Share

Bab 1. Pertemuan

"Lara tolong hantarkan ini kemeja sebelah sana," ucap Rio dengan menunjuk sebuah meja bundar yang terdapat beberapa laki-laki yang duduk melingkar.

"Baik, Bang." Lara tersenyum manis lalu membawa nampan yang berisi beberapa gelas dengan warna minuman dan kadar alkohol yang nampak berbeda-beda.

Suasana nampak riuh dengan dentuman musik DJ yang mengiringi beberapa orang meliuk-liukan badannya di area lantai dansa. Terlihat beberapa muda-mudi yang saling bercum-bu tanpa memperdulikan suasana sekitar membuat Lara sedikit berdecak.

Delapan tahun lamanya ia telah bekerja dalam club' malam milik Rio, namun baginya pemandangan-pemandangan seperti itu seakan belum terbiasa memasuki indra penglihatannya.

"Permisi," ucap Laras dengan sopan lalu ia membungkuk untuk meletakan minuman tersebut diatas meja.

"Cantik," seseorang menjawil dagu terbelah milik Lara membuat siempunya tersenyum menampilkan gigi gingsul yang semakin membuatnya terlihat manis.

Tanpa Lara sadar seseorang yang duduk tidak jauh darinya tengah memperhatikan setiap gerak-gerik yang ia lakukan, termasuk saat Lara memerkan senyum manisnya kala menanggapi godaan beberapa pria yang terang-terangan terpikat oleh wajah manisnya.

"Saya permisi dahulu, Kak," Lara menunduk dengan sopan lalu menatap satu persatu para laki-laki yang tengah duduk melingkar sebelum ia undur pergi.

Senyum Lara masih merekah hingga tatapannya tidak sengaja tiba pada seorang pemuda yang penampilannya paling berbeda dengan yang lainnya, bahkan didepannya bukan sebuah gelas berisikan minuman alkohol melainkan sebotol air mineral yang isinya telah berkurang.

Lara merasakan darahnya berdesir, rasanya tidak mungkin ia melupakan wajah itu. Wajah yang telah lama ia simpan rapat dalam hati.

Setelah delapan tahun lamanya, wajah itu tidak banyak berubah. Masih terlihat tampan dan semakin mirip dengan laki-laki yang menghancurkan hidup Lara.

"Saya permisi," ucap Lara dengan nada bergetar sebelum dengan secepat kilat ia berlalu pergi.

Lara berbalik badan lalu pergi dengan luka yang kembali menganga. Diusapnya sudut mata yang telah mengeluarkan air mata tanpa ia kehendaki.

"Ayolah, Lara jangan cengeng!" kepalan tangan Lara terangkat, ia menyemangati dirinya sendiri yang mendadak lemah.

laki-laki yang sedari tadi memperhatikan Lara seketika bangkit membuat beberapa rekannya mendongak heran.

"Mau kemana kamu, Fadil? katanya gak suka tempat seperti ini," kekeh yang lainnya melempar candaan.

"Kenapa, Dil. Sudah tertarik booking cewek kamu?" timpal yang lainnya dengan tawa yang menggelegar.

Fadil memilih berlalu tanpa menjawab apapun pertanyaan yang para rekannya lontarkan. Di fikirannya hanya satu, gadis manis bergigi gingsul yang sangat mirip dengan gadis dimasa lalunya. Gadis yang pergi membawa separuh hati Fadil dan meninggalkan ruang kosong tanpa pemiliknya.

Fadil menoleh kesana kemari mencari sosok yang masih terus terngiang diingatannya. memastikan sekali lagi bahwa itu adalah gadis yang dicarinya selama delapan tahun kebelakang.

Fadil mengedarkan pandangan keseluruh ruangan, mengabsen setiap inci dari tempat yang dipijaknya dengan sorot mata yang sulit diartikan.

"Permisi," ucap Fadil saat telah sampai di depan meja bartender membuat Rio selaku bartender sekaligus manager menoleh.

"Iya mau pesan apa?" tanya Rio terlihat ramah dan santai sekaligus.

"Tidak, tidak. Saya tidak minum," jawab Fadil membuat Rio mengernyit.

