Martin merasa yakin jika gadis yang sudah berani mencium bibirnya semalam adalah pelayan baru di cafe Lemoncello milik Pierre.
"Untuk apa dia datang ke rumahku? Apakah dia orang suruhan Lili atau Ayahku?" gumam Martin sambil tetap mengamati dan curi-curi pandang memperhatikan Camille mengambil dan mengantarkan pesanan ke meja pelanggan lainnya di cafe.
Lili adalah istri muda Gabriel, Papanya Martin yang selalu mencari kesempatan untuk menggoda Martin. Dan setiap kali itu pula penyakit alergi aneh Martin kambuh sampai pernah di bawa ke rumah sakit karena sekarat.
Sedangkan Gabriel, sejak Martin menunjukkan reaksi serta alergi anehnya terhadap lawan jenis yang muncul saat dia berusia tiga belas tahun, Gabriel seperti tidak mempedulikan Martin.
Namun akhir-akhir ini Gabriel semakin cerewet meminta Martin menikahi wanita-wanita yang dia carikan dan kenalkan kepada putra yang selama ini dia abaikan tersebut. Wanita-wanita yang memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk membuat Gabriel semakin merajai Sisilia dengan bisnis ataupun kekuasaannya.
"Dia tidak mungkin orang suruhan Lili! Bearti besar kemungkinan adalah orang suruhan Ayahku," Martin menyimpulkan analisisnya sendiri dalam kepalanya.
"Baiklah, akan aku ikuti permainan kalian," tambah Martin bermonolog.
Martin segera berpamitan dengan Pierre dan mengatakan kepada pria itu untuk pesanan lemonnya akan segera dikirimkan oleh orang-orangnya ke cafe.
--
Camille membantu merapikan ruangan cafe, membersihkan setiap meja lalu membalikkan kursi di atas meja yang telah dia bersihkan. Tubuhnya lelah tetapi hatinya senang luar biasa. Di hari pertama dia bekerja, Camille sudah luwes melayani dan mengingat menu serta jenis-jenis minuman yang di jual oleh Pierre dan Luca.
"Terima kasih sudah memberikanku kesempatan untuk bekerja di sini," ucap Camille seraya pamit pada Pierre juga Luca karena Dylan, Ayah angkatnya sudah datang menjemputnya pulang.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Dylan sambil memperhatikan riak wajah Camille yang bersemu kemerahan.
"Sangat menyenangkan meski sedikit lelah. Ach, malam ini sepertinya aku akan langsung tidur pulas," sahut Camille yang berjalan melompat-lompat kesenangan juga melirik Dylan dengan tatapan mata ceria.
Di ujung jalan, Martin memperhatikan Camille yang sedang berjalan bersama Dylan dan diam-diam mengambil photo kedua orang itu menggunakan kamera ponsel canggihnya lalu mengirimkannya pada seseorang.
"Selidiki kedua orang ini!" perintah Martin pada Daniel, asistennya di bidang penyelidikan serta mata-mata selain Patrick yang merupakan asisten dalam pekerjaan dan keseharian Martin.
"Dylan Desoutter dan Camille Desoutter," sebuah pesan masuk ke ponsel Martin yang bergumam pelan.
"Dylan Desoutter bebas bersyarat seminggu lalu saat tertangkap mencuri di salah satu kediaman di Palermo. Ada urusan apa kamu dengannya?" tambah Daniel sambil bertanya pada Martin layaknya pada sahabat.
"Aku mau kamu menyelidiki Camille Desoutter. Bukan sesuatu yang penting, tetapi aku curiga gadis itu digunakan oleh Ayahku untuk menjeratku," balas Martin, lalu meletakkan ponselnya ke laci dasbor dan dia fokus kembali memperhatikan Camille dan Dylan yang sedang membeli camilan pada pinggir jalan lalu membawanya pulang.
Tatapan mata Martin sedikit menyipit dan tanpa sadar sudut bibirnya membentuk garis senyum saat melihat Dylan berjongkok di depan Camille untu menggendong gadis yang sudah bisa di sebut dewasa muda itu pada punggungnya. Kemudian Dylan membawanya melangkah cepat ke rumah sambil tertawa ceria bersama Camille di punggungnya.
"Aku sangat yakin kamu yang mencium bibirku, Camille. Dan jika alergiku tidak kambuh padamu, terimalah risiko permainanmu, akan ku jadikan kau berlutut padaku!" bisik Martin dengan wajah sedikit lebih kejam dan tatapan mata coklatnya sangat tajam.
Dylan menurunkan tubuh Camille dari punggungnya begitu mereka sampai di rumah.
"Bibi ...kami membeli roti bakar untukmu dan Abram. Dimana anak nakal itu?" teriak Camille ceria sambil mengangkat tinggi kantong kertas di tangannya ke hadapan Solenne, istrinya Dylan yang dia panggil ‘Bibi’.
