Share

#03

Hujan membawa berkah.

            Itulah yang kerap kali dipikirkan oleh Arziko. Saat ini, laki-laki itu sudah berada di rumah, tepatnya berada di kamarnya. Dia baru saja mandi dan sedang mengeringkan rambutnya. Gina dan Fian juga ada di rumah ini, namun berada di kamar tamu yang sudah disediakan oleh pembantu rumah Arziko. Kedua orangtua Arziko? Mereka sudah meninggal dunia. Selama ini, Arziko dan Viona diurus dan diasuh oleh Tante mereka, adik dari sang Mama. Bianca namanya. Tante Bianca sudah berumur empat puluh tahun dan belum menikah. Dia sudah berjanji pada almarhumah Mama Arziko untuk terus mengurus dan mengasuh kedua anak kakaknya itu. Hari yang sangat berat untuk Arziko dan Viona kala itu, ketika kedua orangtua mereka meninggal dunia karena kecelakaan. Saat itu, umur Arziko dua belas tahun dan Viona sepuluh tahun.

            Kembali ke topik awal, ketika Arziko selalu berpikir bahwa hujan kali ini membawa berkah untuknya. Jelas saja membawa berkah, karena perjuangannya untuk membujuk Eriska tidak berakhir sia-sia. Yah, walaupun gadis itu menerimanya dengan wajah datar dan tatapan dingin penuh kebencian juga tidak mengatakan kapan dia akan datang menemui Viona, tapi setidaknya, Arziko yakin Eriska tidak akan mengingkari ucapannya, bukan?

            Iya, kan? Benar, kan?

            “Duh!” Arziko melempar handuk yang dipakainya untuk mengeringkan rambut ke atas kasur dan mengacak rambut basahnya. Laki-laki itu berkacak pinggang sambil menggigit bibir bawahnya gusar. “Si Eriska beneran datang, kan, ya?”

            Pintu kamarnya terbuka dan Arziko menoleh. Senyuman lembut itu terbit di bibirnya dan dia langsung menghampiri sosok Viona yang masuk ke kamar dengan wajah pucatnya. Arziko langsung memeluk tubuh rapuh itu dengan erat sambil menciumi puncak kepalanya berkali-kali.

            “Apa kabar adik kakak yang cantik ini? Hmm?” tanya Arziko dengan nada penuh sayang. Laki-laki itu menguraikan pelukannya dan mengelus rambut adiknya. “Obatnya udah diminum?”

            Viona mengangguk pelan.

            “Udah, Kak.” Viona mengajak Arziko duduk di tepi ranjang. Kepalanya mendongak, menatap sang kakak dengan tatapan penuh harap. “Kakak dari mana? Kata si Mbok, kakak pulangnya basah kuyup. Kak Gina sama Kak Fian juga sama.”

            Arziko membuka mulutnya, namun beberapa detik kemudian, dia kembali mengatupkan bibir. Dia tidak ingin memberitahukan semuanya kepada Viona dulu. Dia masih belum yakin apakah Eriska akan datang untuk menemui Viona atau tidak. Viona juga belum tahu tentang kenyataan bahwa Eriska adalah teman SD nya. Adiknya itu hanya mengatakan padanya bahwa dia sangat mencintai semua karya tulisan Eriska.

            “Tadi, kakak abis ke salah satu acara televisi, Sayang,” jawab Arziko kemudian. “Tiba-tiba, hujan turun. Kakak, Kak Gina sama Kak Fian kehujanan, deh.”

            Viona hanya membulatkan mulutnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya sangat polos, membuat Arziko gemas dan mengacak lembut rambut sang adik.

            “Kak....”

            “Hmm?”

            Viona memeluk tubuh Arziko dan mendongak. Menatap wajah laki-laki itu dengan tatapan memelas. Tatapan yang sudah bisa diartikan oleh Arziko saat ini. Laki-laki itu menarik napas panjang dan berpura-pura tidak mengerti dengan tatapan adiknya itu.

            “Aku mau belajar nulis, kayak Kak Eriska.”