"Saya mencari gadis yang tingginya sekitar segini," Fadil menyentuh bahunya, mengira-ngira tinggi gadis yang baru saja di temuinya. "Dagunya terbelah dan dia memiliki gigi gingsul di bagian kanan. Apa kamu tahu?" imbuhnya kembali menyebutkan ciri-ciri Lara.

"Maksudmu Lara?" tanya Rio.

Fadil terdiam, entah ini sebuah kebetulan atau takdir yang telah mempertemukan mereka kembali, yang jelas saat ini hati Fadil rasanya tengah berbunga-bunga mendapati kenyataan bahwa gadis itu bernama Lara, sama dengan gadis yang ia cari. Lara-nya yang telah delapan tahun terakhir menghilang.

"Kira-kira dimana dia sekarang?" tanya Fadil dengan antusias. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu kembali dengan pujaan hatinya.

"Masih mengantarkan minuman mungkin, atau, ah iya, itu Lara," tunjuk Rio pada seorang perempuan yang tengah dirangkul seorang pria yang terlihat tengah bercengkrama akrab.

Hati Fadil memanas. Ia sangat cemburu dengan laki-laki di samping Lara.

"Lara," panggil Fadil yang tidak mendapatkan respon apapun dari Lara.

"Ayo kita bicara!" tanpa aba-aba Fadil menarik tangan Lara, membimbing gadis yang masih terlihat syok keluar dari club' meninggalkan beberapa orang yang menatap mereka dengan kebingungan.

"Fadil," lirih Lara tanpa sadar saat melihat Fadil yang terus saja menuntunnya menuju kearah parkiran.

“Lara!” panggilnya dengan suara yang masih sangat Lara kenali.

Lara terdiam, ia pandangi lamat-lamat wajah yang selama ini ia rindukan, wajah yang selalu tersimpan dalan hati yang paling dalam, terkubur bersama memori kelam delapan tahun lalu.

“Maaf anda salah orang,” ucap Lara dengan gugup.

"Tidak, aku tahu ini kamu. Kamu Lara," kekeuh Fadil berharap gadis di depannya mau mengakui yang sebenarnya.

"Lepas!" Lara menghentakkan tangannya yang Fadil genggam.

"Kemana saja kamu selama delapan tahun, Lara? aku mencarimu," ujar Fadil dengan nada khawatir namun masih terlihat jelas rona kebahagiaan di wajahnya.

"Maaf, anda salah orang," jawab Lara dengan nada datar membuat Fadil mengernyit.

"Tidak mungkin. Meski sudah delapan tahun aku tidak melihatmu, tapi aku yakin, aku tidak mungkin salah orang," ujar Fadil yakin. "Kamu kenapa Lara, kenapa kamu menjadi seperti ini dan berada di tempat seperti ini?" imbuh Fadil mengeluarkan berbagai pertanyaan tentang perubahan yang Lara alami didepannya.

Delapan tahun lalu, Lara adalah gadi desa yang manis dan lugu. Tak pernah sekalipun Fadil melihat Lara menanggalkan kerudungnya. Berbeda dengan Lara yang saat ini Fadil lihat, dengan pakaian mini serta rambut yang dibiarkan tergerai indah, membuat siapa saja ingin menyentuhnya.

"Maaf, anda salah orang, saya tidak mengerti apa yang anda maksud," ujar Lara sekuat tenaga menahan genangan di pelupuk matanya.

"Lara aku mohon. Jangan berpura-pura tidak mengenalku. Apa kamu lupa tentang aku? Aku Fadil, laki-laki yang dahulu berjanji akan meminangmu. Aku tahu kamu Lara, Lara-ku," ujar Fadil dengan lembut.

"Lara yang mana yang anda maksud? Lara yang sudah mati saat di buang warga ke jurang atau Lara yang kehormatannya telah terampas setelah kepergian Ibunya? Lara yang mana yang anda maksud?" teriak Lara dengan napas tersenggal. Dadanya terlihat naik turun menandakan emosi yang tengah ia tahan.

"Apa maksudmu, Lara?" tanya Fadil tidak mengerti saat Lara memilih berlari meninggalkannya yang diliputi kebingungan.

Air mata Lara tumpah, sekuat apapun ia berusaha menahannya nyatanya air mata itu tetap meringsek keluar seiring dengan semakin jauhnya jarak antara dirinya dengan Fadil, laki-laki baik yang menjadi cinta pertamanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status