“Heh! Jaga tangan lo!”
Pramudya terkesiap ketika harusnya dia kembali menerima pukulan di kepala namun tubuh seseorang menghalangi serangan itu di hadapannya. Gadis itu mengintip dari balik kelopak mata yang tertutup rapat, Danish ada di sana. Dia memakai setelan Balenciaga satu set kaus dengan kemeja jins yang dibeli bulan lalu oleh Pradnya. Dan... Pramudya merasa lega.
“Jagain tuh cewek lo, jangan kegatelan sama cowok orang!”
“Lo yang harusnya jagain buaya itu, sialan!”
Adu mulut tak terhindarkan, Pramudya tidak tahu apa yang terjadi pada Danish hari ini hingga dia tiba-tiba muncul bahkan tak sampai dua jam setelah terakhir kali mengirim lokasi via pesan. Lalu setelahnya, Danish mengamuk seperti banteng gila, berlebihan sekali melihat dia marah besar hanya karena memergoki gadis itu menampar wajah Pramudya. Pasti ada sesuatu, Danish hanya butuh pelampiasan.
“Lo juga!” Dia masih mengomel sambil menyeret Pramudya berjalan ke parkiran. “Jangan gampang kepancing, Dya! Apa bagusnya lo jalan sama cowok orang? Lo nggak ada kerjaan apa?!”
“Nggak ada,” jawab Pramudya santai. “Gue udah pulang kuliah, cuma ada 1 kelas bareng dosen hari ini, jadi siangan gue bebas.”
Danish menahan teriakan dengan cara menarik dan mengembuskan napas keras-keras. “Bukan itu maksudnya!” Dia menggeram gusar.
“Jadi?” Gadis itu menyengir dan menyandarkan tubuh di sisi mobil Danish. “Lo udah makan siang, Nish?”
“Fuck, Dya.” Danish masih tidak mengerti apa yang terjadi padanya.
Seusai kelas, dia merasa bosan dan dengan impulsif mengikuti jalur tempat Pramudya mengirim lokasi terakhir padanya. Dia tidak tahu kenapa, tiba-tiba saja ingin meyakinkan diri, apa Pramudya benar-benar di Jakarta hari ini? Bahkan bukan Jumat, dan... kenapa? Lalu yang didapatinya adalah perseteruan barusan. Dya bersama pacar orang dan kepergok kemudian terlibat baku hantam.
“Lo sinting,” umpat Danish pelan. Walau jujur saja, dia merasa lega karena mengumpati orang setelah dua hari merasa tertekan. “Cowok barusan itu punya cewek, Dya. Lo jangan deket-dekat sama dia,” omelnya. “Jangan ganjen! Jangan kegatelan jadi orang!”
“Cowoknya yang gatel,” balas Pramudya tak terima. Kenapa orang-orang selalu menyalahkan pihak perempuan jika terjadi perselingkuhan? Orang ketiga tidak akan masuk andai pintunya tidak dibuka, kan? Oh, tapi masih ada jendela, dia bisa masuk lewat sana.
“Cuma orang gila yang percaya.” Danish melipat tangan di dada, berdiri menjulang di depan Pramudya. “Lo sama kelakuan lo gampang banget dihafal, lo makin semangat gangguin hubungan orang setelah denger tudingan, kan? Kayak yang lo lakuin selama ini ke gue sama Sayna.”
“Gue?” Pramudya menunjuk dada. “Gue ngapain ke kalian berdua?” tanyanya.
Err... apa dia amnesia? “Eh, lo tiap Jumat shareloc ke gue, nyamper-nyamperin ke Jakarta biar apa?”
Gadis itu menggelengkan kepala, ekspresinya datar tak terbaca. “Gue nggak tahu kalau datang ke Jakarta tiap Jumat disebut gangguin hubungan lo sama Sayna,” ujarnya. “Gue bahkan nggak pernah minta lo datang, gue cuma kasih tahu lokasi gue di mana.”
Alis Danish yang sejak tadi berkerut karena terlibat banyak perseteruan, akhirnya kembali ke posisi semula. Perkataan Pramudya terasa... benar. Atau memang benar. Danish tidak bisa merasa tersinggung karena kenyataannya benar begitu. Pramudya tidak pernah mengajaknya pergi ke mana-mana, beda dengan Pradnya yang sering terang-terangan mengajak Danish jalan-jalan.
