Share

#02

Berlututnya seorang Arziko Pratama saat ini pastinya akan membuat gosip besar. Karenanya, Fian segera mendekati sohibnya itu, memegang lengannya, mencoba untuk menarik Arziko agar laki-laki itu segera berdiri. Namun, Arziko tetap pada posisinya. Seperti patung, laki-laki itu sulit untuk diajak bergerak oleh Fian, membuat Fian kesal dan berdecak jengkel. Akhirnya, laki-laki itu berjongkok di samping Arziko dan menatap tegas sohibnya itu. Memang, sih, Fian sempat tertegun dengan aksi konyol Arziko ini, sebelum akhirnya kesadaran Fian mengambil alih akal sehatnya.

            “Ar,” bisik Fian dengan nada tegas. “Lo udah bertindak terlalu jauh! Kalau ada salah satu dari mereka yang mengambil foto lo dalam posisi berlutut seperti ini, di depan seorang gadis yang bahkan nggak sudi menganggap lo sebagai teman masa kecilnya dulu, lo bakalan habis di tangan para reporter acara gosip! Lo bakal digosipin, Ar! Reputasi lo bisa jatuh, nanti!”

            “Gue nggak peduli!” Arziko tetap menatap Eriska yang kini mendengus dan tertawa mengejek di depannya dengan nada pelan, meskipun yang mengajaknya berbicara saat ini adalah Fian. “Asalkan dia bersedia ikut gue ke rumah untuk menemui Viona, gue rela dijadiin bahan gosip apapun di televisi! Viona lebih penting buat gue.”

            “Ar, gue tau lo sayang banget sama adik lo dan adik lo kepengin banget ketemu sama penulis yang ceritanya terkenal di media sosial itu,” kata Fian lagi. Masih dengan misi utamanya: menyuruh Arziko untuk bangkit dan tidak berlutut lagi. “Tapi, kita bisa pakai cara lain, bukan dengan cara berlutut seperti ini! Ini udah ngerendahin lo, apa lo nggak sadar? Hah?!”

            “Dia benar.”

            Suara Eriska terdengar,ketika Fian menyelesaikan kalimatnya barusan. Gadis itu bersedekap dan memiringkan kepala. Senyuman mengejek itu tercetak jelas di bibirnya, membuat Fian menahan diri untuk tidak mengeluarkan makian terhadap gadis teman masa kecil Arziko itu. Fian paham dengan situasi yang harus dihadapi oleh Arziko, tapi... gadis itu sudah membuat sahabatnya menurunkan harga dirinya!

            Di tempatnya, Gina sendiri tidak mempercayai apa yang baru saja dia lihat. Eriska, sosok manis dan ramah itu kini berubah drastis. Kerap kali menjadi korban keisengan dan kejahilan Arziko di masa lalu membuat gadis itu menjadi seperti ini. Seperti bongkahan gunung es yang sulit untuk dicairkan. Memang, Gina harus mengakui bahwa kenakalan Arziko pada Eriska sudah kelewatan. Walaupun hanya kenakalan yang dilakukan oleh seorang anak kecil, sepertinya dampak yang diterima oleh Eriska sangat berpengaruh pada sifat dan sikap gadis itu setelahnya.

            “Apa maksud lo?” tanya Arziko. Setelah sempat terdiam dengan ucapan Eriska barusan, laki-laki itu akhirnya bersuara juga.

            Eriska mengedikkan bahu dan berjalan mendekati Arziko. Tepat di depan laki-laki itu, kepala Eriska menunduk. Menikmati bagaimana Arziko berada di bawah kakinya. Memohon padanya. Namun, tetap saja rasa sakit hati itu belum sirna. Tidak akan cukup hanya dengan berlutut seperti ini. Arziko Pratama harus merasakan apa yang dia rasakan waktu kecil dulu. Laki-laki itu harus merasakan akibat dari perbuatannya dulu.

            “Apa lo nggak takut? Liat di sekeliling lo, Arziko Pratama.” Eriska mengedarkan pandangannya lalu kembali menatap Arziko. “Para fans setia lo sedang menatap lo. Beberapa diantara mereka bahkan memegang ponsel. Kalau mereka mengambil foto lo sedang berlutut seperti ini di depan seorang gadis asing, lo pasti akan jadi santapan lezat bagi acara gosip. Pamor lo mungkin akan turun, pun dengan karir lo yang sedang merangkak naik.”

