Share

Empat

"Kau akan kubunuh!"

Lana membeku dengan mata mendelik ngeri. Dibunuh? Tapi, ia tidak siap mati sekarang. Kematian orangtuanya belum terbalas. Ia baru bisa mati jika Mikail yang mati duluan!

Mikail menarik Lana yang masih dalam keadaan terkejut. Namun, kesadarannya cepat pulih, dan langsung menahan tubuhnya sekuat mungkin agar tidak dibawa olehnya.

"Lepaskan! Lepaskan!" jerit Lana.

Lana mencoba melepaskan cengkraman Mikail dengan mencabik tangannya menggunakan kuku hingga berdarah. Mikail justru semakin kuat menariknya meski sembari menahan rasa sakit.

Namun, pada akhirnya Lana tak mampu lagi menahannya, dan mau tak mau terhela. Hanya saja, kakinya tiba-tiba tersandung. Lana terhempas, dan kepalanya membentur tepi ranjang.

Suara pekik kesakitan keluar dari bibirnya. Mikail terhenyak, tetapi bergeming di tempat melihat reaksi Lana selanjutnya. Baguslah, gadis itu tak akan pingsan hanya karena dahinya terbentur sedikit.

"Aduh, aduh. Apa dengan cara ini kau membunuhku?" keluh Lana seraya memegang keningnya.

Lana tertegun, merasakan dahinya basah. Wajahnya memucat ketika menemukan darah di telapak tangannya. "Darah! Kepalaku berdarah! Kepalaku bocor!" pekiknya panik seperti anak kecil yang sedang merengek.

Mikail menghela napas panjang, lalu menggeleng heran. Apa nona mantan orang kaya ini tak pernah terluka? Masa sampai panik begini hanya karena keningnya terluka sedikit?

Lantas, Mikail mendekatinya dan membungkuk. Tanpa seizinnya, Mikail menggendong tubuh Lana, yang langsung memprotes.

"Mau apa kau? Turunkan aku!" semburnya garang.

Mikail tak peduli, dibawanya tubuh Lana ke ranjang, dan mendudukkannya. Lana sudah suudzon saja pada pria itu, dikira Mikail akan berbuat tak senonoh padanya. Tapi, Mikail malah menghampiri sebuah nakas, mengeluarkan sesuatu dari dalam laci.

Mata Lana membulat melihat benda yang dibawa oleh Mikail. Kotak obat? Apa pria itu ingin mengobatinya?

Mikail duduk di hadapan Lana, lalu membuka kotak obat. Lana terdiam melihat Mikail mengisi segelas air yang ada di nakas dekat ranjang, dan mencelupkan kapas ke dalam air. Mikail mengarahkan kapas basah itu ke arah kening Lana, tetapi Lana spontan menjauhkan tubuhnya seraya menatap curiga.

Gadis ini tak mempercayainya? Dikira Mikail ingin mencelakainya? Mikail mendengus keras. "Aku hanya ingin mengobatimu," katanya agak jengkel.

Tetap saja ekspresi Lana tak berubah. "Kenapa?"

Mikail menelengkan kepala seraya mengernyit. "Apanya yang kenapa?"

"Ya ... kenapa kau mau mengobatiku? Bukannya kau ingin membunuhku?"

Masih saja gadis itu berani mengkonfrontasinya, makin kesal saja! "Memangnya kau sudah siap mati?" Mikail bertanya sembari mengusapkan kapas basah pada kening Lana dengan paksa, tak peduli wanita itu memasang wajah cemberut ataupun memprotesnya lagi.

"Sebenarnya sih...." gumam Lana, lambat-laun terdiam karena ragu.

"Kau takut mati, 'kan?" tebak Mikail langsung.

"Nggak!" seru Lana, menyanggah keras. "Aku tidak akan mati sekarang, sebelum kau yang mati duluan!"

