Share

Chapter 6 Pilu

Matahari sudah condong ke ufuk barat saat Rita menginjakkan kaki di halaman rumah mertuanya. Dahinya mengkerut semakin dalam saat ia melihat dengan gagah mobil suaminya sudah bertengger di dalam rumah. Lebih mengherankan lagi adalah suara gelak tawa yang terdengar dari ibu mertuanya. Tidak ada bayi di rumah ini, lalu anak siapa yang sedang ditimang ibu mertuanya saat ini?

"Sebentar lagi Bundamu pulang. Dia pasti senang menyambutmu," ujar Rakmi kepada bayi dalam pelukannya.

"Bu, anak siapa itu?" tanya Rita dengan nada yang ia usahakan tampak baik-baik saja. Menutupi desiran tidak menyenangkan yang seketika membebani hatinya.

Rakmi membalikkan badan dan tersenyum dengan ceria ke arah Rita. Kali ini benar dugaannya ada sesuatu yang tidak beres. Pasalnya selama dirinya menjadi menantu di keluarga ini, tidak pernah sekalipun ibu mertuanya tersebut tersenyum lebar seperti ini kepadanya. Bahkan dulu saat ia hamil, ibu mertuanya tidak tampak antusias dan saat ia keguguran pun tidak ada kalimat penghiburan sekalipun ia dapatkan.

Kembali Rita bertanya saat tidak mendapatkan jawaban dari mertuanya yang kini menyeringai tampak mengejek. "Anak siapa, Bu?"

"Ck, kamu ini nggak sabaran sekali. Ini nih yang buat Ibu nggak begitu sreg punya menantu kamu. Sudah susah dibilangin, nggak pernah betah di rumah. Nggak pernah puas dengan gaji suami."

Rita mengerutkan dahinya. Rupanya ibu mertuanya mulai melantur. Jelas ia tidak mau keluarga kecilnya diatur. Mertuanya itu terlalu intervensi dalam kehidupan rumah tangganya. Dulu Rita membiarkan karena ia masih beranggapan terlalu muda. Ya, memang karena ia menikah muda dan memaklumi keterlibatan ibu mertuanya dalam rumah tangganya. Namun seiring berjalannya waktu itu mertuanya itu semakin menjadi dan selalu membandingkan dirinya dan menantunya yang lain.

"Ibu tahu pasti kalau itu semuanya tidak benar. Bagaimana mungkin Rita tidak mengikuti kemauan Ibu?"

"Oh, kamu sudah amnesia rupanya. Dengan memilih untuk menjadi wanita karir itu apa namanya selain kamu ingin menunjukkan kesombonganmu. Nggak terima ya suami punya gaji yang lebih tinggi? Itu juga alasanmu untuk tidak betah di rumah.

Ibu tahu, alasanmu untuk dinas ke kota semua karena kamu ingin jalan-jalan bukan bekerja sepenuhnya."

"Dari mana pemikiran itu semua berasal?" tanya Rita yang kini memijat pangkal hidungnya. Rasa capeknya berkali-kali lipat dan semakin menggunung setelah pembicaraan dengan ibu mertuanya ini. Selalu saja seperti ini, mertuanya selalu punya alasan untuk menyudutkan Rita.

"Semua sudah jelas, ibu juga punya bukti!" balas Rakmi ketus.

"Bukti apa, Bu?"

Belum juga Rakmi membalas pertanyaan yang diajukan oleh Rita. Suara yang tak asing baginya menyapa lembut.

"Eh, Mbak udah pulang? Pasti capek, istirahat dulu Mbak." Asmi dengan tersenyum lembut berdiri berhadapan dengan Rita kini.

"Asmi kenapa ada di sini?" tanya Rita yang keheranan karena saudara tirinya berada di rumah mertuanya.

Rita mengamati Asmi dari ujung kaki sampai puncak kepalanya, dan seketika wajahnya memucat. Perasaannya mendadak tidak enak. Penampilan fisik Asmi berubah, bagian dadanya tampak lebih penuh dari biasanya seperti orang yang sedang menyusui. Rita lantas berpaling memperhatikan bayi mungil yang masih ditimang mertuanya yang kini tersenyum sinis kepadanya.

"Kenapa wajahmu memucat begitu? Kamu pasti sudah bisa menebak, apa yang terjadi," ujar Rakmi dengan ceria tanpa beban.

"Memangnya apa yang ada dalam pikiran Rita?"

Rakmi lantas memberikan bayi mungil itu kepada Asmi dan meminta saudara tirinya itu untuk meninggalkan mereka berdua.

