Share

Sama-sama menuntut

Suara yang tak asing di telinga Laila, sedikit melegakan hati berkecamuk kala itu. Kedatangan Aban tepat waktu membuat Desy memberi perintah kepada dua petugas kepolisian untuk melepaskan tangan mereka dari tubuh Laila.

"Anda siapa?" tanya Desy.

Cepat Aban mengulurkan tangannya di hadapan Desy, sambil melirik ke arah Laila yang tampak menangis pilu. "Perkenalkan saya Aban Sartika, suami dari Laila Pratiwi!"

Mendengar kalimat tegas seperti itu dari Aban, Desy selaku petugas yang telah diberi mandat untuk menangani kasus Laila hingga selesai mengangguk mengerti. Ia kembali membuka pintu ruangan untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan. "Baik, kita bicara di ruangan saya!"

Aban menoleh ke arah Laila yang masih tampak ketakutan akan tuntutan sang mantan suami yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.

"Kamu bilang sudah selesai dengan mantan suamimu, kenapa dia menuntut?" tanya Aban sedikit berbisik, berjalan beriringan menuju ruangan Desy yang sudah terbuka.

Laila menghela nafas berat, ia menjawab pelan dengan nada datar, "Ya, kita sama-sama belum selesai! Tapi saat ini aku terancam di pecat karena tuntutan mantan, paham!"

Kening Aban kembali mengernyit, ia tak mengerti apa yang dimaksud Laila. Kali ini, kedatangannya ke kantor polisi karena sang istri menghubungi keponakannya.

Kini dua insan suami istri tersebut duduk bersebelahan. Wajah keduanya tampak kaku ketika mendengar penjelasan Desy yang semakin memberatkan Laila sebagai seorang istri.

"Pidana?" tanya Aban kembali menoleh ke arah Laila juga Desy.

"Iya, Pak!" jawab Desy, kemudian melanjutkan ucapannya, "Ini termasuk tindakan pidana, karena Laila Pratiwi masih dinyatakan istri sah dari Pak Very!"

Pria mana yang bisa menerima penjelasan tentang status istri orang dari pihak ketiga. Aban menggeleng tak percaya, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Laila. "Apa benar kamu masih menjadi istri sah dari Very?" tanyanya penuh penekanan, dan dapat didengar oleh Desy.

Laila semakin terpojok. Ia menjawab dengan tegas, "Secara agama, kami sudah berpisah sejak dua tahun lalu, tapi belum mengajukan permohonan ke pengadilan agama hingga saat ini demi menjaga psikologis anak-anak!"

Mendengar pernyataan seperti itu dari Laila, Desy selaku petugas yang menangani kasus tersebut kembali berkata, "Bagaimana pun, pernikahan siri antara Anda dan Pak Aban telah terjadi. Saya sudah menerima bukti surat nikah siri kalian, jadi tuntutan Pak Very tetap berlanjut!"

Aban menggeleng tidak terima. "Bisa nggak, kami berdua masuk penjara?" tanyanya spontan.

Sementara Laila tampak kebingungan mendengar lelucon yang keluar dari mulut sang suami. "Kamu sedang bercanda?" sesalnya dengan wajah memerah.

Tanpa pikir panjang Aban kembali menjawab, "Siapa yang bercanda, Laila Darling, aku serius!"

Desy yang sejak awal sangat serius menghadapi Laila, tersenyum tipis menatap dua insan suami istri yang ternyata jauh dari kata serius. "Maaf Pak Aban, ini tuntutan dari suami Ibu Laila! Apakah Anda sedang mempermainkan hukum di negara kita?" tegasnya sambil menautkan kedua tangannya di atas meja.

Dengan penuh keyakinan Aban menjawab pertanyaan Desy, "Yang menikahi Laila saya! Yang melaporkan itu mantan suami Laila. Di sini, Laila sudah sah secara agama bercerai dari Very dan sah menjadi istri saya secara agama," tuturnya penuh penekanan.

Aban menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, kemudian mengusap lembut punggung Laila yang terasa sangat ramping. "Jadi, karena kami sudah menikah secara agama, tidak ada salahnya kami berdua yang masuk sel tahanan."

Kening Desy mengkerut, wajahnya tampak tidak senang. Ia menyunggingkan senyuman sinis seraya menjawab, "Saya tidak akan memenjarakan orang yang tidak bersalah, Pak!"

"Bukannya Anda tahu kalau suami istri harus saling melindungi, Bu Desy?" tanya Aban dengan wajah serius.

Desy mengangguk membenarkan.

"Baik, Bu Desy. Kalau begitu, silahkan masukkan kami di sel tahanan yang sama!" tegas Aban lagi dengan wajah polos tanpa senyuman.

