Share

Judi

Pertanyaan yang membutuhkan jawaban langsung dari Aban untuk Laila, membuat wanita berambut panjang itu kembali berpikir keras. Ia tidak ingin pernikahan ketiganya gagal seperti pernikahan sebelumnya.

Laila yang sudah dua kali gagal mengarungi bahtera rumah tangga selama hidup, hanya bisa pasrah menerima keputusan Aban yang mendadak tanpa berpikir panjang untuk membawanya hidup bersama yang tak tahu arah tujuan.

Emang punya uang berapa dia untuk hidup bersama di luar sana! Hanya pertanyaan itu yang ada dalam benak Laila, sehingga membuatnya tidak ada pilihan lain.

"Ya, aku ikut sama kamu, karena kamu suamiku!" tutur Laila kembali melunak menjawab pertanyaan Aban.

"Bagus! Kemasi semua barang-barang kita, dan kita pergi meninggalkan kampung ini!" tegas Aban mengakhiri panggilan teleponnya.

Rambut panjang Laila tampak kusam dan acak-acakan. Keputusan malam itu membuat emosinya menjadi tidak stabil. Ia masih menjadi tahanan kota, tidak bisa meninggalkan kota kecil tersebut, tapi harus pergi meninggalkan rumah orang tuanya demi nama baik kedua keluarga belah pihak.

Katakan peraturan kampung itu terlalu memberatkan bagi dua insan yang sah secara agama. Namun, aturan adat harus dijalani dan ini menjadi pengalaman pertama bagi Laila juga Aban yang ingin bahagia walau dengan cara tak mudah. Namun menjadi pesakitan di kampung sendiri.

Tepat pukul sebelas malam, Laila berpamitan kepada Nasir untuk pergi dalam kurun waktu beberapa hari.

"Pa, Laila pergi dulu." Peluknya erat pada tubuh Nasir dengan erat.

Dengan lembut Nasir mengusap punggung ramping putrinya. "Ya, kamu baik-baik sama Aban. Jangan sampai pernikahan kamu yang ketiga ini gagal lagi Laila!"

Anggukan kecil Laila menyiratkan beribu penyesalan atas sikap serta keputusan kilatnya ketika menerima pinangan Aban.

Katakan lah Laila egois, tidak memikirkan dampak baik juga buruk ketika mengambil keputusan menikah dengan Aban yang tak diketahui apa niat pria itu sebenarnya.

Keduanya kini berada di dalam kamar hotel mewah yang tentu saja seluruh biaya dibebankan Aban kepada Laila.

Perasaan Laila semakin tak karuan, otaknya berkecamuk. Dalam benaknya masih terbayang wajah tua Nasir yang sedih ketika melepaskan dirinya.

Perlahan, tangan Aban mendekap erat tubuh ramping Laila seraya berkata, "Aku merindukan mu, Sayang ..."

Gegas Laila melepaskan dekapan Aban, kemudian membalikkan badannya menatap lekat wajah kurus yang sudah beberapa hari tak ditemuinya.

"Apa begini hukuman bagi orang yang menikah siri di kampung kita?" tanya Laila mengangkat satu alisnya, menatap penuh sesal.

Aban tertawa kecil, "Ya! Sekarang kita sudah diusir dari kampung sendiri!" jawabnya terdengar enteng.

"Terus, bagaimana?" tanya Laila masih tidak percaya.

"Ya, kita pergi, foya-foya sampai kita kembali!" ucapnya sambil meraih benda pipih milik Laila yang tergeletak di meja rias kamar hotel.

Mendengar dan melihat cara Aban yang jauh dari sikap manis diawal membuat Laila tersulut api amarah.

"Kamu mau ngapain?" tanya Laila seketika melihat sang suami duduk di sofa.

"Judi!" jawab Aban tanpa perasaan berdosa.

Ingin rasanya Laila menarik rambut ikal Aban yang terlihat acak-acakan, tapi tak dilakukannya. Mengingat pria yang ada bersama saat ini merupakan suaminya.

Terjebak. Hanya kata itu yang ada dalam benak Laila malam itu. Ia menahan tangis juga amarah demi menyelamatkan pernikahan yang masih seumur jagung.

Malam itu Laila memilih diam. Ia berusaha tenang, tanpa mau berdebat dengan Aban. Pria yang ia bela dihadapan keluarga, ternyata memiliki kepribadian diluar ekspektasinya sebagai seorang wanita karir juga mantan istri Veri yang jauh dari judi serta narkoba.

