ini adalah yang pertama. Oh, panggil saja aku, Cammie. Camille terlalu formal untukku,” sahut Camille seraya tersenyum tipis dan lesung pipinya cukup manis terlihat di mata Pierre yang diam-diam memperhatikannya.
Camille memiliki kulit cerah, hidungnya mancung, matanya bulat dengan netra berwarna hitam pekat dan tatapannya tajam namun sangat indah di naungi alis tebal yang seperti semut berbaris rapi pada wajahnya. Lalu bodynya sangat seksi dan Pierre memperkirakan tinggi Camille yang mencapai telinganya, memiliki tinggi 170cm. Camille Sama sekali tidak mirip dengan Dylan dan Solenne yang sudah pernah bertemu dengan Pierre sebelumnya.
"Apakah aku memiliki kesempatan untuk belajar? Aku adalah pembelajar yang cepat jika kamu mau memberikanku kesempatan dan tidak keberatan mengajariku," sahut Camille ceria seperti ciri khasnya dan lesung pada kedua pipinya semakin terlihat sangat manis."Tentu saja, Cammie!" cetus Pierre cepat, membalas senyum Camille dengan senyum terbaiknya.
"Mari kita turun. Pria itu adalah Luca! Juga ada beberapa Bibi yang membantu di dapur, nanti akan ku perkenalkan." ucap Pierre yang langsung merasa akrab dengan Camille di hari pertama pertemuan mereka tersebut.
Luca di balik meja bartender, mengangkat tangannya menyapa Camille sambil tersenyum lebar, "Welcome Camille!" ucapnya yang menyimak pembicaraan Pierre dan Camille karena kedua orang itu duduk tepat di depan tempatnya berdiri sedang memeriksa persiapan stok kopi juga hal lainnya.
“Cammie,” ralat Camille berdiri dan mengulurkan tangannya ke depan Luca sambil tersenyum sopan.
“Luca,” sahut Luca mengulangi namanya berkenalan dengan Camille.
Menjelang siang, banyak pengunjung datang ke cafe Limoncello untuk sarapan, bersantai atau makan camilan dan minum kopi. Diantara para tamu tersebut juga ada Martin bersama Patrick yang masuk ke dalam café dan memilih duduk pada sofa di teras luar karena udara cukup sejuk untuk berjemur.
Camille langsung bisa bekerja melayani para tamu dengan ceria dan langkahnya lincah tetapi sama sekali tidak genit ataupun terlihat murahan. Beberapa tamu pria berusaha menarik perhatian ingin mengajaknya berkenalan dan mengobrol, tetapi Camille bisa mengatasi memberikan alasan yang tepat untuk mereka.
Pierre memperhatikan Camille dari balik meja bartender, bibirnya tersenyum melihat Camille yang tanpa canggung langsung bisa bekerja dan sigap melayani para pelanggan cafe di hari pertama gadis itu bekerja.
"Kamu sudah sangat profesional, Cammie! Aku tidak percaya jika dirimu baru pertama kali bekerja di cafe!" celetuk Pierre memuji Camille yang menghempaskan bokongnya duduk pada kursi di balik meja bartender.
Pierre memberikan segelas air lemon segar untuk Camille, yang di seruput gadis itu hingga tandas. Senyum senang terbit pada bibir Pierre yang semakin menyukai gadis polos, lugu juga sangat gesit dalam bekerja itu.
"Aku ada meeting dengan pria yang duduk di sana, nanti kamu bawakan mereka kopi dan camilan. Tunggu Luca untuk membuat kopinya, dia sedang mengantarkan pesanan ke lantai dua," ucap Pierre mengarahkan tatapannya ke meja tempat Martin dan Patrick sedang duduk ke Camille yang berdiri di sebelahnya.
Mata Camille terbelalak sekejap karena terkejut melihat Martin yang juga sedang menatapnya. Sudut bibir Camille bergerak naik dan mengulum senyum jahil pada wajahnya.
"Kau sudah mencuri ciuman pertamaku, lihat aja apa yang akan kulakukan padamu nanti!" gumam Camille geram, apalagi ketika dia ingat rasa bibir pria itu yang dia cium semalam.
Camille menyesali ciuman pertamanya di berikan kepada pria yang tidak dia suka. Camille terpaksa mencium bibir pria itu karena kuatir dia akan berteriak dan dirinya bukan hanya tidak bisa melancarkan misinya di lain kesempatan tetapi juga bisa tertangkap, lalu di gondol ke kantor polisi. Kan tidak lucu, gadis cantik montok aduhai seperti Camille di masukkan ke kantor polisi hanya karena dia masuk kediaman orang tanpa ijin di malam hari.
