Share

Tujuh

"Haruskah aku membunuhnya?"

Keraguan itu berkecambuk dalam hati, seakan ada dua suara yang menghasutnya. Hati nurani berusaha mencegah untuk melakukan hal itu. Di lain sisi setan menghembuskan kebencian dengan memutar memori kematian orangtuanya dalam otak. 

Akhirnya, dendam berhasil menguasai, perlahan kedua tangannya mengarah pada leher Mikail, bersiap mencengkramnya kuat sampai meregang nyawa.

Grep!

Lana terhenyak, tiba-tiba kedua tangannya digenggam oleh Mikail. Kemudian, mata pria itu terbuka. Tatapan kebencian Lana berubah menjadi keterkejutan lalu kecemasan.

Lana berusaha menarik tangannya, tetapi Mikail semakin kuat menggenggamnya. Senyuman sinis pria itu berkembang, membuat Lana gugup bukan kepalang.

Apakah hari ini ia akan mati?

Dengan cepat Mikail memutar keadaan sehingga kini Lana yang terbaring di ranjang. Kedua lengan Lana diletakkan di samping kepalanya, mengekangnya dengan lengan kekar Mikail.

"Kemarin diracun, sekarang dicekik. Besok apa lagi? Mungkin kau akan mencoba membunuhku dengan menembakku?" sindir Mikail, senyum menang mengejeknya terkembang. 

Lana sendiri tak memikirkan hal itu. Yang ada di benaknya sekarang adalah, apakah ia akan tetap hidup besok?

Ia mencoba menggerakkan kedua lengannya dengan sekuat tenaga, tetapi kekuatannya tak sebesar Mikail. Jangankan lepas, bergerak saja tidak. Mikail benar-benar kuat. Mungkin kurang dari lima menit bagi Mikail mencabut nyawa Lana dengan mencekiknya.

"Kau sudah tahu niatku," kata Lana, masih lantang menantangnya. "Kenapa tidak BUNUH SAJA AKU?!"

Bibir sensual Mikail mengulas senyum mencibir. "Memangnya kau siap mati sekarang?"

Memang tidak, tapi Lana yakin bahwa malam ini nyawanya tidak akan terampuni akibat kenekatannya mencengkik pria itu.

Melihatnya diam, Mikail tak tahan untuk menggodanya lagi. "Tapi," Kemudian, ia berbisik ke telinga Lana. "Aku tidak mau menikahi mayat. Setidaknya, aku tidak ingin rugi."

Brengsek! Lana menggemeretakkan gigi dengan mata menyalang marah. "Lebih baik aku mati daripada menikah denganmu!" balasnya membentak.

"Begitu? Oke! Kita mulai saja hukumannya."

Hukuman? Jangan bilang... 

Sebelum hal yang mengerikan muncul secara utuh di benaknya, Mikail menutup paksa bibirnya dengan lumatan kasar yang menyakitkan dan buas. Lana meronta dan mencoba mengatakan apa pun agar ciuman itu segara dilepaksan. Namun, Mikail semakin beringas, Lana hampir dibuat menyerah.

Apa kesuciannya akan terenggut sekarang? Tidak sudi! Tapi, bagaimana cara lepas dari pria brengsek ini? Lana tak bisa memikirkan apa pun, pelecehan ini menyiksanya sampai air matanya hampir mengalir. 

Ciuman di bibir selesai, napas Lana terengah-engah. Tapi, permainan tak sampai di sini, Mikail menyasar pada lehernya. Kecupan yang disertai gigitan yang cukup kencang. Mata Lana terpejam erat seraya menjerit, dan tubuhnya menggelinjang. 

"Hentikan!" lirih Lana. 

"Kenapa? Apa rasanya kurang nikmat?" bisik Mikail mendesah sensual.

Lana menggeleng pelan. "Ada yang bergerak di pahaku."

Mikail mengikuti kata Lana, melirik ke arah paha Lana yang agak tersingkap. Lana tersenyum licik. Inilah saatnya!

Lana mendorong Mikail yang tengah lengah. Tangan mungilnya ternyata cukup kuat untuk membuat Mikail terjungkal ke bawah ranjang. Lana tak menyia-nyiakan kesempatan untuk langsung melarikan diri dan bersembunyi di kamar mandi.

"Sial!" desis Mikail seraya perlahan beranjak. 

