Share

Chapter 3 Keinginan

Arka mematikan layar laptopnya saat bersamaan pintu kantornya terbuka muncullah sang ayah, Bisma.

“Tumben Ayah mampir, bukannya Ayah akan mempercayakan urusan kantor sepenuhnya kepada Arka?”

“Tentu saja. Ayah hanya penasaran kepada kamu membatalkan kepindahan ke kantor cabang?” tanya Bisma seraya mendudukkan diri di seberang meja sang anak.

“Kekasihku akan pindah ke sini, Yah.”

Bisma menyipitkan matanya. “Jangan main-main Arka. Ingatlah dia sudah menjadi istri orang.”

Arka menggeleng cepat dan yakin disertai seringai lebar di wajahnya. “Tidak akan lama lagi, dia akan menjadi janda.”

“Bagaimana kamu bisa seyakin itu?”

“Ayah masih ingat bukan saat aku bersumpah akan merebutnya dari Apri jika pria itu melukainya?”

“Iya. Kamu mengatakan dengan sangat yakin saat itu. Tapi itu kan saat kalian bahkan baru lulus kuliah. Ingat Arka, Apri itu sahabatmu.”

“Justru karena dia sahabatku dan merebut wanita yang aku sukai maka dari itu aku tidak akan tinggal diam. Dia melukai, Ritaku.”

“Apa yang akan kamu lakukan?”

“Tidak ada. Waktu yang akan melakukan semuanya. Aku yakin Rita tidak akan sebodoh itu bertahan di sini Apri setelah mengetahui kenyataan yang ada.”

“Apa kamu menjebak Apri?” tanya Bisma dengan nada resah. Ia sangat tahu jika putranya ini bisa melakukan segala cara paling licik sekalipun untuk mewujudkan keinginannya.

“Tidak perlu, Yah. Sikap tidak setia Apri sendiri yang akan membuat Rita berpaling kepadaku.”

“Astaga, kamu sudah memperhitungkan semuanya?”

“Aku harus mengambil peluang bukan? Tanpaku, Rita juga tidak mungkin akan bekerja di kantor cabang.”

Bisma hanya mengangguk menanggapi ucapan sang anak. Bagaimanapun dirinya juga tahu jika sang anak sudah mencintai Rita sejak masih belia. “Ayah hanya bisa menasehatimu untuk berhati-hati. Ayah juga tahu Apri orang yang seperti apa. Dia pasti tidak akan mudah melepaskan Rita begitu saja, bagaimanapun tabiatnya diluaran sana.”

“Ayah tidak perlu khawatir tentang itu.”

Bisma bangun dan berjalan ke pintu, namun sebelum ia membuka pintu ruangan itu ia kembali bertanya kepada Arka, “Bagaimana jika Rita tahu yang sebenarnya jika selama ini kamulah atasannya?”

“Kaget mungkin. Tapi Arka yakin dia pasti bisa menerima semuanya.”

“Jangan lupa kamu juga berhutang maaf kepadanya.”

“Tentu Ayah. Aku masih sangat mengingatnya. Sebentar lagi dia datang dengan om Anton.”

“Ada rapat?”

“Tidak ada. Aku hanya mencari alasan supaya dia bisa ke sini saat suaminya membawa madunya ke rumah.”

“Apa maksudmu?”

“Apri membawa madunya ke rumah ibunya dan akan memperkenalkan kepada Rita.”

“Apakah dia tahu jika suaminya membawa madunya?”

“Tidak Ayah. Itu sebabnya aku bilang Rita tidak akan lagi mau bertahan di samping Apri aku sangat yakin.”

“Ayah tidak menyangka jika Apri akan setega itu,” ujar Bisma dengan tatapan tidak percaya ke arah Arka, “Yusuf sahabatku yang setia bisa bangkit dari kuburnya jika tahu apa yang diperbuat anaknya.”

Arka menghela napas panjang. “Perlu Ayah ketahui. Tidak semua buah akan jatuh tak jauh dari pohonnya.”

“Aku penasaran dengan Rakmi?”

Arka mendengkus jijik. “Wanita tua itu tentu saja akan membela anak kesayangannya.”

“Kenapa begitu?” tanya Bisma dengan penasaran dan kembali menghempaskan tubuhnya yang masih gagah itu di kursi semula.

“Dari dulu dia tidak menyukai Rita karena rasa tidak sukanya terhadap tante Daya. Wanita itu sungguh tidak bisa memilah urusan pribadi dan juga urusan anak-anaknya. Ditambah lagi Rita tak juga memberikan dia cucu. Lengkap sudah.”

“Wanita itu ternyata masih sama jahat dan Ayah yakin, judesnya pasti sama.”

“Yang terpenting Ayah dan Bunda bisa menerima Rita sebagai pendampingku nantinya.”

