Share

Meredam Dulu

Semua orang memandanginya, dan itu tidak dalam artian yang baik. Sayna melirik gadis-gadis di sekeliling dengan mata setengah menyipit. Mereka sudah berjuang sejak semester awal, bersama-sama, belajar di kelas yang sama, satu angkatan penuh. Jadi jelas dia hidup dalam ruang lingkup keluarga besar.

Masalahnya sekarang mereka mempunyai tugas dari dosen Patologi Klinis yang artinya tengah mempelajari bagian sumber penyakit pada manusia dengan analisis dan identifikasi melalui media cairan. Para mahasiswa itu harus membawa berbagai cairan ke laboratorium untuk diteliti, dan jenisnya beragam sekali. Mulai dari darah, urin, cairan tinja, air mata, ludah, dahak, nanah, cairan sendi, cairan sumsum tulang belakang, cerebrosfinal fluid hingga.... sperma.

Ya, cairan sumber kehidupan itu pun tak luput dari bahan penelitian.

“Itu nggak dibenarkan.” Rosma berapi-api ketika mendengar Ayuna mengatakan bahwa mereka bisa membeli bahan praktikum tadi ke seorang makelar penyedia cairan mani dengan memberi sejumlah imbalan.

“Tapi nggak ada jalan lain.” Fika menyela. Diam-diam melirik para mahasiswa yang duduk jauh di pojokan sana, tidak bersedia cairan mereka dijadikan bahan praktek.

“Kamu lupa ya, UGM pernah banget kena tegur karena anak-anak FK-nya ketahuan beli cairan mani ke makelar? Aku nggak mau ah, risikonya nama kampus kita bakal kena.”

“Elah... tibang sekali doang, nggak apa-apa.” Suara itu bersahut-sahutan menyela.

“Kecuali—”

“Kak Gio nggak bisa.” Sayna membantah segera. “Paling nanti aku bakal tanyain dulu dia cari sperm di mana buat bahan praktek, tapi kita nggak bisa minta punya dia.”

Teman-temannya terkikik, Sayna mungkin terlalu visioner karena berpikir hingga jauh ke sana.

“Memang Kak Gio dan Sayna ini penyelamat kita.” Rafika senang mendengar Sayna sukarela melakukannya tanpa diminta. “Tapi kamu kan ada Danish, Say... kamu bisa minta dia.”

Kelompok itu tertawa dengan Sayna yang merona di tengah-tengahnya.

“Yang punya pacar di sini sih harusnya bisa dimintai tolong,” kata Erwin saat dia ikut bergambung ke kelompok. “Tinggal kasih service dikit, terus—”

“Heh, gelo maneh, Win!” Nessa memekik sebelum Erwin sempat menyelesaikan kalimatnya, pemuda hitam manis itu tertawa.

“Kenapa nggak kamu aja, Win?”

“Iya ih si Erwin rewel pisan. Kamu bisa atuh, tinggal coli sambil nontonin Miyabi.”

“Dih, ketinggalan zaman amat. Mia Khalifa, woy!”

“Mereka udah pensiun.” Sayna menyahutinya.

“Kamu tahu dari mana, Say?”

Mampus! Sayna langsung memerah dan membiarkan dirinya lagi-lagi jadi alasan kelompok itu tertawa. Jujur saja, Sayna memang tahu dan pengetahuan itu dia dapat dari Danish, pacarnya. Kadang mereka iseng nonton berdua, menertawakan kegiatan dan suara desahan para pemainnya. Sebelum benar-benar bermain sungguhan.

Uh, Sayna merindukannya.

Kemarin, Danish sempat datang ke kosan setelah hari sebelumnya sempat didiamkan. Dia kelihatan sudah tidak marah, tapi begitu bahasan soal Gio yang mencium Sayna kembali mencuat, Danish tetap tidak bisa mengontrol rasa cemburunya. Wajar, Sayna juga akan melakukan hal yang sama andai dia ada di posisi Danish semalam.

Mereka bertengkar, sedikit saja, tapi memutuskan untuk berbaikan. Danish bilang, sayang sekali waktu terbuang kalau mereka terus saling serang, terlebih jatah bertemunya hanya dua kali dalam seminggu, jadi jangan disia-siakan.

“Gue kemarin ketemu sama Pramudya.” Danish mengatakan hal-hal mengganjal di antara mereka. “Gue tahu lo nggak akan suka, tapi gue sama Dya itu saudara, Sayna. Dia adiknya Mas Arya.”

