Share

Kuharap, keesokan harinya adalah mimpi. Mama memilihkanku setelan baju putih dan menyuruhku berdandan. Ia juga memberikan kalung pernikahannya untuk kupakai saat bertemu keluarga Richard nanti. Aku tidak tahu harus dandan seperti apa?

Kusisir rambut pendekku ini dan kubuat belahan pinggir, haruskah kuikat saja rambutku agar terlihat lebih rapih?

Setelah beberapa detik berpikir, aku memutuskan untuk mengikatnya saja. Kemudian kulihat penampilanku di cermin. Sudah bagus. Kuambil kotak kecil wadah tempat Mama menyimpan kalungnya.

Kotak kayu ini pasti sudah lama tidak dibuka sehingga tanganku sedikit kesulitan membuka selotnya. Dari belakang, kudengar seseorang membuka pintu dan berjalan menghampiriku.

"Mama, tolong buka-kan kotak ini," pintaku, ternyata bukan Mama yang masuk. Tapi Richard. Sosoknya yang berdiri di belakangku terpantul di cermin panjang yang sedang kulihat.

"Hei, kenapa kau masuk kamarku?!" kataku terkejut sambil menengok kearahnya.

"Oh, Mama yang menyuruhku kesini. Keluargaku sudah ada di bawah." Richard mengambil kotak kayu itu dari tanganku dan membuka selotnya dengan mudah. Kemudian dia mengambilkan kalungnya dan berkata, "Sini," menyuruhku balik badan karena dia yang akan memakaikan kalung ini.

Entah kenapa perutku langsung mual saat melihat diriku dan Richard pada pantulan cermin. Dia telah memakaikan kalung itu dari belakang. Rasanya aneh.

"Kau akan mengikat rambutmu serperti ini?"

"Iya."

"Lebih baik rambutmu terurai saja seperti biasanya."

"Tidak. Aku lebih suka seperti ini." jawabku dengan malas.

"Ada apa dengan wajahmu?"

"Kenapa?"

"Kau terlihat kesal. Apa seseorang sudah membuatmu marah?"

"Iya. Kau orangnya." kataku kemudian melewatinya begitu saja.

Kudengar langkah kakinya dibelakangku menyusul.

"Kenapa aku?" Tanya Richard tapi tak kujawab.

Kami berdua turun tangga dan keluarga kecilnya langsung melihat kearahku dari ruang makan.

Mama pasti membunuhku jika aku terlihat kesal seperti ini. Mau tidak mau, aku pura-pura tersenyum sambil menyalami mereka satu persatu.

Ada Ibu Richard yang kuakui sangat cantik. Kemudian ayahnya Tuan Holmes dan dua adik laki-lakinya yang juga setampan Richard. Yang pertama bernama Archie. Dia memiliki banyak kemiripan dengan Richard dari segi fisik, usianya 25 tahun dan yang kedua Harvi, seusia denganku, 19 tahun, memiliki rambut sedikit gondrong dan berkacamata.

 Ibu Richard berkata kalau Harvi satu sekolah denganku tapi beda kelas. Dia-lah orang pertama yang tahu siapa aku dan dari keluarga mana diriku.

Selain itu, Harvi juga yang memberi rekomendasi pada orangtuanya untuk menjodohkan sang kakak padaku. Anak dari sahabat partner kerja ayahnya.

Pantas saja wajah Harvi terlihat sedikit familiar. Dia tersenyum padaku saat sang Ibu memberitahukan hal itu.

"Harvi bilang, Jasmine adalah kapten cheerleaders dan anak populer sekolah,"

"Hahahah," Aku tertawa mendengarnya. Saat mataku melihat kearah Richard, ternyata dia mengawasiku sambil tersenyum sejak tadi.

Entah kenapa, perutku kembali mual. Sungguh, rasanya mual hingga aku tak mengambil terlalu banyak makan saat hidangan makan malam disiapkan. Untungnya tidak banyak pertanyaan yang diajukan padaku selain hanya basa-basi kecil. Ibu Richard terus memujiku cantik padahal dirinya lebih cantik, menurutku. Begitu juga dengan calon ayah mertua. Tampaknya semua menerima kehadiranku.

