Share

Malam itu sampai pukul 9 lebih, Richard belum juga pulang. Tapi masa bodoh bagiku karena memang tidak kutunggu kepulangannya.

Saat aku tidur, dia mengirim pesan singkat kalau dirinya sedang dalam perjalanan pulang. Begitu Richard sampai dan masuk kamar, dilihatnya aku sudah tidur pulas. Dia menciumku beberapa kali sebelum mandi dan ganti baju, kemudian ikut tidur satu selimut sambil menciumiku lagi.

Aku mulai sadar dengan apa yang dia lakukan, tapi kemudian dia berhenti dan minta maaf karena hampir membangunkanku. Meskipun aku terlalu ngantuk untuk marah, tapi kupaksa diriku untuk membuka mata dan memberitahunya untuk tidak melakukan itu.

Richard minta maaf dan aku kembali tidur memunggunginya.

Pagi hari ketika kembali sadar dari tidur, posisiku sudah berubah ditengah kasur dalam keadaan dipeluknya. Risih sekali harus tidur sambil berpelukan seperti ini. Bagaimana mungkin aku tidak sadar?

Kusingkirkan kedua tangan Richard dan turun dari kasur.

Perutku sedikit mual ketika masuk kamar mandi karena hal itu. Tapi seusaha mungkin kulupakan apa yang baru saja terjadi dan mandi.

Setelah keluar menggunakan handuk kimono, Richard mengawasiku, dia baru saja bangun dan mengambil kacamata yang ada di meja sebelah kasur. "Selamat pagi, Nonaku," ucapnya sambil tersenyum lebar.

Tampaknya dia menunggu adegan diriku buka kimono dan telanjang didepan matanya.

Oh, itu tidak akan pernah terjadi... Yang benar saja!

Kuambil baju dari lemari dan kembali masuk ke kamar mandi.

"Kau ini, masih malu-malu saja,"Kata Richard menggodaku, tapi tak ku hiraukan.

Hari ini aku memilih stelan baju dan celana putih. Kusisir rambutku sebentar dan hendak kembali keluar.

Begitu pintu kamar mandi kubuka, dia sudah ada di depan mata dan mendorongku masuk, "Ikut aku mandi," Katanya.

"Richard, kau ini! Jangan main-main!" Aku melepaskan diri.

"Main-main? Aku suamimu, Jasmine."

"Anggap saja bukan," Jawabku. Tanpa menunggu, buru-buru aku langsung keluar sebelum dia semakin ganas.

Jujur, jantungku berdebaran karena takut. Tetapi untungnya tidak terjadi sesuatu.

Saat masuk ke dapur, ponselku yang ada di kamar berdering jadi aku kembali masuk kamar lagi.

Kuhampiri suara dimana ponsel itu berada, didekat meja panjang disalah satu sudut kamar. Ternyata Sasha yang menelponku. Begitu berbalik dan melihat kearah kamar mandi yang belum ditutup pintunya, aku berteriak.

"AAAAAHHH!!"

"Ada apa? Ada apa??!"

Demi tuhan, kenapa aku harus melihat Richard telanjang disana?! Lebih tepatnya, kenapa dia tidak menutup pintu kamar mandi?!!

"Kau ini! Ah! tidak tahu lah!" Kataku buru-buru keluar sambil melihat kearah lain.

Dia tertawa sambil geleng-geleng.

Diluar kamar, kuangkat telfon Sasha dengan jantung yang masih berdebaran.

"Hei,"

"Hallo, Jasmine... Kau dimana?"

"Aku dirumah Richard, Sha. Aku pindah disini sekarang."

"Aaaaawww! Bagaimana malam pertamamu?"

Aku melihat kearah ponselku dimana nama Sasha terpampang jelas disana. Hampir saja aku lupa kalau Sasha adalah Sasha.

"Bisakah kita bicarakan hal lain?"

Terdengar suara Sasha terkikik dibalik ponsel. "Kau mau pindah kerumah Richard, tidak mungkin tidak terjadi apapun, kan?"

Aku mendengus. "Tidak. Memang tidak terjadi apapun,"

"Ah, sepertinya kau merahasiakannya dariku,"

Aku memutar mata. "Hei, nanti kuhubungi kau lagi, bagaimana? Aku lapar dan belum makan, nanti kuhubungi lagi, oke?"

"Tap, Jas,"

Tanpa menunggu jawaban, langsung kumatikan panggilan.

Percuma jika aku harus bicara dengannya saat ini. Dia hanya akan memperkeruh suasana hati.

Aku duduk sambil memegang dadaku. Berusaha mengatur napas dan memikirkan cara masak.

