Share

Sampai saat ini aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi tadi pagi.

Ketika bertemu, kami berdua tidak banyak bicara karena Mama dan Papa selalu mendominasi. Dia lebih banyak tertawa menanggapi pertanyaan-pertanyaan orangtuaku sesekali curi pandang melihatku. Hanya sekitar 15 menit sebelum pada akhirnya pamit pulang dan meminta nomor ponselku.

Sekarang, disinilah aku berada. Duduk diatas kasur sambil memikirkan semuanya. Mungkin bayanganku soal Richard tidak seburuk kenyataannya. Dia memang tidak terlihat tua seperti yang kubayangkan. Tidak juga jelek. Bahkan dia yang paling tampan diantara pria-pria yang sebelumnya datang. Tapi semua itu tetap saja tidak membuatku jatuh hati.

Aku ingin menangis karena rencana pernikahan ini. Aku tidak mau menikah sekarang. Aku tidak bisa. Ada banyak target yang belum kupenuhi dan banyak hal yang belum kucapai. Bagaimana jika menikah lalu hamil? Lalu memiliki anak? Lalu Richard mengatur-atur kebebasanku? Lalu aku hanya bisa melakukan apa yang dia inginkan sebagaimana harusnya perempuan yang baik? NOOOOO....!

Ini tidak boleh terjadi...

Andai aku bukan anak satu-satunya Mama dan Papa. Andai aku memiliki adik perempuan yang bisa kujadikan kambing hitam...

Belum selesai aku memikirkan semua ini, tiba-tiba ponselku berdering.

Nomor panggilan tersebut tidak kuketahui karena belum kusimpan. Aku curiga itu Richard karena sejak meminta nomorku, dia belum menghubungiku sama sekali. Begitu kuangkat.

"Hallo?"

"Siapa?"

"Richard. Jangan lupa simpan nomorku, Jasmine."

Sudah kuduga.

"Ah, iya, gampang." kataku.

"Mm-hmm..."

Kami berdua diam sesaat. "Richard, kau tahu... pernikahan ini sebenarnya--"

*Tok tok tok

"Jasmine, Papa ingin bicara padamu," Suara Papa dibalik pintu yang mengalihkan percakapanku.

"Sebenarnya?" tanya Richard menunggu.

"Tunggu sebentar. Nanti kuhubungi kau lagi," kataku, kemudian memutuskan panggilan dan membukakan pintu.

"Ada apa Pa?"

"Kau sedang apa?"

"Tidak ada. Ada apa?"

"Papa ingin bicara padamu soal Richard." Kata Papa memasuki kamar.

"Oh,"

Papa duduk disalah satu kursi yang ada di tengah kamar dan aku duduk dihadapannya.

"Kau tahu, sebelum Papa dan Mama memutuskan menerima lamaran Richard, tentu saja kami sudah cari tahu tentang mereka. Richard ini anak baik-baik, Jasmine. Tentu saja suatu kehormatan untuk Papa bisa punya menantu sepertinya."

Aku memutar mata.

"Jangan sampai pernikahan kalian batal karena ini harapan terbesar Papa. Selama ini, Papa dan Mama selalu menuruti kemauanmu. Papa dan Mama hanya minta sekali saja... Sekali saja kau menuruti permintaan Papa dan Mama."

"Aku tahu."

"Kau mau 'kan? Menikah?"

"Entahlah."

Papa menghela napas. Aku diam selama beberapa detik. Ketika melihat wajah Papa yang terlihat tua, rambut-rambut yang telah memutih juga kerutan di dahi, aku merasa iba. "Baiklah, Pa. Aku... bisa menikah."

Akhirnya Papa tersenyum. "Pintar."

Kemudian setelah berdiri, ia berkata, "Jadilah anak gadis yang baik. Papa dan Mama selalu mengharapkan kebahagiaanmu, Jasmine."

"Iya, Pa." kataku sambil mengantarkannya keluar kamar.

Setelah tutup pintu, aku mengurungkan niatku memberitahu Richard bahwa pernikahan ini sebenarnya bukan keinginanku. Aku terpaksa dan tidak mau terikat dengannya. Tapi jika seperti ini, apakah aku akan tetap memberitahunya?

