“Ada apa Apri!” bentak Rakmi yang bergegas menuju teras.
Tatapan melotot marah ia layangkan pada anak lelakinya itu. Lihat saja penampilan Apri yang hanya berbalut handuk sebatas pinggang tanpa sehelai baju melekat pada tubuhnya.Apriyanto memang baru saja selesai mandi tetapi melihat wajahnya yang kalut dengan rambut basah yang acak-acakan. Rakmi tahu jika Apriyanto masih berselisih paham dengan Rita.“Ada apa denganmu?” tanyanya kini dengan nada rendah, “ngapain sih di sini? Pakai baju saja. Nggak malu kalau sampai dilihat tetangga?”“Rita pergi Bu.”“Apa maksudnya pergi?”“Dia memintaku menalaknya. Dia jelas tidak mau dimadu.”“Ceraikan saja dia,” jawab Rakmi enteng.Apriyanto menatap ibunya dengan tidak percaya. “Maksud Ibu apa? Bukankah Ibu sudah setuju jika aku menikah lagi dan memberikan cucu. Aku masih boleh mempertahankan Rita?”“Itu ‘kan kalau dia mau. Nyatanya sekarang dia pergi ‘kan? Itu menandakan bahwa cintanya terhadapmu juga omong kosong. Lihat Ibu dong, bapakmu berapa kali main gila, tidak terhitung dan hampir semua wanita yang bersamanya Ibu kenal.Tetapi Ibu tetap bertahan. Nyali dan mental Rita tidak sekuat Ibu. Itu sudah lebih dari cukup menandakan jika dia tidak pantas menjadi menantu di rumah ini.”Novi salah satu menantu Rakmi mendengar semuanya dan menekan dadanya yang terasa sakit. Kini ia tahu ternyata ibu mertuanya memang tidak pernah menyukai iparnya tersebut.“Ma, ada apa?” tanya Fardan.“Bundamu pergi, Nak.”“Apa?!”“Sstt … kecilkan suaramu. Lihat saja bapakmu jadi kacau tuh ditinggal pergi.”“Jadi benar bapak nikah lagi?” Kali ini Fardan bertanya dengan berbisik.“Iya, istri dan anaknya ada di lantai atas,” terang Novi seraya mengedikkan dagu ke arah kamar yang dimaksud.Fardan menatap sekilas ke arah yang dimaksud oleh Novi dan kemudian menatap mamanya lagi. “Ini tidak bisa dibiarkan, Ma.”“Apa yang harus kita lakukan? Nenekmu menyukai istri baru bapakmu.”“Dan membiarkan Bunda tidak mendapatkan haknya di sini? Itu jelas salah.”“Mama menduga, bundamu akan menuntut cerai. Pak Yuda dan bu Eli uja tidak ada. Mereka sudah benar-benar pergi.”“Mama lihat keadaan bapak sekarang, kacau bukan begitu ditinggal bunda. Makanya kegatelan sih.”“Hush … jangan berkata begitu. Apa yang akan kita lakukan saat ini? Terus terang Mama juga tidak suka dengan istri baru bapakmu.”“Mama kenal?”“Iya, dia dulu mantan pacar bapakmu.”“Aku akan mencari Bunda.”“Hibur bundamu, Nak. Sudah cukup dia tersiksa dengan keadaan di sini. Apri memang bodoh melepas berlian demi sebongkah batu kali.” Novi berkata seraya tatapannya mengikuti Apriyanto yang bergegas kembali ke kamarnya diikuti oleh Asmi yang kebetulan berpandangan dengannya sekilas dan berpaling membuntuti suaminya.