Share

Miss Antagonist
Miss Antagonist
Author: Vinnara

Prolog

Kalau tidak salah menghitung, ini adalah percobaan kedua entah ketiga kalinya. Meski berulang kali berusaha mengendalikan diri, menahan hasrat sepenuh hati dan memutus kontak saat titik aman sudah tidak didapat lagi, kenyataannya tidak sejalan dengan pikiran realistis tersebut.

Saat pakaian yang mereka kenakan tersibak lebih tinggi, atau saat denyut di ujung tubuh sudah tidak terkendali, harusnya mereka berhenti. Harusnya mereka pergi ke tempat yang menyenangkan, bukannya menepi ke tempat sepi, bukan merengsek ke tempat tidur dan merusak tatanannya yang rapi. Harusnya, mereka pergi jalan-jalan dan makan es krim, tapi ternyata ada yang lebih menyenangkan dan lebih disukai daripada sekadar es krim yang manis, dingin dan creamy.

Harusnya sepasang kekasih bisa tetap saling menyayangi tanpa perlu saling tumpang tindih. Harusnya mereka mengerjakan tugas kuliah di akhir minggu ini atau pergi jalan-jalan untuk menyegarkan diri, bukannya terjebak di ruangan berukuran 4x4 dan sibuk memacu adrenalin dalam versi terkini. Bukan sibuk memuaskan rasa penasaran sendiri, bukan terlena pada pengalaman baru yang belum pernah mereka cicipi. Dan sayangnya, mereka berdua adalah semua yang bukan.

Sayna bergetar hebat kala ujung terluar tubuhnya disentuh dengan amat dahsyat berkali-kali. Kemudian merasai ketika dirinya dipuja dan dibuai hingga syaraf dari ujung kepala hingga kaki merespons semua perlakuan terhadapnya kini. Yang tidak pernah dia duga, semua itu hanya usaha untuk membuatnya teralih. Belum tuntas debar dan getar menyenangkan itu dirasakan olehnya saat ini, Danish—orang yang berkuasa atasnya sejak tadi, mulai bergerak membenahi posisi.

Padahal dia berjanji akan melakukannya lain kali.

“Nish...”

“Shhh...” Suaranya berdesis lirih, terdengar liar, buas, tapi memelas dan memohon belas kasih. “Sabar sedikit,” ucapnya sembari mengecup dahi dan pipi, dan apa pun yang tergapai oleh bibirnya saat ini. “Maaf, ya...”

“Ah... Nish, please...” Sayna mengerang tertahan, suaranya terasa berat untuk dikeluarkan, tubuhnya sibuk melawan nyeri. Nyeri hebat yang sengaja dibuat-buat. “Sakit...”

“Maaf.” Danish mengecupnya sekali lagi lalu berhenti. Mereka terengah, Sayna merasa sayatan di ujung tubuhnya dihentikan untuk saat ini. Dia bertatapan dengan laki-laki yang berada di atasnya, begitu menawan, rupawan, kini tengah dalam versi terbaru yang sama sekali belum pernah dia pertontonkan.

Kulit mereka saling merapat, dan Sayna tahu seluruh dirinya habis tertutupi oleh sosok di atasnya kini. Jarinya bergerak memuja lelaki rupawan itu, menyentuh bagian-bagian yang begitu dia sukai, hingga orang yang tadi sudah cukup tenang seolah dibangkitkan lagi dari posisi mati suri. Danish membalas sentuhan atas dirinya lebih-lebih daripada tadi.

Sorot matanya berubah penuh intimidasi, dia bergerak menjelajah, berpindah-pindah, hingga menahan Sayna dan membungkamnya sementara sesuatu melesak di antara kedua kaki. Gadis itu menjerit, mengerang, dan pasrah pada akhirnya saat Danish melepas bibir mereka.

“Maaf, Say. Maaf, ya...” ucapnya untuk ke sekian kali, dan yang kali ini sama sekali tidak ada toleransi.

Meski Danish begitu memujanya, mengucap maaf berulang kali untuknya, tapi tindakannya bertentangan sekali. Dia membuat Sayna sakit dengan sengaja. Bahkan mulai abai pada suara erang dan jerit.

“Ahh... Danish... sakiiitttt...” Sayna menjerit. Ujung tubuhnya dihentak keras, rasanya amat sakit, ngilu sekaligus sesak dan terakumulasi menjadi nyeri yang hebat sekali.

Danish mengerang, dia menjatuhkan kepala ke sisi, ke sela antara leher dan bahunya, mengecup kulit di sana berulang-ulang, sementara Sayna merasakan sesak dan nyeri yang hebat sekali di area perut bawah—bagian dalam. Ini tidak menyenangkan. Tidak seperti yang orang-orang katakan selama ini.

