Share

Chapter 8 Bunda Pergi

“Ada apa Apri!” bentak Rakmi yang bergegas menuju teras.

Tatapan melotot marah ia layangkan pada anak lelakinya itu. Lihat saja penampilan Apri yang hanya berbalut handuk sebatas pinggang tanpa sehelai baju melekat pada tubuhnya.

Apriyanto memang baru saja selesai mandi tetapi melihat wajahnya yang kalut dengan rambut basah yang acak-acakan. Rakmi tahu jika Apriyanto masih berselisih paham dengan Rita.

“Ada apa denganmu?” tanyanya kini dengan nada rendah, “ngapain sih di sini? Pakai baju saja. Nggak malu kalau sampai dilihat tetangga?”

“Rita pergi Bu.”

“Apa maksudnya pergi?”

“Dia memintaku menalaknya. Dia jelas tidak mau dimadu.”

“Ceraikan saja dia,” jawab Rakmi enteng.

Apriyanto menatap ibunya dengan tidak percaya. “Maksud Ibu apa? Bukankah Ibu sudah setuju jika aku menikah lagi dan memberikan cucu. Aku masih boleh mempertahankan Rita?”

“Itu ‘kan kalau dia mau. Nyatanya sekarang dia pergi ‘kan? Itu menandakan bahwa cintanya terhadapmu juga omong kosong. Lihat Ibu dong, bapakmu berapa kali main gila, tidak terhitung dan hampir semua wanita yang bersamanya Ibu kenal.

Tetapi Ibu tetap bertahan. Nyali dan mental Rita tidak sekuat Ibu. Itu sudah lebih dari cukup menandakan jika dia tidak pantas menjadi menantu di rumah ini.”

Novi salah satu menantu Rakmi mendengar semuanya dan menekan dadanya yang terasa sakit. Kini ia tahu ternyata ibu mertuanya memang tidak pernah menyukai iparnya tersebut.

“Ma, ada apa?” tanya Fardan.

“Bundamu pergi, Nak.”

“Apa?!”

“Sstt … kecilkan suaramu. Lihat saja bapakmu jadi kacau tuh ditinggal pergi.”

“Jadi benar bapak nikah lagi?” Kali ini Fardan bertanya dengan berbisik.

“Iya, istri dan anaknya ada di lantai atas,” terang Novi seraya mengedikkan dagu ke arah kamar yang dimaksud.

Fardan menatap sekilas ke arah yang dimaksud oleh Novi dan kemudian menatap mamanya lagi. “Ini tidak bisa dibiarkan, Ma.”

“Apa yang harus kita lakukan? Nenekmu menyukai istri baru bapakmu.”

“Dan membiarkan Bunda tidak mendapatkan haknya di sini? Itu jelas salah.”

“Mama menduga, bundamu akan menuntut cerai. Pak Yuda dan bu Eli uja tidak ada. Mereka sudah benar-benar pergi.”

“Mama lihat keadaan bapak sekarang, kacau bukan begitu ditinggal bunda. Makanya kegatelan sih.”

“Hush … jangan berkata begitu. Apa yang akan kita lakukan saat ini? Terus terang Mama juga tidak suka dengan istri baru bapakmu.”

“Mama kenal?”

“Iya, dia dulu mantan pacar bapakmu.”

“Aku akan mencari Bunda.”

“Hibur bundamu, Nak. Sudah cukup dia tersiksa dengan keadaan di sini. Apri memang bodoh melepas berlian demi sebongkah batu kali.” Novi berkata seraya tatapannya mengikuti Apriyanto yang bergegas kembali ke kamarnya diikuti oleh Asmi yang kebetulan berpandangan dengannya sekilas dan berpaling membuntuti suaminya.

“Mas mau ke mana? Udah malam ini Mas?” tanya Asmi yang kebingungan dan ketakutan melihat sorot kemarahan pada Apriyanto.

Pandangannya kemudian tertuju pada ranjang yang berantakan serta baju yang tercerai berai di lantai. Wajahnya memucat, ia tahu kegiatan apa yang baru selesai dilakukan oleh suaminya. Sebagai istri kedua ia harus tahu diri bukan? Namun melihat tumpukan baju sobek yang berserakan memberikan pemikiran baru untuknya. Ternyata suaminya bisa sangat garang di ranjang.

Pandangannya tertuju pada pintu kamar mandi yang terbuka lebar, itu tandanya hanya ada mereka berdua di kamar saat ini, lalu di mana Rita?

“Mas mau ke mana, Mas?” Tanyanya ulang.

“Ah … cerewet kamu! Berisik saja urus bayimu saja.”

Wajah Asmi memerah menahan tangis sakit hati mendengar bentakan Apriyanto. Apriyanto yang lembut berubah saat ini. Apriyanto yang ini tidak dikenali olehnya.

“Aku hanya khawatir denganmu, apa tidak boleh?”

“Tidak boleh!” bentak Apriyanto yang dengan wajah memerah kini menatap tajam ke arah Asmi, "hanya Rita yang boleh mengkhawatirkanku. Tugasmu hanya memberikan aku anak. Jaga sana anakku, kalau sampai dia jatuh. Tamat riwayatmu,” ujar Apriyanto seraya menunjuk tepat di kening Asmi.

