Share

bab 5. Mencari

Lara terisak di sela-sela tangis yang tak kunjung reda. Berjalan tanpa tujuan dalam gelapnya malam yang begitu sunyi.

"Sesulit inikah hidupku, Tuhan?" lirihnya kala merasa kehidupan yang ia miliki sangatlah tidak adil.

Malam semakin larut membuat udara semakin dingin. Lara memeluk tubuhku sendiri berharap dapat memberikan sedikit kehangatan yang ia butuhkan.

Seluruh tubuhnya rasanya lelah, seluruh tulangnya serasa remuk dan hatinya rasanya telah hancur berkeping-keping.

Lara terus melangkah menyusuri jalan pulang. Tak ada apapun yang ia bawa bahkan dompet dan ponselnya semua tertinggal bersama tas di loker club' milik Rio. Ingin kembali pun percuma karena ia yakin hanya akan di berondong pertanyaan yang mungkin akan sulit ia jelaskan.

Lara memilih beristirahat sejenak dalam pos ronda yang terlihat sepi. Jarak antar club' dan tempat tinggalnya memang tidak terlalu jauh, hanya saja tubuhnya terlalu lelah untuk memaksakan kaki melangkah menuju kos dengan segera.

Ingatannya kembali menerawang. Delapan tahun yang lalu. Tepat satu minggu sebelum kejadian menjijikan itu, pertemuan terakhirnya dengan Fadil setelah kepergian ibunya kembali kepangkuan Ilahi.

"Besok aku berangkat ke kota untuk melanjutkan kuliah. Aku janji setelah lulus kuliah nanti aku akan langsung melamarmu untuk menggantikan tugas Ibu dan Bapak untuk menjagamu." ucap Fadil kala itu tepat di samping makam ibu dan bapak saat menemani Lara berziarah.

Saat itu Lara menangis terharu sekaligus sedih. Merasa sangat bahagia karena sebuah kalimat yang di ucapkan oleh orang tersayang juga sedih karena harus berpisah dengan Fadil untuk beberapa tahun kedepan. Orang yang ia jadikan tumpuan ketika ia merasa sedih, terlebih setelah kepergian Ibunya yang baru beberapa hari.

"Tapi aku takut Fadil. Bapakmu terlihat tidak menyukaiku," lirih Lara kala itu sembari menyeka air mata yang terus mengalir.

"Aku akan yakinkan Bapak kalau kamu yang terbaik. Aku bukan hanya menyukaimu karena cantik tapi juga karena kamu baik dan sikapmu yang menurutku sangat lembut," jawab Fadil yang terus berusaha meyakinkan Lara membuat hatinya terus membumbung tinggi keawang-awang berharap semua perkataan Fadil akan segera menjadi nyata.

Hingga keesokan paginya Fadil berangkat kekota sesuai rencana, melanjutkan kuliah dan meninggalkan Lara yang harus rela putus sekolah di bangku kelas dua SMA karena terkendala biaya.

Sebuah klakson sepeda motor mengagetkan Lara yang entah sejak kapan melamun.

"Akhirnya ketemu. Ayo naik, gue anter pulang!" teriak Rio dari atas motornya.

"Tapi, Bang."

"Udah ayo cepetan naik. Udah pegel gue nyariin Lo dari tadi," sahutnya cepat.

Dengan pelan Lara menurut perintah dari Rio, duduk dengan tenang di atas motor besar yang terlihat gagah seperti pemiliknya.

"Pegangan, Lo ntar jatuh!" titah Rio mengambil tangan Lara dan melingkarkannya di pinggang.

Lara menuruti perkataan Rio dengan mengeratkan tangannya melingkar di pinggang milik Rio.

Lata tersenyum tipis. Selalu seperti itu. Rio seolah selalu datang disaat yang tepat, saat Lara membutuhkan bantuan Rio akan dengan segera pasang badan untuk menolongnya.

"Terimakasih, ya Bang sudah selalu ada kalau aku butuh," ucap Lara dengan tulus.

Rio hanya berdehem untuk menjawab ucapan Lara.

Tanpa banyak kata Rio terus melajukan motor membelah jalanan sepi menuju tempat kost Lara.

