Share

Nikah Paksa!
Nikah Paksa!
Author: Neveedah Jafri

Belum genap 1 tahun aku merasakan hari-hari bebasku setelah lulus SMA, tiba-tiba kedua orangtuaku mulai membuat rencana perjodohan bodoh dengan anak seseorang yang entahlah siapa itu...

Saat pria yang hendak dijodohkan denganku itu datang, tentu aku sudah kabur dari rumah dibantu dua sahabatku, Sasha dan Harit.

Kami bertiga pergi ke mall dan jalan-jalan keliling kota sedangkan Mama berusaha terus-menerus menghubungi ponselku yang sudah kumatikan sebelumnya. Mama juga memarahi Lily asistenku habis-habisan karena dianggap tak becus mengawasiku yang seharusnya masih ada di kamar.

"T-tapi, tadi Nona Jasmine tidak keluar dari kamar, Nyonya. Sungguh, saya terus berdiri didepan kamar Nona Jasmine." jawab Lily bingung.

Kemudian keduanya melihat jendela kamar yang sudah terbuka lebar, dimana angin berhembus mengibar-kibarkan gorden putih yang menjadi saksi kepergianku. Ketika Mama mendekat dan melihat keluar, sudah ada tangga kayu yang menjadi sarana turun dari lantai 1 ke lantai dasar.

"Siapa yang membantunya melakukan semua ini??!"

Harit dan Sasha bersulang sambil tertawa keras bersamaku di salah satu restoran tengah kota.

"Hahaha, astaga, Jasmine, kau benar-benar gila!"

"Terserah apa kata kalian," tanggapku ikut tertawa, "Sejauh ini, aku selalu punya jalan untuk kabur atau menggagalkan rencana bodoh itu." tambahku.

"Kenapa kau tidak turuti Ibumu saja?" tanya Sasha.

"Nikah? Oh tidak mungkin! Kalau aku menikah, bagaimana jika aku tidak bisa bersenang-senang seperti ini lagi? tidakkah kalian membayangkan bagaimana pernikahan itu?"

"Ya, ya, ya... Aku tahu. Terikat, sibuk mengurus rumah, sibuk mengurus anak. Tapi kupikir, mungkin itu tidak berlaku padamu," kata Sasha.

"Maksudmu?"

"Kau tahu, aku yakin orangtuamu menjodohkanmu dengan pria kaya... Segala urusan rumah akan diurus ART dan anak-anakmu dipegang Babysitter. Apa yang membuatmu merasa tidak bebas?"

"Ini bukan soal siapa yang mengurus anak atau rumah. Aku hanya tidak ingin berkomitmen untuk saat ini. Kau pikir apakah suamiku akan selalu membebaskanku untuk pergi keluar jalan-jalan sepanjang hari? Atau keluar negeri? Atau kemanapun? Kau pikir dia tidak akan meminta waktuku untuk bersamanya? Hmh?"

Harit mengangguk-angguk dan Sasha hanya bisa diam.

Aku kembali menenggak sirup jeruk yang sejak tadi kupegang. Kemudian kutambah, "Menikah adalah bencana."

"Tapi, Jasmine, kau harus tahu..." kata Sasha sambil melirik Harit. Keduanya seperti menyembunyikan sesuatu dariku.

"Sebenarnya, bulan Maret nanti aku akan menikah, dan Harit akan tunangan dengan James di bulan April."

"HHG!" Hampir saja aku tersedak mendengar pernyataan itu. Harit yang sebelumnya mengangguk-angguk mendengar penuturanku soal menikah adalah bencana ternyata dia sendiri akan menikah.

"Seriously? Kalian tidak bercanda 'kan?"

Keduanya mengangguk-angguk bersamaan.

"T-tapii... kalian berdua..."

Sasha menepuk pundakku sambil berkata, "Mungkin kau harus berhenti menolak keinginan Ibumu. Jadi, kita bertiga bisa menikah di tahun yang sama."

