Share

Part 6

"Bunda, di lual ada Ayah. Ayah udah pulang!" teriak Maura kegirangan. Dia segera memutar gagang pintu, berlari keluar menghampiri sang ayah.

Ya Allah, Nak. Ayah kamu datang itu bukan untuk kamu. Lihat saja dia sekarang ini datang bersama keluarga barunya.

"Maura!" Mas Alex menatap putrinya dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca.

Aku tahu. Pasti saat ini dia sedang bersandiwara. Berlaga sedih, padahal hanya pencitraan. Supaya orang-orang di sekitar merasa iba melihat dia.

"Ayah sudah pulang kelja? Kok Bik Siti bau bangkai?" celetuknya sambil menutup hidung.

"Iya. Ayah kangen sama Maura." Mas Alex mengusap lembut pipi putrinya.

"Maula juga!" Gadis kecil itu menghambur ke dalam pelukan ayahnya.

"Maura. Ayo masuk, Nak!" Menarik tangan mungil anakku menjauh dari Mas Alex.

"Lin. Kamu jangan begitu. Maura itu anakku. Mas sayang sama dia. Kamu boleh benci sama Mas tapi tidak berhak melarang Mas menemui Maura!" kata laki-laki berambut cepak itu dengan nada parau.

"Minggir!" Tiba-tiba Siti masuk ke dalam tanpa permisi membawa kedua putrinya.

"Kamu mau ngapain, Siti. Pergi dari rumah ini, atau aku akan menyeret kamu!" cegahku kesal.

Warga yang berbondong-bondong di halaman ikut merangsek masuk, akan tetapi Mas Alex malah mengusir mereka dan mengatakan kalau Siti adalah istrinya juga.

Oke, Mas. Kamu berani membawa pelakor itu masuk ke rumah ini, jadi siap-siap saja menanggung akibatnya. Akan kubuat Siti menyesal karena sudah masuk ke kandang singa.

"Ingat Alin. Posisi kita itu sama di sini sekarang. Kita sama-sama istrinya Mas Alex dan anak-anak ini juga..."

"Siti. Sudah. Jangan banyak bicara. Sekarang sebaiknya kamu bersihkan tubuh kamu yang bau bangkai itu!" potong suami seperti sedang menutupi sesuatu dariku.

Sebenarnya ada rahasia apa lagi antara Mas Alex dan Siti.

Perempuan bertubuh gempal itu mengayunkan kaki menuju kamar utama, akan tetapi aku segera mencegahnya. Tidak rela kaki kotornya dia jajakkan di kamar itu, walaupun sudah beberapa hari bilik itu tidak aku gunakan.

Jijik rasanya tidur di atas kasur yang sudah pernah dipakai bermadu kasih oleh suami serta gundiknya.

"Kamar mandi kamu di belakang. Buka di situ!" sungutku meradang.

"Tapi aku ini istri Mas Alex!" kekehnya.

"Sudahlah, Sit. Sebaiknya kamu mengalah saja. Toh sama-sama mandi pakai air!" timpal Mas Alex membuat perempuan berlumur telur busuk itu mendengkus kesal.

Sambil menghentakkan kaki dia berjalan ke arah kamar mandi, sementara laki-laki pengkhianat itu menghampiri diriku dan berusaha meraih tangan ini.

"Jangan sentuh aku!" ketusku menyingkirkan tangannya.

"Lin, Mas minta maaf. Mas tidak bermaksud menyakiti perasaan kamu. Mas mencintai kamu, Lin. Tolong jangan merajuk seperti ini!" cicitnya tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Tidak usah bilang cinta kalau nyatanya kamu mendua!"

"Mas khilaf, Lin. Maaf. Mas tidak mencintai Siti. Cinta Mas cuma untuk kamu."

"Kalau begitu, usir Siti sekarang juga dari sini. Aku tidak mau tinggal seatap dengan perempuan itu. Tidak sudi."

"Mas nggak bisa usir dia sekarang, Sayang. Beri Mas waktu. Dia baru diusir dari kontrakan. Kasian anak-anak."

"Ok. Kalau begitu aku yang akan pergi dari sini!"

"Mas mohon jangan tinggalkan Mas!"

"Sudah aku bilang jangan sentuh aku!" teriakku seraya menepis tangannya, karena lagi-lagi dia menyentuh tubuhku.

Gegas mengunci kamar utama, mengajak Maura masuk ke dalam kamar tamu lalu menguncinya dari dalam.

"Bunda. Maula mau sama Ayah." Putriku merengek lagi.

"Maura sama Bunda saja!"

"Tapi, Bun?"

"Pokoknya Maura harus dengerin apa kata Bunda. Nggak boleh melawan!"

Dia mengangguk pelan. Aku segera mengganti pakaiannya, bersiap pergi ke toko karena jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan.

