Share

Part 2. Berita duka

Apapun nanti yang akan terjadi kepada dirinya, Endrea yakin Papanya tidak akan membiarkan anaknya kesusahan batin Endrea. 

Tiga puluh menit kemudian taksi yang Endrea tumpangi sudah sampai dirumah dengan dua lantai dengan model klasik, setelah membayar ongkosnya Endrea keluar dari taksi berjalan ke arah pager yang mejulang tinggi,  Endrea menarik nafas panjang kemudian menekan tombol bel yang ada ditembok di depannya. 

Tangan Endrea terus mengetuk-ngetuk ponsel yang dirinya pegang dalam hati Endrea selalu berdo'a Papanya mau membantunya.

Tiga puluh menit kemudian seorang muncul dari balik pagar yang membuat Endrea terkejut, saat menyadari siapa yang membuka pagarnya. 

"Mama," gumam Endrea dengan suara tercekat. 

"Anak ini, ada apa kamu datang kesini hah?" tanya Bibi Liana dengan nada yang ketus. 

Setelah mengumpulkan keberaniannya Endrea membuka suaranya "Endrea ingin bertemu dengan Papa, Ma." jawab Endrea. 

"Masuklah!" perintah Bibi Liana dengan nada ketus. 

Endrea berjalan mengekor dibelakang melihat ke arah taman sudah tidak ada lagi bungan kesukaan miliknya dan juga mamanya, memasuki ruang tamu dada Endrea semakin sesak saat melihat foto keluarga yang menempel di dinding, ada Bibi Liana, Papa dan Nina di dalam foto itu mereka bertiga tersenyum bahagia seperti tidak mempunyai beban. 

Bibi Liana masuk ke dalam kamar Endrea duduk di sofa, Rumah ini sangat berbeda dengan dulu saat dirinya dan Mamanya masih ada, tidak ada foto miliknya ataupun Mamanya.

"Papamu tidak bisa menemuimu masih banyak pekerjaan diluar, jadi bicara saja dengan Saya ada apa kamu datang kesini?" tanya Bibi Liana masih dengan berdiri dan tangannya dilipat ke dada. 

"Ma, Endrea butuh uang untuk biaya rumah sakit," ucap Endrea dengan memberanikan diri Endrea menatap mata Bibi Liana. 

"Hahaha... sudah saya duga sudah tiga tahun lamanya kamu tidak pernah kembali, dan sekarang dengan mudahnya kamu meminta uang." Bibi Liana terdiam sesaat seperti memikirkan sesuatu kemudian membuka suaranya kembali. 

"berapa?" tanya Bibi Liana wajahnya mendekat ke arah Endrea.

"150 juta Ma, Endrea pinjam Ma nanti kalo Aku sudah ada pasti segera diganti," ucap Endrea dengan nada sedikit memohon.

"Apa kamu pikir saya akan memberikannya, jangankan uang 150 juta, seribu rupiahpun Saya tidak akan memberikan kepadamu," teriak Bibi Liana di depan wajah Endrea.

"Lebih baik kamu sekarang keluar dari rumah ini!" perintah Bibi Liana dengan wajah yang sudah memerah, telunjuknya mengarah ke pintu. 

Terdengar derap langkah dari arah tangga, seorang gadis cantik dengan rambut yang berwarna oren gelap, menggunakan baju kemeja warna putih dan rok ketat yang sangat pendek, turun dari lantai dua,  Endrea sebagai perempuan merasa malu dan risih saat melihatnya. 

Nina berjalan ke arah Mamanya, kemudian  melihat ke arah Endrea dengan mimik wajah kebingungan.

"Endrea ngapain kamu kesini lagi?" tanya Nina sedikit berteriak.

"Dia minta uang kepada Mama, kamu tahu dia minta 150 juta dia pikir Mama akan memberinya apa, itu tidak mungkin," ucap Bibi Liana dan menatap tajam ke arah Endrea. 

"Sebentar," teriak Nina dan tangannya membuka tas yang Ia kenakan mengambil beberapa uang lima ribuan dan melepar ke arah Endrea. 

Endrea memejamkan matanya luka tiga tahun yang lalu kembali menganga, dirinya mengira setelah tiga tahu Mama dan sodara tirinya akan berubah ternyata tidak.

"Ambilah uang itu lumayan kan buat jajan," ucap Nina dengan tersenyum mengejek. 

"Lebih baik Kamu pergi dari rumah ini sekarang, merusak pemandangan saja," ujar Bibi Liana. 

