Share

Richard mengajakku keliling rumah, dari ruang depan, ruang tengah, ruang makan, taman belakang yang ada kolam persegi panjang, dapur dan 2 kamar tamu. Kemudian masuklah aku ke kamarnya. Kupikir kasur kamarnya lebih besar dari kamar tamu, tapi justru kasur kamarnya tidak lebih besar dari kasur-kasur yang ada di kamar lain. Ada satu kamar yang tidak kami masuki karena kata Richard kamar itu terkunci. Itu kamar Rivi.

Sejak kemarin aku mengenal Richard, baru sekarang ini aku penasaran dan tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya soal Rivi.

Dimana Richard bertemu Rivi? Sejak kapan mereka tinggal bersama? Kenapa harus tinggal bersama?

Ketika perjalanan pulang, Dia menjawab semuanya.

Dia mengenal Rivi sejak kuliah 5 tahun yang lalu. Mereka satu jurusan dan Rivi teman kepercayaan Richard satu-satunya.

"Dia orang yang gesit dan jujur. Itu sebabnya setelah lulus ku tawarkan kontrak kerja sama. Karena ada banyak pertemuan antar aku dengannya, lebih gampangnya kusuruh dia tinggal dirumah saja. Tapi itu baru berlangsung 1 minggu yang lalu, dan setelah kita menikah, dia akan pindah."

"Oh..."

Entah kenapa rasa penasaranku masih tetap mengganjal. "Kalian bersahabat baik dan sudah cukup lama. Kenapa kalian tidak menikah saja? Padahal sudah tinggal bersama."

Richard tersenyum lebar. "Kenapa yaaa? Mungkin karena tidak akan ada yang setuju. Ibuku sudah memilihmu jadi aku tak punya pilihan lain,"

"Kenapa begitu? Apakah kau tidak boleh menikah dengan pilihanmu sendiri?"

Richard menghela napas. "Kalau aku menikah dengan Rivi. Bagaimana denganmu?"

"Aku?" Aku mengedip-kedipkan mata dengah heran. "Tentu saja tidak masalah bagiku. Terus terang saja, aku tidak apa-apa daripada kau menikah denganku tapi mencintai Rivi."

"Kau tidak mencintaiku, Jasmine?" tanyanya dan mobil berhenti di lampu merah. Dia melihatku lagi.

"Tidak."

"Oh..." Richard melihat kearah lain. "Sebenarnya aku juga tidak mencintaimu. Aku juga tidak suka namamu karena namamu sama seperti nama guru matematikaku. Dan aku benci matematika. Setiap kali aku memanggilmu 'Jasmine' rasanya seperti diberi soal hitung-hitungan lagi. Tapi mau bagaimana? Aku ingin melihat orangtuaku bahagia."

"Hah?"

Richard tidak meneruskan. Kemudian kembali melajukan mobil.

Aku tidak mengajukan pertanyaan lain sampai mobilnya memasuki wilayah rumahku.

"Tapi, Richard, andai kau punya kesempatan bisa menikahi Rivi, apakah kau akan mengambil kesempatan itu?"

Laju mobil mulai perlahan dan berhenti didepan gerbang rumahku.

"Silahkan, Jasmine." ucapnya. Kemudian terdengar bunyi 'Klak' dimana pintu mobil tak lagi terkunci.

Dia mengusirku secara tidak langsung. Dia tidak mau menjawab pertanyaan yang kuajukan sebelumnya.

"Silahkan..." katanya sekali lagi.

Aku melihatnya sambil menarik napas panjang. "Baiklah, aku tidak peduli padamu," jawabku kemudian membuka pintu mobil dan turun.

Aku tidak suka pertanyaanku diabaikan. Jika sebelum berangkat wajahku terlihat malas, sekarang, suasana hatiku berubah kesal.

Begitu pa-pasan dengan Lily, aku langsung bertanya dimana Mama. Sayangnya Mama sedang keluar jadi aku mengajak Lily ikut ke kamar dan kuceritakan padanya semua tentang Rivi.

"Tunggu... Apakah Nona Jasmine cemburu dengan Tuan Richard?" Tanya Lily sambil tersenyum iseng. Kemudian dia tertawa sambil menutup mulutnya. "Hihihihi,"

"Dih! Aku tidak cemburu, tapi aku ingin Mama-Papa mempertimbangkan lagi jika ingin menikahkanku dengan Richard!"

"Oh,"

"Nanti kalau Mama pulang jangan lupa beritahu soal itu,"

"Baik, Nona."

"Ok, sekarang kau boleh keluar," Kataku.