            “Seperti yang gue bilang tadi, gue sama sekali nggak peduli akan hal itu.” Arziko menjawab mantap. Semantap tatapannya ketika bertemu dengan manik Eriska. “Gue hanya peduli sama adik gue dan kesediaan lo untuk ikut gue ke rumah. Gue akan terus berlutut di sini, sampai lo setuju dengan permintaan gue.”

            “Ar!” seru Fian dan Gina bersamaan. Keduanya bahkan menatap sahabat mereka itu dengan tatapan tidak percaya.

            Ini gila!

            Ini benar-benar gila!

            “Gue mohon, ikut gue ke rumah dan temani adik gue yang sangat menyukai semua karya tulisan lo, Eriska,” kata Arziko lagi, mengabaikan seruan Fian dan Gina. “Jangan lakukan itu demi gue, tapi demi adik gue. Dia sedang sakit dan dia sangat ingin ketemu lo. Please, i’m begging you! Akan gue tebus semua kenakalan gue dan kesalahan gue sama lo di masa lalu.”

            Eriska diam. Dia salut dengan keteguhan Arziko. Dia suka cara laki-laki itu memohon kepadanya, membuat rasa puas tersendiri pada diri Eriska. Dia bisa ganti merendahkan laki-laki itu, seperti dulu yang selalu Arziko lakukan padanya di depan semua teman-temannya. Bagaimana Arziko sering mempermalukannya di depan kelas masih terus membayanginya selama empat belas tahun terakhir ini. Mendatanginya dalam mimpi buruk, bahkan membuatnya susah bersosialisasi dengan orang lain karena takut dijahili, diganggu dan diisengi oleh mereka. Eriska takut berteman dengan orang lain karena perlakuan Arziko yang masih membekas di hatinya. Itulah yang membuat Eriska selalu mengingat Arziko. Agar suatu hari nanti, dia bisa membalas perbuatan laki-laki itu.

            Niat Arziko benar-benar mantap. Itulah sebabnya, dia sampai nekat berlutut dan terus memohon seperti ini. Sebenarnya, dia sendiri tidak ingat kenakalan apa saja yang sudah dia perbuat terhadap Eriska, hingga menjadikan gadis itu seperti bola salju yang siap menggilingnya sampai habis seperti ini. Untuk ukuran gadis berwajah manis dan cantik, memiliki senyuman yang menawan dan elegan, sikap dingin dan tidak bersahabatnya Eriska patut diacungi jempol. Gadis itu benar-benar membencinya lahir batin. Kalau bukan karena penjelasan Gina, mungkin sampai saat ini, dia tidak akan pernah mengingat siapa itu Eriska.

            Pertanyaan kedua yang muncul di benaknya adalah, kenapa Viona, adik semata wayangnya itu justru menyukai—nyaris terobsesi—dengan semua karya tulisan Eriska? Menurut riset yang dilakukan oleh Arziko, ketika dia mendengar penuturan adiknya dan permintaan konyol gadis itu, ada ratusan penulis lainnya yang karyanya jauh lebih bagus dan menarik. Tapi, Viona malah terpaku hanya pada tulisan Eriska. Kalau sudah begini, hanya ada satu kemungkinan yang muncul di kepalanya.

            Tuhan menginginkannya untuk bertemu dengan Eriska dan meminta maaf pada gadis itu atas semua dosanya di masa lalu.

            Karena, Arziko tidak pernah percaya dengan yang namanya kebetulan.

            “Terserah elo.”

            Suara Eriska menyadarkan Arziko dari lamunannya. Laki-laki itu kembali fokus pada seraut wajah manis dengan senyuman dinginnya tersebut. Tatapan mata Eriska masih mengeluarkan bara kebencian yang sama. Dalam hati, Arziko mengutuk hari dimana dia selalu membuat Eriska menangis karena ulah nakalnya saat kecil. Tahu akan seperti ini kejadiannya, mungkin dulu Arziko tidak akan berulah macam-macam pada gadis itu.

