Belum genap 1 tahun aku merasakan hari-hari bebasku setelah lulus SMA, tiba-tiba kedua orangtuaku mulai membuat rencana perjodohan bodoh dengan anak seseorang yang entahlah siapa itu...
Saat pria yang hendak dijodohkan denganku itu datang, tentu aku sudah kabur dari rumah dibantu dua sahabatku, Sasha dan Harit.Kami bertiga pergi ke mall dan jalan-jalan keliling kota sedangkan Mama berusaha terus-menerus menghubungi ponselku yang sudah kumatikan sebelumnya. Mama juga memarahi Lily asistenku habis-habisan karena dianggap tak becus mengawasiku yang seharusnya masih ada di kamar."T-tapi, tadi Nona Jasmine tidak keluar dari kamar, Nyonya. Sungguh, saya terus berdiri didepan kamar Nona Jasmine." jawab Lily bingung.Kemudian keduanya melihat jendela kamar yang sudah terbuka lebar, dimana angin berhembus mengibar-kibarkan gorden putih yang menjadi saksi kepergianku. Ketika Mama mendekat dan melihat keluar, sudah ada tangga kayu yang menjadi sarana turun dari lantai 1 ke lantai dasar."Siapa yang membantunya melakukan semua ini??!"Harit dan Sasha bersulang sambil tertawa keras bersamaku di salah satu restoran tengah kota."Hahaha, astaga, Jasmine, kau benar-benar gila!""Terserah apa kata kalian," tanggapku ikut tertawa, "Sejauh ini, aku selalu punya jalan untuk kabur atau menggagalkan rencana bodoh itu." tambahku."Kenapa kau tidak turuti Ibumu saja?" tanya Sasha."Nikah? Oh tidak mungkin! Kalau aku menikah, bagaimana jika aku tidak bisa bersenang-senang seperti ini lagi? tidakkah kalian membayangkan bagaimana pernikahan itu?""Ya, ya, ya... Aku tahu. Terikat, sibuk mengurus rumah, sibuk mengurus anak. Tapi kupikir, mungkin itu tidak berlaku padamu," kata Sasha."Maksudmu?""Kau tahu, aku yakin orangtuamu menjodohkanmu dengan pria kaya... Segala urusan rumah akan diurus ART dan anak-anakmu dipegang Babysitter. Apa yang membuatmu merasa tidak bebas?""Ini bukan soal siapa yang mengurus anak atau rumah. Aku hanya tidak ingin berkomitmen untuk saat ini. Kau pikir apakah suamiku akan selalu membebaskanku untuk pergi keluar jalan-jalan sepanjang hari? Atau keluar negeri? Atau kemanapun? Kau pikir dia tidak akan meminta waktuku untuk bersamanya? Hmh?"Harit mengangguk-angguk dan Sasha hanya bisa diam.Aku kembali menenggak sirup jeruk yang sejak tadi kupegang. Kemudian kutambah, "Menikah adalah bencana.""Tapi, Jasmine, kau harus tahu..." kata Sasha sambil melirik Harit. Keduanya seperti menyembunyikan sesuatu dariku."Sebenarnya, bulan Maret nanti aku akan menikah, dan Harit akan tunangan dengan James di bulan April.""HHG!" Hampir saja aku tersedak mendengar pernyataan itu. Harit yang sebelumnya mengangguk-angguk mendengar penuturanku soal menikah adalah bencana ternyata dia sendiri akan menikah."Seriously? Kalian tidak bercanda 'kan?"Keduanya mengangguk-angguk bersamaan."T-tapii... kalian berdua..."Sasha menepuk pundakku sambil berkata, "Mungkin kau harus berhenti menolak keinginan Ibumu. Jadi, kita bertiga bisa menikah di tahun yang sama."Aku langsung menepis tangan Sasha dengan kesal dan berdiri. "Kupikir kalian berdua akan selalu bersamaku menjadi sahabat. Ternyata justru kalian yang meninggalkanku.""Jasmine, kita tidak meninggal--""Ah, sudahlah!"Aku langsung pergi meninggalkan keduanya dengan kesal. Keluar dari restoran dan mencari taksi. Bagaimana mungkin mereka berdua akan menikah padahal kami baru saja lulus?? Bahkan dulu di hari kelulusan justru Sasha-lah yang berharap aku dan Harit tidak buru-buru menikah tapi nyatanya?? Justru