Aku langsung menepis tangan Sasha dengan kesal dan berdiri. "Kupikir kalian berdua akan selalu bersamaku menjadi sahabat. Ternyata justru kalian yang meninggalkanku."

"Jasmine, kita tidak meninggal--"

"Ah, sudahlah!"

Aku langsung pergi meninggalkan keduanya dengan kesal. Keluar dari restoran dan mencari taksi. Bagaimana mungkin mereka berdua akan menikah padahal kami baru saja lulus?? Bahkan dulu di hari kelulusan justru Sasha-lah yang berharap aku dan Harit tidak buru-buru menikah tapi nyatanya?? Justru dia-lah yang pertama akan menikah. Sialan!

Aku mendengus kesal dan mulai menyalakan kembali ponselku. Puluhan panggilan tak terjawab mulai masuk bersamaan dengan entah berapa banyak pesan singkat yang Mama kirimkan, membuatku semakin kesal.

Sampai didepan rumah, kulihat mobil tamu yang sebelumnya datang itu sudah tidak ada.

Baguslah... Semoga mereka tidak kembali lagi.

Lily yang sudah berdiri didepan pintu rumah langsung menghampiriku. Sepertinya dia memang menungguku sejak tadi.

"Nona!"

Aku langsung memberinya isyarat tangan agar tidak bicara. Aku sudah tahu apa yang akan Lily katakan. Sudah pasti Mama marah. Tapi begitu Mama melihatku, dia tidak marah. Dia hanya berkata, "Mari kita bicarakan ini dikamarmu, Jasmine." dengan suara yang tenang seolah tidak terjadi hal apapun sebelumnya.

Perasaanku mulai tidak enak. Kupikir begitu ia menutup pintu kamar dan menyuruhku untuk duduk dikasur dia akan memarahiku habis-habisan. Ternyata tidak.

Mama ikut duduk berhadapan denganku dan berkata, "Mama tahu kau ingin kebebasan. Memang tidak ada gunanya Mama memaksakanmu melakukan semua ini, tapi setidaknya, lihat dulu pria yang hendak melamarmu ini. Bukan berkata 'Tolak', 'Tolak', 'Tolak'. padahal kau belum melihatnya. Kenapa kau menolak?"

"Karena aku belum siap menikah, Ma. Aku... bahkan masih 19 tahun!"

"Masih 19 tahun? Kau tahu dulu Mama menikah dengan Papamu usia berapa? Mama menikah dengan Papa usia 15 tahun, Jasmine. 17 tahun sudah melahirkanmu--"

"Tapi, Ma. jaman sekarang sudah tidak ada orang yang menikah 15, 16 atau 17 tahun. Itu jaman dulu, Ma. Jaman duluuuu..."

"Iya. Itu jaman dulu. Memang sudah tidak usah di bahas soal usia atau jamannya. Mama hanya ingin kau melihat pria ini sebelum menolaknya. Lihat dulu... Jika tidak mau, tolak saja tidak apa-apa. Kau tahu? Mama lelah jika harus kejar-kejaran seperti ini. Tolong, nak..."

"Baiklah. Aku boleh menolaknya setelah melihat?"

"Ya. Terserah. Setidaknya kau sudah melihatnya..."

"Baiklah kalau begitu. Aku tidak akan pergi lagi."

"Mm-hm...." Mama mengangguk dan berdiri.

Tetapi baru beberapa langkah jalan, ia berhenti dan berbalik sekali lagi untuk bertanya, "Oh iya, siapa yang memberimu tangga untuk kabur itu?"

Aku melirik ke kiri dan mengangkat bahu. "Entahlah... Mungkin Toni." jawabku asal.

"Oh..." Mama mengangguk dan kembali berjalan keluar kamar. Tidak ada pernyataan lain tapi sejak hari itu, esok dan seterusnya aku tidak pernah melihat Toni tukang kebunku lagi...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status