Share

Didoktrin

Malam semakin larut, erangan dua insan suami istri itu semakin terdengar mendayu-dayu. Tubuh ramping yang senantiasa menggairahkan itu tak mampu menahan gejolak gairah seorang Aban.

"Tubuhmu ramping sekali, dan aku sangat menyukainya," ucap Aban ketika mendekap erat tubuh Laila yang putih bersih.

Tak ingin menjawab, Laila justru memejamkan matanya menikmati indahnya pernikahan ketiganya yang jauh dari pesta besar seperti biasa dilakukan keluarga.

Laila mendekap erat tubuh Aban, dengan kaki masih melingkar di pinggang sang suami ketika mencapai pelepasan.

Nafas keduanya menderu, keringat membasahi tubuh telanjang saling mengusap.

"I love you ..." tutur Laila dengan lembut dan wajah merona merah.

"Sama, aku juga cinta sama kamu. Jangan pernah tinggalkan aku," jawab Aban melepas penyatuan mereka berdua.

Keduanya terlelap saling berpelukan. Tak ingin membahas kejadian siang dan malam itu.

Namun, ketika pukul dua dini hari, Laila mendengar suara langkah kaki yang berjalan mengendap-endap melewati jendela kamarnya.

Laila menghela nafas berat, ia mengusap wajahnya kemudian melepaskan dekapan Aban yang tertidur pulas. Meraih pakaiannya yang berserakan di lantai kamar.

Siapa mereka? Apakah mulai malam ini kamar Laila menjadi sasaran orang ronda malam? Pertanyaan-pertanyaan itu ada dalam benak Laila yang enggan membangunkan Aban.

Akan demikian, Aban yang merupakan salah satu preman meresahkan di kampung tersebut, terjaga dari tidurnya. "Kamu mau ke mana, Darling?" tanyanya dengan suara berat.

"Ssht! Aku mendengar ada orang di luar sana yang lagi memata-matai kita, Baby," ucap Laila sambil mengenakan pakaian.

Mendengar penuturan seperti itu dari sang istri, Aban langsung bangun dari tidurnya mengenakan pakaian dengan tergesa. "Sial! Mereka cari mati, telah berani mengganggu kenyamanan istriku!" sesalnya menyalakan lampu kamar.

Benar saja, ketika lampu kamar menyala, terdengar suara langkah kaki yang berhamburan berlari menuju arah depan.

Ini bukan sekali dua kali orang ronda memata-matai kamar Laila sejak pernikahan siri mereka terdengar simpang siur di kampung tersebut.

Laila merupakan wanita tertutup sejak perceraiannya dengan Very.  Begitu juga dengan Aban yang selalu membuat onar menurut emak-emak di kampung halaman mereka.

Bagi Laila, Aban sosok pria baik walau memiliki background yang tidak baik beberapa waktu lalu. Kegagalan Aban dengan sang mantan istri sehingga mengorbankan perasaan ketiga buah hatinya membuat Laila menerima Aban, karena melihat dari sisi yang berbeda.

Begitu banyak cara orang-orang ingin memisahkan Laila dengan Aban, tapi keduanya justru memutuskan untuk menikah dengan cara terburu-buru. Ada apa dengan pernikahan Laila dan Aban? Kenapa mereka tidak sabar menunggu hingga proses perceraian ditetapkan oleh pengadilan agama dan sah secara hukum, sehingga tidak memiliki resiko bagi pernikahan mereka berdua dikemudian hari.

Pagi menyapa, matahari bersinar terang benderang menyinari kamar Laila yang berukuran cukup luas melalui tirai kamar.

Laila yang tak bisa memejamkan mata sejak pukul dua dini hari, hanya terduduk di bibir ranjang sambil mengusap lembut kepala sang suami yang tertidur pulas setelah melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.

Aban mengerjabkan matanya, menatap wajah Laila yang tengah memainkan gawainya setelah membersihkan diri.

"Pagi, Baby." Kecup Laila lembut di kepala Aban penuh kelembutan.

"Hmm! Aku masih ngantuk, jangan ganggu dulu!" tutur Aban memberi punggung dan menjauhkan tubuhnya dari Laila.

Kaget! Tentu! Laila sedikit kaget dengan sikap Aban yang jauh dari kata romantis.

Sikap Aban yang selalu kasar jika tidurnya terganggu, karena sentuhan tangan Laila membuat wanita itu berdecak kesal.

"Galak bener!" umpat Laila beranjak dari ranjang, memperbaiki rambut panjangnya kemudian memilih keluar dari kamar.

Laila menghela nafas panjang, menggeleng kemudian menutup pintu kamar dengan sangat pelan.

Ketika langkah kakinya berjalan menuju dapur, terdengar suara Nasir dari arah belakang.

"Kamu sudah bangun, Laila?" tanya Nasir mendekati anak keduanya.

