Share

Bab 2. Luka lama

"Aku kotor Fadil, aku rusak. Aku tidak pantas dengan siapapun," lirih Lara sembari memeluk dirinya sendiri.

Lara bersimpuh di balik salah satu mobil yang terparkir. Air matanya terus meringsek keluar seraya dengan hatinya yang semakin hancur tak bersisa.

Ia merindukan Fadil, sangat rindu. Hanya saja semua yang telah terjadi seakan menjadi cermin untuk ia berkaca betapa tidak pantasnya ia untuk laki-laki sebaik Fadil.

"Aku tidak boleh lemah, aku sudah bertahan sejauh ini dari fitnah yang paling kejam sekalipun," gumam Lara setelah cukup lama menangis.

Lara kembali bergabung dengan semua rekan kerjanya dengan senyum ceria yang selalu aku tampilkan. Berkutat dengan yang lainnya agar pikirannya tidak semakin larut dalam kenangan.

Dengan fokus bekerja seakan membuatnya sejenak melupakan Fadil dan semua kenangan yang ada. Hingga tanpa terasa malam telah hampir pagi, saatnya Lara bersiap-siap untuk pulang.

Lara bersiap untuk pulang. Saat pagi buta akan sulit rasanya mendapatkan kendaraan. Terkadang Lara harus memesan ojol yang ada namun tak jarang juga ia pulang jalan kaki. Meski jaraknya lumayan jauh tapi tidak mengapa jika ia pulang bersama temannya, setidaknya ia tidak sendiri.

Lara masih berdiri di depan club’ dengan ponsel di tangannya. Ia melihat layar ponsel untuk untuk mencari tukang ojol yang mau menerima orderannya. Namun nihil, sepertinya tengah tidak ada ojol yang masih bekerja di pagi buta kali ini.

Lara tersentak kaget saat sebuah jaket menyelimuti tubuhnya yang memakai pakaian mini.

“Lain kali bawa jaket supaya gak dingin,” reflek Lara menoleh kearah suara.

Lara membeku, wajah itu terasa sangat dekat dengan wajahnya. Wajah yang selalu ia rindu dan ia benci secara bersamaan.

“Fadil,” gumamnya tanpa sadar.

“Benarkan dugaanku, kamu Lara,” ujar Fadil dengan senyum.

Sebuah kenangan tiba-tiba berputar saat Lara melihat senyum Fadil. Senyuman itu, yah senyuman Fadil sangat mirip dengan senyum laki-laki yang menghancurkannya. Laki-laki yang merenggut semuanya darinya. Laki-laki yang memper-kosanya malam itu.

“Pergi!” usir Lara dingin.

“Tidak sebelum kamu menjelaskan semuanya termasuk yang kamu katakan semalam," cecar Fadil sembari menatap mata Lara.

"Tidak ada yang perlu di jelaskan. Pergi dari hadapanku dan lupakan aku. Anggap saja kita tidak pernah kenal," jawab Lara dengan dingin.

Tanpa terasa air mata Lara mengalir. Rasanya setiap adegan demi adegan malam itu terus berputar di kepalanya. Wajah pemer-kosa itu muncul dalam ingatannya dengan tawa mengejeknya ia seolah mengolok-olok Lara yang tidak kuasa melawan saat dia mengambil kesuciannya.

Disusul kenangan malam dimana Lara terbuang. Saat warga dengan obor menyala-nyala mendatangi rumah gubuknya dan membakarnya serta mereka yang memukulinya secara membabi buta dan berusaha menelanjanginya hingga pencarian saat ia berusaha melarikan diri dan berhasil di temukan hingga saat ia di buang ke jurang.

"Lara," lirih Fadil mencoba menggenggam tangan Lara yang terasa dingin.

"Lepas atau saya teriak!" ancam Lara saat merasa pikirannya buntu untuk dapat terlepas dari Fadil.

Perlahan tapi pasti. Genggaman tangan Fadil di kedua tangannya mulai melemah. Fadil melepaskan tangan Lara dengan ekspresi tak rela yang kentara dari wajah tampan yang terlihat semakin dewasa.

Dengan secepat kilat Lara berbalik dan pergi meninggalkan Fadil yang masih berdiri mematung di tempatnya.

Air matanya luruh saat berbelok di depan gang yang terlihat gelap dan sepi. Meninggalkan Fadil bersama luka dan rindu yang menjadi satu.

"Maafkan aku, Fadil!" Lirih Lara saat air mata semakin deras.

Lara menangis tergugu seorang diri. Berusaha memukuli tubuh yang ia rasa terlalu kotor dan merasa tidak pantas untuk tetap menghembuskan napas milik sang kuasa.

"Kenapa hidup begitu tidak adil untukku?" lirih Lara dalam sela-sela isak tangis yang semakin intens terdengar.

