Share

#04

Lelah adalah satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Eriska saat ini.

            Jarum jam sudah mengarah ke angka tujuh dan Eriska sedang menunggu bis yang akan mengantarkannya ke rumah. Gadis itu duduk di halte sambil merenung. Kepalanya tertunduk, menatap ujung sepatunya dengan tatapan kosong. Bukan saja lelah fisik, melainkan hati dan otaknya pun sangat lelah.

            Eriska menghembuskan napas berat dan memejamkan kedua mata. Aneh. Kenapa dia harus menyetujui permintaan Arziko? Apa dia sudah kehilangan akal sehatnya. Memang, sih, dia menerima permintaan itu semata-mata agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya dulu atas perbuatan Arziko di masa kanak-kanak mereka, sehingga membuat masa kanak-kanaknya hancur seketika. Tidak ada kenangan indah yang bisa Eriska ingat saat itu, selain kenyataan bahwa setiap harinya, Arziko selalu mengerjainya.

            Kalau sudah begini, Eriska bisa apa, coba? Dia bukan tipe orang yang bisa menarik kembali ucapannya. Lagipula, Viona benar-benar anak yang manis. Semua orang pasti akan menyukai gadis itu, termasuk dirinya sendiri. Tapi, dia harus bertemu dengan Arziko setiap harinya. Karena perjanjian konyol ini jugalah, Eriska putus dari pacarnya yang cemburu dan terlalu posesif.

            Maha dahsyat sekali kutukan dari Arziko!

            Ah, soal perjanjian itu, Eriska awalnya menolak karena Arziko bilang, dia akan membayarnya yang sudah berbaik hati menemani Viona. Namun, si keras kepala keluaran neraka itu tidak terima penolakan. Semakin ditolak, meskipun Eriska sudah mengeluarkan tatapan dingin ala gunung es nya dan juga kalimat pedas bak cabai rawit, Arziko justru semakin nekat. Dia bahkan merobek selembar uang seratus ribu di depan mata Eriska! Tuh, coba bayangkan! Laki-laki sialan itu juga mengancam akan merobek semua uang yang ada di tangannya. Pilihan apalagi yang Eriska punya? Akhirnya, sambil mendengus dan mengatai Arziko tolol, Eriska merebut paksa semua uang yang ada di tangan Arziko dan langsung minggat dari hadapan laki-laki itu.

            Jadi, setiap harinya, Arziko akan membayar Eriska. Hitung-hitung, untuk ongkos gadis itu dan uang jajan. Begitulah kata Arziko.

            Bis yang ditunggu Eriska datang. Suara cempreng si konduktor bis membuat Eriska tersentak dan tersadar dari lamunannya. Dia berdiri, merenggangkan semua otot tubuhnya dan melenggang masuk. Tidak mendapat tempat duduk, gadis itu akhirnya terpaksa berdiri.

            Hujan mendadak turun dengan deras. Eriska menatap air yang turun dari langit itu dengan tatapan menerawang. Senyumannya terbit, walau hanya terlihat samar. Ingatannya pergi ke masa lalu, ketika sang bunda masih ada di sisinya. Setiap hujan turun, bunda akan membuatkannya susu hangat dan bernanyi di dalam kamar bersamanya.

            Kenangan dengan bunda yang tidak akan pernah dilupakan oleh Eriska sampai kapanpun.

            “I miss you, Mom,” gumam Eriska pelan. Satu tetes air mata berhasil lolos dari rongganya dan gadis itu menghapusnya dengan cepat.

            Yang Eriska tidak sadari, bis yang sedang ditumpanginya adalah bis yang dipilih oleh sebuah production house untuk syuting acara FTV. Si pemeran utama, duduk di kursi paling belakang dan sedang menatap gadis incarannya. Seorang pengamen jalanan yang baik hati dan sudah berhasil mencuri perhatiannya selama ini.

            Dan, bukannya menatap si pengamen seperti yang tertera dalam naskah, si pemeran utama justru menatap Eriska. Mengangkat satu alisnya sambil menerka-nerka dalam hati, ada kejadian apa di rumah Arziko hari ini, hingga membuat Eriska menangis seperti itu.

            Si pemeran utama itu... Fian Wiyoko.

###

Hari ini, besok dan lusa, Arziko tidak memiliki jadwal syuting apapun. Hal yang disyukuri oleh laki-laki itu karena dia bisa menghabiskan waktunya di rumah bersama Viona. Dia juga sudah memberitahukan hal itu pada Eriska. Eriska bisa libur datang ke rumah selama dua hari, besok dan lusa. Eriska sendiri hanya diam, tidak merespon dan pamit pada Viona saja. Membuat Arziko memutar bola matanya kesal. Gina hanya bisa tersenyum geli dan menggelengkan kepalanya, ketika melihat kejadian itu.