Siti sedang memeriksa isi lemari es ketika aku keluar, bersungut-sungut sebab tidak menemukan apa-apa di sana.

Sudah beberapa hari ini aku memang tidak belanja bulanan. Delivery order jika lapar, sebab tidak ada waktu untuk mengolah masakan.

"Heh, Alin. Kok di kulkas nggak ada apa-apa. Aku laper. Belum sarapan. Beliin aku makanan dulu sebelum kamu pergi kerja!" perintah Siti seenak jidat.

Aku tidak menggubris. Memangnya siapa dia mengatur hidupku. Bahkan jika Mas alex yang menyuruh pun aku tidak akan mau melakukannya.

"Kamu mau berangkat, Lin? Mas anter ya?" Laki-laki sok baik itu menawarkan bantuan.

"Tidak. Aku tidak kasih izin kamu pergi, Mas! Dan Alin juga nggak boleh pakai mobil kamu!" sambung si ulet bulu penuh percaya diri.

"Heh, ulbul. Apa haknya kamu melarangku menggunakan mobilku sendiri, hah?!" berangku mulai terpancing emosi.

"Mobil kamu. Ngaku-ngaku. Itu mobil Mas Alex. Dan sekarang, semua yang Mas Alex miliki menjadi milik aku. Kamu nggak akan bisa menguasai harta suami aku!"

"Coba kamu ulangi?!" Mencengkram erat rahang Siti. "Asal kamu tahu, Siti. Semua yang ada di dalam rumah ini milikku. Mas Alex tidak mempunyai apa-apa di sini. Dia itu kere. Memangnya kamu pikir laki-laki yang kamu gaet itu banyak duit!" tekanku kemudian.

"Siti, Alin, tolong jangan ribut. Banyak anak-anak di sini. Mas mau kalian berdua akur!" sambung Mas Alex melerai kami.

"Tolong kamu beritahu pelakor ini untuk tidak mengatur hidup aku!" titahku kepada suami.

Sambil menahan amarah yang kian membuncah berjalan keluar dari rumah, menggandeng Maura yang sudah menunggu di teras dan segera berangkat bekerja.

Mas Alex mengejarku ketika mobil yang kukemudikan mulai bergerak meninggalkan pelataran rumah. Dia terus saja mengetuk-ngetuk kaca, memintaku untuk membukanya sambil memasang wajah memelas.

Jadi pria kok melehoy. Sudah gitu sok-sokan punya istri dua pula.

"Ada apa lagi? Aku sudah kesiangan!" semburku kesal.

Mungkin apa yang aku lakukan itu salah. Sebab berbicara dengan nada meninggi kepada suami yang seharusnya dihormati. Tetapi jika suaminya seperti Mas Alex, apakah masih pantas untuk dihargai?

"Mas minta duit buat makan Mas sama anak-anak. Mas nggak pegang uang seperak pun, Lin. Perut Mas sudah sejak semalam belum keisi makanan sama sekali!" Dia merengek seperti anak kecil.

"Bukan urusan aku. Mau kamu lapar, mau kamu meninggal. Aku tidak perduli!" Kembali menutup kaca mobil dan melajukan kendaraan roda empat milikku meninggalkan Mas Alex.

Tidak lupa juga mengirimkan pesan kepada Mpok Hikmah, memberitahu dia supaya tidak memberikan apapun jika Siti maupun Mas Alex ke warung dan berhutang.

***

"Wajah kamu kusut amat?" tegur Zaskia, sahabatku. Kebetulan pagi ini dia mampir ke toko. Bete di rumah katanya, sebab suaminya sedang pergi dinas ke luar kota.

"Aku lagi kesel banget, Zas. Masa Mas Alex pulang ke rumah bawa gundiknya!" emosiku kembali meninggi.

"Ya Tuhan...Berani banget dia. Kamu jangan lemah, Lin. Pokoknya kamu harus bikin pelakor itu kapok karena sudah berani bermain-main sama kamu!"

"Bismillah. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan serta kesabaran sama aku."

"Kamu yang sabar ya, Lin. Badai pasti berlalu. Aku yakin kamu itu seorang perempuan kuat. Aku juga akan membantu kamu sebisa aku. Jangan sungkan kalau butuh bantuan."

"Terima kasih!"

"Apa kamu masih mencintai Alex?"

Pertanyaan konyol macam apa ini? Kalau ditanya masalah perasaan, sudah pasti masih ada dalam dada karena sebelumnya keadaan rumah tangga kami baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda kalau suamiku selingkuh, sebelum aku mendengar cerita anakku maura.

Jangan dibilang aku bodoh juga bucin. Menghapus rasa yang sudah bertahta dalam dada itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun aku sangat yakin, seiring berjalannya waktu cinta dalam sanubari akan pergi.

