Share

Enam

Lana duduk di atas ranjang seraya bersandar dan menjulurkan kaki. Matanya fokus pada satu arah, termenung berpikir serius dengan tangan menyentuh dagu.

"Apa itu benar-benar pintu keluarnya? Bagaimana kalau bukan?" gumamnya, kakinya digerak-gerakkan cepat. 

Ingatannya melintas pada kejadian beberapa jam yang lalu. Norman memergokinya di tempat itu. Apakah nanti akan terpengaruh?

"Takutnya..." Mata Lana menyipit. "Aku ketahuan tadi, terus Norman menutup pintu tadi."

Lana menegak, wajahnya pucat dengan keraguan dan rasa cemas yang menyeruak. Tiba-tiba ia beranjak lalu membeku dan menegang. 

"Aku nggak ketahuan kan tadi?" gumamnya resah, berjalan mondar-mandir di tempat. Pasti nggak ketahuan, aku yakin! Duuuuuuuh... semoga aja nggak ketahuan! Kalau sampai itu terjadi, aku nggak bisa kabur...."

Ting! Langkahnya sontak terhenti. Bagaimana kalau ia manfaatkan situasinya? Maksudnya. Lana terkurung di rumah, tapi tidak di dalam kamar ini. Ia bisa berkeliling di rumah ini kapanpun, bahkan di malam hari. Jadi....

"Apa aku periksa sekarang aja?" Lalu, tiba-tiba ia termenung terpikirkan sesuatu seraya melirik jam dinding. "Ngomong-ngomong... pria iblis itu ke mana? Dia belum pulang kerja? Kan udah malam?"

Mungkin dia sudah melupakanku, lalu bersenang-senang dengan wanita lain? Pasti begitu? gerutunya dalam hati. Namun, sedetik kemudian Lana menjadi jengkel dan mendengus. 

"Kenapa aku harus mikirin itu? Siapa peduli dia mau melakukan apa? Bersenang-senang sajalah kau, Mikail dengan wanita malammu itu! Semoga saja kau terkena penyakit kelamin!"

Sumpah serapah itu diucapkan dengan pelan karena tak ingin ada yang mendengarnya. Akan tetapi, kemudian ia malah menyesal, dan ingin menarik sumpah itu karena....

"Eh! Kalau dia kena penyakit kelamin, tertular ke aku dong? Kan dia bisa aja melakukan 'itu' denganku kapanpun saja?"

Lana memukul-mukul pelan bibirnya seraya bergumam "semoga tidak kejadian, semoga tidak kejadian" berulang kali. Setelah itu, ia terdiam, duduk kembali di tepi ranjang, dan berpikir keras lagi. 

"Tengah malam aku akan ke sana! Semua orang sudah tidur, dan nggak mungkin pintu di samping dapur itu dikunci. Eh, tapi tunggu! Pintu keluar itu pasti dikunci juga dong? Mana mungkin nggak. Hmm... apa aku tunggu besok aja?"

Makan malam sudah. Sekarang pukul 9 malam. Sejak masuk kamar, Lana tidak melakukan apa pun selain duduk di ranjang seraya memikirkan rencana kabur dari rumah terkutuk ini. Kalau tidur sekarang, masih terlalu cepat, Lana terbiasa tidur di atas pukul 11 malam. Jadi, apa yang harus dilakukan?

Lana memutar pandangan ke segala arah dengan memelas. Apa jalan-jalan di sekitar rumah? Ah, untuk apa? Tidak ada yang menarik dari rumah berdesain ala Eropa ini. Jalan-jalan di halaman juga agak aneh, walaupun banyak lampu yang terpasang di sana sampai mata kesilauan.

Ya sudah, akhirnya Lana berbaring, menutupi tubuhnya dengan selimut, lalu memejamkan mata. Hanya saja, hal itu berlangsung hanya 3 detik karena matanya tiba-tiba terbuka.

Sigap Lana menegak, kemudian mengarahkan pandangan pada pintu kamar. "Aku harus kunci pintunya supaya Mikail tidak sembarangan masuk ke dalam kamar. Aku nggak mau dia seenak pegang-pegang badan aku, terus dia... hiii!" Tubuhnya gemetaran karena jijik memikirkan bagaimana jika pria itu menyentuhnya. 

Buru-buru Lana mencapai pintu, lalu menguncinya sebelum pria itu tiba-tiba muncul dan masuk ke kamarnya. Ia menghela napas lega. Kini ia aman dari si pria mesum. Lana bisa kembali ke ranjang tidur nyenyak di atasnya. Ia harus punya tubuh bugar untuk mempersiapkan rencana kaburnya.

