Share

#01

Eriska Putri membenci angka empat.

            Menurutnya, angka empat adalah angka sial. Sejak kecil, gadis berambut panjang sepunggung, dimana hanya pada bagian bawahnya saja yang ikal dan memiliki warna asli cokelat sejak lahir itu, selalu menghindari apapun yang ada kaitannya dengan angka empat. Selain dianggap sial olehnya, dia juga mendengar desas-desus dari orang-orang disekitarnya bahwa angka empat dipercaya sebagai angka kematian. Mau takhayul atau tidak, pokoknya Eriska membenci angka tersebut.

            Dan, sialnya lagi, hari ini adalah hari Senin. Hari Senin yang jatuh pada tanggal empat di bulan ini. Hari Senin yang sudah membuat Eriska gondok setengah mati dan percaya bahwa dia akan terkena kutukan entah oleh siapa. Coba saja perhatikan keadaan di rumahnya saat ini.

            Ruang tamu rumahnya berantakan, meja makan yang kosong, televisi yang dibiarkan menyala dan tumpukkan cucian piring di dapur. Eriska hanya bisa diam, memendam semua amarahnya dan menarik napas panjang. Berharap dengan begitu, dia bisa sedikit tenang. Nyatanya, hatinya tetap saja terasa panas. Dia ingin berteriak, tapi takut mengundang pertanyaan dari para tetangga.

            Sejak Eriska berusia tujuh tahun, dia tinggal bersama dengan ayah dan ibu tirinya. Ibu kandungnya sudah meninggal ketika dia masih berusia lima tahun karena penyakit ginjal yang dideritanya. Kemudian, ayahnya menikah lagi. Mereka tinggal bersama sampai kemudian musibah itu datang.

            Perusahaan ayahnya bangkrut. Rumah mereka disita. Eriska terpaksa pindah sekolah. Itu artinya, keluarga mereka pun harus pindah rumah. Rumah yang mereka tempati saat ini jauh lebih kecil daripada rumah mereka dulu. Ini hanya rumah sederhana dengan halaman asri yang begitu menenangkan. Eriska yang masih kecil dan tidak mengerti apa-apa hanya bisa diam dan mengikuti kemana saja ayah dan ibu tirinya membawanya.

            Kemudian, ayah dan ibu tirinya mulai sering bertengkar. Kadang, Eriska selalu diperlakukan dengan kasar oleh wanita itu. Disuruh menyapu dan mencuci piring serta mengepel. Eriska juga selalu diancam oleh wanita itu untuk tidak mengadu pada sang ayah. Hilang sudah sosok ibu tiri yang baik hati, yang selalu Eriska lihat sebelum peristiwa bangkrutnya sang ayah terjadi.

            Tabungan ayahnya di bank rupanya masih bisa dipakai untuk menghidupi keluarga kecil mereka dan biaya sekolah Eriska. Sejak saat itu pula, sang ayah mencari kerja lagi dan berhasil mendapatkannya walau dengan gaji yang tidak terlalu besar. Tentu saja, Eriska harus rela sekolah di tempat yang tidak sebagus sekolahnya dulu. Tapi, Eriska tidak pernah mengeluh. Dia mendapatkan teman-teman yang baik.

            Berbeda dengan teman-temannya di sekolahnya yang dulu.

            Ralat. Hanya satu orang.

            Orang yang sudah menghancurkan masa SD Eriska selama dua tahun, sebelum akhirnya dia terpaksa pindah sekolah.

            “Bisa gila gue lama-lama,” gerutu gadis itu sambil menggelengkan kepalanya. Ingatan akan masa kecilnya membuat Eriska berdecak dan menjatuhkan tubuhnya di sofa. Dia melirik jam dinding dan jarumnya sudah mengarah ke angka sembilan. Satu jam dari sekarang, kuliah jam pertamanya akan dimulai.

            Tangan Eriska terulur untuk meraih remote televisi. Iseng, dia mengganti saluran acara hingga muncullah seraut wajah yang membuatnya mendengus dan bersedekap.

            Arziko Pratama.

            Artis remaja yang sedang naik daun karena film perdananya laris di pasaran dan digandrungi oleh remaja-remaja di Indonesia, terlebih remaja perempuan. Laki-laki yang seumuran dengannya. Laki-laki yang kini tersenyum lebar di depan kamera sambil menjawab beberapa pertanyaan para reporter.

            “Semua ini berkat dukungan dari keluarga saya dan para penggemar saya. Tanpa mereka, saya bukanlah apa-apa,” ucap Arziko di layar televisi, yang direspon dengan kepalan tangan Eriska.