“Mas mau ke mana? Udah malam ini Mas?” tanya Asmi yang kebingungan dan ketakutan melihat sorot kemarahan pada Apriyanto.Pandangannya kemudian tertuju pada ranjang yang berantakan serta baju yang tercerai berai di lantai. Wajahnya memucat, ia tahu kegiatan apa yang baru selesai dilakukan oleh suaminya. Sebagai istri kedua ia harus tahu diri bukan? Namun melihat tumpukan baju sobek yang berserakan memberikan pemikiran baru untuknya. Ternyata suaminya bisa sangat garang di ranjang.Pandangannya tertuju pada pintu kamar mandi yang terbuka lebar, itu tandanya hanya ada mereka berdua di kamar saat ini, lalu di mana Rita?“Mas mau ke mana, Mas?” Tanyanya ulang.“Ah … cerewet kamu! Berisik saja urus bayimu saja.”Wajah Asmi memerah menahan tangis sakit hati mendengar bentakan Apriyanto. Apriyanto yang lembut berubah saat ini. Apriyanto yang ini tidak dikenali olehnya.“Aku hanya khawatir denganmu, apa tidak boleh?”“Tidak boleh!” bentak Apriyanto yang dengan wajah memerah kini menatap tajam ke arah Asmi, "hanya Rita yang boleh mengkhawatirkanku. Tugasmu hanya memberikan aku anak. Jaga sana anakku, kalau sampai dia jatuh. Tamat riwayatmu,” ujar Apriyanto seraya menunjuk tepat di kening Asmi.Asmi sampai melangkah mundur karena reflek. Kedua tangannya terkepal erat di samping tubuhnya. Ia tak menyangka ekspektasinya berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Asmi pikir dengan memberikan anak kepada Apriyanto pada akhirnya pria itu akan kembali mencintainya tetapi kini faktanya semuanya hanya semu.Apriyanto meraih ponselnya dan hendak mengirimkan pesan kepada Rita untuk berusaha membujuk istrinya tersebut. Apriyanto jelas tidak mau kehilangan Rita. Namun ada pesan masuk dari salah satu temannya memperlihatkan mobil Rita memasuki sebuah rumah sakit. Seketika rasanya jantung Apriyanto berpindah di perutnya.Ia kembali teringat dengan perlakuan kasarnya terhadap Rita tadi. Istrinya pasti sedang kesakitan saat ini. Apriyanto tahu kandungan Rita lemah. Apakah tadi ia terlalu kuat menusuk hingga membuat Rita lemah?Apriyanto mengacak-acak rambutnya sendiri menyalurkan rasa sesal dan bersalahnya. Ia khilaf, semua ia lakukan agar istrinya tidak pergi darinya namun usahanya tidak membuahkan hasil. Rita tetap pergi meninggalkan dirinya.“Mau ke mana kamu?” tanya Rakmi yang menghadang di pintu garasi.“Ibu tidak perlu tahu aku mau ke mana. Kali ini saja tolong, jangan ikut campur urusanku. Aku akan membawa Rita kembali.”“Kau gila Apri. Ada Asmi di sini. Kamu tidak memikirkan bagaimana perasaannya?”“Lalu bagaimana dengan Rita? Siapa yang memperdulikan dia?”“Seharusnya itu kamu pikirkan sebelum menikah lagi dan sampai mempunyai anak.”Apriyanto tertegun. Apa yang dikatakan oleh ibunya adalah benar. Di mana rasa bersalahnya saat terlena bujuk rayu Asmi di perantauan dan saat rindu dekapan wanita. Rita yang jauh dan tak terjangkau, lantas ia memilih untuk menghangatkan tubuh dengan wanita lain.