Gadis itu hanya... mengirim lokasi di mana dia berada. Tanpa penjelasan apa-apa, tanpa ajakan berjumpa. Hanya Danish yang merasa bahwa Pramudya datang untuk bertemu dengannya, bahwa Pramudya sedang menunggunya. Hanya Danish yang terlalu besar kepala ternyata.
“Tapi lo suka sama gue, Dya.” Akhirnya Danish bisa bersuara.
“Iya.” Pramudya mengiakannya begitu saja.
“Dan gue merasa tiap lo ke sini, lo sengaja mau ketemu sama gue, bahkan lo nggak pindah tempat selama berjam-jam sebelum gue datang.”
“Iya,” jawabnya lagi, tanpa bantahan. “Gue cuma nunggu, lo bisa memilih buat nggak datang.”
“Lo ngerepotin orang.” Danish tampak tidak senang. “Lo bikin gue ngerasa nggak enak dan terbebani kalau sampai gue nggak muncul. Gue seenggaknya harus absen muka biar lo bisa pulang ke rumah lo dengan tenang.”
Pramudya tertawa, dia memang gadis gila, merepotkan saja. Danish tidak tahu kenapa, untuk ukuran orang yang baru saja ditampar kanan kiri dengan tanda merah di pipi, Pramudya tampak sangat tidak terbebani. Dia bahkan tidak menangis atau meringis sama sekali.
“Udah makan siang, Nish?” tanyanya mengalihkan obrolan. “Gue lapar, tapi nggak bisa masuk lagi ke sana, takut lo ngerasa malu juga.”
“Lo punya malu?” Danish mengejeknya. “Biasanya juga malu-maluin, Dya.”
Tidak ada jawaban, umpatan atau ejekan Danish padanya bukan bahan yang perlu dibahas lebih lanjut. Pramudya tidak mendengarkan dan hanya masuk ke mobil pemuda itu lalu duduk di kursi penumpang, ini jam makan siang, dia butuh sesuatu untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Terserah Danish membawanya ke mana sekarang.
“Lo... nggak papa?” tanya Danish lebih dulu, membuka obrolan setelah jeda yang panjang. “Ada bekas cakaran di sana,” tunjuknya ke leher Pramudya.
Gadis itu bahkan tampak tidak sadar, dia menarik cermin di glovie dan memeriksa, baru berdecak kecil setelahnya. “Lo mau makan apa? Biar gue yang traktir karena hari ini lo jadi penyelamat.”
Danish terperangah, mau tidak mau ada cengiran tertahan di bibirnya. “Seriously? Dya lo luka, nggak niat diobatin apa gimana?” Coba itu Sayna, pasti dia sudah heboh mengajak Danish untuk berobat sekaligus ke klinik kulit dan kecantikan agar bekas lukanya hilang juga.
“Nevermind.” Pramudya mengangkat kedua bahunya. “Ini sih belum apa-apa, gue udah biasa.”
“Wah, gue perlu akui sepak terjang lo di dunia pelakoran memang udah nggak kaleng-kaleng, ya.”
Gadis itu tertawa, kemudian mengangguk dan membenarkannya. Danish jadi penasaran, berapa orang yang berhasil diganggu oleh Pramudya kira-kira?
“Dya, lo nggak niat ngelawan gitu, ya? Balas kek, tampar apa cakar gitu. Cewek kayak lo diem aja, kan aneh.”
Pramudya memperhatikan kuku-kuku jarinya yang cantik berhias manik-manik lalu menggelengkan kepala. “Buang-buang tenaga dan ngerusak kuku gue aja.”
Danish tertawa. Ya, dia bisa tertawa semudah itu sebenarnya, terutama karena Pramudya memang gila. Dan... mereka berteman, Danish tahu Pramudya bukan tipe penggoda apalagi pencari perhatian meski terang-terangan mengaku suka bahkan tak jarang berseteru dengan Sayna, dia hanya mengatakannya, tapi aksi gadis itu jauh berbeda.
Danish merasa tidak digoda sama sekali oleh Pramudya, dia merasa tidak sedang direbut juga, hanya saja dia harus tetap menjaga perasaan Sayna dengan menjaga jarak dari orang yang terang-terangan bilang suka padanya.
“Dya, lo serius nggak papa? Perasaan lo gitu, tadi kan...” Dia baru saja dicaci maki dan dihajar di tempat umum, apa Pramudya tidak merasa kesal? Sedih? Malu?