Entah sudah berapa lama Lara menangis dalam gelapnya gang sempit hingga matahari mulai muncul pada ufuk timur dan menjanjikan kehangatan sinarnya.

Lara bangkit dengan badan hampir limbung. Bergadang semalaman memang sudah biasa baginya tapi pertemuannya dengan Fadil seolah menguras semua energi yang ia miliki.

Beruntunglah sebuah mobil taksi berwarna biru melintas di depan gang sehingga ia dengan cepat menghentikannya.

Lara terbangun dengan keadaan kamar kontrakan yang sudah gelap gulita. Entah sudah berapa jam ia tertidur. Seingatnya, ia tengah menangis seorang diri sembari memeluk lututnya yang bergetar.

Lara memutuskan bangkit dari dinginnya lantai yang sejak pagi memeluknya. Yah, ia tertidur diatas lantai tanpa alas apapun. Kebiasaan ini sering terjadi apabila kenangan itu kembali muncul dalam ingatan dan menjadikannya gemetar hebat menahan segala rasa yang bergejolak.

Lara bangkit dan berjalan dengan pelan dalam kegelapan mencari saklar lampu lalu mengerjap dengan pelan saat sinar lampu seolah menusuk Indra penglihatannya secara tiba-tiba.

Lara mencari ponsel yang entah dimana letaknya untuk mengetahui jam berapa saat ini.

Matanya terbelalak saat mendapati puluhan Miss call dari Andin dan Rio. Segera jari ini memencet tombol dial pada nomor Andin yang terlihat paling banyak menghubunginya hari ini.

"Halo, Andin, ada apa?" tanya Lara dalam satu kali tarikan napas saat telepon telah tersambung dengan Andin.

"Kamu kemana saja, seharian di cariin gak pernah angkat telepon," semburnya tanpa menjawab pertanyaan Lara yang sebelumnya.

"Aku tidur, maaf," jawab Lara dengan jujur.

"Tidur kaya orang mati. Ganti baju cepetan terus jemput aku di hotel yang semalam. Kita berangkat kerja bareng!" cerocosnya yang membuatku mengernyit.

Lara melihat jam yang tertera pada layar telepon dan seketika matanya terbelalak kaget. Sudah jam delapan malam!

"Ya sudah aku mandi sekarang!" Jawabnya lalu berjalan cepat menuju kamar mandi.

Lara berusaha mandi secepat yang ia bisa lalu bersiap mengenakan pakaian yang ia punya.

Gerakan tangannya terhenti saat akan mengambil sebuah rok yang ukurannya di atas lutut. Lara kembali teringat dengan pertanyaan yang Fadil lontarkan kepadanya.

Hampir semua pakaian yang Lara miliki adalah pakaian kurang bahan, bahkan banyak diantaranya yang terlalu mengekspos punggung dan pahanya. Tanpa sadar tangannya terulur mengambil satu-satunya kain yang teronggok kusut tanpa sentuhan.

Sebuah kerudung kumal yang ia pertahankan secara mati-matian saat tubuhnya hampir di telanjangi oleh warga.

Sebulir air mata jatuh dari pelupuk matanya dan ia menghapusnya dengan kasar.

"Lara yang dulu sudah mati. Mati karena dibunuh oleh fitnah biadab juragan Broto dan para warga suruhannya!" ucap Lara tegas dengan memasang senyum yang ia paksakan semanis mungkin.

Lara bersiap dengan cepat, kali ini riasannya terlihat lebih berani namu masih tetap menampilkan kesan manis dan lugu dai seorang Lara yang pastinya akanembuat siapa saja sulit berkedip saat berpapasan dengannya.

Lara, gadis cantik nan Lugu yang membuat banyak orang sekampungnya mengaguminya. Gadis dengan tutur kata lembut, namun sayang terlahir dari keluarga miskin yang sering di pandang sebelah mata oleh orang-orang berdompet tebal di kampungnya.

Setelah mengikuti petunjuk yang di berikan maps akhirnya Lara sampai di depan sebuah gedung lima lantai yang cukup mewah. Entah berapa biaya yang para orang kaya keluarkan untuk menginap satu malam dalam gedung yang membuat Lara takjub karena kemewahannya. Yang pasti uang gaji Lara tidak akan cukup untuk itu.

Lara mengirimi Andin pesan dan mengabarkan ia telah sampai didepan hotel. Tak berselang lama Andin pun membalas pesannya dan mengabarkan nomor kamar yang ia tempati dan meminta Lara untuk langsung menuju kamarnya.

Laras hendak memasuki lobi hotel saat seseorang menabrak bahunya membuatnya mundur beberapa langkah.

"Lara!" panggil seorang laki-laki yang membuat Lara membelalakkan matanya antara kaget dan takut yang bercampurenjadi satu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status