Share

Part 3

Aku kembali meletakkan gawai milikku di dashboard dan kembali fokus mengemudi. Masalah Rani biar jadi urusan belakangan, toh, selama ini dia juga tidak terlalu ramah kepadaku. Selalu jutek dan pura-pura tidak kenal jika aku sedang bertandang ke rumah Ibu.

Mungkin dia pikir, uang yang selama ini masuk ke rekeningnya dikirim oleh kakaknya. Padahal aku yang selalu menyisihkan sedikit rezeki hasil kerja kerasku untuk menyambung hidupnya serta ibu mertua.

Gaji Mas Alex mana cukup kalau harus dibagi ke mereka.

Lagi, gawai milikku terdengar berdering nyaring tanpa henti. Rani memang akan selalu meneror jika uang jajannya telah habis dan aku telat mengirimkan uang.

Menyambar benda pipih persegi berukuran tujuh inci itu, mendekatkannya ke telinga lalu menjawab panggilan dari adik ipar. Ingin tahu apa yang hendak dia katakan kepadaku.

"Mbak, mana uang jatah bulanan aku? Jangan kuasai gaji Mas Alex dong. Aku dan ibu juga berhak atas uang itu. Jadi perempuan itu jangan serakah. Jangan maruk!" cerocosnya panjang lebar hampir tanpa jeda.

Aku mengangkat satu ujung bibir mendengar ocehan bocah ingusan itu.

Aku? Menguasai gaji Mas Alex? Mimpi. Memangnya dia pikir gaji abangnya itu berapa puluh juta sebulan?

"Heh, Mbak Alin! Diajak bicara malah diem aja. Sudah bisu kamu ya?!" cicitnya lagi.

"Aku tidak bisu dan tidak tuli, Rani. Aku hanya sedang mentertawakan ocehan kamu. Lucu sumpah!" jawabku sambil tertawa sumbang.

"Dasar perempuan tidak waras. Memangnya ada yang lucu? Pokoknya sekarang juga transfer uang ke rekening aku, kalau tidak aku akan ke rumah dan menagihnya langsung sama Mas Alex, supaya dia tahu seperti apa kelakuan istrinya. Suka memakan hak mertua juga adik iparnya, tidak mau..."

Klik!

Menekan ikon merah, memutuskan sambungan telepon secara sepihak lalu menonaktifkan ponsel. Bikin tambah pening saja kalau meladeni dia.

Maura sedang duduk di teras bersama Bu Ziadah ketika aku sampai. Bocah berusia empat tahun itu segera berlari menghambur ke dalam pelukan, seolah memberikan kekuatan kepada bundanya yang sedang rapuh serta terluka.

"Terima kasih sudah mau membantu saya menjaga Maura, Bu," ucapku sambil mengulas senyum, kemudian menyodorkan selembar uang merah kepada tetangga sebelah rumah, juga memberikan upah kepada tukang ojek yang mengantarkan sepeda motor.

"Sama-sama. Memangnya si Siti ke mana Mbak Alin?"

"Lagi menikmati sambel pelakor, Bu!"

"Maksud Mbak Alin?"

"Saya hanya bercanda!" Menerbitkan senyuman lalu mengajak Maura masuk ke dalam.

Foto pernikahanku dan Mas Alex. Itulah benda pertama yang langsung aku tatap ketika menginjakkan kaki di ruang tamu. Hati ini bagai tersayat sembilu ketika mengingat apa yang baru saja kulihat di rumah si gundik tadi. Sakit, perih hingga hampir menghentikan denyut nadi.

Ah, sudahlah. Tidak perlu diratapi apa yang sudah terjadi. Mungkin titian takdir hidupku harus seperti ini. Dikhianati oleh suami, dan harus mengurus anak seorang diri.

"Bunda kenapa? Kok bengong?" tanya Maura menyentakku dari lamunan.

Aku segera berjongkok dan menangkup wajah bidadari kecil itu, menciumi pipinya kemudian menarik tubuh mungil Maura ke dalam pelukan.

Kamu akan mengerti jika sudah dewasa nanti, Nak!

