Share

Tiga

Apa dia sudah mati?

Lana gemetaran mendekati pria itu, lalu berjongkok perlahan di hadapannya. Tangannya akan menggapai hidung pria itu, bermaksud mengecek apakah dia masih bernapas atau tidak.

Belum sempat ia melakukannya, tiga orang wanita muncul di depan kamar dengan ekspresi terkejut. Lana menoleh. Seorang wanita paruh baya mendekati pria itu dan jongkok di sisi lain. Kemudian, dia menempelkan dua jarinya, hening sejenak dengan dahi mengernyit, setelah itu menghela napas lega.

"Syukurlah. Apa yang telah terjadi?" gumamnya pada diri sendiri.

Dan wanita itu menemukan jawabannya ketika matanya tanpa sengaja mengarah pada pecahan kaca dari botol wine yang ditemukan tak jauh darinya. Ia kembali mengernyit, melemparkan tatapan menuduh pada wanita yang tubuhnya hanya ditutupi oleh selimut putih.

Lana tentu terhenyak serta salah tingkah. Wanita ini sepertinya pelayan Mikail. Apakah dia akan melaporkan kejadian ini pada majikannya?

"Hei, kalian!" seru wanita paruh baya itu pada dua pelayan muda seraya berdiri. "Panggil pak Wawan dan pak Anton. Terus, bawakan gaun-gaun yang telah dipilihkan oleh tuan muda."

"Ba-baik, Bu," jawab kedua gadis itu berbarengan dengan gugup, kemudian bergegas pergi.

Lantas, wanita tadi memutar tubuh ke hadapan Lana, yang sontak tertegun. Senyum kakunya terulas seraya berkata, "Nona, silakan mandi dulu. Handuk, piyama mandi, dan peralatan mandi telah tersedia di kamar mandi. Nanti para pelayan akan membawakan pakaian untuk Anda."

Lana paham. Jadi, gaun-gaun yang disebutkan pelayan paruh baya itu pada kedua pelayan muda tadi untuknya? Ini trik Mikail untuk meluluhkan hatinya? Heh! Tidak akan semudah itu! Ia akan menikmati fasilitas dari Mikail, sekalian mencari cara untuk membunuhnya.

Senyum liciknya terkembang samar, kemudian ia menoleh kembali pada wanita itu. "Baik. Terima kasih, Bi," jawabnya, lantas pelayan itu mengangguk sekilas.

Lana berjalan ke arah kamar mandi seraya tersenyum licik. Rencana telah dirancang di dalam otaknya. Begitu ia masuk ke dalam kamar mandi, pak Wawan dan pak Anton masuk ke dalam kamar. Keduanya tercengang melihat pria yang dipukul Lana tadi terkapar di lantai. Keduanya menoleh berbarengan pada pelayan paruh baya tadi, menunjukkan ekspresi yang seolah sedang bertanya: "apa yang telah terjadi?"

"Tolong pindahkan tubuh pak Norman ke kamarnya. Habis itu, telepon dokter!" suruh wanita itu.

"I-iya. Tapi, pak Norman kenapa? Kok bisa pingsan dengan kepala berdarah begini?" tanya pak Wawan sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Wanita itu menoleh pada pintu kamar mandi yang tertutup. "Saya juga nggak tahu pasti. Tapi yang jelas, calon istri tuan muda yang telah memukul pak Norman dengan botol wine itu."

Kini pandangan pak Wawan dan pak Anton mengarah pada pecahan botol wine. Keduanya tak habis pikir, kenapa gadis itu memukul pria baik seperti pak Norman?

"Apa salahnya pak Norman? Kok dipukul?" gumam pak Anton prihatin.

"Apa kita perlu memberitahukannya pada tuan muda?" cetus pak Wawan menimpali.

"Nanti tuan juga tahu. Melihat perban di kepala pak Norman, tuan pasti mempertanyakannya," sahut si pelayan wanita. "Sudah, gotong pak Norman ke kamarnya, nanti dia kehabisan darah."

Benar juga! Seketika kedua pria paruh baya panik, lantas bergegas mengangkat tubuh pak Norman ke dalam kamarnya.

💍

Lana telah keluar kamar mandi dengan tubuh masih dililiti handuk. Para pelayan sudah berada di kamar dengan membawa pajangan yang berisi beberapa buah gaun, lalu di bawahnya berjejer beberapa pasang sepatu, dan tak lupa aksesoris. Meja rias juga sudah dipenuhi oleh macam-macam skincare dan alat rias.

Sumpah! Niat sekali Mikail memberikan semua fasilitas itu padanya?

Pelayan paruh baya tadi berjalan maju ke arah Lana, lalu berkata, "Nona, silakan pilih pakaian yang ingin Anda kenakan."