Beberapa hari berikutnya, aku menyadari bahwa kedua sahabatku belum tahu soal ini. Soal rencana pernikahanku dengan Richard. Ternyata apa yang dikatakan Sasha menjadi kenyataan, bahwa kami bertiga akan menikah di tahun yang sama.

Saat kami bertiga videocall, Harit memberitahu kami kalau dia akan menikah di bulan Juli. Sedangkan Sasha menceritakan pengalamannya honeymoon di Eropa. Dia terlihat paling bahagia diantara kami berdua dan aku terlihat paling sedih sekaligus lesu.

"Teman-teman... Aku ingin memberitahu kalian sesuatu." Kataku serius ketika keduanya sudah berhenti bicara.

"Ada apa?"

"Aku..."

Keduanya menunggu.

Dengan malas, aku menyelesaikan kalimat sebelumnya, "Akan menikah."

"What??!! Aaaaaaaa!!"

"Aaaaa!!"

Harit dan Sasha langsung bersorak senang sedangkan wajahku masih terlihat sama seperti sebelumnya. Malas...

"Jadi, kau sudah berhenti menolak lamaran pria?"

"Tidak. Lebih tepatnya aku terpaksa karena orangtuaku sudah menerima lamarannya."

"Kenapa? Siapa namanya? dia orang mana?"

"Orang dikota ini, namanya Richard Holmes, orangtuanya pemilik perusahaan Holmes. Entah perusahaan apa itu aku tidak tahu. Aku juga tidak peduli,"

Harit tertawa. "Kau akan menikah kapan?"

"Entahlah, aku belum tahu, semoga masih lama... Tenang saja, aku pasti memberitahu kalian jika sudah ada tanggal."

"Baiklah, baiklah," jawab Harit.

Kemudian terdengar suara seseorang yang memanggil Harit. "Hei, aku pergi dulu ya? Besok sambung lagi," kata Harit dan setelah kami berdua mengiyakan, dia mematikan panggilan.

Sekarang tinggal aku dan Sasha.

"Menurutmu bagaimana rasanya menikah?" tanyaku pada Sasha.

Dia tersenyum lebar dan menjawab, "Entahlah, Aku baru menikah 1 bulan tapi sejauh ini menyenangkan,"

"Apa menyenangkannya?"

Ia tertawa sambil menutup mulut. "Hehehe, kau tahu lah, apa yang menyenangkan."

"Apa?"

"Itu..."

"Apa?"

"Ah, kau ini... Pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu?"

"Jangan bilang malam pertama?"

Ia tertawa. "Tidak. Bukan malam pertama. Sebenarnya malam pertama sedikit sakit, tapi malam kedua."

"Dih!! Kau ini!!!!"

Sasha tertawa keras.

"Berarti itu kan?"

"Tidak, Jasmine. Sebenarnya bukan hanya itu. Sebenarnya banyak, seperti, kau sudah tidak tidur sendiri... kau memiliki seseorang yang mencintaimu, menjagamu, dan kau punya status, kau juga--"

Aku memutar mata. Segala yang Sasha katakan bukan hal yang selama ini kucari. Mungkin lebih tepatnya aku belum marasakan hal-hal semacam itu, seperti ingin dicintai, ingin dijaga, ingin memiliki status, dan lain-lain.

"Sekalipun sekarang kau terpaksa, mungkin nantinya kau senang dengan pernikahanmu."

"Huh, apa kau yakin?"

Sasha mengangguk. "Aku yakin."

"Hmmm..."

"Tunggu, sepertinya suamiku sudah pulang. Kalau begitu, aku pamit dulu ya?" kata Sasha.

"Baiklah," Kumatikan panggilan dan kembali rebahan.

Baru beberapa detik telfon mati, aku kembali mendengar nada pesan masuk. Saat ku cek, ternyata pesan dari Richard.

Besok keluarga kecilku akan datang ke rumahmu. Biar mereka semua melihat seperti apa calon istriku ini.

Huuuhhh!! tiba-tiba perasaaan geli menjalar keseluruh tubuh begitu membaca kalimat "ISTRIKU"

Astaga, apa aku benar-benar akan menikah?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status