            Ucapan Eriska di balkon lantai dua tadi kepada Gina masih terngiang jelas di telinga Arziko. Laki-laki itu menarik napas panjang dan memijat pelipisnya. Dia memang tidak terlalu ingat kenakalan apa saja yang sudah dia perbuat terhadap Eriska. Samar, dia bisa mengenali dirinya yang sedang berbalut seragam SD, sedang menyembunyikan sepatu entah milik siapa. Kemudian, dia juga ingat pernah mencoreti wajah seorang gadis kecil yang sedang tertidur di mejanya, ketika guru yang mengajar berhalangan hadir.

            Eriska, kah, gadis kecil itu? Ingatannya memang benar-benar payah! Dia dijuluki si pikun karena bisa melupakan sesuatu dengan cepat, meskipun dia juga bisa mengingat dengan cepat. Kalau gadis yang ada dalam ingatannya dan mukanya dicoret-coret olehnya itu memang benar Eriska, sepertinya dia sudah menjelma menjadi monster kecil yang menyeramkan bagi gadis itu di masa lalu.

            Ponsel Arziko berbunyi, membuat laki-laki itu terlonjak dan mendesis jengkel. Diraihnya benda itu dan digesernya layar berwarna hijau, saat menyadari Fian lah yang meneleponnya.

            “Apa?” tanya Arziko bete. Di ujung telepon, alis Fian terangkat satu.

            “Kayaknya, lo lagi bete.” Fian mengucapkan terima kasih tanpa suara ke arah asistennya dan kembali fokus pada Arziko. “Lo abis berantem sama Eriska?”

            Bola mata Arziko memutar.

            “Kalau Eriska berhenti musuhin gue, dunia bakal kiamat detik itu juga,” jawab laki-laki itu sewot. “Bukan. Gue nggak lagi berantem sama Eriska. Lagi nggak mood. Tanpa diminta pun, dia dengan senang hati musuhin gue, kok. Every second she look at my face! Gue bete karena kaget dengan suara ponsel gue sendiri.”

            “Jadi, hari ini lo nggak berantem sama Eriska?”

            “Lo kenapa jadi perhatian gitu sama dia? Naksir?”

            Ganti Fian memutar bola matanya. Bete.

            “Si Giska mau gue kemanain, stupid?” Fian menghela napas panjang dan mulai menjauh dari kerumunan. “Lo tau, kan, jadwal syuting gue hari ini di bis?”

            Arziko diam dan mengangguk.

            “Arzi?”

            “Iya, iya... so?”

            “Gue tadi ngeliat si Eriska. Di bis. Dia nggak kebagian tempat duduk dan akhirnya berdiri. Tapi, bukan itu masalahnya. Gue liat dia nangis.”

            Nangis?

            Eriska menangis?

            “Serius, lo?!” seru Arziko. Laki-laki itu bangkit dari posisinya dan berjalan mondar-mandir. Dia mencoba menggali ingatannya. Seingatnya, saat insiden di balkon lantai dua rumahnya selesai, Eriska kembali pada Viona. Mereka mengobrol bersama, tertawa bersama dan gadis itu mengajari Viona menulis cerita. Saat pulang pun, Eriska masih terlihat senang dan tersenyum kepada adiknya. Yah, walaupun Eriska tidak tersenyum ke arahnya, tapi setidaknya Arziko yakin, mood Eriska sedang lumayan bagus.

            Tidak diberi senyuman oleh Eriska?

            Hhh... poor Arziko.

            “Masa gue bohong?” Fian berdecak jengkel. “Gue bahkan sampai lupa buat merhatiin si gadis pengamen yang ceritanya udah berhasil mencuri perhatian gue. Sutradara sampai ngomelin gue!”

            Eriska menangis?

            Kenapa Eriska menangis?

            Apa... ada hubungannya dengan ucapan gadis itu kepada Gina tadi, yang tidak sengaja dia dengar?

            Atau... karena pacar gadis itu memutuskan hubungan mereka?

            “Tapi, dia baik-baik aja, kan?” tanya Arziko dengan nada cemas tanpa dia sadari, membuat Fian mengangkat satu alisnya di ujung sana.     

            “Mungkin.” Fian mengedikkan bahu. “Gue harus turun saat si gadis pengamen turun, Arz. Begitu isi naskahnya. Waktu gue turun, Eriska masih di bis. Menurut gue, sih, dia sedikit... kacau.”

            Kacau?

            Sambungan telepon langsung diputus secara sepihak oleh Arziko. Laki-laki itu berdiri di dekat jendela, menatap hujan deras diluar sana dengan pikiran yang tidak pada tempatnya.

            Bagaimana keadaan Eriska sekarang?

