Share

Chapter 4 Dejavu

Rita mengunci mulutnya rapat-rapat sejak pengumuman yang diberikan oleh Arka tadi. Ia masih kebingungan menelaah semua yang sedang terjadi di depannya saat ini. Pria yang menjadi alasan dirinya menerima pinangan Apriyanto Suhardiman kembali hadir. Lebih tampan, matang dan jelas rupawan dari gambaran terakhir yang masih diingat oleh Rita.

Benci pun rasanya mustahil dilakukan olehnya, karir yang susah payah ia bangun bisa berakhir saat ini juga dirinya bereaksi berlebihan. Rita tidak mungkin akan melakukan hal tersebut, karir ini adalah satu-satunya pegangan untuknya agar tetap berpikir waras dan menjadi penghiburannya.

Arka sebagai pimpinan pemilik perusahaan tempatnya bekerja, jelas tidak diketahui. CEO yang selama ini menjabat bukanlah pria itu apalagi ayahnya. Bisma Chandara selama ini juga tidak pernah terlihat di kantor pusat. Itulah yang membuat Rita berasumsi tempatnya bekerja tidak ada hubungannya dengan keluarga Chandara. Matanya mengerjap panik baru mengingat bahwa di mobil yang di kendarai oleh pria dari masa lalunya tersebut tidak ada Anton di dalamnya.

Rita berdeham berusaha membasahi kerongkongannya yang masih tercekat. “Pak Anton ke mana ya?”

Erni yang duduk di sebelahnya menjawab, “Anton sudah pulang lebih dulu. Kamu masa tidak sadar saat Tante menggandengmu menuju mobil tadi? Kaget ya, ketemu Arka kembali? Sudah berapa lama ya sepuluh tahun ya?”

Celotehan yang diutarakan oleh Erni sedikit mencairkan suasana mobil yang rasanya hening sejak awal tadi, pikir Rita. Atau mungkin dirinya terlalu asyik melamun hingga tidak menyadari suasana di sekelilingnya.

Seraya menetralkan detak jantung ia kemudian bertanya kembali. “Di mana CEO yang dulu?”

“Oh … Efendi?” Suara Bisma yang mengudara sementara Arka saat ini bertukar pandang dengannya melalui kaca spion yang berada di dalam mobil tersebut.

“Iya.”

“Dia sekarang pindah di perusahaan konstruksi milikku.”

Rita menelan salivanya lagi seolah kerongkongannya cukup kering hingga mengganggu pita suaranya, tanpa sadar ia mencondongkan tubuh ke arah Bisma yang duduk di kursi penumpang di bagian depan. “Jadi Pimpinan yang tidak jadi pindah ke cabang apakah Kak Arka? Eh, maksud Bapak Arka?”

“Anak cerdas,” jawab Bisma seraya terkekeh yang ditimpali seulas senyum dari Erni.

“Jangan terlalu formal begitu Rita. Seolah kita baru berkenalan. Kita akan makan malam, jadi bersikap santailah. Urusan pekerjaan bicarakan saat jam kerja saja,” tambah Bisma.

“Tapi, saya ke kota bersama dengan Pak Anton karena ada dinas.”

“Iya tentu. Rapat proyek baru itu akan dilaksanakan besok. Tapi, yang paling utama adalah kamu ikut makan malam bersama dengan kami,” jawab Erni kali ini.

Rita kemudian bungkam kembali dan menyandarkan punggungnya di jok kursi. Ia bukannya merasa puas dan lega karena ucapan kedua bosnya ini, bisa dibilang demikian tetapi rasanya ada sesuatu yang lain yang terjadi.

“Santailah, Nak. Nikmati makan malam kita. Tuh yuk,” ajak Erni yang kini sibuk melepaskan sabuk pengaman.

Rita hanya mengangguk dan kemudian mendongak takjub pada bangunan restoran yang seperti kastil abad pertengahan di Eropa sana begitu dirinya berdiri di halaman parkir yang luas tersebut.

“Maaf kita tidak turun di lobi. Tempat parkir VVIP sedang penuh,” ujar Arka yang kini sudah melepaskan jas kantornya dan menggulung lengan kemeja berwarna biru dongker sebatas siku.

Mata Rita menyipit, ingatannya kembali terlempar sebelas tahun yang lalu saat pria itu juga memakai kemeja dengan warna yang sama dan menggaulinya yang saat itu di bawah pengaruh alkohol alias mabuk. Rasanya sesak di dada bertambah nyeri mengingat hal itu dan udara di sekitarnya seperti menyusut drastis. Rita mengusap-usap dadanya yang saat ini memakai kemeja berbahan sifon lembut berwarna biru langit. Mereka tampak seperti pasangan serasi untuk yang tidak kenal mereka secara pribadi. Seperti saat ini, beberapa pasang mata melihat ke arah mereka dan pasti berpikir mereka sengaja janjian untuk memakai pakaian dengan warna yang hampir sama. Padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian.

“Apa kamu sudah sangat lapar? Jalanmu lambat sekali,” kata Arka yang mendekat ke arahnya.

Rita yang semula menunduk karena merasa terganggu dengan tatapan orang-orang lantas mendongak dengan dada berdebar saat jaraknya dengan Arka hanya setengah meter. Bahkan dari jarak ini, Rita bisa mencium bau harum yang menguar dari tubuh pria tampan tersebut.

“Tidak bukan begitu." Jawabnya lirih.