            Hah?

            Satu masalah yang berhubungan dengan Eriska saja belum selesai—dia belum tentu akan datang, remember?—sekarang, adiknya yang manis ini ingin belajar menulis? Jangan bilang kalau Viona ingin privat langsung dengan Eriska. Please, jangan bilang... jangan bilang...

            “Tapi, aku mau belajar sama Kak Eriska langsung.”

            Oh, apa tadi ada suara petir? Sepertinya, tidak, karena hujan sudah berhenti.

            Ah, suara petir di hatinya, ternyata.

            “Sama... Eriska...?”

            Viona mengangguk.

            “Kak Eriska baru publish new chapter dari ceritanya. Seru, loh, Kak! Dan aku pengin bisa nulis sebagus Kak Eriska.” Muka Viona mendadak mendung. Gadis itu menundukkan kepala. “Kak, Kakak udah ketemu sama Kak Eriska? Udah minta tolong sama dia untuk datang ke rumah? Kak Arzi, kan, artis... kakak pasti bisa, kan, ketemu sama dia dan suruh dia ke sini? Aku mau banget ketemu sama dia, Kak.”

            Helaan napas berat itu lolos dari mulut Arziko. Laki-laki itu mengalihkan tatapannya ke arah jendela. Belum merespon pertanyaan Viona sama sekali. Dia bingung harus berkata apa. Apa dia harus menjelaskan tentang perkara yang sebenarnya? Kepada Viona? Tapi, bagaimana kalau Viona justru menyalahkan kenakalannya pada Eriska dulu, sehingga berpotensi menyebabkan gadis itu tidak mau menginjakkan kedua kakinya di rumah ini?

            Aduh, dia tidak sudi dimusuhi oleh adiknya.

            Dia sangat menyayangi adiknya yang sedang sakit itu, sehingga tidak bisa melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah karena kondisi tubuhnya yang selalu menurun.

            Arziko kembali menatap Viona. Kali ini, kepala gadis itu sudah terangkat. Mata polosnya benar-benar membuat tekad Arziko bulat. Akan dia lakukan apapun untuk membawa Eriska ke rumah ini, meskipun harus menyeret gadis itu. Apapun, asalkan Arziko bisa selalu melihat binar kebahagiaan di mata Viona juga senyuman manis adiknya yang sangat dia sukai itu.

            Pintu kamar Arziko terbuka, menyebabkan laki-laki itu dan Viona menoleh. Mulut Arziko bahkan terbuka lebar, tidak bisa menutup lagi. Kemungkinan besar, rahang Arziko sudah macet alias berhenti berfungsi. Sementara itu, Viona langsung berdiri dan menutup mulut dengan kedua tangan. Matanya berkaca dan tanpa aba-aba, gadis berwajah pucat itu langsung berlari memeluk sosok yang muncul di ambang pintu kamar kakaknya.

            Di belakang sosok itu, Gina dan Fian menatap dengan haru. Bagaimana Viona terlihat sangat senang dan tidak mau melepaskan pelukannya kepada sosok tersebut. Bagaimana Viona terus berceloteh dengan nada tidak percaya, menanyakan kepada semua orang yang ada di ruangan itu, apakah ini adalah kenyataan dan bukannya sebuah mimpi.

            Sementara itu, Arziko masih ternganga di tempatnya. Tidak berdiri dari tepi ranjang. Menatap sosok berambut panjang dan ikal hanya di bagian bawahnya saja itu dengan tatapan tidak percaya. Senyuman itu memang menawan dan elegan, persis seperti yang dia lihat di foto profil akun media sosialnya tersebut.

            Senyuman itu entah kenapa sanggup membuat Arziko tersihir. Tidak mau melepaskan pandangannya barang sedetik saja. Senyuman yang memang cocok dan pantas untuk sosok tersebut. Karenanya, Arziko heran ketika melihat bara kebencian dan wajah super datar yang sosok itu berikan untuknya beberapa jam yang lalu.