            “Dasar iblis berwajah malaikat!”

###

Arziko Pratama memperhatikan lagi layar monitor laptopnya. Dia menatap seraut wajah manis dengan senyuman ramah yang menghiasi layar tersebut. Di bawah foto profilnya, tertera nama dari si pengguna akun dan juga sedikit biografi yang dia tulis.

            Eriska Putri.

            “Gue beneran kayak pernah liat muka nih orang, deh,” ucap Arziko lagi, entah untuk yang keberapa kalinya. Laki-laki itu menoleh ke arah Fian Wiyoko, sahabatnya yang juga berprofesi sama seperti dirinya. Fian sendiri hanya mengedikkan bahu, bingung harus merespon apa dengan pernyataan ragu yang terus diulang oleh Arziko.

            “Gue yakin banget!” Arziko kembali menatap layar laptopnya. “Muka dia familiar banget soalnya, Yan!”

            “Kalau lo tanya siapa dia ke gue, lo nggak akan dapat jawaban apapun, Ar,” ucap Fian akhirnya sambil berdecak. Dia melirik Arziko sekilas dan kembali fokus pada permainan di ponselnya. “Gue nggak tau siapa gadis itu. Gue baru pertama kali liat mukanya, waktu lo nunjukkin ke gue barusan.”

            Arziko tidak mengatakan apapun lagi selain terus menatap wajah Eriska Putri. Feeling-nya mengatakan bahwa dia pernah bertemu dengan Eriska. Sampai akhirnya, laki-laki itu mengalihkan tatapannya dari layar laptop, ketika pintu kamarnya terbuka.

            “Lama banget, sih? Viona udah nungguin lo dari tadi, tau?”

            Gina Rahmawati memasuki kamar Arziko dengan alis terangkat satu sambil menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menyapa Fian sekilas dan kembali memusatkan perhatian pada sahabatnya sejak SD itu.

            “Macet. Lo kayak nggak tau gimana ruwetnya jalanan kota Jakarta, deh,” kata gadis itu santai. Dia mengambil roti yang berada di atas meja kecil di samping tempat tidur dan mengunyahnya tanpa merasa bersalah. Tidak peduli bahwa Arziko sedang memelototinya saat ini.

            “Viona lagi ngapain?” tanya Gina.

            “Istirahat. Baru dikasih obat.” Arziko kemudian bangkit dari posisinya dan mendekati Gina. Tak lupa, laki-laki itu membawa serta laptop yang sejak tadi selalu bersamanya. Diarahkannya layar laptop tepat di depan wajah Gina, sehingga gadis berambut bob itu bisa melihat dengan jelas sosok yang akan ditanyakan oleh Arziko.

            “Lo familiar nggak sama mukanya?”

            Gina tidak langsung menjawab. Keningnya mengerut sebentar dan gadis itu menelan kunyahan rotinya, sebelum akhirnya dia menjawab semua pertanyaan yang sejak tadi berkecamuk di benak Arziko.

            “Lo lupa sama dia?” Gina bertanya kalem. Yang ditanya hanya diam dan kembali menatap wajah Eriska di layar.

            “Gue ngerasa familiar sama mukanya, tapi gue nggak bisa ingat pernah ketemu dia di mana,” jawab Arziko polos. Jawaban yang membuat Gina menghela napas jengkel dan akhirnya menjitak kepala laki-laki itu dengan sepenuh hati. Di tempatnya, Fian terkekeh geli dan kembali melanjutkan permainannya di ponsel.

            “Gina! Gue nanya baik-baik kok malah dijitak, sih?!”

            “Ya, habis... elo nggak peka gitu, sih!” sungut Gina bete.

            “Gue nggak peka apa, coba?”

            Gina menarik napas terlebih dahulu, sebelum kemudian menatap Arziko serius.

            “Ar, lo pasti ingat, dong, gimana nakalnya elo waktu SD dulu?”

            Arziko memiringkan kepala kemudian menggeleng. Gina hanya bisa mengelus dada dan mencoba bersabar, sementara Fian tertawa keras. Dia mulai tertarik dengan percakapan diantara Arziko dan Gina, kemudian mencampakkan ponselnya begitu saja.

            “Apa hubungannya gadis ini, permintaan konyol Viona sama kenakalan gue waktu SD?”

            “Elo itu, nakalnya bikin orang lain frustasi, Ar! Gue berani sumpah disamber geledek, kenakalan elo itu benar-benar dahsyat! Lo bikin guru-guru kita kelimpungan dan teman-teman kita nangis nggak karuan.”

