Share

Lima

Mikail mengoleskan salep luka pada bekas cakaran Lana di ruang kerjanya. Sang sekretaris, Vincent, berdiri memandanginya tanpa kata. Namun, Vincent tak dapat menahan lagi bibirnya untuk mengajukan sebuah pertanyaan padanya.

"Apa Anda baik-baik saja? Bagaimana kalau diperiksa ke dokter, Pak? Saya cemas jika luka itu infeksi."

"Tak perlu, aku sudah mengoleskan antiseptik. Lagi pula, ini hanya luka ringan," jawab Mikail santai.

Vincent tak berkomentar sesaat, sebelum muncul lagi pertanyaan lain. "Apa wanita itu yang melakukannya?"

"Ya, dia hebat, 'kan?" sahut Mikail, tersenyum sinis.

"Dia sangat lancang. Berani sekali dia melakukan hal itu pada Bapak?"

Vincent tak bermaksud memprovokasi, tapi dia memang benar-benar marah pada perlakuan yang dilakukan Lana pada bosnya. Namun yang terjadi, Mikail malah tersenyum lebar.

"Dia memang berbeda. Aku tidak pernah menemui wanita manapun yang berani menentangku," komentarnya, mata birunya yang tajam melirik ke arah lain. "Biasanya, wanita-wanita pilihanku selalu tunduk seperti boneka."

Itu karena Mikail mengancam mereka dengan sepucuk pistol di ujung nyawa mereka!

"Tapi, dia sangat kurang ajar! Dia lupa kalau...."

Bibir Vincent terbungkam kala tatapan menusuk Mikail menyasar ke arahnya. Badai akan mengamuk, dan Vincent harus menghindar dengan berhenti bicara dan tetap menuduk.

Namun, bibit badai kadung muncul. Mikail beranjak perlahan dari kursi, tak mengalihkan tatapannya, terus mendekati Vincent dengan rahang mengeras. Lengannya diulurkan pada kerah baju pria itu, menggenggamnya, dan mengangkatnya hingga kaki Vincent nyaris tak menyentuh lantai.

"Beraninya kau menghinanya?" tegurnya bernada mengancam.

Vincent berusaha tetap pada ekspresi datarnya, meskipun merasa gemetaran menghadapi kemarahan Mikail. Ia tahu risiko yang akan didapatnya.

"Maafkan saya, Pak. Saya hanya marah karena nona Lana...."

"Kau bahkan tak berhak menyebut namanya!" tukas Mikail dalam, hingga bulu roma Vincent sontak meremang.

Nyali Vincent benar-benar ciut. Ia tertunduk sesal. "Maafkan saya, Pak."

"KELUAR!" Mikail membentak seraya menghempaskan tubuh Vincent dengan keras sampai terjungkal.

Vincent buru-buru menegak, merapikan penampilannya, lalu berpamitan pergi dari ruangan ini dengan sikap terlihat tetap tenang. Mikail tak mengindahkan, berbalik dengan tangan terkepal.

Vincent selamat karena Mikail masih membutuhkannya. jika tidak, Mikail tidak segan-segan merenggut nyawa dari raganya.

Begitu sosok Vincent keluar dan menutup pintu, Mikail melampiaskan kemarahannya. Meja dipukul, pajangan kuda dan beberapa barang di atas meja dilemparkan seraya berteriak.

Suara gaduh itu mengejutkan para karyawan di luar ruangan, meskipun hal itu sudah biasa bagi mereka. Tapi, dalam benak mereka pasti muncul pertanyaan: "ada apa lagi dengan si bos?"

Setelah kemarahannya tersalurkan, Mikail terduduk di kursi kebesarannya dengan napas terengah-engah. Matanya terpejam erat, menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi, terdiam menenangkan diri perlahan.

Kenapa dia bisa semarah ini hanya karena wanita pembangkang itu? Bukankah ia hanya ingin menjadikan Lana sebagai pemuas hasrat?

Membicarakan soal Lana, tiba-tiba Mikail membuka matanya dan menegak. Ia ingin mendengar kabar gadis itu. Tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Lana? Pasti dia sedang merancang sebuah rencana untuk membunuhnya.

Mikail mencari nomor Norman—dialah yang paling dipercaya dan yang mengawasi keadaan rumah. Dalam waktu singkat, teleponnya diangkat oleh pria paruh baya itu.

"Selamat siang, Tuan."

"Norman," cecar Mikail, begitu terdengar sahutan dari Norman. "Bagaimana dengan lukamu? Tidak mengalami masalah serius, 'kan?"

Norman merasa terenyuh dengan perhatian tuannya, senyum tipisnya terulas. "Saya dalam keadaan baik, Tuan. Terima kasih. Ada apa Tuan menelepon saya?"

"Apa kau sudah mengecek keadaan Lana? Apa ada aktifitas mencurigakan darinya?"

Dahi Norman mengkerut. Apa ada yang tidak beres? "Belum ada laporan, Tuan. Saya akan mengeceknya nanti."