dia-lah yang pertama akan menikah. Sialan!Aku mendengus kesal dan mulai menyalakan kembali ponselku. Puluhan panggilan tak terjawab mulai masuk bersamaan dengan entah berapa banyak pesan singkat yang Mama kirimkan, membuatku semakin kesal.Sampai didepan rumah, kulihat mobil tamu yang sebelumnya datang itu sudah tidak ada.Baguslah... Semoga mereka tidak kembali lagi.Lily yang sudah berdiri didepan pintu rumah langsung menghampiriku. Sepertinya dia memang menungguku sejak tadi."Nona!"Aku langsung memberinya isyarat tangan agar tidak bicara. Aku sudah tahu apa yang akan Lily katakan. Sudah pasti Mama marah. Tapi begitu Mama melihatku, dia tidak marah. Dia hanya berkata, "Mari kita bicarakan ini dikamarmu, Jasmine." dengan suara yang tenang seolah tidak terjadi hal apapun sebelumnya.Perasaanku mulai tidak enak. Kupikir begitu ia menutup pintu kamar dan menyuruhku untuk duduk dikasur dia akan memarahiku habis-habisan. Ternyata tidak.Mama ikut duduk berhadapan denganku dan berkata, "Mama tahu kau ingin kebebasan. Memang tidak ada gunanya Mama memaksakanmu melakukan semua ini, tapi setidaknya, lihat dulu pria yang hendak melamarmu ini. Bukan berkata 'Tolak', 'Tolak', 'Tolak'. padahal kau belum melihatnya. Kenapa kau menolak?""Karena aku belum siap menikah, Ma. Aku... bahkan masih 19 tahun!""Masih 19 tahun? Kau tahu dulu Mama menikah dengan Papamu usia berapa? Mama menikah dengan Papa usia 15 tahun, Jasmine. 17 tahun sudah melahirkanmu--""Tapi, Ma. jaman sekarang sudah tidak ada orang yang menikah 15, 16 atau 17 tahun. Itu jaman dulu, Ma. Jaman duluuuu...""Iya. Itu jaman dulu. Memang sudah tidak usah di bahas soal usia atau jamannya. Mama hanya ingin kau melihat pria ini sebelum menolaknya. Lihat dulu... Jika tidak mau, tolak saja tidak apa-apa. Kau tahu? Mama lelah jika harus kejar-kejaran seperti ini. Tolong, nak...""Baiklah. Aku boleh menolaknya setelah melihat?""Ya. Terserah. Setidaknya kau sudah melihatnya...""Baiklah kalau begitu. Aku tidak akan pergi lagi.""Mm-hm...." Mama mengangguk dan berdiri.Tetapi baru beberapa langkah jalan, ia berhenti dan berbalik sekali lagi untuk bertanya, "Oh iya, siapa yang memberimu tangga untuk kabur itu?"Aku melirik ke kiri dan mengangkat bahu. "Entahlah... Mungkin Toni." jawabku asal."Oh..." Mama mengangguk dan kembali berjalan keluar kamar. Tidak ada pernyataan lain tapi sejak hari itu, esok dan seterusnya aku tidak pernah melihat Toni tukang kebunku lagi...Sesuai dengan hari dan tanggal yang telah Mama tentukan, akhirnya aku bertemu dengan pria yang ingin Mama jodohkan itu. Dirumah kami, dia dan keluarga kecilnya datang... Ibunya begitu aktif bertanya basa-basi soalku sedangkan pria itu sendiri terlihat seperti pemalu dan tidak banyak bicara. 20 menit yang terasa seperti neraka duduk dan pura-pura tersenyum ramah pada mereka sampai pipiku sakit. Begitu mereka pulang, aku tidak perlu pura-pura tersenyum lagi. Aku melihat Mama dan berkata, "Aku tidak menyukainya. Tolak." kemudian aku pergi ke kamar. Kupikir sudah selesai dan segalanya kembali baik-baik saja. Ternyata tidak. Satu minggu setelah kejadian itu, aku harus kembali duduk diruang tamu dan menanggapi pria lain. Sekali lagi, aku berkata, "Tolak." 2 Bulan kemudian. Tepatnya setelah aku pulang dari pesta pernikahan Sasha di bulan maret. Ada pria lain yang ingin Mama jodohkan. Kupikir ini yang terparah dari yang sebelum-sebelumnya. Pria itu bernama Antonio. Usia 25 tahun. Lebih