Mikail tak menjawab, fokus memberikan obat merah dan membalut luka dengan plester. Lana juga tidak mengatakan apa pun lagi setelahnya, iapun terdiam sambil mencoba mengalihkan tatapannya ke arah lain. Habis, canggung sekali rasanya, dan ia takut tergoda oleh wajah tampan Mikail yang aristokrat.

Setan memang resek! Hati Lana lama-lama terayu untuk memandangi wajah pria itu. Awalnya, matanya tak sengaja melirik sekilas pada Mikail. Namun, setan terus menghasut, ia melirik beberapa kali pria itu, sampai akhirnya ia menatapnya diam-diam. Lana sengaja menunduk supaya Mikail tak mencurigainya sewaktu-waktu ia kepergok.

Finish! Mikail menekan agak keras plester yang ditempelkan pada kening Lana seraya berkata, "Baiklah. Silakan saja kau coba membunuhku, itupun kalau bisa."

Lana menyipit sengit ketika Mikail beranjak dari tempatnya. Senyum mencemooh itu, apa Mikail meremehkannya? Ya, walaupun Mikail dijaga ketat oleh banyak pengawal, dan kualitas makanannya terjamin sebab memiliki banyak pelayan yang memasakkan makanan, bukan berarti Lana tak memiliki kesempatan untuk membunuhnya.

Lihat saja Mikail. Nyawamu dalam genggamanku sekarang!

đź’Ť

Pakaian sudah berganti dengan gaun pilihannya. Para pelayan muda membantunya berdandan dengan riasan natural yang cantik. Setelah itu, ia ditinggalkan dalam kamar dengan menu sarapan.

Lana menatap nampan yang berisi lasagna, susu, dan sepiring puding cokelat dengan fla yang lumer di atasnya. Menggoda? Tidak! Justru ia malas melihatnya.

"Bagaimana dia bisa tahu menu sarapan kesukaanku?" gumamnya, memalingkan wajah jengkel. "Apa dia pikir, makanan favoritku bisa mengubah pendirianku? Jangan harap!"

Tapi, perut yang keroncongan tak bisa disembunyikan. Sekeras apa pun Lana untuk menolak makanan itu, pada akhirnya sulit baginya untuk menahan rasa lapar, apalagi sudah terlambat baginya untuk sarapan.

Disantapnya makanan itu sampai ludes, yang tersisa hanya nampan berisi piring dan gelas kosong. Sepertinya benar, kalau perut sudah terisi penuh, maka otak bisa berpikir dengan baik. Pandangannya kembali teralihkan pada nampan, dan sebuah ide muncul saat itu juga

"Apa aku berdalih mengantarkan nampan itu ke dapur sambil mencari jalan keluar?" gumamnya, kemudian mengalihkan pandangan pada pintu kamar. "Kan aku nggak dikurung dalam kamar?"

Lana melompat dari ranjang, berjalan menuju jendela. Ia berdiri di sana, memperhatikan situasi area halaman rumah dari atas. Entah apa karena sejak Lana ditempatkan di sini, penjagaan rumah menjadi sangat ketat?

Sudah ada dua satpam yang berjaga, Mikail tetap menempatkan dua pengawal berbadan besar di sana. Selain itu, ia melihat 3 penjaga mondar-mandir di sekitar halaman. Bahkan, salah satu pengawal memergokinya di sana. Lana terkesiap, spontan bersembunyi di balik pintu.

"Kalau kayak gini? Bakal susah buat kabur," rutuknya, rahangnya mengeras. "Jangan-jangan ... Mikail juga menempatkan pengawal di sana?"

Gusar, gemas, dan cemas, itulah yang dirasakan Lana seraya mondar-mandir di ruangan itu. Otaknya benar-benar buntu, tak ada ide lagi! Kalau ia tak bisa keluar dari sini, sulit baginya untuk membunuh Mikail.

"Tau ah!" pekiknya geram. "Mungkin ada baiknya aku coba dulu mencari jalan keluar lain yang ada di rumah ini."