💍

"Papa... mama...."

Langkah Lana tertatih berjalan di sebuah lorong dingin dan bercat putih. Matanya basah karena air mata yang tak hentinya mengalir. Meski tubuhnya terasa lemas, ia berusaha untuk tetap bertahan hingga mencapai sebuah ruangan. 

Tangannya yang gemetar mengapai pintu, lalu membukanya. Lana melihat dari kejauhan dua jenazah pada ujung ruangan. Dua pria yang mulutnya ditutupi masker mengalihkan pandangan begitu pintu terbuka. 

Lana mencelus, hatinya hancur berkeping-keping menghampiri dua tubuh yang telah terbujur kaku di kamar jenazah. Papa dan mamanya mati! 

Ia berdiri di samping ranjang jenazah mamanya. Bergantian ia menatap jenazah papanya yang ada di ranjang sebelah. Lana menggenggam tangan jemari dingin sang ibu, tangisannya kembali pecah. 

"Papa... mama...."

Lana tersentak, matanya sontak mendelik. Pandangannya mengarah pada langit-langit kamar dengan bergidik, ia menyadari bahwa kini dirinya berada di kamar yang ditempatinya beberapa hari lalu. 

Lagi, ia memimpikan orangtuanya yang sudah mati.

Seraya duduk, Lana menghela napas panjang. Mimpi itu membuat hatinya kembali murung. Niatnya adalah untuk membalas kematian orangtuanya, tapi di saat ada kesempatan berada di dekat Mikail, ia malah berencana untuk kabur.

Bukan, ia tidak bermaksud berhenti untuk balas dendam, tapi hanya ingin keluar dari rumah ini. Karena, kalau ia terlalu lama di sini, takutnya pria itu malah melakukan sesuatu hal. Atau malah... membunuhnya duluan?

"Mungkin, mimpi itu pertanda kalau aku nggak diijinkan kabur dari sini?" gumamnya memelas.

Tanpa sengaja mata Lana melirik ke samping. Ia terkejut, tapi tak bersuara. Entah sejak kapan, dan mengapa Lana baru menyadari keberadaan Mikail di ranjang ini.

Pria itu selalu seenaknya masuk ke kamar ini dan tidur di sampingnya, mentang-mentang ini rumahnya. Mana pulas sekali tidurnya? Memangnya Mikail tidak punya kamar sendiri, sampai tidur di kamar ini?

"Aku pikir, dia sudah lupa sama aku?" gerutunya pelan, sinis. 

Lana mendengus menatap jengkel Mikail. Pria itu masih memakai kemeja dan dasi yang dilonggarkan. Mungkin dia baru pulang? Tidak ada bau alkohol dari tubuhnya, berarti Mikail tidak minum-minum di bar seperti kebiasaannya.

Kemudian, senyum mencemoohnya terkembang. "Maksudnya dia tidur dengan pakaian begini apa coba? Apa mau dibilang seksi? Ya... walaupun begitu kenyataannya sih? Tapi...." 

Apa Lana mulai tergoda pada kesempurnaan yang ada di tubuh Mikail? Lana mengeluhkan hal ini pada Tuhan yang harus memberikan pria iblis ini ketampanan, tubuh atletis, otak pintar, dan tentu saja kekayaan. Kenapa Tuhan tidak memberikan kesempurnaan itu pada pria baik?

Lana menghela napas lagi. Mengeluhkan hal penting dan tidak berguna lagi! Dan ia kesal karena harus terbuai sesaat oleh wajah tampan musuhnya. 

"Tidak, Lana! Kamu ke sini mau balas dendam, bukan mau mengagumi ketampanan musuhmu, apalagi sampai jatuh cinta padanya!" gumamnya seakan sedang mengomeli diri sendiri. 

Ya, Lana harus sadar dan kembali pada tujuannya!

Sekarang, mau diapakan pria mesum ini? Dibangunkan? Dihajar pipinya sampai bonyok? Atau....

Lana mematung, tatapannya terpaku pada leher Mikail, seolah-olah bagian itu adalah target yang ingin dibidiknya.

Apa sekarang kesempatannya? Apa waktunya pria itu mati di tangannya malam ini juga?

Mungkin, mimpi itu pertanda bahwa Lana harus membalaskan dendam orangtuanya. 

Dendam. Perasaan itu menggebu begitu muncul dalam benak. Kebencian bagai angin, agar dendam semakin membara bersamaan dengan keberaniannya. 

Lana mengangkat kedua tangannya. Perlahan, tangan itu mengarah pada leher Mikail. Akan ia remas leher pria itu sampai tewas![]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status