“Lalu kenapa? Kamu takut ada yang memergokimu dan melaporkan pada suamimu?”

Sepintas ide untuk membohongi Arka tercetus dan ia mengiyakan dugaan Arka tersebut. Siapa tahu dengan demikian pria yang menjadi atasannya ini akan tahu batas dan tidak lagi berbuat seenaknya dengan mengajaknya makan malam bersama dengan orang tua pria itu seperti saat ini. Bukannya Rita kegeeran tapi misinya ke kota adalah untuk bekerja bukan untuk bernostalgia.

“Iya. Anda tahu Mas Apri sering ke kota siapa tahu ada kenalannya yang mengenali saya. Tidak elok rasanya jika mereka melihat saya bersama dengan keluarga Bapak.”

“Aku lebih suka kamu memanggilku Kakak saat berdua seperti ini,” bisik Arka tepat di samping telinga Rita.

Rita mengusap dahinya, ia tampak putus asa dan sadar karena seperti terlena karena tidak menyadari kapan pria itu menjadi begitu dekat dan bahkan hembusan hangat napas pria itu menerpa wajahnya yang sudah dipastikan memerah saat ini.

“Itu tidak elok, Pak. Lebih baik seperti ini sampai selamanya.”

Arka tersenyum tipis dengan salah satu sudut bibirnya terangkat. “Benarkah? Kita lihat sampai kapan kamu bertahan untuk ber-saya, Anda denganku.”

“Kita harus professional bukan?”

“Ya, jika di kantor. Tapi sekarang adalah jam bebas. Jadi sepertinya lebih baik kamu bisa memanggilku seperti saat kita bertemu tadi. Kamu ingin bernostalgia?”

Rita mengerutkan kening dan sedikit kaget dengan kalimat tanya yang terakhir dilontarkan oleh Arka, seolah pria tersebut bisa membaca pikirannya. “Tidak.” Jawabnya singkat.

“Sudah kuduga. Ayo kita segera menyusul Ayah dan Bunda. Kamu tak ingin mereka curiga dengan apa yang kita lakukan bukan? Walaupun aku sendiri tidak keberatan jika sampai mereka curiga sekalipun.”

Rita tampak tidak menghiraukan perkataan Arka karena saat ini ia mengedarkan ke sana kemari seperti kambing congek mencari keberadaan orang tua bosnya tersebut.

“Aku sudah sangat lapar Rita. Ayo jangan membuat orang tuaku menunggu itu tidak sopan,” tegur Arka yang kini sudah meraih siku kanannya dan menuntunnya memasuki lobi restoran.

Rita mematuhi pria itu dan memilih tetap diam seraya berusaha mengendalikan degup jantungnya yang tak terkendali hanya karena kata lapar yang meluncur dari bibir pria itu dan sentuhan di sikunya yang menghantarkan sengatan tak kasat mata menghantarkan memori kelam yang sangat ingin ia kubur.

'Jangan mesum Rita. Please, jangan sekarang. Ingat suamimu.'

“Wajahmu merah sekali. Jika saja situasi berbeda pasti aku akan mengartikan jika kamu ingin kita bercinta,” bisik Arka.

Rita mendongak dengan gugup ke arah pria itu. Tatapan mata keduanya bertemu sepersekian detik sebelum akhirnya Arka yang memutus pandangan terlebih dahulu karena mereka telah tiba di ruangan khusus yang telah di pesan. Rita menarik napas lega, setidaknya kebersamaan saat makan malam berlangsung di balik bilik tersebut tidak akan diketahui oleh siapapun.

Acara makan malam cukup hangat.

Pembicaraan malam ini malah berpusat pada usaha baru yang telah membeli beberapa hektar tanah untuk membangun hotel di kawasan Bali dan Jawa Barat. Arka bahkan mengantarkan dirinya kembali ke penginapan yang kali ini berbeda dengan yang biasa ia pesan.

“Sepertinya salah jalan. Bukan tempat ini yang saya pesan kemarin?”

“Aku yang merubah pesananmu. Jadi, selamat istirahat. Mimpi yang nyenyak,” kata Arka seraya berjalan beriringan dengan Rita menuju resepsionis.

“Bapak tidak perlu mengantar saya sampai di sini. Toh, saya tadi sudah berpamitan.”

“Tidak masalah. Orang tuaku bisa menunggu, mereka juga tidak keberatan. Aku hanya memastikan jika kamu mendapatkan sesuai dengan yang sudah aku pesan.”

Rita rasanya menangkap maksud lain dari perkataan Arka tetapi jelas ia berusaha menepisnya. Bahkan pria itu mengantarnya sampai ke depan lift yang akan mengantarnya ke lantai 5.

“Sekali lagi tidur yang nyenyak Rita, sampai bertemu besok. Aku tidak bisa menjemputmu jadi pak Ilham yang akan ke sini.”

Rita mengerutkan dahinya dan membuka mulutnya untuk bertanya kenapa sopir keluarga mereka yang akan menjemputnya alih-alih supir dari kantor tetapi ia urungkan karena pintu lift sudah terbuka lebar. Tanpa menyahut Rita masuk dan saat yang bersamaan pria itu berbalik dan punggung lebar nan gagahnya berjalan pergi. Rita kembali merasakan dejavu sampai-sampai ia sekali lagi tak sadar melangkah mundur dan punggung membentur dinding lift. Ia mencengkram pegangan tangan guna menopang tubuhnya yang rasanya ingin merosot dan terkulai.

tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status