Share

Salah

Sudah lebih dari satu jam dua insan suami istri itu berada di restoran hotel, dengan menu makan siang satu mangkok sop buntut kesukaan Aban.

Tangan pria itu justru sibuk dengan benda pipih milik Laila. Sementara sang istri menatap Aban dengan wajah cemberut penuh kesal.

"Baby, please," ucap Laila penuh kelembutan.

Aban menatap wajah Laila sesaat kemudian mengalihkan ke layar gawai kembali. "Jangan menggunakan bahasa inggris, Sayang Darling. Kamu mau apa lagi?" Ia masih fokus melihat layar gawai yang terus memutar perjudiannya.

Ingin rasanya Laila membenamkan wajah sang suami ke mangkuk sop yang berada di hadapan mereka saat ini. Namun, ia masih memberikan ruang untuk mengenal sang suami lebih dekat.

Laila memperbaiki posisi duduknya, kemudian merampas benda pipih itu. "Kamu maunya apa, sih?"

Kening Aban mengerenyit, alisnya menaut dan menatap garang pada Laila. "Maksud kamu apa? Aku lagi main Sayang?" Ia berusaha merebut kembali gawai milik Laila dengan wajah memelas.

"Kamu menganggap aku istri seperti apa? Sudah lebih empat hari kita berada di sini, kerjaan kamu hanya judi dan tidur! Bangun kalau lapar, tanpa memikirkan aku!" Tegas Laila dengan dada turun naik, serta air mata yang masih tertahan.

Wajah Aban termangu. Ia terdiam beribu bahasa, tanpa tahu harus menjawab apa.

Laila kembali membentak Aban, "Jawab!"

Kedua bola mata itu saling menantang. Tidak ada keinginan dari keduanya untuk berdamai. Semua itu terlihat dari ketidaknyamanan Aban yang mulai dituntut oleh Laila sebagai seorang suami.

"Kamu mau aku seperti apa, huh?" tanya Aban terdengar kesal.

Laila menyunggingkan senyuman tipisnya, "Sesuai janji kamu ke papaku! Ingat baby, aku ini istri, bukan selingkuhan kamu! Paham sampai disini?"

Tampak Aban susah payah menelan ludahnya. Tangan kekar itu berusaha meraih pundak sang istri, tapi cepat ditepis oleh Laila. "Kamu ini kenapa?"

"Masih bertanya, aku kenapa? Hmm!? Are you oke? Ogh, are you crazy?" Sesal Laila beranjak dari tempat duduknya, kemudian berlalu meninggalkan restoran juga Aban seorang diri di sana.

"Tolong jangan bahasa Inggris Laila, karena aku tidak mengerti apa yang kamu ucapkan!" Hardik Aban menggeram, mencoba menahan lengan Laila agar tidak meninggalkannya.

Segala umpatan yang masih tersimpan dalam hati Laila seketika membuat dadanya menggelegak panas. Bagaimana tidak, Aban yang awalnya menjadi pria hangat sejak dekat dengan Laila seketika berubah drastis saat ijab kabul terucap.

Pernikahan yang masih seumur jagung itu akan berakhir tanpa tahu harus berbuat apa, dan akan berdampak tidak baik bagi keluarga besarnya.

Pantas saja semua keluarga meminta Laila agar tidak melanjutkan pernikahan dengan Aban. Ternyata sikap Aban yang selalu berubah dan semaunya, menjadi pertimbangan bagi beberapa keluarga. Ditambah, predikat residivis yang masih melekat dalam benak warga kampung mereka.

Laila menghempaskan tubuhnya di ranjang kamar hotel, mendekap bantal yang menjadi sandarannya. Hatinya berkecamuk penuh amarah, ia tak menyangka bahwa karir juga hidupnya akan sia-sia sejak menikah dengan Aban.

"Laki-laki sialan, tidak peka! Maunya menang sendiri. Dia pikir, empat hari di sini bayarnya pake daun!" Ia mengumpat, menutup tubuhnya menggunakan selimut.

Perlahan, terasa tangan Aban mengusap kaki Laila yang terbuka. Namun, Laila menepis sentuhan pria kurus tersebut. Walau sesungguhnya ia sangat menginginkan sentuhan dalam suasana hati nan berkecamuk.

Kini perasaan Laila terasa perih juga sakit. Ia harus jauh dari sang papa, demi mengikuti aturan adat agar tidak membayar denda ke nagari. Ditambah belum ada pencabutan laporan dari Very yang harus membuatnya tidak dapat menjalin komunikasi dengan kedua putri kesayangannya.

Katakan Laila terlalu terburu-buru dalam menerima pinangan Aban kala itu. Akan tetapi, semua sudah menjadi takdir dalam kehidupan percintaan Laila.