"Kamu ingat, waktu Ibu bilang sedang menyiapkan kejutan untukmu? Sedikit meleset dari waktu yang ditentukan. Tapi, akhirnya tetap menjadi kejutan untukmu. Ha ha ha. Betapa menyenangkan bukan?"

Rita dengan dadanya yang semakin bergemuruh karena perasaan tidak enak kini semakin memucat. Seolah ada seember air dingin disiramkan ke atas kepalanya. Rita memicingkan satu alisnya, ia merasa mertuanya seperti orang gila. Apa yang menyenangkan?

Tidak ada suatu hal baik yang terjadi, setidaknya dengan apa yang terlihat di depan matanya saat ini. Setahunya saudara tirinya itu seorang janda dan belum menikah lagi, jadi tidak mungkin jika bayi tadi juga adalah anak adiknya. Lalu apa yang sebenarnya terjadi?

"Maksud Ibu, kejutan apa?"

"Biar Mas yang jelaskan, Bu. Ayo Rita."

Rita menghela napas panjang. Kini perasaannya semakin tak karuan, suami yang tidak memberikan kabar sama sekali kini berdiri di hadapannya dengan raut wajah di dingin dan keras. Rita sedikit menunduk hanya untuk mengamati telapak tangan lebar Apri yang terulur kepadanya.

"Kamu tidak perlu beranjak pergi membawanya. Kamu bisa mengatakan semuanya di hadapan Ibu." Rukmi lantas duduk di kursi goyang favoritnya.

"Ayo, cepat katakan pada Rita. Ibu ingin melihat bagaimana reaksinya," tambahnya riang.

Apri mendekat dan menggenggam kedua tangan Rita, meremasnya lembut. "Sayang, Mas tahu kamu sudah berusaha sangat keras untuk memberikan kita keturunan."

"Sudahlah jangan bertele-tele Apri. Langsung saja pada inti permasalahan," potong Rukmi seraya mengibaskan tangan kanannya di udara tanda bahwa ia sudah begitu tak sabar.

Apri mendengkus sebentar sebelum kembali menatap lekat wajah Rita yang kebingungan mencerna. Walau dalam hati ia berdoa supaya pikiran buruk yang terlintas di pikirannya bukanlah apa yang sebenarnya terjadi.

"Kamu sudah bertemu dengan Asmi bukan?" tanya Apri dengan nada lembut.

"Iya," jawab Rita lirih.

"Aku sudah menikah dengannya dan bayi itu adalah anakku."

Bagaikan ada batu besar kini menimpa kedua bahu Rita. Tubuhnya seketika limbung dan ia pun terhuyung jatuh ke dalam dekapan Apri. Namun dengan cepat pula ia mendorong dada Apri sekuat tenaga. Apri yang tidak siap dengan aksi penolakan Rita seketika terhuyung mundur dan Rita jatuh terduduk di lantai tersandung kakinya yang lemas tak kuat berpijak.

Sesak, pilu menghimpit dadanya. Suaminya menikah lagi tanpa persetujuan darinya ditambah lagi kenyataan jika yang dipersunting adalah saudara tirinya dan mereka memiliki seorang anak kini. Hancur sudah martabat Rita sebagai seorang istri. Benar sudah keberadaannya di sini tidak pernah dianggap.

Rita mengerutkan dahinya, aneh ia rasakan. Tidak ada air mata yang berlinang hanya rasa sakit yang kini mulai merambat naik ke tenggorokan dan perut yang tadinya keroncongan sekarang terasa melilit perih. Pandangannya pun berkunang-kunang hingga membuatnya harus memejamkan mata.

Apri berjongkok di depannya seraya mengusap bahunya dengan lembut. "Maafkan Mas, Sayang." Ada nada sesal sekilas terdengar di gendang telinga Rita.

Namun hanya sesaat sebelum ibu mertuanya kembali menyela, "Jangan terlalu lebay. Ibu dulu juga sering diselingkuhi bapakmu, biasa aja. Nyatanya sebelum mati, bapakmu juga kembali ke pelukan Ibu."

Rita kini tidak hanya memejamkan mata tetapi juga menggigit bibir bawahnya kuat-kuat hanya sedikit rasa asin ia rasakan.

"Jangan lukai dirimu, Sayang," kata Apri lembut dan dengan jari-jemari yang mengapit dagu Rita serta jempol yang mengusap bibir berusaha agar Rita melepaskan gigitannya.

"Apa bedanya? Aku tidak boleh melukai diriku sementara kamu bebas meremukkan hatiku, begitu?"

tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status