Share

Pembantuku di Atas Ranjang Suamiku
Pembantuku di Atas Ranjang Suamiku
Author: Ida Saidah

Part 1

"Bunda, Bunda, kemarin kan waktu Bunda kelja Bik Siti masuk ke kamar kita. Dia bobok sama Ayah di kasul. Bik Siti boboknya di bawah Ayah, soalnya kata Ayah bibik lagi sakit, jadi halus diobatin."

Deg!

Seketika aktivitas makan siangku terhenti mendengar cerita Maura anakku yang masih berusia empat tahun. Apa maksudnya kalau Bik Siti tidur di bawah Mas Alex suamiku? Nggak mungkin kan, mereka melakukan itu saat aku sedang tidak ada di rumah.

Lagian, Siti itu baik. Dia terlihat keibuan serta sopan. Dandanannya juga tidak pernah mencolok dan selama bekerja terlihat selalu menjaga jarak dengan suami.

"Memangnya kapan Bik Siti masuk ke kamar kita dan diobati sama Ayah?" tanyaku semakin penasaran.

"Kalau Bunda lagi kelja. Kata Ayah sama bibik Maula main aja di lual, soalnya Ayah mau ngobatin Bibik. Kata Ayah juga Maula nggak boleh celita sama Bunda." Aku sengaja merekam apa yang sedang dikatakan putri semata wayangku, lalu mengirimkan video tersebut kepada Mas Alex.

Centang dua, akan tetapi belum dibuka oleh pria yang sudah menikahi aku selama lima tahun itu.

Ting!

Tidak lama kemudian terdengar suara notifikasi pesan masuk di gawai. Rupanya Mas Alex membalas pesanku dan menanyakan maksud dari video tersebut.

[Harusnya aku yang bertanya, apa yang dimaksud oleh anakmu itu, Mas?] Balasku kemudian.

[Mungkin maksud Maura, waktu itu kan Siti tergelincir di kamar mandi kamar utama pas Mas suruh dia bersih-bersih. Kakinya keseleo dan karena nggak ada siapa-siapa ya jadi Mas yang bantu olesi kakinya sebentar pakai minyak gosok. Udah itu doang. Dan Mas memang bilang ke Maura kalau Bik Siti sakit dan harus diobati.]

[Tapi masalah dia bobok di bawah kamu?] Aku masih terus saja mencecar suamiku.

[Kita bicarakan saja nanti di rumah, ya. Kalau ngomong via W******p takutnya malah tambah salah paham.]

[Ok.]

Aku meletakkan kembali ponsel milikku di atas meja lalu meneruskan santap siangku bersama Maura. Namun entahlah. Setelah mendengar cerita dari gadis kecil itu, mendadak nafsu makanku menguar begitu saja. Hilang karena terus memikirkan ucapannya.

Namaku Alina Saraswati, ibu muda berusia dua puluh tujuh tahun dan memiliki seorang putri cantik bernama Maura Angelina Mahesa. Aku dan Mas Alex sudah menjalani biduk rumah tangga selama lima tahun, dan selama ini kami selalu harmonis tanpa ada pertengkaran besar dalam kehidupan kami.

Sedangkan Siti, dia adalah asisten rumah tangga kami. Aku dan Mas Alex mempekerjakan dia sebab dia seorang janda beranak dua dan suaminya sudah lama pergi meninggalkannya karena kepincut oleh pelakor.

Hari ini aku sengaja libur ke toko sebab sudah dua hari Siti izin tidak bekerja. Anak ke duanya sakit dan dia harus pulang kampung untuk menjenguknya. Sebagi seorang ibu, tentu saja aku langsung mengizinkan, karena kasihan dengan anak ART-ku jika harus berjauhan dengan sang bunda kala sakit sedang melanda.

***

Deru mesin kendaraan terdengar memasuki pekarangan rumah. Buru-buru aku keluar menyambut kepulangan suami, sekaligus ingin segera mendengar penjelasan dari Mas Alex tentang apa yang dikatakan oleh putri kami.

"Aku menunggu penjelasan kamu loh, Mas?" ucapku setelah dia selesai berganti pakaian.

"Penjelasan tentang apa, Sayang? Tentang ucapan Maura?" Dia balik bertanya.

"Iya. Kamu nggak ada hubungan spesial 'kan sama Siti?"

Mas Alex malah tertawa. "Kamu pikir aku berselera melihat dia, Sayang. Ya ampun...kamu lihat dong perbedaan antara Siti dan kamu. Jauh pake banget. Antara langit dan bumi. Lagian masa iya aku berselera dengan seorang ART? Ada-ada saja kamu ini." Dia tertawa renyah seolah memang tidak bersalah.

"Tapi Maura nggak mungkin bohong, Mas!"

"Alina, sayangku. Udah, ah. Jangan suuzon sama suami begitu. Mas itu cinta mati sama kamu tahu nggak? Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanyakan langsung sama Siti nanti kalau dia kembali ke sini!"

Aku membuang napas kasar. Ingin rasanya percaya dengan ucapan suami, akan tetapi naluriku mengatakan jika apa yang dikatakan oleh Maura semuanya benar. Sepertinya aku harus menyelidikinya secara diam-diam.

***

"Sayang, boleh pinjam uangnya lima belas juta? Aku lagi butuh banget buat ngirim ke kampung. Kalau ada transfer sekarang ya?" ucap Mas Alex pagi-pagi sekali ketika aku sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi.

"Bukannya kemarin baru kirim lima juta?" Menatap wajahnya curiga.

"Iya. Kemarin uangnya kepakai untuk berobat Ibu. Sekarang Rani lagi butuh buat bayar semester juga buat beli motor baru. Kan kamu tahu sendiri, jarak antara rumah dan kampus lumayan jauh. Kasihan dia kalau naik angkutan umum setiap hari."