***

Hampir lebih dari seratus notifikasi pesan masuk di aplikasi warna hijau serta beberapa panggilan tak terjawab ketika aku mengaktifkan ponsel. Sebagian dari teman serta tetangga, yang menanyakan kebenaran masalah video viral yang tersebar di sosial media.

Memangnya video apa?

Karena penasaran, lekas berselancar ke sosial media berwarna biru untuk melihat apa yang sedang dibicarakan orang-orang, tetapi tidak menemukan apa-apa.

[Memangnya video apa?] Membalas chat dari Zaskia teman kuliahku.

[Jangan pura-pura nggak tahu, deh. Ini, kamu lihat sendiri.]

Dia mengirimkan sebuah link video, dan setelah aku buka ternyata video penggerebekan Mas Alex serta gundiknya tengah ramai diperbincangkan di jagat maya.

Bahkan baru beberapa jam dibagikan, sudah ada puluhan ribu like serta komentar yang rata-rata mencaci maki Siti juga suami.

'Aturan jangan cuma anunya yang dibaluri sambal, Mbak. Mukanya sekalian biar tambah kelojotan tu pelakor.' Komen akun bernama Ana Karenina.

'Panas nggak? Enak nggak? Pedes nggak? Ya iyalah...masa enggak! Makanya kalau gatel itu digaruk pake tangan, bukan minta digarukkin laki orang. Sekarang rasakan sambal cap pelakor.' Komentar akun yang lainnya lagi.

Entah siapa yang mengirimkan video tersebut aku tidak tahu. Sebab saat mengecek akunnya, tidak ada foto si pengunggah yang terpajang di akun tersebut. Mungkin dia salah satu dari tetangga Siti yang sempat merekam kejadian tadi.

Duh, mana wajahku terlihat jelas pula di video itu. Tapi biarlah. Toh bukan aku pelakornya.

***

"Mbak Alin, emang beneran ya kalau Mas Alex selingkuh sama si Siti?" tegur Bu Devi ketika aku sedang membeli telur di warung Mpok Hikmah. Sebenarnya malas keluar-keluar dalam kondisi seperti ini, akan tetapi stok di rumah sedang kosong dan Maura tiba-tiba minta dibuatkan telur mata sapi.

Aku hanya tersenyum menanggapinya.

"Nggak nyangka, ya? Siti itu kelihatannya baik dan sopan, eh, ternyata dia ulet bulu!" timpal Bu Hasnah sambil bergidik ngeri.

"Ya wajar lah Mas Alex selingkuh. Orang ditinggal kerja mulu sama istrinya. Lagian salah sendiri memasukkan janda ke dalam rumah. Miara janda itu kaya miara singa tau nggak? Diam-diam memangsa kita, menerkam dari belakang lalu mencabik-cabik daging kita sampai tidak tersisa!" Tante Margie, wanita paling julid se komplek tempat tinggalku ikut berbicara dengan nada mengolok-olok.

"Sesama perempuan jangan suka ngomong begitu, Tante. Nanti kalau Om Mario selingkuh bagaimana? Kita 'kan nggak tahu tingkat kesetiaan suaminya Tante juga sampai level berapa? Apalagi Om Mario suka pergi ke luar kota. Jangan nangis kalau nanti tau-tau dia pulang bawa istri baru!" celetukku membungkam mulut lemes wanita berusia empat puluh lima tahun itu.

Kesal rasanya mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulutnya. Bukannya menyumpahi, hanya saja memperingatkan dia supaya hati-hati dalam berbicara.

Aku pun segera menarik diri dari kerumunan, pulang ke rumah dan segera membuatkan telur mata sapi sesuai permintaan putriku.

***

"Permisi!" Tok! Tok! Tok!

Aku yang sedang sibuk membereskan baju-baju Siti segera keluar mendengar suara orang mengetuk pintu.

Dahiku mengernyit ketika melihat ada polisi berdiri di depan pintu pagar, dan sepertinya mereka sedang mencari seseorang. Apa mereka akan menangkapku karena kasus penganiyaan kemarin?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status