“Hm... perasaan gue, ya?” Gadis itu tersenyum kecil, menatap jalanan di sisi kiri. Sejak kapan perasaannya penting? Dia tidak pernah menganggapnya begitu. Namun pertanyaan Danish membuatnya berpikir, bagaimana perasaannya saat ini? Buruk. Pramudya merasa buruk untuk banyak hal, dan dia menyesal. Tapi dia tidak harus menunjukkannya terang-terangan, bukan?
“Kenapa lo datang ke Jakarta hari ini?” Danish melontarkan pertanyaan lainnya. Mereka teman sebenarnya, mereka terbiasa membicarakan hal-hal ringan.
“Cowok itu bilang, kalau gue beneran tajir, gue harus datang ke Jakarta hari ini juga. Dan... ya, gue datang aja, kan memang keluarga gue banyak uang. Anyway, gue naik penerbangan biasa, nggak pake jetnya Mas Andra atau Mas Arya.”
Danish kembali tertawa, Pramudya dan kegilaan serta alasannya yang sederhana. “Lo dijebak, ya? Cowok itu nyuruh datang cuma buat mancing seberapa kaya keluarga lo, tapi tiba-tiba ceweknya mergokin kalian di sana.”
“Maybe.” Gadis itu kembali mengangkat bahu. “Kayaknya cowok itu memang udah pengen putus aja, kebetulan ada celahnya, dan... gue di sana.”
“Oh... jadi secara nggak langsung, lo penyelamatnya, iya?”
“Yap!” Dia tersenyum dan menatap Danish serius setelahnya. “Lo gimana? Mau diselametin juga?”
“Fuck, Dya. Jangan gila.”
Tawa mengudara, rasanya lucu mendengar seorang gadis gila terang-terangan ingin merebut seseorang dari kekasihnya. Danish tidak akan goyah pada Sayna, pasti Pramudya tahu dengan benar. Hatinya tidak terbagi, pun dengan perhatiannya, meski Danish bersama Pramudya saat ini. Tidak ada celah yang bisa dimasuki. Dia harap, Sayna pun begitu kepadanya. Jangan biarkan Gio menyelip di antara mereka berdua.
“Bapak bilang, kalau perasaan gue lagi nggak enak, jangan bikin orang lain juga merasakan hal yang sama padahal mereka nggak tahu apa-apa.”
“Ya?” Danish memiringkan kepala.
“Itu buat pertanyaan lo tadi,” ucapnya. “Gue... nggak mau memperkeruh keadaan dengan membagikan perasaan dan kesan buruk, kedatangan lo aja udah sangat membantu. Makasih ya, Nish.”
Danish tidak paham Pramudya bilang apa, apakah wajar anak sastra bicara hal-hal yang sulit dicerna oleh kepalanya?
“Dya, apa rambut gue sebegitu mengganggunya?” Danish menunjuk kepala. Dia ingat jika Sayna menyuruhnya segera mengganti gaya rambut saat kembali ke jakarta.
“Biasa aja,” ungkap gadis itu dengan meliriknya sebentar. “Tapi lo memang tipe yang gampang ganti image meski cuma ganti gaya rambut doang. Ini vibes-nya kayak bad boy gitu.”
Danish terkikik, pantas saja Sayna tidak suka. “Gue mau lurusin lagi aja.”
“Kenapa?”
“Gue bukan bad boy, Dya.”
Pramudya membulatkan mulutnya, tidak bicara apa-apa.
“Dya,” panggil Danish sekali lagi. “Menurut lo, apa bedanya orang suka sama cinta?”
“Kalau orang itu potong rambut dan menurut lo aneh, itu cuma suka. Tapi kalau menurut lo dia baik-baik aja mau gimana pun bentuknya, itu bisa jadi cinta.”
“Err... itu agak aneh.” Danish tak terima. “Lo suka sama gue, kan?”
“Iya,” jawabnya enteng.
Kenapa Pramudya merasa baik-baik saja melihat Danish seperti apa pun juga? Dia hanya menyukainya. Sementara Sayna... bukankah Sayna cinta padanya?
“Lo bohong, Dya.” Danish memutar kemudi dan membelah jalanan yang padat di Jakarta. “Gue nggak percaya,” ucapnya.
Pramudya pasti hanya asal bicara, dia mana tahu apa bedanya suka dengan cinta. Sayna jelas-jelas mencintai Danish apa adanya.