            “Eris... ka...?” panggil Arziko, ketika kesadarannya sudah pulih dan dia berhasil mengatupkan rahangnya. Sosok itu mendongak, menatap Arziko dengan tatapan yang tidak bisa terbaca. Senyuman yang tadi Eriska berikan untuk Viona kini lenyap. Kemudian, senyuman itu kembali hadir. Jauh lebih menawan, elegan dan... misterius. Membuat Arziko menelan ludah dan meringis aneh sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

            Bukan... itu bukan jenis senyuman tulus, seperti yang Eriska tunjukkan untuk Viona tadi.

            “Hai, Arziko....”

            Ting-tong!

            The war is begin!

###

Dari lantai dua rumahnya, berdiri di dekat besi pembatas berwarna perak yang menghubungkan langsung dengan pegangan tangga, Arziko menatap sosok Eriska dan Viona di lantai satu. Di atas sofa, kedua gadis itu sedang bercengkrama sambil tertawa bersama. Eriska menyuapi Viona dan adiknya itu dengan penuh semangat selalu membuka mulutnya. Arziko memiringkan kepalanya, menatap Viona dengan kening berkerut. Bukannya selama ini Viona selalu susah dibujuk untuk makan? Tapi, kenapa dengan Eriska, adiknya itu justru menurut?

            “Ngapain lo?”

            Suara Gina menginterupsi pekerjaan penting Arziko, membuat laki-laki itu terperanjat dan berdeham untuk mengatasi salah tingkahnya. Gina berdiri di sisi kanannya sambil terkekeh geli, sementara Fian berdiri di sisi kirinya sambil bermain ponsel. Memang pada dasarnya, seorang Fian Wiyoko sudah terikat kontrak sehidup-semati dengan yang namanya ponsel. Arziko rasa, kalaupun di dunia ini sudah tidak ada makanan lagi, asalkan ada ponsel bersama Fian, sahabatnya itu akan tetap bisa hidup.

            “Nggak ngapa-ngapain,” jawab Arziko berusaha terlihat cool. Laki-laki itu menatap Eriska dan Viona lagi, sebelum kemudian menoleh ke arah Gina. “Kenapa Eriska mendadak muncul?”

            “Loh? Kan, dia udah minta alamat rumah lo. Ngapain dia minta alamat rumah lo, kalau dia nggak bakal datang? Itu artinya, tragedi berlututnya elo nggak sia-sia, kan?”

            “Bukannya gitu,” balas Arziko sambil melirik Eriska. Gadis itu nampak berbicara sesuatu dan membuat Viona tertawa. Dia bahkan memeluk Viona sekilas dan mengacak rambut adiknya itu. “Dia bilang, dia nggak tau kapan bakalan datang. Dia juga bilang, dia ngelakuin ini untuk balas dendam sama gue.”

            “She, what?” tanya Gina tak percaya.

            “Makanya, gue heran kenapa secepat ini.” Arziko menarik napas panjang. “Gue cuma takut dia bakalan balas dendam sama gue melalui Viona.”

            “Gue rasa, dia bukan tipe orang kayak gitu, Ar,” kata Fian menimpali. Dia berbicara dengan Arziko, tapi tatapannya tercurah seutuhnya pada ponsel. “Nggak mungkin, lah, dia balas dendam melalui adik lo. Dia pasti bakalan balas dendam langsung ke elo.”

            “You think?”

            “Yup!” Fian menyudahi permainannya dan merangkul Arziko. Ditatapnya laki-laki itu sekilas, kemudian tatapannya beralih pada Eriska. Manis adalah kata pertama yang terlintas di otak Fian, ketika dia melihat senyum dan tawa gadis itu. Memperlihatkan lesung pipit kanannya yang hampir menyentuh sudut bibir, bukannya tepat di pipi seperti kebanyakan orang. “Lagian, lo pikir, deh. Gadis secantik dan semanis Eriska, mau balas dendam kayak gimana, sih? Hmm? Paling mentok juga, dia cuma ngisengin elo doang.”