“Jangan salahkan Ibu. Semua adalah kesalahanmu. Lebih baik kamu di rumah, fokus dengan istri barumu dan anakmu. Biarkan saja Rita di luar sana. Dia nggak akan mati hanya menjadi jandamu. Ibu sudah tidak suka dan tidak pernah setuju kamu menikah dengannya sejak dulu bukan? Lihat sekarang hasilnya jika kamu tidak menurut sama orang tua. Mana istrimu yang patuh itu? Wanita pembangkang dan hanya berpikir soal karir tidak cocok menjadi menantu dalam keluarga Suhardiman."“Rita bukan wanita seperti itu, Bu.”“Kamu ….” Rakmi kehilangan kata-kata karena amarah yang memuncak. Tak habis pikir kepada anaknya yang masih saja membela istrinya yang kabur.Apriyanto menghiraukan ibunya lantas memilih masuk ke mobil meluncur menuju rumah sakit yang dimaksudkan oleh pesan temannya tadi.♥“Bu … Bapak, Bu!” tujuk Eli saat menoleh ke belakang dan melihat Apriyanto dengan langkah lebar memasuki lobby rumah sakit.Rita mengapit siku Eli dan setengah menyeret bergegas menuju mobil mereka yang terparkir. Jantungnya bertalu bergemuruh menggedor dadanya. Ia tak sudi bertemu dengan Apriyanto, khususnya untuk saat ini.“Pak Yuda, ayo cepat pergi. Jangan sampai dia menemukan aku.”“Iya Bu.” Yuda segera melajukan kendaraannya tidak membuang waktu begitu kedua wanita itu masuk ke mobil.Rita yang tadi berjalan cepat seraya menyeret Eli kini mendesah panjang, rasa nyeri di tubuhnya kembali terasa. Kepanikan saat melihat Apriyanto bisa menemukan dirinya di rumah sakit ini membuat rasa sakitnya seketika menghilang sesaat. Rita lantas menunduk melihat Eli yang mengulurkan sebotol air minum ke arahnya.“Diminum dulu obatnya Bu.” Eli tidak tega melihat raut kesakitan yang tergambar jelas di selebar wajah Rita.“Pak, mampir ke minimarket depan itu ya. Sepertinya bisa parkir agak sembunyi. Ibu harusnya makan dulu sebelum minum obat ini.”Rita mengiyakan dan begitu mendengar Eli menyebutkan soal makanan perutnya kini baru merasakan keroncongan bahkan bunyi dendangan para cacing di perut sampai terdengar di telinga kedua pembantunya tersebut.“Lebih baik kita cari rumah makan yang sedikit lebih jauh dari sini.”“Saya tahu tempat yang cocok. Jangan khawatir, kali ini pak Apri tidak akan menemukan Ibu."tbcSetelah menempuh perjalanan kurang lebih lima jam. Akhirnya mereka sampai di sebuah Villa bercat putih dari gerbang sampai bangunan utama. Udara segar langsung menyambut paru-paru Rita yang penuh kesesakan. Rasanya sudah sangat lama ia tidak menghirup aroma kesegaran asli seperti ini. Tanpa polusi dan dinginnya angin dini hari tengah menyapa. Ia mengetatkan jaket yang terpakai dan selimut tebal yang Rita tak tahu dari mana datangnya. Eli sepertinya yang memakaikannya selama dirinya ketiduran dalam mobil tadi. Lampu dalam villa seketika menyala terang dan seorang pria gagah rupawan membukakan pintu dan berdiri di teras.“Kenalkan ini anak saya, Wahyu,” ujar Eli sementara Yuda sibuk membawa masuk barang bawaan mereka.“Saya Wahyu, pemilik vila.” Uluran tangan dari Wahyu disambut oleh Rita sesaat. “Sepertinya Bu Rita memang sudah sangat capek. Mari masuk, saya sudah siapkan wedang jahe sebelum kita semua melanjutkan tidur.”Rita masih