Di sisi lain, Martin sedikit mengernyitkan keningnya melihat tatapan mata Camille padanya. Martin merasa belum mengenali gadis yang memelototinya tersebut.
“Karyawan baru?” tanya Martin pada Pierre saat pria itu baru saja duduk di depannya.
“Yeah, baru masuk hari ini.” sahut Pierre pendek.
Martin yang tidak pernah tertarik pada wanita sebelumnya, membuat Pierre merasa sedikit kurang senang melihat pria itu kini menatap Camille seakan tidak berkedip.
Patrick, asisten pribadi Martin yang datang bersamanya dan duduk diantara Martin dan Pierre yang memiliki hubungan kerjasama tersebut juga ikut merasa aneh dengan sikap serta cara Martin memperhatikan seorang wanita. Tidak ada yang mengetahui mengenai penyakit alergi aneh Martin selain Patrick, Gabriel-Papa Martin dan Lili-Ibu tiri Martin yang sering menggoda dan terobsesi padanya.
Camille datang membawakan minuman dan camilan ke meja tempat Pierre sedang duduk bersama Martin dan Patrick membicarakan bisnis mereka. Perkebunan Martin mengalami gagal panen buah lemon dan Pierre termasuk salah satu customer regular di perkebunan Martin.
“Kami akan memberikan diskon padamu dan mengganti produk yang tidak layak dengan yang jauh lebih baik! Tetapi saat ini stoknya masih terbatas tidak seperti sebelumnya,” ucap Martin setelah dia mempelajari dan orang-orang perkebunannya membuktikan dalam ratusan buah lemon yang sudah di beli oleh Pierre sangat tidak layak jual. Buahnya berbusa di bagian dalamnya sehingga daging lemonnya hanya sedikit juga kering kurang air.
Melihat Camille sudah menyusun minuman dan camilan di atas meja, “Cammie, ini Martin dan Patrick, asistennya. Mereka adalah pemasok buah lemon di café kita,” tutur Pierre memperkenalkan Martin pada Camille.
Kepala Camille mengangguk dan tersenyum sopan menatap Martin dan Patrick namun dalam hatinya menggerutu kesal karena Martin tidak henti-hentinya mengunci tatapan ke arahnya.
“Aromanya sama seperti orang yang menciumku semalam,” bathin Martin yang berkali-kali terlihat mengusap ujung hidungnya.
Patrick mengira perbuatan Martin adalah kode reaksi penyakit alergi yang akan terjadi padanya, segera pria itu berdiri mengulurkan tangan pada Pierre, “Jika Anda sudah sepakat, kami akan meneruskan info ini kepada para pekerja. Mohon maaf, kami harus segera pergi untuk memenuhi janji temu lainnya.” ujar Patrick namun dia terbatuk kecil ketika Martin menatapnya dengan kening berkerut.
“Aku akan menikmati camilan dan kopi ini dulu. Jika kamu ingin pergi, pergilah dan sampai bertemu di rumah,” cetus Martin cuek sambil menarik piring berisi cake keju di depannya dan menyendoknya masuk ke dalam mulutnya.
Patrick kehilangan kata-kata, matanya menatap Martin lalu mengerjap beberapa kali, mencuri pandang melirik gadis yang masih berdiri di samping Pierre.
“Tentu! Tidak ada alasan bagi kami untuk tidak menyetujuinya. Tanpa lemon, café ini bukanlah Lemoncello! Kami harap, panen perkebunan kalian berikutnya tidak terkendala apapun,” Pierre menjawab perkataan Patrick sambil tertawa kecil lalu permisi kembali pada pekerjaannya membawa Camille bersamanya.