Asmi sampai melangkah mundur karena reflek. Kedua tangannya terkepal erat di samping tubuhnya. Ia tak menyangka ekspektasinya berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Asmi pikir dengan memberikan anak kepada Apriyanto pada akhirnya pria itu akan kembali mencintainya tetapi kini faktanya semuanya hanya semu.

Apriyanto meraih ponselnya dan hendak mengirimkan pesan kepada Rita untuk berusaha membujuk istrinya tersebut. Apriyanto jelas tidak mau kehilangan Rita. Namun ada pesan masuk dari salah satu temannya memperlihatkan mobil Rita memasuki sebuah rumah sakit. Seketika rasanya jantung Apriyanto berpindah di perutnya.

Ia kembali teringat dengan perlakuan kasarnya terhadap Rita tadi. Istrinya pasti sedang kesakitan saat ini. Apriyanto tahu kandungan Rita lemah. Apakah tadi ia terlalu kuat menusuk hingga membuat Rita lemah?

Apriyanto mengacak-acak rambutnya sendiri menyalurkan rasa sesal dan bersalahnya. Ia khilaf, semua ia lakukan agar istrinya tidak pergi darinya namun usahanya tidak membuahkan hasil. Rita tetap pergi meninggalkan dirinya.

“Mau ke mana kamu?” tanya Rakmi yang menghadang di pintu garasi.

“Ibu tidak perlu tahu aku mau ke mana. Kali ini saja tolong, jangan ikut campur urusanku. Aku akan membawa Rita kembali.”

“Kau gila Apri. Ada Asmi di sini. Kamu tidak memikirkan bagaimana perasaannya?”

“Lalu bagaimana dengan Rita? Siapa yang memperdulikan dia?”

“Seharusnya itu kamu pikirkan sebelum menikah lagi dan sampai mempunyai anak.”

Apriyanto tertegun. Apa yang dikatakan oleh ibunya adalah benar. Di mana rasa bersalahnya saat terlena bujuk rayu Asmi di perantauan dan saat rindu dekapan wanita. Rita yang jauh dan tak terjangkau, lantas ia memilih untuk menghangatkan tubuh dengan wanita lain.

“Jangan salahkan Ibu. Semua adalah kesalahanmu. Lebih baik kamu di rumah, fokus dengan istri barumu dan anakmu. Biarkan saja Rita di luar sana. Dia nggak akan mati hanya menjadi jandamu. Ibu sudah tidak suka dan tidak pernah setuju kamu menikah dengannya sejak dulu bukan? Lihat sekarang hasilnya jika kamu tidak menurut sama orang tua. Mana istrimu yang patuh itu? Wanita pembangkang dan hanya berpikir soal karir tidak cocok menjadi menantu dalam keluarga Suhardiman."

“Rita bukan wanita seperti itu, Bu.”

“Kamu ….” Rakmi kehilangan kata-kata karena amarah yang memuncak. Tak habis pikir kepada anaknya yang masih saja membela istrinya yang kabur.

Apriyanto menghiraukan ibunya lantas memilih masuk ke mobil meluncur menuju rumah sakit yang dimaksudkan oleh pesan temannya tadi.

“Bu … Bapak, Bu!” tujuk Eli saat menoleh ke belakang dan melihat Apriyanto dengan langkah lebar memasuki lobby rumah sakit.

Rita mengapit siku Eli dan setengah menyeret bergegas menuju mobil mereka yang terparkir. Jantungnya bertalu bergemuruh menggedor dadanya. Ia tak sudi bertemu dengan Apriyanto, khususnya untuk saat ini.

“Pak Yuda, ayo cepat pergi. Jangan sampai dia menemukan aku.”

“Iya Bu.” Yuda segera melajukan kendaraannya tidak membuang waktu begitu kedua wanita itu masuk ke mobil.

Rita yang tadi berjalan cepat seraya menyeret Eli kini mendesah panjang, rasa nyeri di tubuhnya kembali terasa. Kepanikan saat melihat Apriyanto bisa menemukan dirinya di rumah sakit ini membuat rasa sakitnya seketika menghilang sesaat. Rita lantas menunduk melihat Eli yang mengulurkan sebotol air minum ke arahnya.

“Diminum dulu obatnya Bu.” Eli tidak tega melihat raut kesakitan yang tergambar jelas di selebar wajah Rita.

“Pak, mampir ke minimarket depan itu ya. Sepertinya bisa parkir agak sembunyi. Ibu harusnya makan dulu sebelum minum obat ini.”

Rita mengiyakan dan begitu mendengar Eli menyebutkan soal makanan perutnya kini baru merasakan keroncongan bahkan bunyi dendangan para cacing di perut sampai terdengar di telinga kedua pembantunya tersebut.

“Lebih baik kita cari rumah makan yang sedikit lebih jauh dari sini.”

“Saya tahu tempat yang cocok. Jangan khawatir, kali ini pak Apri tidak akan menemukan Ibu."

tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status