            Arziko tidak membalas ucapan Fian. Dia hanya menatap Eriska dan Viona dengan perasaan campur aduk. Dia bukannya takut pada Eriska. Kalau mau jujur, Arziko bisa saja menghancurkan Eriska dalam sekejap. Eriska hanyalah seorang gadis biasa yang akan kalah dengan laki-laki. Yang Arziko takutkan jika gadis itu memakai Viona sebagai wadah untuk acara balas dendamnya. Itu saja.

            “Udahlah, nggak usah terlalu dipikirin.” Gina angkat bicara. Dia mengibaskan sebelah tangannya di depan wajah Arziko. “Gue juga sependapat sama Fian. Mendingan, kita ikutan makan juga. Gue lapar.”

            Fian menjentikkan jari, menyetujui usul Gina. Keduanya meninggalkan Arziko yang masih betah pada posisinya. Laki-laki itu menopang dagunya dengan kedua tangan beralaskan siku yang ditaruh di pembatas perak tersebut. Dia bisa melihat Viona pamit pada Eriska yang dibalas dengan anggukkan gadis itu. Kemudian, ketika Viona menghilang dari ruang tamu, kepala Eriska terangkat. Eriska dan Arziko saling tatap, dengan Arziko yang mengangkat satu alisnya.

            “Permainan baru akan dimulai, Arziko Pratama,” kata gadis itu dengan nada lantang. Tidak peduli jika Viona akan mendengarnya atau tidak. Membuat Arziko berdecak jengkel dan memutar tubuh untuk meninggalkan tempat tersebut.

            Dia mendadak was-was.

###

Sudah seminggu penuh, Eriska selalu datang ke rumah Arziko guna menemani Viona. Selama Eriska ada di sana, kesehatan Viona berangsur membaik. Dia jadi rajin makan dan meminum obatnya. Padahal selama ini, Viona sangat susah untuk disuruh makan dan minum obat. Hal yang disyukuri oleh Arziko. Kemudian, sebagai bentuk tanggung-jawabnya karena sudah meminta Eriska selalu datang ke rumah, dia selalu menjemput gadis itu di kampusnya. Membuat semua mahasiswi menahan napas dan menatap iri ke arah Eriska, sekaligus tatapan ingin membunuh gadis itu.

            Memasuki hari ke tujuh dan ke delapan, Arziko merasa ada yang aneh dengan Eriska.  Memang, Eriska selalu memasang wajah datar jika bersamanya, tapi, dua hari belakangan ini, wajah datar itu terlihat mendung dan penuh dengan beban. Arziko ingin bertanya, tapi takut digampar dengan sepatu kets gadis itu. Demi ketampanannya sendiri, Arziko memilih diam dan melirik gadis itu secara diam-diam saja kalau sedang berada di mobil dalam perjalanan menuju rumahnya.

            Tapi... kepo banget, tahu!

            Kalau Arziko melempar pertanyaan, Eriska tidak merespon. Meskipun hanya mengedikkan bahu atau melirik saja, gadis itu tidak melakukannya. Kalau Arziko bosan dengan keheningan di dalam mobil dan menyalakan musik, Eriska langsung merespon. Tapi, dengan lirikan ala kuntilanak ngidam mangga yang sering nangkring di atas pohon. Membuat Arziko buru-buru berdeham dan mematikan musik.

            Sumpah, ketiban sial apa, coba, dia harus berurusan dengan teman SD nya yang sangat galak itu?!

            Siapa suruh elo bikin dia nangis hampir setiap hari selama dua tahun lamanya karena ulah nakal lo itu? batin Arziko mengingatkan, membuatnya mendengus tanpa sadar.

            “Lo bisa turunin gue kalau nggak suka gue ada di mobil lo. Gue bisa naik taksi.”

            Ucapan itu membuat kepala Arziko menoleh, sementara yang ditatap asyik menopang dagu dengan sebelah tangan sambil menatap ke jendela.

            Buset, dah! Sensi banget, sih? Salah makan apa, coba, nih kuntilanak satu? Apa Arziko harus mempersiapkan sesajen buat Eriska? Apa malam ini, jadwalnya Eriska mangkal di pohon?

