Share

9. Darurat

Camille melangkah masuk ke dalam ruangan Dokter wanita yang tersenyum hangat menyambutnya. 

“Hallo …” sapa Camille sopan pada Dokter yang tersemat nama Elma pada dada jas Dokternya. 

Dokter Elma mengangguk pada Camille dan mempersilakan gadis muda di depannya untuk duduk. 

“Abraham?” 

“Itu nama saudaraku. Bagaimana, apakah saya bisa mendapatkan vitaminnya di klinik ini?” tanya Camille hati-hati dan berdoa di dalam hatinya, berharap mendapatkan vitamin untuk Abraham. 

Dokter Elma kembali mengangguk, “Bagaimana kondisinya? Jika memungkinkan, bawalah ke sini. Kebetulan saya juga bekerja pada yayasan kemanusiaan yang berfokus membantu penderita ODHA. Kalian bisa mendapatkan diskon harga untuk vitamin juga pengobatan khusus penderita ODHA,” ucap Dokter Elma sedikit meneliti keadaan Camille yang sederhana namun kecantikannya seperti mengingatkannya pada seorang sahabat lama. 

“Yang saya lihat, keadaannya baik-baik aja. Apakah siang ini Dokter masih berada di Klinik ini, saya bisa pulang ke rumah untuk menjemput dan membawanya ke sini,”

“Ya, itu ide bagus! Pergilah jemput dia dan aku akan melihat kesiapan vitamin untuknya,” cetus Dokter Elma ikut antusias melihat semangat gadis muda di depannya tersebut. 

Camille segera permisi untuk menjemput Abraham untuk membawanya ke klinik Giovanna. Wajahnya yang semula letih terlihat gembira keluar dari ruangan Dokter Elma dan langkah kakinya sangat cepat berjalan mencari taksi yang bisa mengantarnya pulang.

Camille tidak memperhatikan di depan ruangan Dokter Elma ada Luciano sedang duduk dan terus memperhatikannya. 

Luciano segera masuk ke dalam ruangan Dokter Elma dan bertanya tentang keluhan dari gadis yang baru saja keluar dari ruangan Dokter tersebut. Tetapi Dokter Elma bergeming, tidak mau memberitahukan pada Luciano mengenai pembicaraannya dengan Camille. 

“Aku bisa membuat Anda kehilangan profesi ini, Dokter Elma!” ancam Luciano menatap tajam pada mata Dokter Elma. 

“Kamu sangat mengenal majikanku! Dia dengan mudah akan menghentikan donasinya jika apa yang menjadi keinginannya tidak dapat Anda penuhi!” tambah Luciano sengit. 

Dokter Elma akhirnya mengalah, kepalanya mengangguk cepat beberapa kali lalu menjelaskan tujuan Camille datang ke klinik Giovanna. 

“Anda yakin, jika bukan gadis itu yang sakit?” desis Luciano masih tetap dengan suaranya yang dingin menatap tajam pada Dokter Elma. 

“Gadis itu sedang pulang sekarang untuk menjemput saudaranya yang ODHA. Kamu bisa ikut menunggu di dalam ruangan sana, silakan dengarkan baik-baik jika nanti gadis itu bersama saudaranya datang ke sini,” tukas Dokter Elma mengangkat dagunya menantang Luciano. 

Luciano mendengkus sinis lalu dia pergi berjalan ke bilik yang tertutup tirai dan merupakan ruang istirahat Dokter Elma jika tidak ada pasien yang perlu dia bantu. 

Sementara itu, Camille yang terburu-buru memberhentikan taksi tidak melihat ke jalanan kiri dan kanannya sehingga sebuah mobil sedan mewah yang sedang melaju kencang langsung mengerem mendadak sampai rodanya berdencit tercetak di aspal. 

“Brengsek!” gerutu Patrick kesal sambil memukul setir. 

Martin yang duduk di kursi belakang, tubuhnya terdorong maju menyentuh sandaran kursi di depannya. Komputer di pangkuan Martin terjatuh ke lantai mobil dimana dia sedang memeriksa pekerjaan dan laporan dari anak buahnya di perkebunan lemon yang mengalami kerugian. 

Mulut Patrick kembali akan menggerutu namun segera dihentikan oleh Martin yang matanya langsung melihat Camille berdiri pucat pada tepi jalan. Tangan Camille berulang kali mengusap dadanya yang berdentam-dentam karena dirinya hampir menjadi korban tabrakan mobil yang sedang melaju kencang. 

“Terima kasih Bibi dan Paman juga Abram, berkat doa kalian, aku selamat!” gumam Camille berulang kali. 

Mata Camille kembali melirik ke arah taksi yang masih berhenti di sebrang jalan, Camille sebelumnya sudah menghentikan taksi tersebut namun bodohnya dia malah menyeberangi jalanan bukannya meminta taksi mendekatinya. 

Camille melambaikan satu tangannya ke arah taksi agar mendekatinya. Tetapi belum sempat tangan Camille membuka pintu taksi untuk naik, sebuah lengan besar sudah terulur dan mencekal pangkal lengan ramping Camille untuk berhenti. 

Martin memberikan beberapa lembar uang kertas pada sopir taksi lalu memanggil Patrick untuk menghampirinya. 

“Kamu tunggu aku di perkebunan!” perintah Martin pada Patrick sambil menunjuk pintu taksi pada asisten sekaligus sahabatnya tersebut. 