Anehnya, sampai sore Mama tidak menemuiku atau apapun, begitu makan malam dan kembali berkumpul, aku langsung mempertanyakan semua itu. Mama tidak terkejut sama sekali, begitu juga dengan Papa. "Kau ini ada-ada saja," kata Papa geleng-geleng.

"Ada-ada saja bagaimana, aku serius Ma, Pa,"

"Kau suruh Richard menikah dengan Rivi? Kau pikir Richard gay?" jawab Mama.

"Tunggu, Rivi laki-laki?"

"Sebelum protes, ada baiknya kau cari tahu dulu, Jasmine." jawab Mama. "Besok kau siap-siap fitting baju, dan lihat undangan pernikahan. Mama akan mengurus sovenir dan banyak hal lain."

"Hmmmh," Aku menghela napas.

Waktu terasa begitu singkat hingga seperti sekejap. Jam terus berputar dan hari terus berganti. Selama proses hari-hariku sebelum menghadapi hari jadi pernikahan, Richard tidak menghubungiku sama sekali. Kupikir dia sudah menyerah, ternyata karena sibuk urusan pekerjaan dan sempat dua kali keluar kota.

--

Pagi-pagi jam 4 aku mandi dan sudah ditunggu perias wajah. Semua berjalan dengan singkat dan acara dimulai dari jam 8 pagi hingga jam 1 siang. Prosesnya berjalan dengan mulus, padahal kuharap ada banyak halangan agar itu jadi pertanda kalau mungkin kita tidak direstui tuhan. Tapi ternyata tidak.

Janji suci pernikahan telah dibacakan dan kami berdua tukar cincin. Aku tidak banyak tersenyum kecuali sedikit. Teman-teman sekolahku banyak yang hadir tetapi hampir 70% tamu undangan dari keluarga dan teman-teman Richard.

Ketika aku bisa memisahkan diri ditengah berlangsungnya acara, aku menemui teman-temanku. Semua memuji betapa beruntungnya diriku, menikah dengan pria tampan, kaya dan keren.

Harit dan Sasha juga terlihat begitu semangat. Sebelum keduanya pulang, Sasha sempat memberiku beberapa tips malam pertama dan tentu saja kumarahi dirinya sebelum memberi lebih banyak tips.

Ada-ada saja!

Begitulah segalanya berlangsung. Richard sempat memanggilku untuk diperkenalkan pada teman-temannya termasuk sahabatnya Rivi. Mereka bertanya basa-basi padaku dan ku jawab sekenannya saja.

Setelah semua selesai, aku langsung dibawa Richard kerumahnya... Rumah yang sudah kuketahui sebelumnya.

Kupikir dia akan mengganti kasur kamar menjadi king size, ternyata tidak juga.

"Aku tidak mau melakukan ritual pengantin baru," Kataku setelah masuk kamar.

"Ritual pengantin baru? Apa itu?"

Aku berdecak sambil melihat kearah lain. "Malam pertama."

"Oh, tidak apa-apa. Aku juga lelah. Aku sendiri ingin istirahat." katanya.

"Maksduku... Aku tidak ingin sampai set--"

*Tiiinnn tiiinnn tiiinn

Suara klakson mobil di luar rumah.

"Siapa itu?" Richard keluar.

"Ahh! Siapa lagi si?!" Akhirnya aku mengikutinya juga.

Ternyata diluar rumah ada supir Papa datang bersama Lily membawakan koper dan beberapa barang yang akan kupindah kerumah ini. Tetapi bukan supir Papa yang menyalakan klakson itu, melainkan mobil lain yang ada di belakangnya...

Rivi keluar dari mobil menghampiri Richard dengan sedikit buru-buru.

Dia menyampaikan kalau urusan perusahaan yang mendadak.

"Maaf kalau aku mengganggu hari pertama kalian menikah," katanya padaku.

Richard juga melihat kearahku dan kukatakan, "Tidak apa-apa. Tidak masalah jika kau mau pergi,"

Justru baguslah jika dia pergi daripada disini dan suasana semakin canggung. Kukatakan kalau Lily akan ikut dirumah ini sementara waktu jadi dia tidak perlu khawatir.

Akhirnya Richard pergi sementara Lily membantuku membawa masuk barang-barang kerumah. Tetapi malam harinya Mama menghubungi Lily dan menyuruhnya segera pulang.

Aku tidak tahu kapan tepatnya Lily sudah tidak ada dirumah, yang aku tahu, begitu selesai mandi, ada secarik surat diluar kamar yang dia buat.

'Maaf Nona Jasmine, Nyonya Sarah menyuruhku pulang. Kalau ada sesuatu yang penting, Nona bisa menghubungiku lagi.'

Aku menghela napas... Dia menginggalkanku sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status