"Ahh, Baby!" Desahan kembali terdengar di kamar hotel tersebut, setelah Aban berhasil meloloskan seluruh penghalang antara mereka.

Aban menenggelamkan wajahnya di cerug leher Laila ketika mencapai pelepasannya. "Jangan tinggalkan aku, Laila," tuturnya lembut sambil mengusap rambut sang istri.

Dengan sangat hati-hati, perlahan Laila mendorong tubuh Aban yang berada di atasnya, memperbaiki posisi tidur mereka berdua agar dapat berpandangan.

"Kamu tidak ingin aku meninggalkanmu, tapi sikap mu sangat menyebalkan selama kita berada di sini."

Cepat Aban mengusap lembut punggung sang istri, kemudian mendekap tubuh ramping itu. Berulang kali ia mengecup kening Laila untuk menenangkan.

Berbagai upaya Aban ingin melupakan sang mantan istri, akan tetapi ada setitik rasa bersalah yang tersirat dari tatapan matanya.

Laila yang merasakan perubahan Aban sejak mereka menikah, wanita itu justru mendongakkan wajahnya untuk menatap mata coklat pria yang sudah menjadi suaminya itu. "Apa yang kamu pikirkan? Apa masih memikirkan mantan istri mu?"

Mendengar pertanyaan Laila yang bisa membaca pikiran Aban. Pria itu justru menepis semua ucapan sang istri sirinya, "Aku tidak pernah memikirkan dia, tapi aku memikirkan anak-anakku!" tegasnya.

Laila menyunggingkan senyumnya, ia beranjak dari ranjang peraduan itu untuk membersihkan diri seraya berkata, "Jangan pernah berpura-pura mencintai ku, karena aku tahu apa yang ada dalam benakmu!" umpatnya.

Aban yang merasa dirinya dijadikan tersangka, cepat menepis tuduhan itu, "Dari tadi, kamu mencari salahku terus! Ada apa dengan kamu?"

Laila melempar gawai miliknya ke arah sang suami, yang menjadi alat komunikasi Aban bersama anak-anaknya beberapa hari kemarin.

"Kamu menganggap aku ini apa, simpanan atau istri sungguhan?!" Sesal Laila kemudian mengenakan pakaiannya. "Kamu bilang, kamu sudah pisah dari mantan istrimu, tapi masih berharap balik dengan dia!" hardiknya semakin tak tertahankan.

"Silahkan ceraikan aku, dan kembali sama mantan kamu itu!" tambah Laila sebagai bentuk ketidaksukaannya atas sikap pria tersebut.

Aban yang sadar akan salahnya, langsung berdiri dan mengenakan pakaiannya. Kali ini ia membenarkan semua ucapan Laila. "Kenapa kamu membaca pesanku?"

Laila tertawa kecil, "Kamu lupa itu handphone siapa?" tunjuknya pada benda pipih yang masih tergeletak di atas ranjang.

"Ya, itu handphone kamu!" Angguk Aban, tanpa bergeming dari tempat ia berdiri.

"Terus!? Salah aku! Kalau aku melihat semua chating-an kamu dengan mantan istrimu yang sangat merendahkan harga dirimu sebagai seorang laki-laki, sadar nggak!" teriak Laila dengan suara serak menggetarkan seisi kamar mereka.

Gegas Aban mendekap tubuh Laila yang bergetar karena tak kuasa menahan tangisnya, seraya berbisik pelan. "Aku lakukan itu agar dia tidak melaporkan pernikahan dan memperpanjang masalah kita, Laila."

Merasa dirinya tak dihargai, Laila justru mendorong tubuh Aban agar melepas pelukan, "Apa dengan mengatakan bahwa aku dan kamu berpisah?"

"Laila, dengarkan aku!"

"Enggak!" Pekik Laila semakin menggelegar karena perasaan kecewa. "Aku nggak mau meneruskan pernikahan ini, kalau kamu masih berharap sama dia!" Sesalnya dengan dada menggelegak panas. "Apa yang sudah aku korbankan, tak sebanding dengan apa yang kamu berikan ke aku!"

Aban menggeleng, ia tidak menyangka bahwa Laila akan mengetahui secepat ini apa yang dilakukannya. "Aku minta maaf, tapi aku tidak ingin berdebat!"

"Baik, ceraikan aku! Karena aku tidak ingin melanjutkan pernikahan yang sangat menjijikkan ini!" Laila tak mampu membendung rasa sesak di dadanya yang bersandar di dinding kamar nan sejuk.

Hancurnya perasaan Laila karena telah dibohongi oleh pria yang berjanji akan membahagiakannya, ternyata hanya tinggal janji dalam merebut hatinya.

Apakah ini salah Laila atau Aban? Atau mungkin, cara Aban yang tidak pernah tahu bagaimana pekanya seorang Laila yang sangat berbeda dengan sang mantan istri, Sinta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status