Setelah kembali berdiri, aku langsung mencari bahan-bahan makanan yang ada di lemari atas maupun laci. Ada tepung, terigu, gula, dan semacamnya, sayangnya aku tidak tahu bagaimana cara mengolah semua bahan ini menjadi makanan. Sama sekali tidak tahu.

Untungnya di ujung lemari atas ada setoples sereal coklat. Kutarik toples tersebut dan menaruhnya di meja, kemudian kubuka kulkas ada susu. Sempurna!

 Richard keluar dari kamar dengan rambutnya yang masih basah dan belum tersisir rapih. Dia melihatku sedang mengunyah makanan dengan lahap.

“Kau tidak membuatkan untukku juga?” tanyanya sambil tersenyum.

Aku mengangkat bahu.

“Sereal?” Richard mengerutkan alis begitu melihat mangkuk makananku. Dia bingung.

Dia berjalan kearah dimana lemari atas paling ujung berada dan membuka lemari. Mengambil toples sereal yang tadi kuambil. “Tunggu… Apa kau ambil sereal dari toples ini?” tanyanya dengan wajah masih keheranan.

“Iya.” Jawabku sambil mengunyah.

Richard langsung menepuk dahinya sambil menghela napas panjang. “Ini bukan sereal, Jasmine. Ini makanan kucing!!!!”

Aku langsung tersedak dan spontan memuntahkan apa yang ada dimulutku ke mangkuk. Kemudian berlari kearah wastafel dan berusaha mengeluarkan isi perutku. “Hueek, hueekk, hueeekk,”

“Duuuh,” Richard geleng-geleng.

“Hueek, hueek, hueek,”

“Bagaimana mungkin kau tidak sadar ini makanan kucing?”

“Aku tidak tahu makanan kucing! Eww!” kuputar keran dan kumur-kumur.

Pantas saja rasanya seperti ikan teri dan sedikit aneh. Kupikir ini sereal keluaran terbaru, ternyata makanan kucing!

“Kenapa kau tidak memberitahuku?” tanyaku dengan kesal.

“Kau tidak bertanya,”

“Dan untuk apa kau menyimpan makanan kucing disana?! kau bahkan tidak memelihara kucing, Richard!”

“Aku memelihara kucing sebelumnya. Tapi setelah tahu calon istriku takut kucing, aku tidak memeliharanya lagi.”

Kumatikan keran dan melihat kearah Richard dengan serius. “Dari mana kau tahu aku takut kucing?”

“Lily yang memberitahku,” jawabnya. Richard berusaha tidak tertawa. Entah dia hendak menertawakan kebodohanku karena makan makanan kucing, atau menertawakan mentalku yang takut kucing.

Aku mendengus. Diam-diam ternyata dia sudah mengambil beberapa informasi tentangku pada Lily. Gadis itu… benar-benar tidak bisa dipercaya.

“Hmmh!” Aku menghela napas.

“Jangan kesal. Kau mau kubuatkan pancake? Aku bisa membuatkanmu sesuatu,” katanya.

Aku diam.

Dengan lincah, dia mengambil beberapa bahan yang ada dilemari, menaruh mangkuk dan mencampur bahan-bahan tersebut disana. menyalakan kompor dan meletakkan penggorengan diatasnya.

“Bisa kau ambilkan margarin di kulkas?” pintanya padaku.

Kubuka kulkas dan mengambilkannya margarin. Dia tersenyum manis kearahku begitu kuberikan margarinnya.

“Kau harus bangga punya suami sepertiku… tidak semua pria bisa masuk dapur tapi aku bisa. Yah, meskipun skill-ku tidak seberapa, tapi setidaknya aku bisa membuat beberapa—”

Aku memutar mata dengan malas. Sekarang dia sedang membangga-banggakan dirinya dan aku harus mendengarkan semua itu. Karena kesal, kutinggalkan dia yang masih terus mengoceh. Begitu Richard sadar kata-katanya tidak ada satupun yang kutanggapi, dia melihat ke kanan dan mendapatiku sudah tidak disampingnya.

“Jasmine!” suaranya setengah berteriak.

Aku yang sedang rebahan di kamar sambil bermain ponsel tertawa. “Hahahaha,”

Dia pasti kesal dengan kelakuanku.

Kurang dari 15 menit kemudian, dia masuk kamar sambil membawa nampan berisi dua piring makanan. Ditaruhnya nampan tersebut di meja dekat tempat tidur sambil berkata dengan nada memerintah, "Cepat makan, setelah itu, kita berhubungan badan,"

Mendengar pernyataan tersebut, aku langsung membenarkan posisiku menjadi duduk. “Apa katamu? Berhubungan apa?”

“Jangan banyak bertanya. Cepat makan,”

“Kau sudah gila, ya? Kau pikir aku mau melakukan hal semacam itu?”

Richard langsung duduk di kasur dan mendekatkan wajahnya kearahku. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status