            “Lo juga pernah gue bikin nangis?” tanya Arziko polos. Yang ditanya hanya menyipitkan mata kesal.

            “Nggak, tapi bukan itu masalahnya!” Gina melirik sekilas wajah Eriska di layar dan kembali menatap Arziko. “Dengar, Ar... gue rasa, lo nggak akan bisa membujuk Eriska untuk menemani Viona di rumah, seperti permintaan adik tercinta lo itu. Eriska nggak akan pernah sudi ketemu lo dan berurusan sama lo, meskipun itu baru opini gue. Tapi, opini gue itu berdasarkan fakta yang ada! Sejarah diantara lo sama dia.”

            “Kenapa bisa begitu?” pertanyaan Fian mewakili isi otak Arziko saat ini. Laki-laki itu bersedekap dan menatap Gina geli. “Kenapa Eriska nggak mau berurusan sama Arziko dan menolak permintaan Viona? Masa, sih, gadis dengan wajah semanis dan seramah Eriska bisa tega menolak permintaan orang yang lagi sakit?”

            Kini, tatapan menuntut Arziko mengarah pada Gina. Gadis itu masih diam, menimbang dalam hati apakah dia harus memberitahu kebenaran empat belas tahun silam. Tapi, kalau Arziko nekat menemui Eriska, bisa dipastikan akan terjadi perang dunia ketiga. Kalau sekarang Gina memberitahu Arziko, mungkin laki-laki itu bisa membujuk Viona untuk mengganti permintaannya.

            “Gina?”

            Panggilan Arziko itu membuat Gina tersentak dan mendongak. Gadis itu sendiri tidak sadar bahwa dia sudah menundukkan kepala untuk berpikir bagaimana keputusan terbaik yang harus dia lakukan.

            “Eriska Putri... dia adalah korban kenakalan lo yang paling utama.”

            Hah?

            Apa kata Gina barusan?

            “Lo selalu mengganggu dan menjahili Eriska, Ar....” Seakan tahu apa yang berkecamuk dalam pikiran Arziko, Gina kembali berkata, “dia adalah target utama kenakalan lo. Dia orang yang selalu nangis karena ulah lo, dan lo nggak pernah berhenti untuk menjahili dia setiap harinya selama dua tahun, sebelum akhirnya Eriska memutuskan untuk pindah sekolah.”

            Arziko hanya diam, sementara Fian terbahak hebat.

            “Gue rasa,” kata Fian disela tawanya. “Eriska bakalan langsung mengutuk lo atau ngebunuh elo, begitu dia ngeliat tampang lo, man!”

###

This is bad idea, Ar!”

            Peringatan dari Gina itu tidak digubris oleh Arziko. Fian sendiri memilih diam dan tidak ikut campur. Ini murni masalah diantara Arziko, Eriska dan Gina sebagai saksi kunci dari kenakalan Arziko pada Eriska di masa lampau. Dia hanya ingin mengamati dan menonton kehebohan yang mungkin akan terjadi nanti.

            “Diam, Gin... gue butuh ngomong sama Eriska dan gue harus dapat persetujuan dia! Kalau perlu, gue akan seret dia supaya dia mau menemani Viona setiap hari di rumah!”

            “Jangan sinting, Ar!” Gina menghalangi langkah Arziko. Sejak tadi, para pengawal Arziko sibuk mengatasi para penggemar laki-laki itu dan juga penggemar Fian yang mulai mengerubungi keduanya, begitu mobil Alphard Arziko memasuki arena parkir kampus Eriska. “Kalaupun Eriska bersedia, dia nggak akan mungkin datang ke rumah lo setiap hari! Dia punya kehidupan dan dia juga harus kuliah! Nggak seperti lo yang bisa membayar dosen untuk ngajarin lo di rumah, dia lebih memilih kuliah di universitas dan lo harus sadar akan hal itu!”

            Arziko balas menatap Gina, namun niatnya tidak akan surut, sekalipun Gina saat ini sedang menatapnya tajam. Baru saja dia hendak menggeser tubuh Gina dari hadapannya, sosok yang sejak tadi pagi diperbincangkan oleh Arziko juga Gina muncul. Gadis itu, memakai beret hat berwarna cokelat gelap, dipadu dengan sepatu kets dan celana jeans hitam. Kaus lengan panjang itu dibalut dengan rompi berwarna senada dengan celana jeans yang dia kenakan.

            Eriska Putri berada tepat di hadapannya!

            “Kalau mau bikin kehebohan,” kata Eriska dengan nada dingin yang begitu kental. Gina dan Fian bahkan tertegun kala mendengar nada gadis itu. Terlebih saat sepasang mata Eriska ketika menatap Arziko. Begitu sarat akan kebencian. “Jangan bikin kehebohan di kampus. Kampus tempatnya orang belajar dan menimba ilmu.”