            “Terserah elo, Arziko Pratama yang terhormat,” ucap Eriska lagi. “Gue nggak akan mau tanggung jawab dengan apapun yang lo lakuin saat ini. Lo mau terus berlutut? Silahkan! I don’t care! Kita lihat, sejauh apa lo akan bertahan dengan kelakuan konyol lo itu.”

            “Lo jual, gue beli, Eriska.”

            Langkah kaki Eriska kembali terhenti, ketika gadis itu sudah memutar tubuh dan berniat pergi. Kalimat Arziko barusan benar-benar membuatnya tidak habis pikir. Sudah diperlakukan sedingin dan sesinis ini pun, laki-laki itu masih bertahan dan bahkan memulai permainan baru?

            Kepala Eriska menoleh sedikit, menatap Arziko melalui celah pundaknya. Dia melirik Gina sekilas, juga Fian yang melayangkan tatapan kesalnya. Masa bodoh dengan dua teman Arziko itu, Eriska tidak peduli. Yang jelas, Arziko sudah mengibarkan bendera perang yang baru.

            Sialan!

            “Lo jual, gue beli. Berapapun itu, akan gue beli. Permainan ini, akan gue menangkan, Eriska. Kita liat, pada akhirnya nanti, lo akan kalah dan memutuskan untuk menyetujui permintaan gue. Gue yakin, hati nurani lo masih berfungsi dengan baik.”

            Eriska hanya diam. Gadis itu kembali melanjutkan langkah dan mulai gusar.

            Arziko brengsek!

###

Langit mulai menghitam di atas sana. Angin berhembus sangat kencang, membuat kerumunan yang tadinya masih setia mengelilingi Arziko mulai berkurang. Lambat laun, kerumunan itu hilang, menyisakan Arziko, Fian, Gina dan para pengawal laki-laki itu. Sesekali, kilat akan terlihat di langit, disusul dengan gemuruh petir yang tidak terlalu besar. Gina merapatkan jaket kulit Fian yang tadi disampirkan laki-laki itu di tubuhnya.

            “Ar! Otak lo mulai geser, ya?!” seru Gina emosi. Gadis itu menggelengkan kepalanya dan berdecak jengkel. “Ini mau hujan besar, kalau lo nggak mendadak bego! Lo mau sampai kapan berlutut disitu, hah?”

            “She’s right, man,” timpal Fian. Dia menepuk pundak Arziko yang masih bertahan pada posisinya sejak satu jam yang lalu. Wajah itu datar, sedatar tatapan matanya saat ini. “We’ll find another way, Ar. Kita akan cari cara lain supaya Eriska mau ketemu sama adik lo.”

            “Cara yang bagaimana?” tanya Arziko. Nyaris putus asa. Dia mengangkat kepala dan bertemu mata dengan Fian juga Gina. “Gue mulai desperate. Gue berharap dia terintimidasi sama kalimat gue dan akhirnya mutusin buat nyerah. Nyatanya? Satu jam gue tunggu dia di sini dan dia nggak nyamperin gue sama sekali.”

            Gina menarik napas panjang dan mendongak. Menatap satu-satunya bangunan di belakang tubuh Arziko, dimana Eriska berada sejak satu jam yang lalu. Gina tahu jika Eriska membenci Arziko. Reaksi yang wajar menurutnya. Kalau Gina berada di posisi Eriska, dia juga akan melakukan hal yang sama. Tapi, apakah ini tidak terlalu berlebihan?

            “Gimana kalau gue yang coba ngomong sama dia?” tawar Gina. Arziko langsung menggeleng tegas.

            “Jangan. Dia pasti bakalan ngira kalau gue laki-laki paling pengecut di muka bumi ini, sampai-sampai nggak bisa menyelesaikan masalah gue sama dia. Sampai-sampai gue nyuruh lo untuk datangin dia.”

            “Tapi—“

            “Dimana alamat lo?”

            Pertanyaan itu membuat ketiga orang yang sedang berdiskusi itu menoleh. Tatapan terkejut itu terpancar jelas dari mata Gina dan Fian, terlebih Arziko. Dia tidak menyangka, Eriska akan luluh juga dengan perbuatannya ini.

            “Eriska?”

            “Dimana alamat lo?” tanya Eriska lagi dengan nada tegas dan dingin. Mengabaikan panggilan Arziko dengan nada tidak percaya laki-laki itu barusan. Arziko sendiri masih diam, saling tatap dengan kedua sahabatnya. Melempar tanya melalui gerakan mata, apakah Eriska benar-benar serius dengan pertanyaannya barusan atau tidak.