Motor tiba-tiba menepi membuat Lara mengernyit. Rio menghentikan motor di depan sebuah toko yang buka 24 jam lalu meninggalkan Lara masuk tanpa sepatah katapun.

Lara masih berdiam diri di samping motor saat melihat Rio keluar dengan membawa satu keresek besar yang entah berisi apa di dalamnya.

"Yuk naik!" titahnya setelah menyerahkan belanjaannya agar Lara memegangnya.

Lara kembali naik dan motor kembali melesat hingga tak berselang lama sudah sampai di depan kos miliknya.

"Kenapa gak di buka?" tanya Rio saat melihat Lara yang masih berdiri mematung di depan pintu kost. Bingung bagaimana harus membuka pintu sedangkan kuncinya berada di tas yang tertinggal.

"Kuncinya ketinggalan," cengir Lara tanpa merasa bersalah.

"Nih kunci, Lo," Rio melemparkan sebuah kunci yang langsung Lara tangkap dengan sigap.

"Barang-barangku yang lainnya?"

"Gak ada, gue cuma bawa kunci."

Lara menghembuskan napas kasar namun masih bersyukur karena Rio sempat membawa kuncinya.

"Mampir, bang!" tanyanya berbasa-basi sembari membuka kunci lalu membuka pintu lebar-lebar.

"Ayo!"

Rio mendahului Lara memasuki kamar kost yang tidak terlalu besar lalu duduk di atas kasur, membuka bungkusan kresek yang sebelumnya Lara bawa.

Rio mengeluarkan Betadine dan kapas membuat Lara mengernyit.

"Untuk apa itu semua?" tanya Lara bingung.

"Untuk leher dan lengan, Lo biar gak keliatan habis berantem sama kucing!" jawab Rio sekenanya.

Lara buru-buru menuju kearah cermin meja riasnya dan melihat leher dan lengan atas di pantulan cermin. Ada luka memanjang bekas cakaran di sana yang mengeluarkan darah yang telah mengering, anehnya ia tidak merasakan perih sedikitpun karena kedua luka tersebut.

"Sini duduk gue obatin!"

Rio mnarik Lara untuk duduk didepannya dan selanjutnya ia dengan telaten mengobati luka Lara.

Lara mematut didepan cermin sembari merapikan pakaian yang ia kenakan. Sudah tiga hari sejak kejadian kemarin ia bolos bekerjaa, mengurung diri dalam kamar kost yang terlihat semakin sempit karena ia biarkan dalam keadaan berantakan.

Lara hembuskan napas dengan kasar saat melihat saldo ATM melalui aplikasi di dalam ponselnya. Hanya tiga hari membolos bekerja rasanya ia akan jatuh miskin jika tetap membolos untuk beberapa hari kedepan.

"Andai aku jadi orang kaya," gumamnya kala lupa bersyukur atas nikmat yang tengah ia miliki saat ini.

Lara raih tas jinjing yang diantarkan Rio dua hari lalu lengkap dengan isinya. Tas berwarna cream dengan merk cukup terkenal, pemberian Rio saat Lara berulang tahun yang ke dua puluh tiga, tahun lalu.

Lara berjalan menyusuri gang sempit kamar kostnya lalu menyetop angkot di ujung gang. Biarlah kali ini ia menggunakan angkot untuk mengirit pengeluaran sebelum tiba masanya gajian nanti.

Lima belas menit berada didalam angkot yang berjalan layaknya kura-kura di dalam kemacetan hingga suasana ramai di depan cukup mulai menyapa penglihatan.

"Lara!" pekik Andin yang langsung berjalan kearah Lara saat ia baru tiba di pintu club' dan dibalas dengan sebuah senyuman.

"Kamu yakin mau kerja malam ini?" tanya Andin terlihat khawatir.

Lara mengangguk mengiyakan meski dalam hati masih tagu untuk kembali menginjakan kaki diclub tersebut.

"Lara," lirih Andin terlihat ragu.

"Ada apa?" tanya Lara penasaran.

"Laki-laki itu, laki-laki yang menghajar Ramos tempo hari selalu mencarimu saat kamu tidak masuk. Sebenarnya kalian ada hubungan apa?" tanya Andin dengan hati-hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status