***

"Kamu itu benar-benar nggak punya perasaan, Alin. Aku sama anak-anak belum makan. Mas Alex juga belum makan. Tapi kamu malah tidak memberi kami uang untuk beli makanan. Tetangga di sini juga semuanya rese. Timbang pinjam uang seratus ribu saja tidak ada yang percaya. Padahal mereka tahu suami aku itu kaya raya!" cerocos Siti ketika aku baru saja kembali.

Ingin rasanya tertawa sekencangnya mendengar dia mengatakan kalau Mas Alex itu kaya. Dia belum tahu berapa gaji laki-laki itu, dan berapa pengeluarannya dalam sebulan.

"Kamu itu tuli apa bisu sih? Diajak bicara malah diam saja. Mana ATM Mas Alex dan uang yang sudah dia berikan sama kamu bulan ini. Pokoknya mulai hari ini, aku yang akan mengatur keuangan. Kalau kamu tidak setuju, kamu bisa angkat kaki dari rumah ini, Alin!"

Aku menyentak napas kasar mendengar cicitan si pelakor.

Gegas masuk ke dalam, membuka laci lalu mengambil beberapa lembar kertas, melemparnya ke wajah Siti menyuruh dia untuk membaca daftar tagihan setiap bulannya.

"Saya dengan senang hati jika kamu mau mengatur keuangan di rumah ini, Siti. Biar saya nggak pusing memikirkan kekurangannya setiap bulan. Coba kamu baca pelan-pelan jangan sampai ada yang terlewatkan.

Gaji Mas Alex sebulan sepuluh juta. Buat bayar angsuran rumah lima juta tujuh ratus. Listrik satu juta, wifi empat ratus dua puluh lima ribu. Bayar keamanan dan petugas kebersihan seratus lima puluh ribu, uang transportasi satu juta setengah. Jatah ibu dan adiknya di kampung lima juta. Itu belum termasuk makan dan lain-lainnya.

Sekarang, silakan kamu atur uang gaji Mas Alex sebisanya. Saya sudah tidak mau tahu lagi!" beberku panjang lebar merinci semuanya.

"Kamu jangan ngarang? Gaji Mas alex itu sebulan tiga puluh lima jutaan!"

"Sebenarnya kamu bisa baca atau tidak, Siti. Di situ sudah jelas-jelas ada slip gaji Mas alex bulan ini dan bulan kemarin. Kamu lihat angka yang tertera di situ. Kalau nggak, silakan kamu tanya langsung sama yang bersangkutan. Pokoknya, mulai hari ini aku sudah tidak lagi perduli dengan urusan gaji. Jangan lupa juga bulan ini dia belum mengirimkan uang buat ibunya!" Melenggang pergi meninggalkan perempuan ular itu sendiri.

"Alin. Tolong kamu jangan seperti itu!" Aku terkesiap ketika tiba-tiba Mas Alex mencekal lenganku. "Masalah keuangan biar tetap kamu yang atur. Mas tidak mau jika Siti yang me-manage keuangan di sini. Mas lebih percaya ke kamu, sayang."

Aku mengangkat satu ujung bibir mendengarnya." Kamu itu bukan percaya sama aku, Mas. Tapi kamu menyuruh aku mengatur keuangan karena gaji kamu pas-pasan, bahkan tidak cukup untuk kebutuhan kita selama sebulan. Pokoknya aku sudah tidak mau lagi berurusan dengan uang kamu. Semuanya biar Siti yang atur. Aku terima beres biar nggak capek mikirin masalah kekurangannya!"

"Mas mohon Alin. Bagaimana nasib keluarga Mas di kampung nanti kalau kamu nggak mau bantu. Terus, untuk makan kita sehari-hari juga Mas tidak punya pegangan. Jangan egois, Alina Sayang. Bukankah dalam rumah tangga suami istri itu harus saling bahu-membahu?"

"Bukan urusanku!" Mengayunkan kaki masuk ke dalam kamar, menguncinya dari dalam lalu segera merebahkan bobot di atas peraduan.

Aku harus mengatur strategi untuk membuat Mas Alex serta gundiknya semakin menderita di sini.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Ariny arni
Alex sama siti udah nikah belum? Msh zina dong. Kalau itu rumah Alin hadiah dr Alex ga ada hak nya Alex bawa Siti ke sana, lagian dengan sikap Siti yg pongah itu lagi, sangat ga tau diri. Alin punya bapak dan kk lakiĀ², panggil mereka untuk mengusir Alex dan Siti. Kok malah dibiarin di sana.
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, cerita sampah g berguna. pake otak klu menulis itu perlu. g perlu mengada2 utk drama halu njing. cerita tersampah, kirain si alina waras ternyata sama aja
goodnovel comment avatar
amymende
cerita bodok bodok kayak gini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status