"Yasudah. Nanti aku transfer langsung ke nomer rekeningnya Rani. Tapi agak siangan ya?"

"Ke nomer rekening aku aja. Nanti biar aku yang transfer ke Rani."

Keningku berkerut-kerut, memindai wajah Mas Alex dengan mimik curiga. Kenapa harus ditransfer ke nomernya dulu kalau bisa langsung aku kirim ke Rani. Makin mencurigakan.

"Mas berangkat dulu. Mungkin hari ini Mas pulang agak maleman ya, Sayang. Soalnya lagi banyak kerjaan dan harus lembur." Dia mengecup keningku lalu segera pergi tanpa menyentuh makanan yang terhidang.

"Oke. Hati-hati di jalan."

"Kamu juga hati-hati. Jangan lupa transferannya ya?"

"Iya."

Mas Alex kemudian segera masuk ke dalam mobil, menggerakkan kendaraan roda empat yang dia pinjam dariku menjauh meninggalkan parkiran rumah kami.

Ting!

Sebuah notifikasi pesan masuk ke gawaiku. Dari Dafa--teman sekantor suami yang kebetulan juga akrab denganku.

[Lin, Alex sakit? Kok sudah beberapa hari ini dia izin nggak masuk kantor?]

Hatiku mendadak panas setelah membaca pesan dari Dafa. Mas Alex tidak masuk ke kantor? Bukannya dia setiap hari pamit pergi untuk bekerja, bahkan baru saja dia bilang kalau hari ini akan lembur. Benar-benar ada yang tidak beres. Pasti Mas Alex sedang membohongi diriku saat ini. Awas saja kamu, Mas!

[Dia tiap hari masuk kerja kok, Daf. Malahan tadi baru saja pamit sama aku dan dia bilang akan pulang malam karena ada lemburan.] Balasku.

[Suer, Alin. Alex sudah beberapa hari ini izin nggak masuk kerja. Boro-boro lembur. Perusahaan aja lagi pailit sejak beberapa bulan yang lalu.]

Astaghfirullah...jadi Mas Alex membohongiku? Jangan-jangan, uang yang katanya akan dikirimkan kepada Rani juga hanya akal-akalannya saja.

Tanpa berpikir panjang lagi segera kulacak keberadaan mobil yang dipake oleh suami. Kebetulan beberapa hari yang lalu aku baru saja memasang GPS di kendaraan tersebut, sehingga aku bisa memeriksa di mana keberadaan Mas Alex sekarang.

Dan benar saja. Bukannya menuju ke daerah tempat dia bekerja, tetapi malah menuju ke daerah Jakarta Timur. Untuk apa dia pergi ke daerah situ? Apa jangan-jangan?

Ah, daripada terus menerka-nerka lebih baik kususul saja laki-laki itu.

Segera menitipkan Maura ke salah seorang tetangga lalu segera menuju lokasi yang tertera di layar ponsel. Semoga saja di sana akan kutemukan jawaban, apa yang sebenarnya selama ini Mas Alex lakukan.

Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit menggunakan sepeda motor, akhirnya aku sampai juga di titik lokasi. Dada ini bergemuruh hebat ketika melihat mobil milikku yang dipinjam oleh suami terparkir di depan sebuah bangunan sederhana bercat serba merah muda, karena sudah dipastikan pemilik rumah tersebut seorang perempuan.

Gegas menepikan kendaraan roda duaku, masuk ke dalam rumah tersebut tanpa mengucapkan salam sebab kebetulan pintu rumah tersebut terbuka lebar.

Hati ini kian memanas ketika melihat tas mas Alex tergeletak di atas meja, tepat di dekat dua orang anak yang aku tafsir usianya masih sekitaran tujuh tahun, dan tengah asik bermain ponsel sampai tidak menyadari kedatanganku.

"Dek, Mama ada?" tanyaku basa-basi.

"Ada di kamar. Lagi sama Papa!" jawab salah seorang dari mereka tanpa menoleh. Saking fokusnya dengan benda mati yang ada di tangan.

Dengan kaki gemetar serta jantung berdetak tidak karuan kuayunkan kaki masuk ke dalam, menyisir seluruh ruangan yang tidak terlalu besar akan tetapi begitu tertata rapi. Ada sebuah meja makan di dekat kamar dengan hidangan lengkap di atasnya juga. Pantas saja Mas Alex tadi pagi tidak mau menyentuh hidangan yang kusuguhkan. Ternyata gundiknya sudah menyiapkan sarapan serta servis sepagi ini.

Berjalan menuju pintu, sekilas bisa kulihat sosok suami sedang bersama seorang perempuan tengah menyelami samudera dosa di dalam kamar yang pintunya sedikit terbuka.

Ceroboh sekali mereka. Padahal di depan sana ada dua orang anak belum cukup umur yang bisa saja tiba-tiba masuk dan menyaksikan perbuatan itu.

Merogoh saku tas, mengambil ponsel lalu merekam adegan panas yang sedang dilakukan sebelum akhirnya kuputuskan untuk pergi ke dapur mengambil plastik kecil untuk membungkus tangan, meraup sambel terasi yang terhidang di atas meja makan lalu segera masuk ke dalam kamar dan mendorong Mas Alex dari tubuh Asisten Rumah Tangga kami.

Tanpa basa-basi lagi kubalurkan sambal tadi ke area sensitif mereka berdua, hingga keduanya meraung kesakitan serta kepedasan.

Makanya jangan macam-macam sama Alina, atau akan menanggung akibatnya. Makan tu pedasnya sambal buatan pelakor.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ida Darwati
mantap kenapa ga di potong aja tuh sosis biar nyaho
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status