            “Lo... serius...?” tanya Gina. Eriska menatap gadis itu, teman SD nya dulu yang selalu ada bersama Arziko. Dia tidak menjawab pertanyaan Gina, justru menengadah. Menatap langit hitam dengan hati yang disabarkan.

            “Gue nggak akan mengulang pertanyaan gue, Arziko.” Gadis itu menatap wajah Arziko. “Jadi, kalau lo tetap diam dan—“

            “Jalan Mekarsari nomor 56, Jakarta Barat.”

            Eriska diam. Arziko diam. Keduanya hanya saling tatap.

            “Itu alamat rumah gue.” Setelah saling tatap dalam diam selama beberapa menit, Arziko kembali bersuara.

            “Oke.” Eriska mengangguk. “Gue akan datang, tapi nggak sekarang. Gue juga nggak tau kapan akan datang.”

            “Tapi lo pasti akan datang, kan?” tanya Arziko penuh harap.

            Tidak ada jawaban. Eriska hanya bungkam dan memutar tubuh. Perlahan, langit mulai menjatuhkan airnya. Mulanya hanya berupa rintik-rintik, namun lambat laun berubah deras. Fian segera menarik Gina ke mobil, disusul dengan para pengawal Arziko. Sementara itu, Arziko mencoba bangkit berdiri, meluruskan kedua kakinya susah payah dan mulai merenggangkan otot-otot kakinya yang terasa kaku.

            Di depannya, Eriska tidak berusaha mencari tempat untuk berteduh. Gadis itu tidak berlari, hanya berjalan dengan langkah pelan, seolah-olah gadis itu sedang tersesat dan tidak tahu harus kemana. Akhirnya, Arziko melepas jaketnya dan mendekati gadis itu dengan langkah cepat.

            Lalu memakaikan tudung jaket itu ke kepala Eriska dan menyelimuti tubuh mungilnya dengan badan jaketnya.

            Eriska berhenti melangkah dan memutar tubuh. Agak kaget dengan dada bidang yang menyambutnya. Gadis itu mendongak, kemudian bertemu mata dengan Arziko yang sedang tersenyum... tulus.

            “Terima kasih, karena lo bersedia mengabulkan permintaan adik gue, Ka.”

            Tidak ada respon. Wajah dan tatapan gadis itu datar. Dia hanya menatap Arziko, kemudian mengalihkan tatapan. Kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya. Kilasan ketika Arziko menjahilinya di sekolah dulu mulai mendatanginya.

            “Hahaha... liat, si Eriska kayak kucing kecebur got!”

            “Eh, Eh... Eriska masa dapat nilai enam! Ah, dasar Eriska payah!”

            “Kalian tau, nggak? Eriska pulangnya nggak pakai sepatu, loh! Hahaha!”

            “Liat, deh, teman-teman! Eriska mukanya dicoret-coret kayak badut! Terus, dia ketiduran tadi dan ngiler! Ih, jorok, ya!”

            “Hahaha! Eriska duduk di atas permen karet, loh, teman-teman!”

            “Eriska nggak kebagian kue, ya? Nih, aku kasih kue aku ke kamu. Yah... maaf, tangan aku licin, jadi kuenya kena muka kamu, deh! Lucu, ya, teman-teman? Mukanya Eriska cemong. Hahaha....”

            “Eriska?”

            Lamunan Eriska buyar saat sesuatu menyentuh tangannya. Gadis itu menunduk dan menarik tangannya dengan satu gerakan cepat, ketika menyadari Arziko yang memegang tangannya. Ketika kepalanya terangkat, gadis itu menatap tajam kedua mata Arziko, membuat laki-laki itu tertegun di tempatnya.

            “Gue ngelakuin ini karena gue akan balas dendam ke lo, Arziko.”

            Apa?

            Gadis itu bilang apa, tadi?

            “Lo jual, gue beli. Lo udah bikin image seolah-olah elo adalah pihak yang menjadi korban dan gue adalah tersangka. Lo bikin scene seolah-olah gue udah berbuat jahat sama lo.”

            “Maksud lo apa?”