“Nish, itu ada kiriman dari Anya. Baju couple lho, lucu katanya. Buat kamu sama Sayna.”Danish mengangguk saja, melempar pandangannya pada kantong yang teronggok di sofa—Balenciaga. “Mama mau ke mana? Udah gaya aja.”“Hm...” Ibunya tersenyum merona. “Ada janji makan makan malam sama Om Tio, mama udah cantik belum pakai baju ini, Dek?”Danish tahu, dia tidak seharusnya bersikap seperti itu. Menunjukkan terang-terangan bahwa dia keberatan dengan hubungan baru yang dijalin oleh Melia. Namun tanpa bisa dicegah, senyum di bibirnya meluntur begitu mendengar kalimat sang ibu. Danish tidak bisa berpura-pura lebih lama, dia diam saja dan hanya pergi meninggalkan ibunya sambil menenteng kantong oleh-oleh yang dihadiahkan Anya, gadis itu pasti baru kembali plesiran dari Eropa.Dan berjam-jam berikutnya, Danish menghabiskan waktu di perjalanan menuju ke tempat Sayna. Ini masih Jumat malam, harusnya mereka
Danish punya jam biologis yang membuatnya bangun di pukul 5 setiap pagi. Kebiasaan baik memang, tapi akhir-akhir ini terasa merugikan, terlebih jika malamnya dia bergadang dulu maka bangun pagi justru membuat Danish kurang bersemangat, pun dia tidak bisa kembali tidur.Jadi sepagi ini Danish sudah bangun, berkunjung ke tempat gym di hotel Ranajaya—dia menginap di sana, lalu akan berenang setelahnya, sarapan, kemudian bertolak ke kosan Sayna. Gadis itu selalu menitipkan kunci di lobi gedung saat Danish ada di Bandung, membuatnya leluasa untuk berkunjung. Akhir minggu biasanya cucian Sayna menumpuk, beberapa sudut kamar juga perlu dibersihkan, dan Danish terbiasa mengurus semua itu.Pradnya : Nish, titipan dari gue udah sampai belum? Gue titip ke Bu Melia, mana makasihnya?Sudut bibirnya terangkat ketika pesan dari Anya muncul sepagi ini.Danish: Makasih, Anya.Pradnya: Anya apa?Pradnya: Anya can...Danish tidak membalasnya, dia
Pramudya: *shared location*Danish membuang napas ketika yang didapatinya begitu ponsel berdenting adalah pesan dari Pramudya. Gadis itu membalas pesannya berjam-jam yang lalu sejak Danish dan Sayna memutuskan tidak pergi ke mana-mana. Mereka sepakat untuk kembali ke tempat masing-masing, Danish ke hotel dan Sayna ke kosnya sendiri. Lupakan soal rencana kencan romantis di Lembang, Danish sudah tidak ingin membahasnya.Sejak mendengar bahwa tragedi bulu mata di dahi Sayna adalah jejak Giovanni menyapukan bibir kurang ajarnya di sana, Danish sudah tidak berselera. Dia juga tidak dalam mood yang baik untuk mendengar Sayna bicara, memberi penjelasan, minta maaf dan minta kesempatan. Perasaan dan pikirannya tidak keruan. Danish mengantarnya pulang ke kosan, sementara dia sendiri tidur di hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengirimkan lokasi pada Pramudya.Apa sih yang sudah dia lakukan?Membalas perbuatan Sayna dengan memanci
Sayna merebahkan diri di tempat tidur dan menatap langit-langit kamarnya yang berwarna abu-abu. Dia tahu kalau Danish marah besar dan tengah merasa cemburu, kekasihnya butuh waktu. Pun Sayna tidak punya alasan apalagi pembelaan. Dia jelas salah, Sayna bersalah pada kekasihnya, dia tidak memungkiri itu. Padahal Danish banyak sekali mengalah.Namun dirinya bisa apa? Ciuman Gio mendarat tiba-tiba di dahinya tanpa bisa dicegah. Sayna bahkan tidak punya cukup waktu untuk marah, dia terlalu kaget dan lengah. Dan menjelaskan pada Danish sungguh tidak berguna, dia sedang tidak ingin mendengar apa-apa.Apa yang dilakukannya sekarang? Apa Danish sedang tidur siang? Atau dia langsung pulang ke Jakarta? Apa dia main ke tempat Arvin? Jalan-jalan ke Lembang? Sayna ingin sekali bertanya, tapi dia tahu itu tidak bisa. Jangan sekarang, jangan saat ini.“Nish, maaf...” Sayna bergumam lirih, merasakan hatinya pun ikut perih.Memposisikan diri andai mendengar kek