“Seperti yakin saja jika dia mau menerimamu,” cibir Erni, ibu Arka dari ambang pintu, “wanita pujaanmu sudah datang tapi masih di lobi.”

“Bunda, sudah bertemu dengannya?”

“Bunda melihatnya tetapi dia tidak melihat Bunda.”

“Ayo cepat kita berangkat sama-sama.”

“Ke mana?” tanya Bisma dengan kebingungan.

“Makan malam dengan calon menantumu,” jawab Erni.

“Erni, jangan keterlaluan. Anak itu masih menjadi istri seseorang.”

“Iya, iya. Seorang yang bahkan tidak bisa menjaga perasaan wanitanya. Tidak perlu diperpanjang lagi. Aku berdoa anak itu segera bercerai dan bisa bersatu dengan anak kita. Terdengar jahat aku ya? Pede pula. Biarlah.” Erni bertanya dan menjawab sendiri kata-katanya yang mendapat balasan satu alis terangkat dari suaminya. Erni mengedikkan bahu dan keluar lebih dahulu disusul suami dan anaknya.

“Lama sekali kalian. Aku sudah ingin pulang bertemu keluargaku,” sungut Anton kepada mereka bertiga begitu bertemu di depan lift.

“Kami sudah di sini jangan cemberut begitu,” tukas Erni dengan menepuk bahu adiknya itu.

“Aku pun sudah lapar. Kamu ikut dengan kami atau tidak?” tanya Bisma.

Anton menggeleng. “Tidak. Istriku sudah memasak di rumah. Aku pulang kalau begitu.”

Sementara itu di lobi kantor. Beberapa kali Rita sudah melirik jam pada ponselnya karena wanita cantik itu tak pernah sekalipun menggunakan jam tangan ataupun perhiasan apapun. Bukannya tidak suka, hanya saja suaminya tidak suka jika ia berhias diri. Dadanya bergemuruh keras sejak Anton meninggalkan dirinya di lobi. Kata atasannya itu ingin menemui bos mereka dulu.

Rita tersenyum begitu melihat Anton berjalan ke arahnya. “Bagaimana Pak? Apa yang harus saya lakukan?” Rita sudah setengah mati penasaran. Biasanya mereka akan mengantarnya ke penginapan yang sudah disediakan kantor bukannya ke kantor pusat diluar jam kerja seperti ini.

“Makan malam,” jawab Anton singkat sebelum kembali menambahkan, “tapi saya nggak bisa ikut. Kamu pergi dengan pimpinan.”

Rita terbelalak. “Apa yang harus saya lakukan?!” tanyanya panik. Ia sangat yakin dandanannya kali ini juga sudah tidak rapi ditambah perjalanan jauh dari kantor cabang ke kota.

Anton dengan serius menatapnya. “Kamu masih segar saat saya melihatmu tadi pagi, jadi tidak perlu panik seperti itu. Mungkin kamu bisa ke toilet dulu untuk memoles lipstick atau lipglos apapun itu namanya.”

Rita menghela napas panjang penuh kelegaan saat Anton dengan gambang mengutarakan itu semua. “Bapak, tunggu ya. Saya ke toilet dulu sebentar.”

Anton tidak menyahut, ia pun pergi saat Rita sudah menghilang dibalik koridor yang menuju toilet.

“Mana dia, Om?” tanya Arka dengan celingukan mencari keberadaan Rita.

“Di toilet,” jawab Anton singkat seraya menghentikan langkahnya. Ia sudah sangat rindu kepada istri dan kedua anaknya. Mereka sudah lebih dulu berada di kota sejak dua hari yang lalu selama itu dirinya tidak bertemu dan rindu itu harus segera terobati.

“Om, buru-buru banget sih?”

“Kamu ini tidak tahu saja orang sudah kangen rumah begini,” jawab Anton ketus dengan cemberut.

“Maklum, Ton. Lakik kelamaan jomlo ya begini mana tahu arti rindu,” sindir Bisma yang kemudian menyikut Arka.

“Ck … Arka hanya menjadi orang yang setia, bukan seperti suami wanita yang aku cinta,” balasnya membela diri.

“Iya, iya.”

“Kak Arka?” tanya Rita yang sudah berdiri di belakang Arka.

Seketika Arka seperti membeku di tempat sembari menduga-duga apakah kekasih hatinya itu mendengar kata-kata terakhirnya. Arka memejamkan mata seraya menghela napas cepat sebelum berbalik berhadapan dengan Rita.

“Iya Rita, saya atasanmu.”

Rita sendiri hanya bisa tertegun di tempatnya berdiri seraya menatap pria tampan yang dahulu kala telah menorehkan luka di hatinya itu dengan mulut setengah terbuka.

Tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status