Danish sedang mencoba memberi pelajaran padanya.

Dia sedang membalas apa yang Sayna lakukan dengan Giovanni sebagai media.

“Dya datang ke Bandung?” tanya Sayna penasaran, meski sudah pasti jawabannya iya.

Danish mengangguk. “Kami main berdua.” Dia menatap Sayna datar sambil mengatakannya, seolah sengaja. “Gue sama Dya memang nggak punya keperluan kayak lo sama senior lo itu, tapi ada kebutuhan yang sama-sama terpenuhi dari sosok mereka.”

Danish seolah sedang berkata, sekarang tahu kan rasanya bagaimana?

“Kami cuma main, nggak ada apa-apa.”

Persis alasan yang selalu Sayna berikan padanya.

“Kemarin... gue butuh teman, Sayna.”

“Iya.” Pada akhirnya, Sayna lelah bersikap egois dan terus ketakutan kekasihnya akan direbut atau berpaling. Jadi dia menahan diri, mencoba untuk mengerti. “Nggak apa-apa.”

Asal Danish tidak membagi hatinya, tidak apa-apa. Dia sudah punya Sayna, kan?

“Maaf.” Danish menundukkan kepala. “Gue tahu lo nggak akan suka, tapi Dya—”

“Udah, Nish.” Sayna menyentuh lengan kekasihnya lembut. Dia tidak mau mendengar alasan apa-apa, kali ini Sayna memutuskan untuk mengerti dan berhenti.

“Gue bakal kasih Gio peringatan biar nggak sentuh-sentuh atau cium cewek gue sembarangan,” ujar Danish kemudian. “Tapi, Sayna, lo juga harus mau mempertahankan diri, gue nggak bisa usaha sendiri buat hubungan ini.”

Tidak ada kalimat atau kata-kata kasar yang terlontar, Danish mengatakannya dengan baik, dia sudah jauh lebih dewasa, tidak lagi meledak-ledak, namun... rasanya sesak. Sayna ingin menangis tapi suasananya sama sekali tidak mendukung untuk itu. Danish lebih memilih untuk melupakan dan memaafkan kesalahannya, jadi Sayna merasa tidak punya hak untuk bicara.

Dia juga tidak menginginkannya, andai Danish tahu, Sayna tidak suka diperlakukan seperti itu, dia tidak suka keadaan yang mengukungnya ini, dia ingin baik-baik saja dengan kekasihnya, dengan hubungan mereka.

Namun... hidupnya sendiri sudah cukup sulit. Sayna terjebak dalam ikatan benang yang berbelit, susah sekali lepas dari sana, sulit menjauhi Giovanni karena dia memang butuh bantuannya.

“Nish, hubungan jarak jauh itu banyak ujian. Dan ini salah satu ujian kita.” Sayna pernah, membeberkan alasan yang begitu kekanakan.

Alasan yang terlalu dibuat-buat untuk mencari pembenaran.

“Sayna, hubungan itu harus dirawat, bukan diuji. Semoga lo ngerti.”

Tetap saja, Sayna tidak punya pilihan lain. Dia tidak ingin terkucil, tidak mau sendiri di perantauan yang keras ini. Danish pasti tidak mengerti, dia tidak hidup terpisah dengan keluarga, makanya Danish kadang masih susah memakluminya.

“Kita baikan, ya. Sampai jumpa minggu depan. Nanti kita harus jalan-jalan.”

Tidak ada penyelesaian, beberapa pertanyaan masih belum menemukan jawaban. Terutama soal rasa cemburu dan khawatirnya pada Pramudya, si orang ketiga.

Entah, bagaimanapun Danish menyangkal bahwa mereka hanya saudara, Sayna tidak pernah suka. Dia tidak bisa berpikiran sama. Pramudya jelas-jelas suka pada kekasihnya, dan Danish bisa direbut kapan saja.

Sulit sekali percaya bahwa di antara mereka berdua tidak ada apa-apa.

“Say, Sayna? Eleuh, melamun aja atuh kamu teh kenapa?” Sayna tersentak ketika Erwin berjarak sangat dekat dengan wajahnya dan otomatis membuat gadis itu menjauhkan tubuh. Bau parfum Bacarrat pemuda itu cukup menyengat hidung.

“Nggak apa-apa.”