Martin merasa yakin jika gadis yang sudah berani mencium bibirnya semalam adalah pelayan baru di cafe Lemoncello milik Pierre. "Untuk apa dia datang ke rumahku? Apakah dia orang suruhan Lili atau Ayahku?" gumam Martin sambil tetap mengamati dan curi-curi pandang memperhatikan Camille mengambil dan mengantarkan pesanan ke meja pelanggan lainnya di cafe. Lili adalah istri muda Gabriel, Papanya Martin yang selalu mencari kesempatan untuk menggoda Martin. Dan setiap kali itu pula penyakit alergi aneh Martin kambuh sampai pernah di bawa ke rumah sakit karena sekarat. Sedangkan Gabriel, sejak Martin menunjukkan reaksi serta alergi anehnya terhadap lawan jenis yang muncul saat dia berusia tiga belas tahun, Gabriel seperti tidak mempedulikan Martin. Namun akhir-akhir ini Gabriel semakin cerewet meminta Martin menikahi wanita-wanita yang dia carikan dan kenalkan kepada putra yang selama ini dia abaikan tersebut. Wanita-wanita yang memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk membuat Gabriel s
Hari ini adalah hari kedua Camille bekerja di cafe, dia memutuskan berangkat sendiri karena Dylan harus pergi ke tempat lain untuk berbelanja bahan makanan sebagai tambahan jualan di warung sederhana milik mereka. Kaki Camille melangkah seperti menari di jalanan, terkadang dia membuat lompatan kecil dengan senyuman ceria, semakin membuat wajahnya terlihat sangat cantik dan manis menggemaskan. Seorang gadis muda yang sangat berenergi memulai hari dan membuat siapapun yang melihatnya ikut menjadi bersemangat. “Hei, kamu datang pagi sekali, Cammie!” sapa Luca menepuk pundak Camille dari belakang. “Oh ya? Ku pikir tadi aku kesiangan hehe,” sahut Camille tertawa kecil yang ditanggapi Luca juga tertawa lalu mengeluarkan kunci dari gantungan tasnya untuk membuka pintu masuk cafe Lemoncello. Camille bergegas membersihkan ruangan cafe, meja dan kursi yang dia lap bersih dan tata sama seperti sebelumnya. “Kami bisa membantumu, Nona,” ucap Martha, salah satu Bibi yang bekerja di bagian
“Kamu ga pa-pa?” tanya Martin saat Camille di paksa Luca kembali ke meja tempat Martin masih menunggu menu sarapannya. Dua orang gadis pekerja part-time yang sebelumnya pernah membantu di cafe Lemoncello, hari ini datang untuk bekerja dan sudah mendapat ijin dari Pierre. “Uhm, ga papa!” sahut Camille singkat, memberikan senyum terpaksa di bibirnya pada Martin yang menatapnya lekat-lekat. Satu orang gadis datang membawakan menu sarapan untuk Martin dan Camille, meletakkannya di atas meja. Namun tanpa sengaja tangan sang gadis menyentuh tangan Martin yang berada di atas meja. Spontan Martin langsung menutup hidungnya yang terasa sesak, wajahnya memerah dan tubuhnya bergetar. “Takeaway sarapanku!” pinta Martin cepat pada Camille yang bingung mendengar intonasi suara Martin, seperti perintah dan sikapnya berubah 360 derajat dari sebelumnya. Martin sudah berlari masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di tempat parkir tidak jauh dari café Lemoncello. Tangan Martin bergetar mencari apap
Sama seperti hari sebelumnya, cafe Lemoncello ramai didatangi pengunjung yang ingin makan siang, makan camilan atau sekedar kongkow istirahat. Camille merasakan tatapan Donna sedikit tidak biasa memandangnya tetapi gadis itu berusaha bersikap cuek agar tetap profesional dalam melayani pelanggan yang datang ke Lemoncello. Menjelang sore, Pierre tiba di cafe dan langsung mencari Camille sambil tersenyum lebar. “Hai, sibuk?” goda Pierre melihat Camille di lantai dua cafe, baru saja selesai membersihkan salah satu meja yang di tinggalkan pelanggan agar bersih untuk pelanggan berikutnya. “Hai juga. Kamu baru datang?” sahut Camille sambil berjalan menyimpan peralatan bersih-bersih ke tempatnya diikuti Pierre di belakangnya. “Tadi Martin ke sini?” tanya Pierre mengabaikan pertanyaan Camille dan dia menatap lekat ke dalam mata gadis di depannya itu.Camille menoleh dan ikut menatap mata Pierre, “Uhm, tapi dia segera pergi. Apakah ada masalah dalam pasokan lemon ke cafe?” Camille bertan