Sampai saat ini aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi tadi pagi. Ketika bertemu, kami berdua tidak banyak bicara karena Mama dan Papa selalu mendominasi. Dia lebih banyak tertawa menanggapi pertanyaan-pertanyaan orangtuaku sesekali curi pandang melihatku. Hanya sekitar 15 menit sebelum pada akhirnya pamit pulang dan meminta nomor ponselku. Sekarang, disinilah aku berada. Duduk diatas kasur sambil memikirkan semuanya. Mungkin bayanganku soal Richard tidak seburuk kenyataannya. Dia memang tidak terlihat tua seperti yang kubayangkan. Tidak juga jelek. Bahkan dia yang paling tampan diantara pria-pria yang sebelumnya datang. Tapi semua itu tetap saja tidak membuatku jatuh hati. Aku ingin menangis karena rencana pernikahan ini. Aku tidak mau menikah sekarang. Aku tidak bisa. Ada banyak target yang belum kupenuhi dan banyak hal yang belum kucapai. Bagaimana jika menikah lalu hamil? Lalu memiliki anak? Lalu Richard mengatur-atur kebebasanku? Lalu aku hanya bisa melakukan apa yang
Kuharap, keesokan harinya adalah mimpi. Mama memilihkanku setelan baju putih dan menyuruhku berdandan. Ia juga memberikan kalung pernikahannya untuk kupakai saat bertemu keluarga Richard nanti. Aku tidak tahu harus dandan seperti apa? Kusisir rambut pendekku ini dan kubuat belahan pinggir, haruskah kuikat saja rambutku agar terlihat lebih rapih? Setelah beberapa detik berpikir, aku memutuskan untuk mengikatnya saja. Kemudian kulihat penampilanku di cermin. Sudah bagus. Kuambil kotak kecil wadah tempat Mama menyimpan kalungnya. Kotak kayu ini pasti sudah lama tidak dibuka sehingga tanganku sedikit kesulitan membuka selotnya. Dari belakang, kudengar seseorang membuka pintu dan berjalan menghampiriku. "Mama, tolong buka-kan kotak ini," pintaku, ternyata bukan Mama yang masuk. Tapi Richard. Sosoknya yang berdiri di belakangku terpantul di cermin panjang yang sedang kulihat. "Hei, kenapa kau masuk kamarku?!" kataku terkejut sambil menengok kearahnya. "Oh, Mama yang menyuruhku kesini.
Richard mengajakku keliling rumah, dari ruang depan, ruang tengah, ruang makan, taman belakang yang ada kolam persegi panjang, dapur dan 2 kamar tamu. Kemudian masuklah aku ke kamarnya. Kupikir kasur kamarnya lebih besar dari kamar tamu, tapi justru kasur kamarnya tidak lebih besar dari kasur-kasur yang ada di kamar lain. Ada satu kamar yang tidak kami masuki karena kata Richard kamar itu terkunci. Itu kamar Rivi. Sejak kemarin aku mengenal Richard, baru sekarang ini aku penasaran dan tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya soal Rivi. Dimana Richard bertemu Rivi? Sejak kapan mereka tinggal bersama? Kenapa harus tinggal bersama? Ketika perjalanan pulang, Dia menjawab semuanya. Dia mengenal Rivi sejak kuliah 5 tahun yang lalu. Mereka satu jurusan dan Rivi teman kepercayaan Richard satu-satunya. "Dia orang yang gesit dan jujur. Itu sebabnya setelah lulus ku tawarkan kontrak kerja sama. Karena ada banyak pertemuan antar aku dengannya, lebih gampangnya kusuruh dia tinggal dirumah
Malam itu sampai pukul 9 lebih, Richard belum juga pulang. Tapi masa bodoh bagiku karena memang tidak kutunggu kepulangannya. Saat aku tidur, dia mengirim pesan singkat kalau dirinya sedang dalam perjalanan pulang. Begitu Richard sampai dan masuk kamar, dilihatnya aku sudah tidur pulas. Dia menciumku beberapa kali sebelum mandi dan ganti baju, kemudian ikut tidur satu selimut sambil menciumiku lagi. Aku mulai sadar dengan apa yang dia lakukan, tapi kemudian dia berhenti dan minta maaf karena hampir membangunkanku. Meskipun aku terlalu ngantuk untuk marah, tapi kupaksa diriku untuk membuka mata dan memberitahunya untuk tidak melakukan itu. Richard minta maaf dan aku kembali tidur memunggunginya. Pagi hari ketika kembali sadar dari tidur, posisiku sudah berubah ditengah kasur dalam keadaan dipeluknya. Risih sekali harus tidur sambil berpelukan seperti ini. Bagaimana mungkin aku tidak sadar?Kusingkirkan kedua tangan Richard dan turun dari kasur.Perutku sedikit mual ketika masuk kama