Rita terbangun saat sinar matahari mulai memasuki kamar dari jendela yang terbuka. Tirainya berkibar tertiup angin pagi dari luar. Rita merapikan tempat tidur lalu berjalan menuju jendela dan hendak menutupnya tetapi segera ia urungkan. Ia memicingkan matanya memperjelas apa yang ia lihat saat ini. Rita mengucek matanya, melotot menajamkan pandangan pada sosok yang sedang mengobrol akrab dengan Yuda.“Ngapain dia di sini?” gumam Rita.“Bu, sudah bangun?”Rita merapatkan tirai tebal hingga cahaya dari luar terhalang dan berbalik menghadap Eli yang melongokkan kepala dari ambang pintu.“Sudah. Masuklah.”“Kenapa di tutup tirainya, Bu?”“Silau.”“Sudah dirapikan juga rupanya. Ini kan bukan di rumah Bu Rakmi. Ibu bisa menyuruh saya membereskan tempat tidur.”“Tak lagi memiliki pasangan atau mertua bukan berarti aku harus bermalas-malasan. Jika memang aku bisa mengerjakan tidak masalah bukan? Toh, jika aku sedang tidak di rumah semua pekerjaan menjadi
"Kamu sudah menalak, Rita?" tanya Rakmi begitu bertemu dengan Apriyanto yang keluar dari kamar tidurnya bersama Rita."Tidak akan.""Kenapa tidak? Kamu harus segera menceraikan dia. Dia sudah memilih pergi, itu tandanya dia tidak benar-benar mencintaimu. Bisa jadi dia sudah bersama dengan pria lain. Orang ya, kalau susah punya anak. Main sama siapa aja, nggak akan ambil pusing. Siapa tahu sekarang dia emang udah mandul."Apriyanto mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya dengan rahang yang mengeras. Jika tidak mengingat yang melontarkan setiap patah kata itu adalah ibunya sendiri. Rasanya Apriyanto sudah akan mematahkan batang leher Rakmi."Aku tidak akan pernah menceraikan Rita. Dia akan segera kembali.""Ke rumah ini? Ke desa ini? Jangan harap! Ibu sudah mengatakan kepada semua orang di sini dan mereka menganggap Rita sebuah aib. Tidak ada dalam sejarah desa ini memiliki menantu yang mandul.""Omong kosong," ujar Apriyant
"Pa, yuk sarapan,"ajak Fardan dari ambang pintu.Hendarto yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk menoleh ke arah Fardan. "Di taman ya, Pa," lanjut Fardan."Ada apa sekarang? Ada tamu yang menginap?" Hendarto sangat hafal jika sampai anak dan istrinya mengajak makan di taman pasti ada seseorang yang sedang mereka hindari di meja makan.Fardan menyunggingkan senyum miring. Ia paham, papanya baru dini hari kembali dari perjalanan ke Kalimantan jadi pasti belum tahu apa yang terjadi di rumah ini. Mungkin Fardan akan menunjukkan sesuatu dulu sebelum mereka sarapan supaya tidak ada 'tema' yang merusak suasana mereka makan nanti."Papa pasti kaget deh. Mungkin ya, karena kalau mama aja kenal sudah pasti Papa juga kenal atau tahu mungkin.""Maksudnya apa sih, Kak? Keluarga jauh?""Setahun Fardan yang udah dua puluh tahun tinggal di rumah ini sih. Tahunya dia bukan anggota keluarga inti, sampai kemarin lusa tepatnya.