Laila mengangguk, ia mengikat rambutnya tinggi seraya menjawab, "Iya, Pa. Papa sudah sarapan?"

Perlahan Nasir menjawab pertanyaan Laila dengan pertanyaan, "Belum, kamu mau makan apa?"

"Hmm, bagaimana kalau aku masak nasi goreng. Bang Aban kayaknya malas keluar kamar, karena tadi malam ada orang ronda yang mendekati kamar aku!" tutur Laila sambil mencari bahan-bahan masakan dari dalam kulkas.

Kening Nasir mengkerut, ia tidak menyangka bahwa akan menjadi serumit ini setelah menikahkan putri kesayangannya dengan harapan mendapat menantu dari kampung almarhumah sang istri.

"Apa yang mereka cari?" tanya Nasir tak begitu paham tujuan orang ronda memata-matai kamar anak menantunya.

"Entah lah, Pa! Aku juga nggak tahu, apa tujuan mereka. Masalahku sudah terlalu banyak, makanya aku tidak begitu memperdulikan mereka lagi," ucap Laila sambil berjalan menuju kitchen set. 

"Apakah Very masih mengganggu?" tanya Nasir masih penasaran.

Laila menghela nafas berat, ia mengusap wajahnya kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain, "Karena masalah ini aku menjadi tahanan kota, dan tidak bisa keluar dari kota ini. Aku merasa ini ada sangkut pautnya dengan kejadian hutang piutang sama Rita yang aku tagih beberapa hari lalu bersama Aban ke kampungnya!" Jujurnya santai.

"Hah? Hutang?! Hutang apa?!" tanya Nasir masih tak percaya dengan penjelasan Laila.

Laila menepis tangannya ke udara, "Sudah lah, Pa! Ini hutang lama yang belum diselesaikan Rita sama aku."

"Banyak?" tanya Nasir dibuat penasaran.

"Enggak, Pa. Cuma lima puluh juta saja, karena dia minta tolong waktu itu sama aku," jelas Laila dengan tenang.

Mendengar angka yang disebut oleh Laila, seketika darah Nasir mendidih tersulut emosi. "Kamu ngapain ngasih dia pinjaman sebesar itu? Buktinya ada?"

Laila menggeleng, cepat ia menoleh ke arah Nasir yang berdiri di sampingnya, kemudian berkata, "Sudah lah, Pa. Biarkan saja, dia hanya membayar sepuluh juta seminggu lalu, karena Bang Aban yang membantu menagih."

Kedua bola mata Nasir membulat besar. Ia tidak menyangka bahwa Laila diperas habis-habisan oleh Keluarga Very selama pernikahan. "Kamu bilang biar saja!  Papa akan memenjarakan Very, jika kamu tidak mau mempermasalahkan hutang piutang sama kakaknya itu!" tegasnya tanpa mau dibantah.

Kepala Laila semakin berdenyut. Ia memahami bagaimana kecewanya Nasir paskah bercerai dari Very. "Pa, jangan dibahas lagi. Semua akan diurusin Bang Aban. Papa tenang dulu, ya?"

"Enggak bisa tenang Laila! Very itu menceraikan kamu tidak baik. Dia mencampakkan kamu, seperti wanita sampah yang tidak berharga. Dia pikir dia siapa?" Nasir semakin meluapkan rasa kecewanya terhadap mantan menantu yang tidak memiliki etika. 

"Pa!"

"Apa!" Hardik Nasir semakin tidak senang dengan sikap Laila yang begitu santai menghadapi keluarga sang mantan suami. "Cepat kamu gugat cerai di pengadilan! Ambil kedua anak kamu yang ada sama Very! Biar tahu rasa dia bagaimana rasanya jauh dari anak-anak!"

Cepat Laila membantah semua keputusan Nasir, "Tidak begitu juga caranya, Pa. Anak-anak sangat dekat dengan Papinya. Enggak mungkin aku merebut mereka, karena akan berdampak pada mental dan psikologis mereka!"

"Hah? Mental, psikologis?" Nasir semakin tersulut api amarah. "Dengar, ya! Kita ini berdarah minang. Jika kamu berpisah, maka anak-anak ikut sama kamu karena mereka masih dibawah umur, Laila!"

"Tapi bukan berarti anak-anak harus diperebutkan dengan cara seperti ini, Pa." Pinta Laila berusaha menenangkan pikiran Nasir.

"Terus? Bagaimana? Apa harus menunggu mereka besar, dan tidak ingat siapa ibunya? Apa itu mau kamu, huh?"

Kedua bola mata Laila terpejam. Ia tidak menyangka bahwa sang papa akan terus memojokkannya agar mau membawa anak-anak berkumpul bersama. "Bagaimana caranya, Pa? Sementara otak anak-anakku sudah didoktrin oleh Very!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status