Mendengar ucapan sang suami yang menganggap bahwa semua lelucon itu sangat tidak lucu, Laila justru mencubit kecil perut rata Aban agar berhenti bercanda. "Please, kita ini lagi di kantor, bukan kedai kopi, Baby!"

Kedua alis Aban yang tebal kembali menaut, kembali ia berkata, "Saya minta Laila untuk menjadi tahanan kota, hingga persidangan. Semua administrasi akan saya selesaikan malam ini!"

Sejujurnya, hanya kalimat itu Desy inginkan. Laporan dari Very yang ia kenali sebagai adik kandung dari Rita membuat otaknya bekerja cukup baik untuk merebut kebahagiaan Laila.

Desy kembali menegaskan, "Baik, kalau begitu saya menunggu kuasa hukum Pak Aban hadir di ruangan ini!"

Aban yang baru beberapa bulan keluar dari penjara karena kasus penggelapan, mengangguk mengerti. "Tidak usah pakai kuasa hukum, Bu! Saya sebagai suami dari Laila, akan bertanggung jawab penuh atas dia!"

Ini kali pertama dalam hidup Laila ada seorang pria yang mau melakukan apa pun untuk melindungi dirinya dari jeratan hukum yang menimpa saat ini.

Bagaikan ombak besar yang siap menggulung Laila hingga terhempas ke dasar lautan, hanya untuk membalas sakit hati dan dendam Very selama ini.

Apa yang dilakukan Very selama pernikahannya dengan Laila sudah lebih dari cukup. Laila selalu berpikir, bahwa dirinya berhak bahagia bersama Aban walau menikah tanpa cinta.

"Kalau boleh tahu, apakah pernikahan kalian ini di ketahui oleh keluarga?" tanya Desy kembali mempersiapkan semua berkas untuk ditanda tangani.

"Ogh, tentu! Laila, saya lamar ke papanya setelah tiga minggu dia berada di rumah. Apa ada masalah?" Aban menaikkan satu alisnya, sambil mengembangkan bibir lebar yang menghitam karena perokok berat.

Tampak senyuman Desy kembali seperti meremehkan siapa Aban. Melihat penampilan pria yang hanya mengenakan celana pendek, dibalut baju kaos tanpa merk terkenal. Membuat ia berpikir bahwa Aban hanyalah pria biasa saja.

"Berarti Anda yang suka deluan dengan Laila, Pak Aban?" Desy mencoba mencari informasi lanjutan tentang pernikahan kilat tersebut.

Dengan penuh percaya diri Aban tertawa kecil, "Ya iya lah," jawabnya terdengar angkuh. "Mana mungkin saya akan melepaskan janda cantik seperti Laila dengan pria lain. Sebelum orang lain maju, saya harus maju lebih dulu!"

Ucapan Aban membuat Laila terdiam seribu bahasa. Ia tidak berkutik sama sekali, karena penjelasan sang suami benar adanya. 'Sial nih anak, pede banget dia bicara!' umpatnya dalam hati.

Sejujurnya, Laila menerima Aban sebagai seorang suami karena mengikuti semua keinginan keluarga agar mendapatkan suami orang kampung halaman sang ibunda yang telah tiada beberapa bulan lalu.

Setelah melakukan beberapa negosiasi dengan pihak kepolisian, Aban berhasil membawa sang istri kembali ke kediaman keluarga Laila yang telah menunggu anak menantu sejak tadi siang dengan wajah penuh kecemasan.

"Datuk Kayo? Datuk Sirajo?" Kedua bola mata Aban membulat besar, ketika melihat kedua orang Niniak mamak yang sudah mendengar pernikahan siri mereka berdua.

Laila yang melihat kedua orang terpandang di tanah kelahiran sang ibunda telah duduk di ruang tamu bersama Nasir--sang papa, hanya menunduk malu.

"Kenapa kalian menikah siri, tanpa memberi tahu kami selaku Niniak mamak?" tanya Kayo menatap Aban penuh amarah.

Mendengar pertanyaan dari sang datuk, Aban menunduk sambil menelan ludahnya. "Bisa tenang dulu, Kayo? Kami baru sampai rumah, karena Laila ..."

"Tidak bisa tenang lagi, Ban! Saat ini, mantan istrimu akan menuntut ke kepolisian, ngerti! Kamu baru keluar dari penjara, apa mungkin harus masuk tahanan lagi?" tegas Kayo memilih berdiri menghampiri pasangan suami istri tersebut.

Bagaikan disambar petir di siang bolong, Laila dan Aban kembali ternganga lebar saling bertatapan.

"Ternyata pasangan kita sama-sama menuntut saat ini! Ogh Tuhan, apa yang harus kita lakukan, Aban?" usap Laila pada wajahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status