Semua orang memandanginya, dan itu tidak dalam artian yang baik. Sayna melirik gadis-gadis di sekeliling dengan mata setengah menyipit. Mereka sudah berjuang sejak semester awal, bersama-sama, belajar di kelas yang sama, satu angkatan penuh. Jadi jelas dia hidup dalam ruang lingkup keluarga besar.Masalahnya sekarang mereka mempunyai tugas dari dosen Patologi Klinis yang artinya tengah mempelajari bagian sumber penyakit pada manusia dengan analisis dan identifikasi melalui media cairan. Para mahasiswa itu harus membawa berbagai cairan ke laboratorium untuk diteliti, dan jenisnya beragam sekali. Mulai dari darah, urin, cairan tinja, air mata, ludah, dahak, nanah, cairan sendi, cairan sumsum tulang belakang, cerebrosfinal fluid hingga.... sperma.Ya, cairan sumber kehidupan itu pun tak luput dari bahan penelitian.“Itu nggak dibenarkan.” Rosma berapi-api ketika mendengar Ayuna mengatakan bahwa mereka bisa membeli bahan praktikum tadi ke seorang makelar
Hari Jumat yang entah kenapa Danish tunggu-tunggu, bukan karena kedatangan Pramudya ya, hanya saja Jumat berarti hari terakhir dari seluruh kegiatannya. Danish akan bekerja dengan semangat serta ke kampus lebih awal dibanding hari-hari biasa karena Jumat adalah hari terakhir tiap minggunya untuk menyambut Sabtu yang berharga.Saat ini dia tengah menyetir dengan panggilan video menyala dari seseorang yang begitu dicintainya, Sayna. Gadis itu punya waktu senggang sebelum masuk ke kelas tutorial pukul dua siang, jadi mereka berbincang selama Danish di perjalanan pulang.“Nish, cakep banget pake baju koko habis Jumatan,” goda Sayna sambil mengedip-ngedipkan mata, melihat kekasihnya mengenakan setelan putih berkancing dengan kerah rendah. “Jadi pengen—”“Pengen apa?” potong Danish segera, tahu Sayna akan mengatakan yang bukan-bukan, mengganggu konsentrasinya berkendara.“Pengen ketemu lah, pengen peluk, pengen ci
“Nish, tahan....” Sayna mendengar suara erangan tertahan dari kekasihnya yang dalam hitungan detik akan menjemput bola. Ini sudah kali kedua mereka mencoba, Danish bahkan minum obat penguat agar bisa kembali bermain setelah mendapatkan jatah wajib tiap minggunya. “Nish, angkat!” “Argh!” Danish berhenti bergerak, napasnya tersengal-sengal, kakinya nyeri, nyaris kram. Sayna ingin dia orgasme dua kali dalam kurun waktu beberapa jam. Mungkin bisa, nafsunya masih membara, tapi tubuh Danish lelah. Dia belum istirahat sejak menyetir dari Jakarta ke Bandung, malah langsung bersenang-senang. “Capek?” tanya Sayna pelan. Jemarinya menyusuri punggung dengan kulit yang amat lembut, wangi parfum Danish bercampur keringat membuat Sayna berdebar-debar. Padahal ini bukan kali pertama untuk mereka. “Sebentar.” Danish berbisik pelan di telinga gadisnya. Dia suka kegiatan ini, hal yang dinanti-nanti tiap jadwal kencan mereka seminggu sekali. Tapi Da
Danish melamun saat mengingat kembali percakapannya dengan Sayna tadi malam. Aneh sekali rasanya mendengar gadis itu bicara begitu. Meminta yang tidak-tidak, seolah dia akan melakukan sesuatu. Semoga saja tidak, semoga itu hanya perasaannya.“Gue tahu kok, kalau gue egois banget selama ini. Maaf, ya? Mulai sekarang kita main adil, lo juga bisa berlaku sama ke gue, Nish. Maaf karena gue terlalu mencekik lo selama ini.”Berlaku adil itu, bagaimana? Danish tidak punya orang yang membuatnya bergantung seperti Gio pada Sayna. Dan dia memakai istilah mencekik, bukan lagi mengekang atau mengukung. Sayna menyadari bagaimana kerasnya hubungan dan peraturan mereka selama ini. Dia bilang, ajaib sekali Danish bisa bertahan selama itu. Dia pasti tidak tahu sebesar apa Danish menyukainya.Lalu maksud Sayna itu apa?Kalau Sayna mau Danish memperlakukannya sama seperti dia memperlakukan Danish selama ini, sudah pasti hubungan mereka tidak akan bertahan lama.