Terlalu dekat hingga membuatku mundur-mundur. “Kenapa? Kau takut? Aku bisa melakukannya pelan-pelan, tenang saja.” katanya. Jantungku langsung berdebar. “Richard, aku tidak mau melakukan itu, bisakah kau menjauh?? Seriously!” Kudorong dia menjauh dan hendak turun dari kasur. “Hei, kau mau kemana?” Hampir saja dia menangkap tanganku dan hendak mencegahku pergi, untungnya tidak berhasil. Cepat-cepat aku keluar dari kamar sementara Richard masih memanggilku. “Jasmine, Jasmine…” Aku harus pergi dari rumah ini! “Hei, kau mau kemana?” Richard berlari kecil mengejarku. "Jasmine, tunggu dulu," diraihnya tanganku yang hendak menyentuh ganggang pintu, "Kau mau kemana?" Tanyanya sekali lagi. "Pergi!" "Kenapa??" Aku diam sesaat. Tiba-tiba Richard tertawa, "Kau takut itu? Kau tidak mau berhubungan denganku?" Aku melihat kearah lain. "Tidak apa-apa kalau kau masih takut. Aku tahu posisimu. Kita berdua tidak pernah saling kenal sebelumnya dan aku hanyalah orang asing," Aku melihat wajah
“Astaga!!” “Oh nooo,” “Demi Dewa Merkurius, Venus dan Pluto, aku tidak mau terlibat apapun jika kalian bertengkar!” kata Sasha panik. “Aku juga! Aku tidak mengajakmu kesini dan aku tidak tahu apa-apa demi semua planet di alam semesta!” tambah Harit. “Kalian tidak usah panik!” bisikku melihat keduanya. “Aku akan pulang. Tidak akan terjadi apapun dan dia tidak akan melakukan apapun.” Kataku kemudian berdiri meninggalkan keduanya. Padahal aku belum makan dan pesananku masih dibuat. Begitu langkahku sudah dekat, Richard tersenyum sambil berkata, “Bagus.” Kami berdua keluar dan dia membukakan pintu mobilnya padaku. Sekarang aku sadar bagaimana dia bisa menemukanku disini. Titik lokasi di ponselku selalu aktif dan nomorku terhubung di salah satu aplikasi dimana Richard bisa menemukanku kapanpun dimanapun selama titik lokasi itu aktif. Betapa bodohnya diriku... Lebih bodoh lagi karena kupikir Richard akan membebaskanku melakukan apapun. Dia bukan pria yang posesif?? Kutarik lagi kata-k
Kulihat dua pasangan di seberang sana sedang bermesraan. Kedua tangan mereka saling menggenggam diatas meja dan mereka bicara soal ini dan itu sambil tertawa. Dari mata ke mata, aku tahu mereka berdua saling jatuh cinta. Aku tahu apa yang Richard pikirkan... Dia pasti iri. Lebih-lebih setelah makanan yang mereka pesan sudah tersaji, mereka saling menyuapi. Eww!! Hal yang menggelikan yang tidak ingin kulihat. Richard kembali melihatku dengan tatapan lesu. "Aku tidak mau melakukan hal semacam itu, menjijikkan!" komentarku sambil melihat pasangan sebelah. "Ini bukan soal kemesraan mereka." kata Richard dengan malas. "Perempuan itu mantanku, Jasmine." "Hmmgh-" Aku langsung berhenti mengunyah dan melihat kearah perempuan itu sekali lagi. "O-oh," Aku kehilangan kata-kata. Usia perempuan itu sepertinya tidak jauh dari Richard, kulitnya putih dengan rambut pirang yang mencolok. Dia mirip model-model sampul yang menghiasi majalah. Dia cantik. "Sebaiknya kita segera pergi. Cepat habiska