Camille berhasil keluar dari rumah tanpa membangunkan siapapun, kaki jenjangnya berlari ke arah jalanan dan menumpang mobil angkutan umum yang membawanya ke Positano. Camille belum pernah datang ke Positano tetapi bukan berarti dia tidak bisa membaur atau mencium aroma uang dan harta yang tersimpan di dalam rumah-rumah orang kaya yang tampak megah dan mewah juga sunyi.Setelah membayar jasa angkutan, Camille berjalan menyusuri jalanan dan ketika tiba di tempat sepi, gadis muda itu langsung memakai cadar kain hitam untuk menutupi separoh wajahnya. Kemudian, meloncati pagar lalu berjalan cepat, mengendap dan mata indahnya sangat waspada mengenali serta menandai sekelilingnya. Camille menemukan sebuah rumah yang menarik perhatiannya, berada di tepi jurang. Sekeliling rumah terdapat bebatuan seperti batu karang, seakan membingkainya dengan kokoh juga sangat indah. Rumah yang hanya beberapa meter dari tempatnya saat ini berdiri dalam kegelapan. Cukup lama Camille mengamati pemandangan ru
Camille bangun kesiangan dengan kantung mata bergelantung tebal di bawah matanya. “Hei, kamu tidak pergi bekerja hari ini?” tanya Solenne begitu melihat Camille keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. “Bekerja, Bibi!” sahut Camille cepat lalu menutup pintu kamar mandi dan mandi dengan sangat cepat. “Apa yang kamu lakukan semalam, gadis kecil?” cetus Solenne sambil menyiapkan sarapan untuk putrinya tersebut. Camille tidak menjawab pertanyaan ibu angkatnya itu, sudah masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian dengan terburu-buru lalu segera keluar lagi, bersiap pergi bekerja. “Bibi …maaf, aku tidak sempat sarapan,” “Kalau begitu, kamu bisa membawanya! Kami semua sudah sarapan, Pamanmu dan Abraham sedang pergi terapi mandi air laut tadi,” sahut Solenne dengan telaten dan gesit memindahkan sandwich ke dalam tempat makanan dan memasukkannya ke dalam tas Camille. Mata Solenne terbelalak melihat dua gepok uang, pecahan seratus Euro ada di dalam tas putrinya tersebut yang dia sedan
Camille melangkah masuk ke dalam ruangan Dokter wanita yang tersenyum hangat menyambutnya. “Hallo …” sapa Camille sopan pada Dokter yang tersemat nama Elma pada dada jas Dokternya. Dokter Elma mengangguk pada Camille dan mempersilakan gadis muda di depannya untuk duduk. “Abraham?” “Itu nama saudaraku. Bagaimana, apakah saya bisa mendapatkan vitaminnya di klinik ini?” tanya Camille hati-hati dan berdoa di dalam hatinya, berharap mendapatkan vitamin untuk Abraham. Dokter Elma kembali mengangguk, “Bagaimana kondisinya? Jika memungkinkan, bawalah ke sini. Kebetulan saya juga bekerja pada yayasan kemanusiaan yang berfokus membantu penderita ODHA. Kalian bisa mendapatkan diskon harga untuk vitamin juga pengobatan khusus penderita ODHA,” ucap Dokter Elma sedikit meneliti keadaan Camille yang sederhana namun kecantikannya seperti mengingatkannya pada seorang sahabat lama. “Yang saya lihat, keadaannya baik-baik aja. Apakah siang ini Dokter masih berada di Klinik ini, saya bisa pulan
“Pergilah bersamanya, aku akan menutup toko kita dulu,” cetus Dylan pada Solenne sambil melirik Camille yang mengikuti pria tampan di depannya tanpa ragu. Ada berbagai macam pertanyaan dalam benak Dylan dan Solenne mengenai pria yang datang membantu Abraham tersebut tetapi mereka akan memendamnya dulu, sampai Camille bisa terbuka untuk bercerita pada mereka. Martin membukakan pintu kursi penumpang depan untuk Solenne duduk karena Camille dan Abraham duduk di kursi belakang. “Apakah kepalamu pusing?” Camille bertanya kuatir dan menyandarkan kepala Abraham pada bahunya. Martin sudah melajukan mobilnya menuju rumah sakit besar yang ada di Sorrento. “Aku sudah berjanji pada Dokter Elma di klinik Giovanna untuk membawa saudaraku ke sana,” ucap Camille saat melihat arah mobil Martin tidak menuju ke klinik Giovanna. “Aku bisa menghubunginya untuk datang ke rumah sakit.” sahut Martin yang langsung melakukan panggilan ke Dokter Elma melalui ponselnya untuk datang ke rumah sakit tanp