            “Gue nggak bermaksud mendengus ke elo, kok.” Dengan sabar, Arziko mencoba menjelaskan. Laki-laki itu menoleh dan tersenyum. Namun, senyuman laki-laki itu hanya dibalas oleh angin yang berhembus.

            Dingin, man!

            Sesampainya di rumah Arziko, Eriska langsung masuk ke dalam. Tidak peduli dengan kenyataan bahwa sang tuan rumah masih berjalan di belakangnya. Toh, tujuannya di rumah ini adalah menemani Viona. Viona juga pemilik rumah ini, kan?

            Persetan dengan Arziko.

            Eriska langsung menuju kamar Viona, begitu pembantu rumah Arziko menjawab pertanyaan gadis itu mengenai keberadaan Viona. Di belakangnya, Arziko sampai menghentikan langkah. Bingung harus membeli stok kesabaran kemana lagi untuk menghadapi gadis itu.

            Sabar, Ar, sabar... orang sabar disayang Tuhan.

            “Arz!”

            Seruan itu membuat Arziko menoleh dan mengerutkan kening. Di sana, di depan kamarnya, sosok Gina terlihat. Gadis itu melambaikan tangannya heboh, menyuruh laki-laki itu untuk cepat datang menghampirinya. Dengan ragu, Arziko mendekati Gina dan membiarkan sahabatnya itu mendorongnya ke kamar lantas menutup pintu.

            “Lo naik apa ke sini? Gue nggak liat mobil lo di halaman.”

            “Taksi,” jawab Gina singkat. Dia menarik tangan Arziko dan menyuruh laki-laki itu untuk duduk di tepi ranjang. “Ada sesuatu yang harus gue kasih tau lo soal Eriska.”

            “Eriska?”

            “Iya!” tandas Gina gemas. Gadis itu duduk di samping Arziko sambil melahap es krim yang baru saja diantarkan oleh pembantu rumah sahabatnya, sepersekian detik sebelum kemunculan laki-laki itu. “Lo tau, nggak, kalau Eriska baru aja putus sama cowoknya?”

            Seperti tersengat lebah, Arziko langsung menoleh ke arah Gina. Melihat itu, Gina menghentikan sejenak kegiatannya memakan es krim.

            “Putus?”

            Gina mengangguk santai sambil melanjutkan acara makan es krimnya. Diliriknya wajah Arziko yang mendadak pucat.

            “Kenapa? Kok lo kaget banget gitu, Ar?” tanya Gina kalem. Yang ditanya bangkit dari posisi duduknya dan berjalan mondar-mandir nggak karuan. Gelisah? Jelas! Apakah semua ini karena dirinya yang selalu menyuruh Eriska datang ke rumah, sehingga pacar gadis itu cemburu dan akhirnya memutuskan Eriska?

            “Ini berita serius? Eriska putus dari pacarnya? Dia udah punya pacar? Kok, lo bisa tau, Gin? Apa semua ini gara-gara gue?”

            Gina menghentikan lagi acara makan es krimnya dan menegakkan punggung. Disilangkannya kaki kiri ke kaki kanan kemudian bersedekap.

            “Jawab yang mana dulu, nih, gue?”

            Arziko memutar mata dan kembali duduk. Melirik kesal ke arah Gina yang terkekeh geli.

            “Pertama, ini berita serius. Kedua, iya, Eriska putus sama pacarnya. Ketiga, kalau Eriska belum punya pacar, nggak mungkin gue bilang dia putus, kan? Keempat, Gina gitu, loh! Gue melakukan penyelidikkan terhadap Eriska bareng sama Fian. Kelima, entah, ya. Gue rasa, sih, kemungkinan besar, sembilan puluh persen, emang gara-gara lo. Mungkin, cowoknya Eriska sering ngeliat elo jemput Eriska di kampus.”