###

Siang itu, jadwal Eriska berubah dari rumah Arziko menjadi rumah sakit. Kondisi Viona mendadak turun drastis dan gadis manis itu segera dibawa ke rumah sakit, dini hari tadi. Kondisinya masih belum stabil. Gadis itu pun belum sadar dari pingsannya. Arziko sepertinya benar-benar kacau karena keadaan adiknya itu, sementara Gina dan Fian setia menemani sahabat mereka. Tinggallah Eriska berdiri di sudut koridor layaknya orang tolol. Gadis itu menghela napas lelah dan memijat pelipisnya. Dia memutuskan untuk pergi ke kafetaria saja untuk mengisi tenggorokkannya yang kering.

            Ketika akan kembali ke lantai tiga, dimana Viona dirawat, Eriska menghentikan langkah. Di sana, tak jauh di depannya, tepat di tikungan yang akan membawa pengunjung keluar dari kafetaria, dia melihat sosok Fian sedang berbicara serius dengan dua orang lainnya. Sepertinya, mereka sepasang kekasih. Fian nampak geram dan menunjuk gadis cantik berambut pendek di depannya, kemudian menghajar si laki-laki yang berdiri di samping gadis cantik itu. Fian sendiri sepertinya tidak peduli kalau tindakannya itu memicu keingintahuan dari orang-orang yang melintas. Para pengunjung perempuan jelas-jelas menatap Fian dengan tatapan memuja.

            Siapa, sih, yang tidak kenal Fian Wiyoko?

            Pemikiran itu membuat Eriska mencibir dan memutuskan untuk pergi melewati jalan lain saja, ketika tiba-tiba, hembusan angin sangat kuat terasa dari sisi kirinya. Saat dia hendak menoleh, sekelebat bayangan melewatinya, dan bayangan itu berubah menjadi sosok Fian. Laki-laki itu berjalan cepat dengan kedua tangan terkepal.

            “Mau kemana dia?” gumam Eriska heran.

            Sementara itu, Fian mengabaikan seluruh decak kagum yang ditujukkan untuknya, ketika dia melangkah dengan cepat menuju lantai teratas. Pikiran dan hatinya sedang panas. Dia ingin sekali berteriak dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Saat sampai di lantai teratas, Fian segera menuju balkon dan menutup pintu di belakangnya dengan bantingan.

            Deru napasnya memburu. Hatinya mendadak hancur. Entah apa kesalahannya, sampai dia harus dikhianati seperti ini. Fian menatap ke bawah. Entah setan dari mana yang mengusiknya dan membisikinya untuk melompat saja, daripada harus merasakan sakit hati seperti ini.

“Lompat aja, gih.”

            Suara mengejek dan terkesan datar itu menginterupsi jalan pikiran Fian. Dia menoleh cepat dan menemukan sosok Eriska di sampingnya. Gadis itu menaruh kedua tangannya di atas pembatas atap gedung dan menatap hamparan langit di depannya. Dibiarkannya rambut panjangnya dimainkan oleh angin yang berhembus lumayan kencang. Langit nampak mulai mendung. Mungkin, sebentar lagi hujan akan turun.

            “Ngapain lo disini?” tanya Fian dengan nada tajam. Laki-laki itu bergeser sedikit, menciptakan jarak diantara dirinya dan Eriska.

            “Lo mau lompat, kan, barusan?”

            Fian diam.

            “Dangkal amat pikiran lo.”

            “Diam kalau lo nggak tau duduk permasalahannya, Eriska Putri!” bentak Fian. Yang dibentak tidak bereaksi. Gadis itu hanya melirik sekilas kemudian menggelengkan kepalanya.

            “Masih sakitan mana, ditinggal selingkuh sama cewek lo atau merasa trauma untuk berteman seumur hidup?”

            Fian terpaku. Tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu.

            “Gue liat, kok, waktu lo marah-marah di koridor rumah sakit sama sepasang kekasih. Gue tebak, gadis itu pacar lo, kan?” Eriska menoleh. Matanya menatap langsung manik Fian. “Kehilangan pacar nggak seburuk ketika lo merasa seluruh orang menakutkan di mata lo, Fian.”

            Fian membuka mulut namun tidak ada kata yang terucap. Laki-laki itu akhirnya menghembuskan napas panjang.

            Sebegitu besarkah luka yang ada di hati Eriska akibat Arziko? Jika memikirkan lebih jauh lagi mengenai pertanyaan Eriska barusan, apa yang Fian alami memang tidak sebanding dengan apa yang gadis itu alami.

            “Lo... segitu bencinya sama Arziko?” tanya Fian hati-hati.