Solenne tersenyum hangat, mengambil kantong kertas dari tangan Camille, "Pergilah mandi dulu agar segar tubuhmu. Bagaimana pekerjaanmu hari ini, apakah semuanya berjalan lancar?" tanya Solenne menatap lurus dengan senyum menggoda pada Camille.
"Semuanya berjalan lancar. Aku bahkan sudah bisa menghapal semua menu di cafe untuk di tawarkan kepada pelanggan. Hallo, Miss Solenne, selamat datang di cafe Lemoncello. Kami memiliki minuman dengan bahan dasar lemon yang segar, sangat nikmat dan juga cocok untuk Miss Solenne yang cantik. Apakah Miss Solenne tertarik mencobanya? Untuk menunya kami juga ada berbagai macam variant seperti bruschetta, panini, gnocci dan juga cake seperti di menu ini. Ada potongan diskon untuk transaksi di atas 50 Euro, akan mendapatkan potongan 10% karena pemilik cafe kami sangat tampan!" Camille mempraktekkan cara dia menyapa tamu yang datang ke cafe, tentu saja dengan penambahan sana sini sesuai dengan isi kepalanya yang ingin berseloroh menggoda Solenne.
"Och gadisku sangat pintar dan sudah mengerti pria tampan!" cetus Solenne ceria melirik Dylan yang tertawa kecil mendengar candaan istri dan putrinya.
"Tentu, dia adalah putriku, tentu saja sangat pintar!" sahut Dylan sambil bangkit untuk mendorong pelan kedua bahu Camille dari belakang agar bersegera pergi mandi.
"Hei, anak nakal! Apa yang kamu lakukan seharian di rumah? Apakah kamu merepotkan Bibiku?" goda Camille melirik Abraham yang turun dari kamarnya ketika mendengar suara nyaring Camille.
"Aku sudah menjadi anak baik, Cammie! Bibimu adalah Bibiku sekarang!" balas Abraham memeletkan bibirnya menggoda Camille yang terbahak.
Camille mandi dengan cepat di kamarnya pada lantai tiga, mengganti pakaiannya lalu turun ke lantai dua dimana terdapat ruangan makan keluarga. Lantai satu digunakan untuk toko berjualan sebagai usaha mata pencaharian bagi Dylan dan Solenne yang kini dibantu juga oleh Abraham.
Camille duduk pada kursi dengan menaikkan satu kakinya ke atas dudukan kursinya dan tangannya yang berada di atas lututnya, mencomot roti bakar yang dia juga makan berlepotan.
"Oh, anak gadisku! Turunkan kakimu, Sayang. Bagaimana pria tampan akan menyukai dan melirikmu jika kamu makan berlepotan seperti ini dan kakinya berada di atas kursi seperti lelaki?" tegur Solenne gemas melihat Camille yang sangat tomboi.
"Jangan kuatir, Bibi! Aku tidak akan menikah dan belum tertarik untuk berkencan dengan lelaki," ujar Camille cepat dengan mulut penuh tetapi dia menuruti Ibu angkatnya tersebut, menurunkan kakinya dan duduk dengan anggun layaknya gadis anak orang kaya.
"Paman akan menjagamu seumur hidup jika tidak mau menikah. Paman juga tidak ingin kamu menikah dengan pria yang hanya akan memenjarakanmu berada di dalam rumah sementara dia bebas berkeliaran di luar rumah, mengencani gadis-gadis lain," Dylan ikut mendukung ucapan Camille dan menyuapkan sepotong roti ke anak gadis yang sudah dia anggap seperti putri kandungnya tersebut.
"Aku juga akan turut menjagamu, Cammie!" celetuk Abraham yang juga menyuapkan Camille potongan roti.
Solenne menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil, "Dasar kalian para lelaki! Baiklah, kalau begitu ...Bibimu ini juga tidak akan keberatan jika itu pilihanmu. Meski Bibi ingin kamu menemukan pria yang tampan dan menyayangi juga bisa menjagamu,"
"Ceritakan tentang bos mu di cafe, apakah dia masih single?"
Solenne sepertinya selalu tidak kehabisan akal untuk menggoda serta mengharapkan Camille tertarik memiliki romansa dengan laki-laki, menikmati hidup bahagia dengan orang yang mencintai dan menyayanginya.
"Uhm, cukup tampan! Tetapi sepertinya dia sudah menikah." sahut Camille asal menggedikkan bahunya cuek tetapi dia tiba-tiba melamun mengingat tatapan mata Martin juga rasa bibir pria itu masih melekat erat di dalam kepalanya.