“Maaf, ya. Masih sakit?” Danish membisiki telinganya sebelah kiri yang hanya dibalas dengan anggukan pelan. Dan Sayna kira, lelakinya akan berhenti untuk mengerti.

Ternyata tidak. Dia mulai melancarkan aksi yang lain, bergerak dan melesak lebih dalam lagi, menyatukan diri, yang menyebabkan Sayna sesak hingga tidak bisa bicara atau bereaksi. Erangannya tertahan di ujung dada.

“Tahan sedikit,” ucapnya lembut, pelan dan membujuk.

Sayna baru tahu kalau rasanya seperti ini. Sesak, perih dan nyeri menyerangnya bertubi-tubi. Dia bahkan tidak bisa bernapas dengan benar, perut bawah hingga diafragmanya masih menyesuaikan diri. Sesuatu melesak dan mengobrak-abriknya di sela-sela kaki hingga berulang kali.

Novel erotis sialan! Siapa pun yang menulisnya, itu semua pembohongan publik! Mana nikmat yang mereka deskripsikan itu? Mana sensasi luar biasa yang membuat banyak pasangan melakukannya lagi dan lagi? Saat ini Sayna bahkan merasa hampir mati. Ini adalah penganiayaan jenis baru, yang awalnya dimulai dengan bujuk dan rayu.

“Ah... Sayna...”

Sampai erangan itu mengganggu pendengaran dan mengalihkan pikirannya. Dia mulai membuka kelopak mata yang tertutup rapat sejak tadi, karena sibuk menghalau nyeri. Lalu bertatapan dengan kelopak mata sayu di atasnya, dan senyum pemujaan paling indah yang pernah dilihatnya.

Sayna merasa semua nyeri itu berangsur diangkat sedikit demi sedikit. Dia terhibur dengan penyebutan nama di telinganya berulang kali, dari orang yang paling disayanginya saat ini. Bulu kuduknya meremang saat mendengar pujian—panggilan penuh erangan itu. Sayna merasa pantas merasakan semua nyeri ini demi membuat orang yang tengah bersamanya bahagia.

“Sayna...”

Jemarinya bergerak naik ke kepala, mengusap tiap helai yang bisa dijangkaunya di sana. Lalu turun menelusuri area belakang tubuh, dan mendarat di pinggang untuk melingkarkan dan mengunci sepuluh jari di bagian punggung. Rasanya sakit dan ngilu, tapi Sayna bisa menahannya. Kecupan yang dia terima juga mulai terasa menuntut, jelas Danish ingin lebih, lebih dan lebih.

Dia harus bisa menahannya, demi membuat Danish bahagia.

Deru napas lelaki itu semakin tak terkendali, dan desakan di celah antar kedua kaki mereka makin membuat Sayna sesak, nyeri hingga tak bisa bersuara lagi. Jangankan mengerang, melenguh, untuk bernapas saja sudah sulit. Mungkin karena ini adalah yang pertama kali, atau mungkin karena Sayna merasa keberatan melepas statusnya sebagai perawan hari ini.

Momen ini amat berat, menyiksa dan sakit, tapi dia harus menikmati semua itu dalam hati demi orang yang sedang bersamanya saat ini. Pandangan Sayna mulai buram, kala Danish di atasnya menggila dan menggeram sembari menggumamkan namanya berulang-ulang. Tangan lelaki itu bergerak memanja dan memuja bagian inti dadanya, bibirnya menuntut lebih, dan erangan terpanjang sekaligus erangan terakhir datang bersama sesuatu yang menjalar hangat di dalam perutnya.

Denyut di sana luar biasa dan penyatuan mereka yang bergelora telah sempurna. Rasa hangat itu kemudian luruh, jatuh di sela-sela kaki. Rasa hangat itu menjalar hingga ke hati, dan ke mata Sayna yang telah buram serta berembun saat ini.

Dia sudah melakukan hal yang benar, bukan? Hubungan jarak jauh butuh perekat lebih, butuh sedikit sakit dan letih serta usaha lebih. Agar mereka tidak rapuh, agar perasaan mereka tidak gampang luruh dan jatuh, agar hubungan ini tidak cepat runtuh.

Sayna hanya menyerahkan keperawanan. Tidak perlu dibesar-besarkan.

*****

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Vya Kim
wah bahasanya , diksinya keren dan kaya kak... aku jadi banyak belajar
goodnovel comment avatar
YoungPrincess
Danish. Lo lagi? Astaga...
goodnovel comment avatar
Triyuki Boyasithe
seharusnya gue ON ketika membacanya, tapi ketika apa yang Sayna rasakan malah membuat gue kasihan. Kwkwkw. Danish, elu gimana, sih? main tancap aje! kwkwkw
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status