Rita menatap kalender di ponselnya, tak terasa sudah lima hari ia berada di sini. Rita ingat betul waktu dirinya pergi dari rumah mertuanya adalah hari sabtu dan sekarang adalah hari Rabu, serta selama itu pula dirinya bisa menghindar dari mama dan juga suaminya yang akan segera menjadi mantan setelah ia mengajukan gugatan tapi masih gigih menghubunginya. Rita juga setelah acara sarapan bersama dengan Arka tak lagi melihat keberadaan atasannya itu.‘Baguslah tahu diri.’Baru saja ia berpikir demikian, sosok yang sudah tidak ia temui itu kini bersandar pada ambang pintu penghubung antara teras samping dan ruang tengah.“Sampai kapan kamu akan berdiam diri?”“Maksudmu?” jawab Rita seraya menoleh memperhatikan pria itu yang beranjak dari ambang pintu dan kini duduk di kursi yang terbuat dari anyaman rotan bercat putih.“Kamu tidak ingin mengajukan gugatan cerai?”“Aku akan lakukan itu, tetapi bukan karena kamu suruh dan aku rasa itu bukan urusanmu. Sebaiknya kamu tahu batas, kita bukan t
Apriyanto meremas rambut hitamnya yang sudah terlihat lebih panjang. Beberapa bulan tidak bertemu muka dengan Rita membuat dirinya tak begitu memperhatikan penampilannya. Seketika ia teringat jika istrinya itu tidak senang dengan rambut pria yang gondrong apalagi jika rambut kurusnya menjuntai mengenai alis.dan kerah kemeja. Namun kali ini ia bisa meremasnya karena jengkel. Yuda dengan lancang telah datang dan mengambil semua benda yang dibeli oleh Rita tanpa terkecuali. Ia menatap ponselnya yang hancur. Apriyanto membantingnya bertepatan dengan Yuda yang pergi membawa semua barang dan dirinya yang tidak bisa menghubungi Rita. Sudah lima hari dan wanita itu tidak bisa dihubungi.“Kamu harus minta kembali semuanya,” ujar Rakmi dingin dengan mata merah. Ia kembali mengedarkan pandangan di sisi rumahnya yang awalnya ditempati oleh Apriyanto dan Rita. Rumahnya sangat luas jadi Yusuf Suhardiman membagi menjadi lima bagian dengan sebagai pusat adalah bangunan tempat Rakmi tinggal seka
Daya sedang merapikan tas jinjingnya saat Andre, putra sulungnya menghampiri. "Sudah ada kabar dari Rita, Ma?""Belum. Biarkan saja dulu, yang penting kita sudah tahu jika dia keluar dari rumah itu.""Sudah satu minggu, Ma.""Nggak usah khawatir. Mama sudah siapkan dia tempat tinggal.""Rita mau?"Daya terkekeh. "Tidak. Kau seperti tidak tahu adikmu saja.""Lalu di mana dia tinggal?""Dekat tempat kerjanya.""Aku sudah menyuruhnya untuk keluar dan membantu saja di restoran tetapi dia nggak mau.""Dasar keras kepala. Tapi, dia mau 'kan cerai dengan Apri?""Jelas dong. Gila apa anak Mama nggak mau cerai sama cecunguk seperti itu. Persis dengan ….""Hayo … cecunguk yang Mama maksud ada tuh di luar," tunjuk Andre dengan menelengkan kepalanya."Ngapain dia ke sini?"Andre mengedikkan bahunya. "Mau pamer kali. Anaknya sudah merebut menantu Mama.""Ih, ngaco. Tukang pungut sampah ya begitu.""Lah, Mama dulu nikahin dia."
"Kapan kamu akan segera mengurus penyelesaian perceraian dengan Apri?" tanya Daya melalui panggilan telepon.Rita mendesah panjang sebagai reaksi pertanyaan mamanya itu hingga terdengar dari seberang sambungan telepon tersebut. Saat ini Rita baru saja selesai mandi di kediaman barunya di kota dan dirinya masih menolak untuk bertemu dengan mama dan siapapun kecuali Eli dan Yuda yang tinggal bersamanya.“RITA …. Jangan mengulur waktu, selesaikan urusan dirimu dengan Apri,” ujar Daya gemas.“Segera Ma. Ada hal yang harus Rita urus dahulu.”“Urusan apa lagi yang lebih penting dari perceraian?!” sergah Daya terdengar sangat tidak sabar. “Jangan bilang kamu sekarang ragu menceraikan suamimu itu dan rela di poligami?” Sambungnya lagi.‘Tidak Ma. Mereka saja sudah menginjak-injak harga diri Rita, hingga menyebarkan gossip.”“Nah, itu dah paham. Jangan membuang waktu segera selesaikan hal itu.” Ada jeda dan kemudian Daya menambahkan, “maafkan Mama tidak bisa mencegah Asmi masuk kembali dalam h