Mikail sempat melihat Lana masuk ke dalam kamar mandi. Senyum misteriusnya terkembang seraya menegak. 

Di lain tempat, Lana mengatur napasnya yang terengah-engah sehabis berlari. Hampir saja Mikail memperdayanya. Tapi, apa ia akan aman berada di sini terus?

"Gimana kalau dia bisa membuka pintu ini dengan kunci cadangan?" gumamnnya bergidik.

Lana menggigit jarinya cemas. Berangsur tubuhnya merosot hingga terduduk di balik pintu. Entah sudah berapa lama ia di sana, sampai akhirnya ia ketiduran tanpa sadar. 

Ketika ia tersentak, Lana menyadari bahwa dirinya tertidur di sini. Namun, ia merasa janggal. Kenapa tidak ada pergerakan apa pun sejak tadi?

Lana menempelkan telinganya ke pintu, mencoba mendengar suara di dalam kamar tidur. "Senyap. Apa Mikail sengaja tak bersuara untuk mengecohku?" duganya.

Lana menggenggap knop pintu, tapi gerakannya tertahan karena ragu. "Kalau aku keluar sekarang, takutnya Mikail tiba-tiba menangkapku. Bisa habis nanti aku sama dia! Aduuuh, gimana, ya?"

Tidak mungkin Lana terjebak di kamar mandi berhawa dingin ini, 'kan? Lantas, kapan waktu yang tepat untuk keluar?

Di saat otaknya sibuk berpikir, tiba-tiba ia tertegun menduga suatu hal yang lain. "Ah! Jangan-jangan ... Mikail tidur ranjangku?"

Lana tak mau begitu saja beramsumsi tanpa bukti, maka ia ingin memastikannya dulu. Perlahan, dibukanya pintu kamar mandi, lalu menjulurkan kepalanya sedikit ke arah dalam. 

Jarak kamar tidur agak jauh sehingga Lana tak bisa melihat dengan jelas. Lana memberanikan diri keluar, berjingkat tanpa suara mengarah pada ambang dinding ruang tidur. 

Lana tercengang, kamar ini sepi, tidak ada Mikail, dan pintu kamarnya tertutup rapat. 

"Ke mana dia? Apa udah balik ke kamarnya?" gumamnya seraya berkacak pinggang. "Apa sekarang waktunya tidur cantik?" 

Lana melompat ke ranjang seraya tersenyum senang. Dikira ia akan berada di kamar mandi sampai pagi. Kakinya hampir membeku karena terlalu lama di sana. 

💍

Mikail memang kembali ke kamarnya, tetapi tak langsung tidur. Bercanda dengan gadis itu sangat berbahaya, tubuhnya yang kena imbasnya kini. 

Norman datang untuk memberikan koyo dan minyak pijat. Pria itu memijat pinggang Mikail yang sakit, lalu menempelkan koyo tanpa bertanya sedikitpun tentang penyebab rasa sakit yang diderita tuannya.

"Norman, ambilkan aku segelas wine," perintah Mikail setelah selesai dipijat. 

Tuannya memang suka minum wine ketika menjelang tidur. Maka dari itu, ia sudah menyiapkannya bersamaan dengan dibawanya koyo dan obat urut. Norman menuangkan sedikit wine di gelas. Mikail menyesapnya sedikit, kemudian terdiam sejenak.

"Apa saja yang dilakukan Lana seharian ini?" tanya Mikail, setelah tegukan wine kedua.

Norman terbungkam sejenak seraya berpikir keras. Ia ragu, apa kejadian tadi siang harus diceritakannya atau tidak. Pasalnya, Norman iba jika gadis itu mendapat hukuman, atau pelayan lain yang menjadi sasaran kemarahan Mikal sebab keteledoran mereka.

"Norman." Mikail menagih, menoleh curiga padanya. "Kenapa? Kau sedang berusaha menyembunyikan sesuatu?"

"Em ... maafkan saya, Tuan. Begini. Tadi siang, nona Lana menemukan pintu keluar yang ada di lorong khusus tempat tidur para pelayan."

Jantung Norman berdetak kencang, gugup jika Mikail murka. Dan sepertinya kekhawatirannya memang terjadi. Mikail mengarahkan lirikan tajam ke arahnya, lalu menghentakkan gelas ke atas meja dengan kencang. 

"Apa katamu?"[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status