“Kamu sepertinya mah memikirkan kapan jadwal yang baik buat jalan sama aku. Sok atuh, aku siap, Say! Mau di mana? Mau ke mana? Mau berapa klep sperma? Aku siap buat kamu mah.”

“Heh!” Rafika buru-buru mendorong kepala Erwin dengan telunjuknya. Tidak membiarkan pemuda itu menikmati tawa. “Maneh mah kudu diseblok ku cai seblak. Sadar, si Sayna teh udah ada yang punya, anying!”

Uh, sepertinya amarah Rafika kali ini agak berbeda, ini bukan jenis kekesalan biasa. Ada apa di antara mereka berdua?

****

Sebenarnya selama masalah tidak dipermasalahkan, masalah tidak akan menjadi masalah. Danish meyakininya. Apalagi Pramudya bilang kalau ciuman di pipi tidak akan menyebabkan kehamilan, jadi tidak usah berlebihan. Sayna dicium Gio, Danish juga dicium oleh Dya, dan mereka sama-sama bukan pasangan sungguhan. Impas, kan? Atau... Danish hanya sedang cari pembenaran?

Dia juga tidak tahu, sebenarnya tidak mau peduli lagi pada persoalan itu.

“Cewek yang waktu itu ya, Nish?”

Danish mengangguk, siang harinya sepulang kuliah dia habiskan bersama teman-teman di kafe dekat kampus. Arvin pulang ke Jakarta hari ini, meski dia harus kembali ke Bandung sore harinya lagi.

“Yang lo bilang adiknya ipar lo itu, kan?”

“Iya.”

Mereka sedang membicarakan Pramudya.

“Cantik banget gila, makin sini makin cantik aja.” Hamam buka suara, dia lebih sering bertemu dengan Pramudya karena satu dan hal lain, tapi mereka tidak pernah bertegur sapa. Dya bukan orang yang gampang didekati sebenarnya.

“Sabar banget dia, mau-maunya ditinggalin di bandara. Habis manis sepah dibuang, Nish.”

“Lo kok jadi fuck boy gini, sih?” Arvin tampak tidak senang. “Pacaran sama Sayna bukan makin baik lo ya, malah makin bobrok, nggak ada akhlak.”

Senin sepulang berkegiatan, Hamam ngotot mengajak mereka semua berkumpul meski Herdian tampak sibuk menyusun laporan praktikum di laptopnya dan Danish sedang tidak selera makan. Tetapi baru sepuluh menit mendudukkan diri, Danish menerima telepon dari Pradnya yang mengabarinya bahwa Pramudya sakit. Gadis itu dilarikan ke UGD karena pingsan di pesawat saat kembali ke Surabaya.

Dia memaksakan diri pulang dengan penerbangan biasa dan tidak menunggu jemputan kakak-kakaknya, karena Danish yang meminta Dya untuk pulang duluan.

“Lo nggak ngerasa bersalah, Nish?” tanya Hamam.

“Biasa aja.” Danish setengah bergumam. Dia tidak tahu di mana letak salahnya sementara Pramudya saat ke Bandung terlihat baik-baik saja. Mungkin gadis itu hanya jetlag biasa.

“Kalian sodaraan, Nish. Jangan kejam-kejam amat lah, si amat baik orangnya.”

Arvin melirik Hamam jengkel, temannya itu perlu dijambak agar serius sedikit. “Untung Dya sabar banget anaknya.”

“Ho’oh.” Hamam lagi-lagi menyahut karena Herdian sedang sibuk. “Pasti dadanya Dya kecil ya, Nish? Biasanya cewek penyabar itu dadanya kecil, kan ada istilahnya tuh, lapang dada.”

“Sok tahu lo! Dada Dya nggak kecil, ya!”

“Dih, sinting dia merhatiin juga.” Arvin tergelak gembira. “Lo bisa ya, Nish. Bolak balik Bandung – Jakarta tiap minggu dan nggak pernah sempet mampir ke tempat gue? Parah ni anak. Sombongnya nggak ketulungan.”

“Paling juga dia dilarang sama Sayna.” Herdian buka suara.

“Eh, nggak ya!”

“Bisa jadi sih, sejarah mungkin terulang, dulu Danish nggak boleh main sama Angga – Aryan pas kita masih sekolah. Sekarang giliran kita. ”

“Woy, nggak usah gibahin cewek gue di sini!”