            “Loh? Gue kan jemput Eriska cuma sebagai bentuk tanggung jawab gue, aja! Karena gue udah memohon sama dia, supaya dia mau terus menemani adik gue setiap harinya, setelah gadis itu selesai kuliah, gue ngerasa harus ngejemput dia dan ngantar dia ke rumah!”

            Ganti Gina yang memutar matanya.

            “Dengar, ya, Ar... dia kan nggak tau kalau ada perjanjian diantara lo sama Eriska. Lo bayar Eriska setiap harinya, karena Eriska bersedia menemani adik lo. Yang pacarnya Eriska tangkap apa? Lo jemput ceweknya, ajak ceweknya pergi hampir setiap hari. Berselingkuh adalah satu-satunya pikiran yang mendadak lewat di otaknya.”

            Baru saja Arziko ingin menyuarakan protesnya lagi, pintu di belakang mereka terbuka. Di sana, sosok Eriska muncul. Dengan wajah dan tatapan datarnya seperti biasa. Arziko langsung bangkit dari posisi duduknya. Mendadak salah tingkah karena merasa tertangkap basah sedang membicarakan gadis itu diam-diam di belakangnya.

            “Gina,” panggil Eriska, membuat Gina mengangkat satu alisnya dan Arziko langsung menatap sahabatnya itu.

            “Ya?”

            “Bisa kita ngomong sebentar?”

            Gina dan Arziko saling tatap. Laki-laki itu melempar tanya kepada Gina yang dibalas dengan angkatan bahu tak acuh dari gadis itu. Setelah mengangguk ke arah Eriska, Gina mengikuti gadis itu. Meninggalkan Arziko yang gusar dan ingin tahu apa yang akan dibicarakan oleh keduanya.

            Eriska membawa Gina ke balkon lantai dua. Tadi, dia sempat kepikiran dan akhirnya memutuskan untuk menanyakan langsung kepada Gina. Dia pamit sejenak kepada Viona dan adik Arziko itu mengizinkan. Eriska sendiri heran, kenapa anak senakal Arziko bisa memiliki adik sebaik dan semanis Viona. Benar-benar sulit dipercaya.

            “Lo mau ngomong apa?” tanya Gina langsung. Eriska menarik napas panjang dan bersedekap. Dia memutar tubuhnya hingga berhadapan langsung dengan teman masa kecilnya itu.

            “Lo ngikutin gue?”

            Alis Gina terangkat satu.

            “Maksud lo?”

            “Gue yakin lo paham betul apa maksud gue.” Eriska menatap Gina tegas, setegas suaranya barusan. Di tempatnya, Gina berdecak tanpa kentara. Memutuskan untuk tidak berpura-pura bego di hadapan Eriska. Sudah tertangkap basah, mau bagaimana lagi?

            “Lo sadar?”

            “Ya.” Eriska mengangguk mantap. “Gue liat lo dan teman kalian yang satu lagi, sedang berusaha bersembunyi, ketika gue dan pacar gue—ralat, mantan pacar gue lagi berantem. Gue juga yakin, lo dengar dia putusin gue.”

            Gina diam. Merasa bersalah karena sudah menginvestigasi Eriska bersama dengan Fian. Waktu itu, Fian juga merasa tidak enak hati karena sudah menguping pertengkaran Eriska dan pacarnya. Mereka bahkan langsung saling tatap, ketika pacarnya Eriska memutuskan gadis itu.

            Tapi hebatnya, Eriska justru tidak menangis.

            Sayangnya, Gina dan Fian tidak tahu kalau Eriska sangat bersedih dan kehilangan. Di rumah, di kamarnya, Eriska menangis. Dia bahkan sempat menolak makan malam, namun keesokan harinya, gadis itu memaki diri sendiri karena sudah bersikap layaknya orang tolol hanya karena hubungan asmaranya dengan sang pacar berakhir.

            “Sori.” Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulut Gina. Ganti Eriska yang terdiam. Gadis itu menghembuskan napas panjang dan memijat pelipisnya.

            “Si kunyuk itu tau soal ini?”

            Gina mengangguk pelan.

            “Barusan, waktu lo masuk ke kamarnya Arziko, kita lagi bahas soal ini. Sori sekali lagi.”