Lana menyambar nampan itu, lalu melangkah cepat keluar dari ruangan. Namun, sesampainya di luar, Lana malah bergeming skeptis. Apa rencananya ini akan berhasil? Ia cemas jika ada pengawal atau pelayan yang menghalanginya.

Ia mengulum bibirnya, berpikir berulang kali sebelum akhirnya memutuskan untuk terus melanjutkan rencananya. Gamang, Lana melangkahkan kakinya di lorong itu. Sesampainya di tangannya, Lana berjingkat menuruni tangga sembari melihat waspada di sekitar.

Ia berhasil melewatinya tanpa bertemu dengan pelayan atau pengawal. Pada ke mana mereka? Apa jangan-jangan para pelayan sedang sibuk di dapur? Biar saja! Dengan begitu, ia bisa bebas menjelajahi sudut rumah setelah mengantarkan nampan ini.

Lana sampai di ambang pintu menuju dapur. Perlahan ia melongok ke dalam dapur. Tapi, dapur ternyata kosong. Lana tertegun heran. Ke mana para pelayan?

"Apa mereka tidak mempersiapkan menu makan siang? Oh, iya! Majikan mereka kan tidak di rumah."

Hmm ... sudahlah! Walaupun tak sesuai perkiraan, Lana akan tetap pada rencana awal. Bagaimana hasilnya, lihat saja nanti!

Lana akan melangkah masuk ke dalam dapur, tapi kembali bersembunyi di balik tembok sebab seorang pelayan muncul dari sebuah pintu di samping kulkas.

Ada ruangan lain di sana? Tempat apa itu? Apa di sana terdapat pintu keluar? Lana penasaran.

Lana keluar dari persembunyian, bersikap biasa. Pelayan tadi tengah membersihkan tangan. Dia tertegun ketika melihat Lana memasuki dapur.

"Nona?" Spontan pelayan itu menyapa. Mendapati Lana membawa nampan, pelayan itu bergegas merenggutnya dari Lana. "Sini, Nona. Biar saya aja yang bawa."

Lana tertawa kecil. "Terima kasih," jawabnya.

Pelayan meletakkan nampan itu di westafel. Lana berpura-pura mencari gelas dan mengisinya dengan air sebagai dalih menunggu pelayan itu keluar dari dapur.

Lana diam-diam melirik pelayan itu sembari menyesap airnya sedikit-sedikit, menunggu sampai akhirnya si pelayan berkata:

"Nona, saya permisi dulu. Kalau membutuhkan sesuatu, panggil saja."

Lana tersenyum samar sekejab, lalu berpura-pura tertegun. "Ah, iya! Terima kasih," sahutnya.

Pelayan itu pergi. Lana melongok ke luar, memastikan pelayan itu benar-benar sudah menjauh dari sini. Sekarang, giliran ia memeriksa tempat ruangan itu.

Lana menghampiri, lalu membuka pintu yang dilewati oleh pelayan tadi. Gegas ia masuk ke dalam. Ia terpana melihat ini hanya lorong sempit yang terdapat beberapa pintu di samping kanan dan kiri lorong.

"Mirip kos-kosan," gumamnya. "Ruangan apa yang ada di balik pintu ini?"

Lana mencoba mencari tahu dengan membuka pintu paling depan lorong ini. Dikunci! Mungkinkah semua ruangan juga dikunci? Sia-sia dong pencariannya?

Akan tetapi, ia menemukan jalan lain di lorong ini. Pikirnya, mungkin sama juga dengan di lorong ini?

Sikap keras kepala dan rasa keyakinan tinggi membuatnya terus melangkah untuk mencari tahu. Akhirnya, Lana menuju ke lorong itu. Ternyata, lorong itu sangat pendek, dan terdapat sebuah pintu yang terbuka sedikit.

Ada cahaya yang terlihat dari celah pintu! Apa itu adalah pintu keluar rahasia?

"Nona? Sedang apa Anda di sini?"

Lana mendelik, suara seseorang di belakangnya mengejutkannya. Gawat, ia ketahuan![]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status