Semua ini untuknya? Lana melangkah takjub mendekati pajangan. Ia mulai melihat-lihat beberapa buah gaun dengan berbagai mode. Semuanya bagus. Tenyata, selera pilihan Mikail boleh juga, puji Lana dalam hati.

Gaun polos warna mint menjadi pilihannya. Lana mencocokkannya dulu di depan cermin sebelum memakainya.

"Cocok denganmu," seru seorang pria di belakangnya. Sontak semua orang memalingkan pandangannya pada sosok si pemilik suara.

Mikail melangkah masuk dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Para pelayan langsung membungkukkan badan ke arahnya. Lana menatapnya waspada, merapatkan gaun yang dipegangnya untuk menutupi dadanya agar tak terlihat oleh pria mesum itu.

Mikail tersenyum geli, Lana menantangnya tanpa gentar, meskipun hatinya agak gemetaran. Tanpa diberi perintah, para pelayan itu keluar meninggalkan kamar, lalu menutup pintunya.

"Ngapain di sini? Keluar! Aku mau pakai baju!" kata Lana membentak, tak ada perlakuan lembut bagi pria ini.

Lana tak betah lama-lama di dekat pria itu, maka ia pergi dari hadapan Mikail. Namun, dengan santainya Mikail menangkap lengan Lana, menghempaskan kembali ke hadapannya dengan kasar.

"Apa-apaan ini? Lepaskan!" Lana meronta, mencoba menghela tangan Mikail dari lengannya.

Semakin meronta, semakin kuat pegangan tangan Mikail. Lana merasakan hal itu, lantas berhenti menggerakkan lengannya untuk mengurangi rasa sakitnya.

Ternyata berhasil juga cara itu, genggaman tangan Mikail melonggar. Kemarahan Lana belum surut. Lalu, ditatapnya Mikail dengan kekesalan yang menyala-nyala.

"Kau mau apa lagi? Tidak puas mempermainkanku?" ucapnya dengan geram tertahan.

Mikail menatap lekat kedua mata indah Lana yang tengah memancarkan sinar kebencian yang pekat. Kepalanya dimiringkan. Ekspresinya yang tak terbaca itu malah membuat Lana gugup.

"Kau apakan Norman?" tanya Mikail, nada suaranya yang dalam membuat bulu kuduk Lana meremang.

Norman? Maksudnya pria yang dipukulnya tadi? Jadi, kejadian itu sudah sampai ke telinga Mikail secepat itu?

Tatapan Lana goyah, menunduk, melirik ke arah lain. Lana benar-benar tak sanggup menatap pria itu, apalagi Lana telah berbuat kesalahan pada pelayannya.

"Aku ..." Lana memberanikan diri menatap Mikail dengan sikap menantang, walaupun masih agak takut. "Memangnya kenapa? Apa dia pelayan yang sangat penting buatmu?"

Norman bukan pelayan biasa, dia bahkan seperti penasihat dalam setiap keputusannya. Namun, Mikail tak berniat menjelaskan, ada hal yang mengalihkan pikirannya.

"Sasaran yang sebenarnya bukan Norman, 'kan? Tapi aku!" tuding Mikail, matanya melotot geram.

Lana mendelik. Bagaimana pria ini bisa tahu? Dia bisa baca pikiran orang?

Mikail tersenyum sinis, menjauhkan wajahnya sedikit dari Lana. "Kau tak usah heran jika aku mengetahui hal itu. Sejak awal, kau memang ingin membunuhku, 'kan?"

Lana terkejut lagi, tetapi hanya sebentar. Tatapan kebencian yang dilemparkannya ke arah Mikail seakan diterjemahkan begini: "memang! Aku sangat ingin membunuhmu!"

Mikail mengangguk paham. Meski tak terucap, ia sudah tahu jawabannya. Tak ada yang boleh melawannya, termasuk gadis ini. Direnggutnya gaun yang dipegang oleh Lana, kemudian gaun itu dilemparkan sembarang.

Lana terhenyak. Mikail menarik Lana dari tempatnya. Akan tetapi, Lana berusaha sekuat tenaga menahannya. "KAU MAU APA? JANGAN PAKSA AKU! AKU TIDAK MAU TIDUR DENGANMU!" jerit Lana.

"Itulah gunanya dirimu, menjadi pemuas nafsuku! Tapi jika kau tidak mau, untuk apa lagi kau di sini?" kata Mikail dingin.

"Maksudnya, kau mau melepaskanku?" tanya Lana, matanya membulat.

"Melepaskanmu?" Mikail tersenyum sinis. "Hanya orang bodoh yang mau melepaskan orang yang ingin membunuhnya. Kau...."

Pertahanan Lana lemah, dan inilah kesempatan Mikail untuk menariknya hingga jatuh di dada kekarnya yang terbalut oleh tuksedo biru dongker.

"Akan kubunuh!"[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status