            Sebenarnya, Eriska juga tidak tahu kalau Gina ada di rumah Arziko. Dia hanya bertanya pada pembantu laki-laki itu yang masuk ke kamar Viona guna mengantar makan siangnya mengenai Gina. Sang pembantu menjawab bahwa Gina ada di kamar Arziko dan Eriska menanyakan letak kamar si tuan rumah.

            “Oke. Gue ngerti.”

            Ketika Eriska mulai melangkah meninggalkan Gina, Gina langsung menyerukan namanya. Eriska menoleh dan mengerutkan kening.

            “Apa?”

            “Tolong maafin Arziko,” pinta Gina lembut. “Dia masih kecil waktu itu. Nakal adalah hal yang wajar bagi anak seusia kita pada saat itu, Ka.”

            Eriska tidak langsung menjawab. Gadis itu mendengus kemudian tersenyum miring. Senyum mengejek.

            “Lo enak ngomong kayak gitu karena lo nggak ngerasain rasanya di posisi gue, Gina.” Eriska memiringkan kepala. “Lo teman dekatnya Arziko waktu itu. Gue? Mungkin di mata Arziko, gue cuma sampah yang nggak pantas ditemanin dan hanya pantas diejek, dicela, dipermainkan dan dipermalukan di depan umum!”

            Gina tertegun. Gadis itu mencoba menghentikan Eriska yang sudah memutar tubuhnya lagi, bersiap untuk kembali ke kamar Viona. Namun, Gina menghentikan usahanya, pun dengan Eriska yang kembali menghentikan langkah. Tak lama, dia mendengus lagi dan melanjutkan langkah dengan tatapan datar nan kosong.

            Lalu, gadis itu menabrakkan bahunya ke bahu Arziko yang entah sejak kapan sudah berdiri di tempatnya, mendengarkan ucapan Eriska kepada Gina.

            Mendengarkan dengan perasaan tidak karuan, ketika ucapan Eriska itu lolos dari mulutnya dengan nada kesakitan yang teramat jelas.

            “Gue brengsek banget, ya, dulu?” tanya Arziko dengan nada jauh. Gina hanya menghela napas panjang dan mendekati sahabatnya sambil menepuk bahunya.

            “She needs time, bro.”

###

Teaser One More Time #4-Korban Bencana Patah Hati (2)

“Lompat aja, gih.”

            Suara mengejek dan terkesan datar itu menginterupsi jalan pikiran Fian. Dia menoleh cepat dan menemukan sosok Eriska di sampingnya. Gadis itu menaruh kedua tangannya di atas pembatas atap gedung dan menatap hamparan langit di depannya. Dibiarkannya rambut panjangnya dimainkan oleh angin yang berhembus lumayan kencang. Langit nampak mulai mendung. Mungkin, sebentar lagi hujan akan turun.

            “Ngapain lo disini?” tanya Fian dengan nada tajam. Laki-laki itu bergeser sedikit, menciptakan jarak diantara dirinya dan Eriska.

            “Lo mau lompat, kan, barusan?”

            Fian diam.

            “Dangkal amat pikiran lo.”

            “Diam kalau lo nggak tau duduk permasalahannya, Eriska Putri!” bentak Fian. Yang dibentak tidak bereaksi. Gadis itu hanya melirik sekilas kemudian menggelengkan kepalanya.

            “Masih sakitan mana, ditinggal selingkuh sama cewek lo atau merasa trauma untuk berteman seumur hidup?”

            Fian terpaku. Tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu.

            “Gue liat, kok, waktu lo marah-marah di koridor rumah sakit sama sepasang kekasih. Gue tebak, gadis itu pacar lo, kan?” Eriska menoleh. Matanya menatap langsung manik Fian. “Kehilangan pacar nggak seburuk ketika lo merasa seluruh orang menakutkan di mata lo, Fian.”

            Fian membuka mulut namun tidak ada kata yang terucap. Laki-laki itu akhirnya menghembuskan napas panjang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status