Tanpa sadar, Camille mengulum bibirnya sendiri. Solenne, Dylan dan Abraham saling bertatapan mata memperhatikan tingkah tuan putri cantik mereka yang meraba dan mengulas bibirnya dengan telunjuknya.
Hari ini adalah hari kedua Camille bekerja di cafe, dia memutuskan berangkat sendiri karena Dylan harus pergi ke tempat lain untuk berbelanja bahan makanan sebagai tambahan jualan di warung sederhana milik mereka. Kaki Camille melangkah seperti menari di jalanan, terkadang dia membuat lompatan kecil dengan senyuman ceria, semakin membuat wajahnya terlihat sangat cantik dan manis menggemaskan. Seorang gadis muda yang sangat berenergi memulai hari dan membuat siapapun yang melihatnya ikut menjadi bersemangat. “Hei, kamu datang pagi sekali, Cammie!” sapa Luca menepuk pundak Camille dari belakang. “Oh ya? Ku pikir tadi aku kesiangan hehe,” sahut Camille tertawa kecil yang ditanggapi Luca juga tertawa lalu mengeluarkan kunci dari gantungan tasnya untuk membuka pintu masuk cafe Lemoncello. Camille bergegas membersihkan ruangan cafe, meja dan kursi yang dia lap bersih dan tata sama seperti sebelumnya. “Kami bisa membantumu, Nona,” ucap Martha, salah satu Bibi yang bekerja di bagian
“Kamu ga pa-pa?” tanya Martin saat Camille di paksa Luca kembali ke meja tempat Martin masih menunggu menu sarapannya. Dua orang gadis pekerja part-time yang sebelumnya pernah membantu di cafe Lemoncello, hari ini datang untuk bekerja dan sudah mendapat ijin dari Pierre. “Uhm, ga papa!” sahut Camille singkat, memberikan senyum terpaksa di bibirnya pada Martin yang menatapnya lekat-lekat. Satu orang gadis datang membawakan menu sarapan untuk Martin dan Camille, meletakkannya di atas meja. Namun tanpa sengaja tangan sang gadis menyentuh tangan Martin yang berada di atas meja. Spontan Martin langsung menutup hidungnya yang terasa sesak, wajahnya memerah dan tubuhnya bergetar. “Takeaway sarapanku!” pinta Martin cepat pada Camille yang bingung mendengar intonasi suara Martin, seperti perintah dan sikapnya berubah 360 derajat dari sebelumnya. Martin sudah berlari masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di tempat parkir tidak jauh dari café Lemoncello. Tangan Martin bergetar mencari apap
Sama seperti hari sebelumnya, cafe Lemoncello ramai didatangi pengunjung yang ingin makan siang, makan camilan atau sekedar kongkow istirahat. Camille merasakan tatapan Donna sedikit tidak biasa memandangnya tetapi gadis itu berusaha bersikap cuek agar tetap profesional dalam melayani pelanggan yang datang ke Lemoncello. Menjelang sore, Pierre tiba di cafe dan langsung mencari Camille sambil tersenyum lebar. “Hai, sibuk?” goda Pierre melihat Camille di lantai dua cafe, baru saja selesai membersihkan salah satu meja yang di tinggalkan pelanggan agar bersih untuk pelanggan berikutnya. “Hai juga. Kamu baru datang?” sahut Camille sambil berjalan menyimpan peralatan bersih-bersih ke tempatnya diikuti Pierre di belakangnya. “Tadi Martin ke sini?” tanya Pierre mengabaikan pertanyaan Camille dan dia menatap lekat ke dalam mata gadis di depannya itu.Camille menoleh dan ikut menatap mata Pierre, “Uhm, tapi dia segera pergi. Apakah ada masalah dalam pasokan lemon ke cafe?” Camille bertan
Camille berhasil keluar dari rumah tanpa membangunkan siapapun, kaki jenjangnya berlari ke arah jalanan dan menumpang mobil angkutan umum yang membawanya ke Positano. Camille belum pernah datang ke Positano tetapi bukan berarti dia tidak bisa membaur atau mencium aroma uang dan harta yang tersimpan di dalam rumah-rumah orang kaya yang tampak megah dan mewah juga sunyi.Setelah membayar jasa angkutan, Camille berjalan menyusuri jalanan dan ketika tiba di tempat sepi, gadis muda itu langsung memakai cadar kain hitam untuk menutupi separoh wajahnya. Kemudian, meloncati pagar lalu berjalan cepat, mengendap dan mata indahnya sangat waspada mengenali serta menandai sekelilingnya. Camille menemukan sebuah rumah yang menarik perhatiannya, berada di tepi jurang. Sekeliling rumah terdapat bebatuan seperti batu karang, seakan membingkainya dengan kokoh juga sangat indah. Rumah yang hanya beberapa meter dari tempatnya saat ini berdiri dalam kegelapan. Cukup lama Camille mengamati pemandangan ru