            “Kelakuan lo tadi, saat lo berlutut untuk memohon sama gue. Bukankah itu sama aja dengan mengumumkan ke seluruh dunia bahwa lo adalah orang yang baik dan gue orang yang jahat?”

            Astaga!

            Dia sama sekali tidak ada pikiran ke sana!

            “Eriska, lo salah paham,” jelas Arziko. Tidak peduli hujan semakin deras dan membuatnya basah kuyup serta kedinginan. “Gue sama sekali nggak ada pikiran ke sana! Gue murni memohon sama lo, supaya lo mau ketemu sama adik gue yang sangat mengidolakan elo.”

            “Sama seperti SD dulu, lo selalu bersikap bahwa gue patut direndahkan, Arziko,” kata Eriska dingin. Tidak sudi mendengarkan semua omong kosong laki-laki sialan itu. “Dan lo akan tau jawabannya sekarang. Gue akan membalas semua ulah lo di masa lalu!”

            Eriska melepaskan jaket yang diberikan Arziko tadi dan melemparnya begitu saja ke aspal. Gadis itu memberikan tatapan tajamnya sekali lagi, sebelum kemudian pergi meninggalkan tempat itu.

            Meninggalkan Arziko yang mematung di tempatnya.

###

Teaser One More Time #3-Korban Bencana Patah Hati (1)

            “Putus?”

            Gina mengangguk santai sambil melanjutkan acara makan es krimnya. Diliriknya wajah Arziko yang mendadak pucat.

            “Kenapa? Kok lo kaget banget gitu, Ar?” tanya Gina kalem. Yang ditanya bangkit dari posisi duduknya dan berjalan mondar-mandir nggak karuan. Gelisah? Jelas! Apakah semua ini karena dirinya yang selalu menyuruh Eriska datang ke rumah, sehingga pacar gadis itu cemburu dan akhirnya memutuskan Eriska?

            “Ini berita serius? Eriska putus dari pacarnya? Dia udah punya pacar? Kok, lo bisa tau, Gin? Apa semua ini gara-gara gue?”

            Gina menghentikan acara makan es krimnya dan menegakkan punggung. Disilangkannya kaki kiri ke kaki kanan kemudian bersedekap.

            “Jawab yang mana dulu, nih, gue?”

            Arziko memutar mata dan kembali duduk. Melirik kesal ke arah Gina yang terkekeh geli.

            “Pertama, ini berita serius. Kedua, iya, Eriska putus sama pacarnya. Ketiga, kalau Eriska belum punya pacar, nggak mungkin gue bilang dia putus, kan? Keempat, Gina gitu, loh! Gue melakukan penyelidikkan terhadap Eriska bareng sama Fian. Kelima, entah, ya. Gue rasa, sih, kemungkinan besar, sembilan puluh persen, emang gara-gara lo. Mungkin, cowoknya Eriska sering ngeliat elo jemput Eriska di kampus.”

            “Loh? Gue kan jemput Eriska cuma sebagai bentuk tanggung jawab gue, aja! Karena gue udah memohon sama dia, supaya dia mau terus menemani adik gue setiap harinya, setelah gadis itu selesai kuliah, gue ngerasa harus ngejemput dia dan ngantar dia ke rumah!”

            Ganti Gina yang memutar matanya.

            “Dengar, ya, Ar... dia kan nggak tau kalau ada perjanjian diantara lo sama Eriska. Lo bayar Eriska setiap harinya, karena Eriska bersedia menemani adik lo. Yang pacarnya Eriska tangkap apa? Lo jemput ceweknya, ajak ceweknya pergi hampir setiap hari. Berselingkuh adalah satu-satunya pikiran yang mendadak lewat di otaknya.”

            Baru saja Arziko ingin menyuarakan protesnya lagi, pintu di belakang mereka terbuka. Di sana, sosok Eriska muncul. Dengan wajah dan tatapan datarnya seperti biasa. Arziko langsung bangkit dari posisi duduknya. Mendadak salah tingkah karena merasa tertangkap basah sedang membicarakan gadis itu diam-diam di belakangnya.

            “Gina,” panggil Eriska, membuat Gina mengangkat satu alisnya dan Arziko langsung menatap sahabatnya itu.

            “Ya?”

            “Bisa kita ngomong sebentar?”

           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status