Ada sedikit perasaan bersalah karena aku tidak benar-benar mau menikah. Pernikahan ini bagiku bukanlah sesuatu yang serius. Bagaimana reaksi mereka jika tahu semua itu? Bahwa aku melakukan semua ini dengan terpaksa.

"Oh iya, Ibu sudah menemukan tanggal bagus di bulan juni nanti." kata Ayah Richard sambil melihat istrinya.

"Oh benarkah?" Mama terlihat bersemangat.

"Iya, mungkin pernikahan kalian akan diadakan 6 juni. Bagaimana?"

"Hah?" Aku melongo. "Ehm, tunggu... mungkin maksud Ayah dan Ibu acara pertunangannya?" tanyaku.

"Bukan tunangan, Jasmine. Menikah. Untuk apa harus menunggu tunangan dulu kalau bisa langsung menikah?" tanggap Ibu Richard.

"Iya, benar juga. Kami setuju-setuju saja. Justru senang jika dipercepat seperti ini," jawab Mama terlihat senang.

"Hah?" aku berusaha tidak terlihat kesal meski sebenarnya kesal juga.

Inti dari pertemuan malam itu ternyata untuk penentuan tanggal pernikahan. Astaga!

Bahkan aku menikah lebih dulu sebelum Harit. Tiba-tiba terbayang dimataku bagaimana semua itu terjadi... Tukar cincin... Menikah... Kehidupan seperti apa yang nantinya harus kuhadapi?

Aku berusaha untuk tidak berlebihan atau memikirkan semua itu.

Besoknya Richard kembali menghubungiku karena dia ingin menunjukkan rumah yang nantinya akan kita tinggali. Ingin rasanya kutolak tapi tak ada pilihan lain, Mama dan Papa pasti kecewa jika aku tidak menepati janjiku. Terpaksa...

 Begitu Richard datang kerumah, aku sudah siap. Kupikir Mama dan Papa juga ikut pergi pagi itu, ternyata tidak. Hanya aku sendiri bersama Richard.

 Malas juga jika harus berduaan bersamanya seperti ini. Kami berdua tidak bicara apapun selama perjalanan sampai beberapa menit. Richard bertanya, "Kau lapar?"

"Tidak." jawabku sedikit ketus.

"Apa aku melakukan kesalahan padamu?"

"Tidak."

Ahirnya dia diam, baguslah. Aku memang sedang tidak ingin bicara apapun.

Ketika mobil berhenti di lampu merah, dia melihat kearahku, tapi aku tidak peduli.

"Jasmine..." panggilnya lembut.

"Hmm?" Tanggapku tanpa melihatnya.

"Kau cantik hari ini." Tiba-tiba tangannya menyingkirkan helaian pinggir rambut yang menutupi sedikit mataku. Aku terkejut dengan apa yang dia lakukan hingga membuatku sedikit mundur. "Kau!" ucapku spontan.

Richard terlihat bingung. "Kenapa? Aku hanya--"

"Jangan lakukan itu lagi," potongku cepat.

Richard diam dan lampu hijau nyala. Dia kembali fokus jalan, dan tidak mengajakku bicara lagi.

Tampaknya dia mulai paham bahwa aku tidak benar-benar menerimanya.

Jalan mulai naik ke puncak dan memasuki wilayah perumahan. Begitu mobil berhenti didepan pagar hitam, satpam yang ada di dalam rumah itu langsung membukakan dan mobil masuk. Kupikir rumah baru, ternyata rumah ini memang sudah ditempati Richard sejak entah kapan.

Tidak tingkat tetapi halamannya cukup besar. Setelah mobil memasuki garasi, kami turun.

"Ada berapa banyak orang yang tinggal dirumahmu?" tanyaku. Untuk pertama kalinya aku bertanya sejak tadi bersamanya.

"Hanya aku, satpam, tukang kebun dan asistenku Rivi."

"Rivi?"

"Iya. Dia sedang tidak disini sekarang." Jawab Richard kemudian masuk kedalam rumah melalui pintu garasi dan aku mengikutinya.

Hal yang tak pernah kusangka adalah, Asisten Richard perempuan dan tinggal dirumah ini juga. Tinggal bersama dengan Richard. Apa yang mereka lakukan? Dan kenapa mereka harus tinggal bersama???

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status