Camille bangun kesiangan dengan kantung mata bergelantung tebal di bawah matanya. “Hei, kamu tidak pergi bekerja hari ini?” tanya Solenne begitu melihat Camille keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. “Bekerja, Bibi!” sahut Camille cepat lalu menutup pintu kamar mandi dan mandi dengan sangat cepat. “Apa yang kamu lakukan semalam, gadis kecil?” cetus Solenne sambil menyiapkan sarapan untuk putrinya tersebut. Camille tidak menjawab pertanyaan ibu angkatnya itu, sudah masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian dengan terburu-buru lalu segera keluar lagi, bersiap pergi bekerja. “Bibi …maaf, aku tidak sempat sarapan,” “Kalau begitu, kamu bisa membawanya! Kami semua sudah sarapan, Pamanmu dan Abraham sedang pergi terapi mandi air laut tadi,” sahut Solenne dengan telaten dan gesit memindahkan sandwich ke dalam tempat makanan dan memasukkannya ke dalam tas Camille. Mata Solenne terbelalak melihat dua gepok uang, pecahan seratus Euro ada di dalam tas putrinya tersebut yang dia sedan
Camille melangkah masuk ke dalam ruangan Dokter wanita yang tersenyum hangat menyambutnya. “Hallo …” sapa Camille sopan pada Dokter yang tersemat nama Elma pada dada jas Dokternya. Dokter Elma mengangguk pada Camille dan mempersilakan gadis muda di depannya untuk duduk. “Abraham?” “Itu nama saudaraku. Bagaimana, apakah saya bisa mendapatkan vitaminnya di klinik ini?” tanya Camille hati-hati dan berdoa di dalam hatinya, berharap mendapatkan vitamin untuk Abraham. Dokter Elma kembali mengangguk, “Bagaimana kondisinya? Jika memungkinkan, bawalah ke sini. Kebetulan saya juga bekerja pada yayasan kemanusiaan yang berfokus membantu penderita ODHA. Kalian bisa mendapatkan diskon harga untuk vitamin juga pengobatan khusus penderita ODHA,” ucap Dokter Elma sedikit meneliti keadaan Camille yang sederhana namun kecantikannya seperti mengingatkannya pada seorang sahabat lama. “Yang saya lihat, keadaannya baik-baik aja. Apakah siang ini Dokter masih berada di Klinik ini, saya bisa pulan
“Pergilah bersamanya, aku akan menutup toko kita dulu,” cetus Dylan pada Solenne sambil melirik Camille yang mengikuti pria tampan di depannya tanpa ragu. Ada berbagai macam pertanyaan dalam benak Dylan dan Solenne mengenai pria yang datang membantu Abraham tersebut tetapi mereka akan memendamnya dulu, sampai Camille bisa terbuka untuk bercerita pada mereka. Martin membukakan pintu kursi penumpang depan untuk Solenne duduk karena Camille dan Abraham duduk di kursi belakang. “Apakah kepalamu pusing?” Camille bertanya kuatir dan menyandarkan kepala Abraham pada bahunya. Martin sudah melajukan mobilnya menuju rumah sakit besar yang ada di Sorrento. “Aku sudah berjanji pada Dokter Elma di klinik Giovanna untuk membawa saudaraku ke sana,” ucap Camille saat melihat arah mobil Martin tidak menuju ke klinik Giovanna. “Aku bisa menghubunginya untuk datang ke rumah sakit.” sahut Martin yang langsung melakukan panggilan ke Dokter Elma melalui ponselnya untuk datang ke rumah sakit tanp
Martin keluar dari kamar mandi dengan rambut di kepalanya masih lembab dan tangan Camille memegang gulungan tisu yang dia bawa keluar dari ruangan menuju Solenne. Wajah Solenne terlihat sangat kuatir. Dia masih berjalan bolak-balik, entah jika kalau direntangkan dan diukur sudah berapa meter jalanan yang sudah dia tempuh saat bolak balik di lorong rumah sakit lantai VIP tersebut, menunggu Camille dan pria tampan yang membawa putrinya itu ke kamar mandi sebelumnya. Inginnya Solenne masuk mendobrak pintu kamar mandi tetapi itu akan menunjukkan dirinya adalah seorang Ibu yang bodoh untuk putrinya. Sehingga dia memutuskan menunggu dengan berjalan bolak-balik. "Kalian baik-baik aja?" Solenne bertanya cemas melihat Camille terlebih dahulu lalu menatap ke arah pria di samping putrinya tersebut. "Uhm, kami baik-baik aja. Dia jatuh saat di kamar mandi dan dia memiliki alergi aneh sehingga aku perlu menyiram kepalanya dengan air kran," sahut Camille yang terdengar cukup meyakinkan. Camill