"Kamu bisa top-up dana ke akunku?" tanya Aban.

Laila menghela nafas berat, sejujurnya ia sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan mereka. "Kenapa harus judi lagi, Baby?" Ia bertanya balik.

"Isikan saja, Sayang. Kalau kita kaya, semua orang akan memandang baik pada kita!" tukasnya tanpa menatap sang istri.

'Hah? Sejak kapan berjudi membuat kaya?' sesal Laila masih memendam dalam hati.

Tanpa pikir panjang, Laila mengirimkan dana seratus ribu ke account Aban untuk berjudi.

Kini, sudah lebih dari empat hari pasangan suami istri itu berada di kamar hotel dalam pelarian selama pernikahan siri mereka berdua.

Dengan raut wajah semrawut, Laila membangunkan Aban yang masih terlelap dalam tidurnya.

"Baby bangun! Aku lapar, kita makan keluar yuk ..." Rengek Laila meringkuk dalam dekapan Aban.

Namun, pria berkulit hitam itu justru membentak Laila dengan suara beratnya, "Kamu bisa pesan di restoran! Sana lah, aku ngantuk!"

Laila tersentak. Seketika ia terhenyak akan bentakan Aban yang terdengar sangat kasar juga jauh dari kata romantis.

"Kamu kok kasar banget sama aku?" tanya Laila kesal beringsut meninggalkan ranjang kamar hotel tersebut.

"Karena kamu itu sudah menjadi istriku!" jawab Aban tanpa menoleh.

Kening Laila mengernyit heran. Memandangi tubuh telanjang sang suami yang tak mengenakan sehelai benang pun. "Jadi, kalau kita sudah menikah nggak ada baik-baiknya? Nggak ada romantis-romantisnya? Kamu anggap aku cewek apaan?" umpatnya semakin tak sabar.

Mendengar ucapan sang istri seperti itu, dengan mudahnya Aban menjawab, "Istri aku lah!"

'What? Jadi kalau sudah istri, haruskah diperlakukan kasar?' umpat Laila dalam hati.

Brak!

Pintu kamar tertutup rapat, setelah dibanting keras oleh Laila yang memilih pergi meninggalkan Aban seorang diri.

Hal itu menjadi kejutan luar biasa bagi Aban yang menganggap Laila merupakan wanita lemah dan takut akan kehilangan dirinya. "Hei Laila! Kamu mau kemana?"

Terdengar teriakan Laila untuk pertama kali ditelinga Aban, "Aku mau makan, kamu mau mati kelaparan ya, terserah!" tuturnya tanpa memperdulikan Aban yang berlari kecil mengejar sang istri.

Cepat Aban mengejar sang istri yang berlalu meninggalkan kamar sambil mengenakan baju kaos dengan posisi terbalik. 'Sial! Ternyata perempuan ini sangat menyebalkan ...' Ia mengumpat sepanjang pengejarannya.

"Laila, Laila Sayang. Tunggu aku, kamu mau makan di mana? Nanti kamu tersesat!" Ucap Aban sedikit terengah, seraya mengusap wajah yang tampak kusut.

Langkah kaki Laila terhenti seketika. Ia menoleh ke belakang melihat sang suami yang tersenyum tanpa perasaan berdosa memperlakukannya.

"Aku pikir kamu nggak lapar, karena sibuk sama dunia judi kamu!" umpat Laila karena kesal.

Aban menghela nafas panjang, ia tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan sang istri yang sepenuhnya sangat baik padanya. Tangan kekar itu mengusap rambut Laila, sambil menyematkan bagian anak rambut ke telinga.

"Kamu ini kenapa? Jangan marah-marah, nanti cepat tua! Kita makan di restoran hotel saja." Ia meraih tangan Laila, kemudian merangkul pundak sang istri sambil berjalan menuju restoran.

Ini pertama kali Laila diperlakukan manis seperti itu oleh Aban selama kebersamaan mereka.

Wajah cantik alami tanpa make-up itu hanya tersenyum dalam kebimbangan. Laila berusaha menyembunyikan rasa kecewanya, karena telah berani menikah dengan pria yang tidak memiliki masa depan saat itu.

Pernikahan apa ini? Kenapa harus menghadapi realita kehidupan seperti ini? Harus lari dari kampung, ancaman penjara juga denda yang menurutnya tidak adil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status