            Selesai berkata demikian, Eriska pergi begitu saja. Hebatnya lagi, gadis itu justru pergi melewati Arziko karena memang tujuannya adalah perpustakaan yang berada di gedung di belakang laki-laki itu.

            “Eriska Putri!”

            Seruan itu membuat langkah Eriska terhenti. Gadis itu tetap pada posisinya, memunggungi Arziko dan juga Gina. Dia ingat siapa itu Gina. Sahabat Arziko saat di sekolah dulu. Orang yang selalu berada di dekat Arziko dan bermain bersama laki-laki sialan itu. Orang yang tidak pernah dijahili ataupun diganggu oleh Arziko si titisan iblis!

            “Gue tau lo ingat kalau kita adalah teman SD.”

            Teman? Teman dia bilang?!

            Teman gundul Mbahmu! Sejak kapan mereka berteman?! Sejak kapan?! Bahkan saat ayam masih berwujud dinosaurus sekalipun, Eriska tidak mempunyai teman SD bernama Arziko Pratama!

            Cuih! Amit-amit tujuh turunan, delapan belokan, sembilan tanjakkan, sepuluh tikungan lah, ya!

            “Teman SD lo bilang?” tanya Eriska, masih dengan nada dingin yang sama. Gadis itu kemudian mendengus dan memutar tubuhnya sedikit agar bisa menatap Arziko. Di sana, Arziko masih memandanginya. Tidak gentar sekalipun dia berbicara dengan nada dingin dan tajam yang begitu menusuk. Arziko tetap pada posisinya, berdiri tegak dan menatapnya berani.

            Memuakkan!

            Sudah Eriska duga, hari ini, hari Senin tanggal empat di bulan ini, dia akan mendapat bencana. Dan bencana itu tepat berada di depannya. Entah bagaimana caranya, dia bisa bertemu lagi dengan laki-laki sialan penghancur masa SD nya tersebut. Sepulangnya dia dari kampus, dia akan mandi kembang tujuh rupa untuk menghilangkan kesialannya ini!

            “Gue nggak pernah punya teman SD seperti lo.” Eriska memiringkan kepala dan tersenyum mengejek. “Lagipula, kedatangan lo ke sini hanya menimbulkan keonaran, Tuan Artis yang terhormat. So, lebih baik lo cepat pergi dari sini.”

            Baru saja Eriska hendak melanjutkan langkah, sesuatu menyambar lengannya. Dia mendapati tubuhnya diputar secara tegas hingga berhadapan lagi dengan oknum yang sudah membuatnya muak setengah mati sejak kecil. Ketika tatapan mereka bertemu, Eriska merasa semua memori otaknya menyeruak keluar. Kenangan tidak enak itu kembali memenuhi kepalanya, membuatnya sesak oleh amarah dan kebencian. Dengan satu gerakan cepat, dia menyentak tangan Arziko pada lengannya dan mendorong tubuh laki-laki itu dengan kuat.

            Arziko hanya bisa membisu. Tidak menyangka sebesar inilah kebencian Eriska padanya. Mata gadis itu berkobar, sementara dadanya naik-turun karena emosi.

            “Don’t you dare to touch me!” Eriska berusaha mengontrol emosinya namun gagal. “Gue nggak sudi disentuh sama iblis macam lo, paham?!”

            Semua fans Arziko dan Fian yang sempat heboh dan susah diatur oleh para pengawal Arziko itu kini membisu. Menatap Eriska dengan tatapan bertanya. Ada hubungan apakah diantara Eriska dan Arziko si artis remaja yang sedang naik daun itu? Kenapa gadis itu sepertinya benci setengah mati pada Arziko?

            Eriska kembali memutar tubuh dan berniat untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin, ketika dia mendengar namanya kembali dipanggil. Gadis itu awalnya ingin bersikap masa bodoh, saat didengarnya suara Gina memanggil nama Arziko dan sentakkan napas dari para fans bodoh laki-laki brengsek itu. Mengabaikan egonya, gadis itu akhirnya menoleh dan... tertegun.

            Arziko Pratama, si artis terkenal, kini sedang berlutut dan menatap ke arahnya!

            “Gue nggak peduli kalau lo benci setengah mati sama gue karena kelakuan gue di masa kecil kita, tapi....” Laki-laki itu mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh dan menatap manik Eriska dengan tegas. “Gue mohon, kabulkan permintaan adik gue!”

###

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status