Kalau tidak ada masalah, berarti gadis itu belum melakukan pergerakan apa pun. Agak melegakan, tetapi Mikail tetap waspada. "Awasi dia, dan laporkan setiap gerak-geriknya. Kau tidak boleh lengah!"

Norman tentu mengerti pada perintah itu, dan ia mengangguk paham. "Baik, Tuan."

Sambungan telepon terputus, Norman memasukkan ponsel ke dalam saku celananya seraya berjalan menuju dapur. Beberapa meter dari arah persimpangan lorong, ia berpapasan dengan seorang pelayan muda.

Gadis itu mengangguk hormat, dan Norman pun membalasnya dengan cara yang sama. Tapi, Norman menghentikan langkahnya, lalu menyodorkan sebuah pertanyaan.

"Em, Dewi? Apa kamu sudah membereskan nampan sarapan bekas nona Lana?"

Dewi berputar sepenuhnya pada Norman. "Saya baru mau ke sana, tapi nona Lana sudah mengantarkan nampannya ke dapur," jawabnya polos.

Alis Norman naik sebelah, rasa curiga mencuat. "Terus, dia di mana sekarang?"

"Masih di dapur, mau mengambil air minum." Dewi masih tak menyadari kecurigannya, tetapi ia merasa ada yang tidak beres.

"Oke, lanjutkan pekerjaanmu," sahut Norman, setelahnya buru-buru berjalan menuju dapur.

Norman mulai merasa resah jikalau Lana mulai melakukan pergerakan yang mencurigakan, walaupun rencana gadis itu belum teraba olehnya. Ia harus secepatnya menyelidiki gadis itu. Langkahnya dipercepat menuju dapur.

Ia tak langsung masuk begitu sampai di dapur. Norman bersembunyi di samping ambang pintu dapur, perlahan melongok ke dalam dan mencari sosok Lana.

Kosong?

Norman tercengang tak mendapati seorang pun di dapur. Di mana dia? Apa sudah keluar? Tidak mungkin! Mereka pasti berpapasan jika Lana sudah meninggalkan dapur. Lagi pula, pelayan Dewi baru saja dari dapur.

"Apa mungkin...." gumamnya menduga.

Kakinya melangkah cepat memasuki dapur, lalu menghampiri pintu samping di sebelah kulkas.

"Tertutup. Apa mungkin nona Lana masuk ke sini?"

Tidak mustahil, mengingat wanita itu nekat melakukan apa pun, termasuk menghadapi tuannya yang kejam. Tanpa ragu, Norman membuka pintu, kemudian masuk ke dalamnya. Pas sekali, ia melihat Lana sedang berjalan ke arah lorong ke sebelah kanan.

Norman mendelik, gegas menghampiri Lana seakan ada sesuatu yang gawat. Namun, langkahnya memelan ketika di samping persimpangan. Ia ingin memergoki Lana tanpa curiga sedikitpun.

"Nona?" panggilnya, pas sekali ketika Lana tengah meraih gagang pintu yang posisinya agak terbuka. "Sedang apa Anda di sini?"

Lana terhenyak. Suara seorang pria asing, tapi itu bukan suara milik Mikail. Sebelum dicurigai, Lana buru-buru menutup pintu tanpa suara, lantas berbalik.

Leganya karena pria yang memanggilnya itu muncul dari balik lorong sesudah beberapa detik pintu tertutup. Lana tersenyum kikuk, menyambut pria paruh baya itu.

"Oh! Anda yang...." katanya kemudian, spontan tertegun begitu Norman muncul.

Norman membungkuk hormat sekejab. "Saya Norman, kepala utama pelayan di sini," ujarnya sopan dan tenang seperti biasa. "Sedang apa Anda di lorong khusus kamar pelayan?"

Jadi ini ... oh! Pantas saja ada seorang pelayan yang muncul dari dalam sini. Tapi, kenapa ada pintu rahasia di ujung lorong? gumam Lana dalam hati.

"Em ... cuma mau melihat-lihat aja. Tadi saya lihat seorang pelayan keluar dari dalam sini." Lana memaksakan senyumannya, dan sikap kikuknya terlihat jelas. Tentu saja Norman menaruh rasa curiga dalam sikap tenangnya.

"Oh, begitu? Mungkin dia baru saja berganti pakaian," timpal Norman, pura-pura bodoh. "Kalau Anda mau jalan-jalan keliling rumah, mari saya temani."

Norman merentangkan tangan seraya bergeser untuk memberi jalan pada Lana. Di balik senyuman sungkannya, Lana merutuk kesal karena langkahnya terhalang. Lana melewati Norman, lalu berjalan duluan, sementara Norman mengikuti dari belakang.

Meskipun gagal, tapi tidak apa. Setidaknya, Lana menemukan sesuatu hal yang lebih penting dari harta karun: pintu rahasia menuju pintu keluar dari rumah iblis tampan ini! Lana tersenyum menang, keluar dari area dapur dengan langkah seringan bulu.

Sebentar lagi ia akan bebas![]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status