Endrea berdiri berjalan keluar rumah dengan gontai air matanya tidak bisa lagi dia tahan, bukan uang yang dirinya dapat melainkan ejekan dari Mama dan juga sodara tirinya.

"Kamu jalan saja sama om-om, aku yakin dengan cepat kamu bisa mendapatkan uang yang sedang kamu butuhkan hahahahaha," teriak Nina sebelum Endrea meninggalkan rumah itu, tangan Endrea terkepal mendengar ucapan Nina. 

Setelah puas menangis Endrea mengusap air matanya dengan kasar,Endrea melanjutkan perjalanannya mencari taksi, tiga puluh menit kemudian Endrea sudah mendapatkan taksi dan menyebutkan alamat rumah sakit Endrea melihat kendaraan yang lalu lalang.

Satu jam kemudian Endrea sudah sampai, Endrea langsung masuk

, sesampainya diruang UGD Endrea melihat banyak dokter yang berlarian masuk ke ruangan Adelard. 

Belum sempat Endrea bertanya pintu ruangan sudah tertutup, Endrea menunggu dirinya bolak balik Endrea panik dan juga takut. 

Endrea takut kehilangan orang yang selama ini menemaninya dan selalu menghiburnya dikala dirinya sedih dan kelelahan karena banyaknya pekerjaan. 

Satu jam menunggu dokter dan perawat belum satupun yang keluar dari ruangan Adelard, tidak henti-hentinya Endrea selalu berdo'a agar Adelard diberikan kesembuhan.

Dua jam kemudian seorang dokter keluar dengan wajah kelelahan, Endrea langsung berlari ke arahnya.

"Bagaimana keadaan teman saya, Dok?" tanya Endrea dengan nada panik.

Dokter Adit menghela nafas panjang kemudian melihat ke arah Endrea dengan tatapan iba "Maaf teman Mbak tidak bisa kami selamatkan," jawab Dokter Adit. 

Endrea langsung terduduk kakinya lemas dan tidak kuat untuk menompang tubuhnya tangisnya kembali pecah mendengar tujuh kata yang keluar dari bibir Dokter Adit, dengan susah payah Endrea berjalan masuk tangannya perpegangan ke dinding.

Dokter Adit berusaha membantunya untuk berdiri tapi Endrea menolaknya, Endrea merasa sudah berjalan begitu lama tapi tidak juga sampai ke ranjang dimana tubuh Adelard terbaring dan kain putih menutupnya sampai kepala.

"Sayang bangun, mana yang sakit katakan padaku Aku akan membantu menyembuhkan lukamu," tubuh Endrea mengahambur memeluk tubuh kaku Adelard. 

"Sayang Aku mohon buka matamu untukku, Aku mohon," pinta Endrea dan mengguncangkan tubuh kaku Adelard.

Seandainya tadi Bibi Liana mau membantunya pasti ini semua tidak akan terjadi seandainya tadi yang Endrea temui Papanya, Endrea hanya bisa berandai-andai.

Para perawat wanita yang melihat kejadian itu tidak bisa menahan air matanya, dengan susah payah dua perawat menghampiri Endrea berusaha menenangkannya.

"Mbak yang sabar ya harus ikhlaskan, pacar Mbak sudah tidak merasakan sakit lagi dan biarkan dia tenang di atas sana," ucap salah satu perawat dengan mengelus lembut punggung Endrea. 

Setelah puas menangis Endrea mencoba untuk mengikhlaskan kepergian Adelard, karena hari sudah malam jadi rencana pemakaman Adelard dilakukan esok pagi.

Endrea keluar dari kamar jenasah dan duduk dikursi tunggu, tangisnya kembali pecah dirinya merasa tuhan tidak adil kepadanya, mengapa tuhan mengambil orang-orang baik disekitar Endrea. 

Endrea membuka ponselnya banyak pesan dari Kirana teman satu kosnya, Kirana dan Endrea bekerja direstoran yang sama, Endrea menekan tombol panggil. 

"Halo.. Endrea kamu darimana saja, sekarang kamu dimana, kenapa sudah malam belum pulang?" terdengar suara Kirana diseberang sana. 

"Kirana bisakah kamu datang ke rumah sakit, Aku butuh teman sekarang," ucap Endrea. 

Untuk sesaat Kirana terdiam tapi tidak lagi bertanya kepada Endrea "Serlok aja ya." jawab Kirana kemudian mematikan sambungan teleponnya.

"Saya akan membantu proses pemakamannya besok," ucap seorang pria yang sekarang berdiri di depan Endrea. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status