Mulut Patrick terbuka lebar, mengerjapkan matanya berkali-kali. Pemandangan di depannya bagaikan mimpi baginya. Martin yang memiliki alergi sentuhan wanita, kini sedang mencekal lengan seorang wanita? 

“Simpan pertanyaanmu dan jangan lancang mengatakannya pada siapapun!” tegur Martin yang paham Patrick kaget melihat alerginya tidak kambuh saat memegangi lengan Camille. 

Patrick segera masuk ke dalam taksi, “Tidak, itu taksiku! Aku harus segera pulang!” pekik Camille kembali ingin masuk ke dalam taksi dari arah pintu berseberangan dengan Patrick masuk. 

Martin menarik lengan Camille sedikit lebih kencang, “Ikut denganku, aku akan mengantarkanmu pulang!” cetusnya seraya mendudukkan Camille di kursi penumpang mobilnya, sebelah sopir. 

Martin berjalan mengelilingi mobil dari arah depan dan duduk pada kursi pengemudi di bawah tatapan Patrick yang terkejutnya masih belum hilang. 

“Kamu sakit? Ada apa ke klinik?” cecar Martin pada Camille setelah beberapa saat mereka berdiam diri tanpa bicara. 

Camille mendelik sinis pada Martin, mulutnya sedikit mengerucut maju lalu matanya memperhatikan jalanan di depannya. 

“Berhenti di depan!” ucap Camille yang langsung membuat Martin mengerem mendadak mobil mewahnya. 

Camille melepaskan sabuk pengamannya lalu membuka pintu untuk keluar. 

“Maafkan aku! Kamu sungguh bukan wanita suruhan Ayahku, Gabriel Jakovsky?” Martin mencengkeram pergelangan tangan Camille dengan cepat, matanya yang berwarna coklat terlihat lebih terang saat dia ingin tahu siapa sebenarnya Camille. 

“Aku tidak mengenal Gabriel Jakovsky!” sahut Camille lalu menepiskan tangan Martin dan turun dari mobil dengan cepat. 

Martin mengejar Camille dan tanpa sadar pria tampan itu memeluk tubuh Camille dari belakang. 

“Aku tidak akan bertanya apa-apa lagi. Masuklah ke mobil, aku akan mengantarkanmu pulang ke rumahmu,” bisik Martin dekat telinga Camille yang langsung bersemu merah dan menjalar ke wajahnya yang juga ikut jadi memerah. 

Camille akhirnya menurut didudukkan kembali ke kursi penumpang oleh Martin dan pria itu segera melajukan mobilnya kembali setelah dia duduk pada kursi pengemudi. 

“Arah mana yang menuju rumahmu?” Di depan Martin saat ini ada tiga persimpangan jalan. Saat itu Martin hanya mengikuti Camille tidak melewati jalanan yang sampai di sini ditempuhnya.

“Terus ke bawah,” ucap Camille singkat.

“Waktu itu maafkan aku! Aku …uhm situasinya mendukung untuk kita melakukan itu dan …” Martin tiba-tiba kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya pada Camille akan kejadian dia mencium bibir Camille di mobil saat dia alergi.

Camille hanya diam tidak menanggapi ucapan Martin yang meskipun terdengar sungguh-sungguh di telinganya. 

“Sebenarnya aku menderita alergi aneh, tidak bisa bersentuhan dengan lawan jenis. Tetapi, alergiku seakan hilang saat berdekatan denganmu dan aku juga bisa menyentuhmu. Bukan hanya itu, kamu bahkan menyembuhkan alergiku saat kita berciuman,” ujar Martin jujur berterus terang. 

“Mungkin ini terdengar aneh, omong kosong dan dalam pikiranmu mungkin juga seperti kebodohan. Tapi, aku serius untuk mengajakmu menikah denganku.”

Camille menoleh menatap Martin yang juga sesaat beradu tatapan dengannya sebelum pria itu memperhatikan jalanan. 

“Berhenti di depan, aku tinggal di ruko itu!” ucap Camille sambil menunjuk ruko tempat tinggalnya yang terlihat sangat sederhana dibandingkan pakaian yang di pakai Martin saat ini. 

Martin segera menghentikan mobilnya, tangannya kembali meraih telapak tangan Camille. 

“Camille, maukah kamu menikah denganku?” 

“Aku bukan gadis yang pantas untuk Anda lamar, Tuan Martin! Aku adalah gadis miskin yang harus bekerja agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk keluargaku. Maaf, aku tidak bisa!” tolak Camille lalu menarik telapak tangannya dari genggaman tangan Martin. 

“Oh, Camille …untung kamu pulang! Abraham, dia ...tiba-tiba batuk dan berkata perutnya nyeri. Dari tadi dia sudah tiga kali muntah-muntah!” Solenne berkata cepat saat melihat Camille datang. 

Dari kejatuhan Martin yang masih memandangi Camille dan Ibunya sedang berbicara, melihat kepanikan pada wajah mereka, segera dia turun dari mobilnya menuju ke tempat tinggal Camille. 

“Aku akan membawanya, cepatlah masuk ke dalam mobil!” ucap Martin yang mengagetkan Solenne dan Dylan apalagi pria tampan dan terlihat kaya di depan mereka itu sudah langsung membopong tubuh Abraham yang terduduk lemas bersandar pada kursi, menuju mobil sedan mewah yang terparkir tidak jauh dari tempat tinggal mereka. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status