            Eriska tidak langsung menjawab. Entahlah, topik mengenai kisahnya dengan Arziko seperti topik terlarang yang haram untuk dibicarakan. Membicarakan laki-laki itu membawa sakit hati tersendiri bagi Eriska. Membenci Arziko? Ya! Eriska sangat membenci laki-laki itu karena sudah membuatnya enggan menjalin pertemanan dengan orang lain karena merasa takut. Selama ini, dia hanya sebatas kenal dengan teman-teman sekolah atau kuliahnya, tanpa benar-benar ingin mengenal lebih jauh lagi. Kalau ada kerja kelompok pun, Eriska lebih memilih untuk mengerjakannya secara individu. Jika diajak bergaul dengan teman-temannya, Eriska lebih memilih menyendiri dan menolak halus dengan sebuah senyum. Karena itulah, Eriska tidak memiliki teman dekat sampai saat ini.

            Lalu, Trio, pacarnya yang baru saja memutuskan hubungan mereka itu mendekatinya. Meskipun sudah sering ditolak, Trio tidak gentar. Trio tetap mendekati Eriska. Menurutnya, Eriska adalah sosok yang unik dan menarik. Dan, Eriska dibuat luluh juga oleh Trio. Keduanya menjalin hubungan dan untuk pertama kalinya, Eriska berani percaya pada seseorang. Sampai akhirnya, hubungan itu kandas.

            Dan lagi-lagi, semuanya karena Arziko.

            Dia kena kutukan darimana, coba?

            Mengenai pertanyaan Fian tadi, Eriska masih bungkam. Gadis itu memutar tubuh dan melangkah ke arah meja tak terpakai, dimana dia menaruh  dua botol minuman berwarna. Tadi, ketika dia melihat Fian melangkah dengan cepat, Eriska kembali ke kafetaria, sebelum memutuskan untuk mengikuti sahabat Arziko itu.

            Eriska kembali ke tempatnya semula, di samping Fian. Dia menyerahkan satu botol minuman berwarna orange dan Fian menerimanya dengan ragu.

            “Siapa tau, pikiran lo jadi segar setelah minum ini,” kata Eriska sambil membuka penutup botolnya. Di tempatnya, Fian hanya diam. Menatap Eriska tanpa berkedip, kemudian tersenyum simpul.

            Sebenarnya, Eriska gadis yang baik dan ramah.

            “Maafin Arziko, ya, Ka?”

            Permintaan itu membuat Eriska menjauhkan botol tersebut dari mulutnya. Gadis itu menyeka bibirnya dengan punggung tangan, kemudian melirik Fian sekilas. Senyuman Fian entah kenapa begitu tulus, membuat Eriska mendengus dan balas tersenyum.

            Yang anehnya, senyuman gadis itu membuat desiran aneh pada hati Fian, juga membuatnya terpana.

            “Nanti,” jawab Eriska pelan. “Setelah gue berhasil bikin dia sakit hati.”

            Fian mengerjap dan detik berikutnya dia tertawa. Eriska masih tersenyum dan melanjutkan minumnya yang sempat tertunda. Sebelah tangan Fian terulur, mengacak rambut Eriska. Mendapat perlakuan seperti itu membuat gestur tubuh Eriska berubah kaku dan gadis itu cepat-cepat mengenyahkan tangan Fian dari kepalanya.

            Dasar laki-laki!

            Tidak ada yang tahu jika ucapan Eriska itu ternyata menjadi kenyataan. Bukan saja Arziko yang akan merasakan sakit hati itu, melainkan juga Eriska dan Fian.

###

Teaser One More Time #5-Get Another Boyfriend

“Lo nggak tertarik buat cari pacar baru, Ka?”

            Akhir-akhir ini, Fian dan Eriska sering bertemu dan mengobrol di kafe. Tak jarang, Fian akan mengajak Eriska datang ke rumahnya untuk sekedar membunuh waktu dan bermain game bersama. Harus Fian akui, Eriska jago dalam bermain game. Beberapa kali, gadis itu mengalahkannya.

            “Nggak sekarang,” jawab Eriska sekedarnya. Meskipun sudah sering bertemu dan mengobrol dengan Fian, gadis itu masih belum bisa terlalu akrab dengan siapapun. Dia membatasi diri.

            “Kenapa?”

            “Kenapa harus?”

            Fian menarik napas panjang dan menatap Eriska yang sibuk melihat acara di televisi. Malam ini, ketika selesai menemani Viona di rumah Arziko, Fian mengajak Eriska ke rumahnya untuk makan malam bersama dan mengobrol.

            “Eriska?”

            Panggilan itu membuat Eriska dan Fian menoleh. Di depan mereka, sosok Arziko muncul. Dengan kerutan di kenang, tatapan mata yang entah kenapa terasa berbeda dan hati yang mendadak gusar.

            “Ngapain lo di sini?” tanya Arziko dengan nada menyelidik.

            “Seingat gue,” kata Eriska dengan nada datar. “Lo bukan siapa-siapa gue. Jadi, gue nggak harus laporan ke elo setiap detiknya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status