“Betul.” Arvin mengusap-usap dagunya yang agak berbulu. “Jangan nurut-nurut amat lah, Nish. Lo pacaran sama orang apa rambu-rambu lalu lintas?”

“Tahu tuh, kalian itu pacaran, lo bukan peliharaan.”

“Heh!”

Danish membentak teman-temannya tak terima, tapi tiga orang itu mana peduli, mereka tetap dengan asumsinya sendiri. Hamam selalu bilang bahwa hubungan Danish dan Sayna itu mulai toxic, dia sok tahu, padalah pacaran saja belum pernah, beraninya memberi ceramah.

“Nurut-nurut banget ntar lo nggak ada bedanya sama anjing,” komentar Herdian yang matanya tetap fokus ke layar dan Danish dengan kekesalan menggebu menutup monitor gadget itu. “Kampret!” umpatnya penuh nafsu.

“Sok rajin banget lo!” dengkus Danish jengkel melihat Herdian tidak menyerah pada tugas-tugasnya. Anak teknik memang berbeda. “Kalau lagi ngumpul tutup dulu ngapa laptopnya?!”

“Lo kayak nggak pernah makan bangku kuliahan a—”

“Ya, nggak pernah! Kan dari besi! Keras, bego!”

Arvin menutup mata dan mengembuskan napasnya lelah. “Bukan itu, Danish Adiswara Caka tolol. Maksud gue, yang namanya tugas deadline ya deadline. Lo sih kuliah asal hadir aja mana paham!”

“Bener. Ini cuma dipahami sama anak-anak kuliahan yang cerdas,” sahut Herdian mengamininya.

“Heh, gosah sombong sama bos gue!” Hamam menggebrak meja. “Lo nggak bisa ya mengukur kepintaran orang berdasarkan nilai akademisnya. Nih, lo berdua pinter kuliahnya sementara Danish kuliah sambil kerja, ngejalanin bisnis keluarga. Lo sibuk belajar biar IPK tinggi dan dapet kerjaan bagus, si Danish sibuk ngembangin bisnis biar nanti bisa narik lo kerja di perusahaannya. Camkan itu!”

“Bahasa lo, Mam.” Danish merasa geli sekaligus tersanjung. “Kerjain lagi, Yan, biar makin pinter lo jadi karyawan gue ntar.”

“Sialan.” Herdian mengumpat pelan lalu menutup laptopnya.

“Toxic sih ini, hubungan pertemanan toxic. Temen lagi pada sibuk dipaksa ngumpul, jadinya gini.” Arvin buka suara lagi. Dia menyindir Hamam yang memaksakan pertemuan mereka hari ini.

“Kita udah dua bulan nggak ngumpul, bray! Gue empet saban hari liat muka si Danish, capek gue liat dia ganteng terus, sesekali kan gue pengen liat yang jelek juga kayak lo, Herdian. Bosen gue jadi jelek sendirian.”

Arvin dan Herdian tertawa.

“Kunyuk, beraninya lo ngomong gitu depan bos sendiri. Lo makan dari dompet gue, Mam. Bisa-bisanya lo empet liat muka ganteng gini.”

Hamam bergidik geli. “Jadi menurut lo pertemanan kita ini toxic?” tanyanya kembali yang diberi anggukan oleh Arvin. “Kalau toxic mestinya kita nggak bakal betah temenan kayak gini, Vin. Danish aja tahan ngumpul sama kita lama-lama.”

“Dia udah nggak terima temen baru aja.” Arvin melipat tangan di dada sambil menyandarkan punggungnya. Ingat sekali pertama bertemu Danish kelas 1 SMA dan pemuda itu sangat ramah, supel, banyak teman di mana-mana meski hanya lengket dengan Angga dan Aryan.

Sekarang, Danish sudah tidak sama.

Dia berubah, membatasi diri, tidak ceria seperti dulu lagi. Mungkin karakternya berkembang, atau entahlah, Arvin tidak mengerti.

“Gimana lo sama Juwi?” Danish memecah hening di antara mereka.

“B aja,” jawab Arvin apa adanya. “Lurus dan langgeng kayak tol Palimanan.”

Hamam berdecak. “Gue kasih advice ya biar hubungan cinta lo agak bergelombang. Gini nih misalnya, kalau teleponan jangan mainstream gitu pertanyaannya.”

“Gimana?” tanya Arvin penasaran.

“Halo, Juwi, bisa minta waktunya seumur hidup? Hahaha so sweet nggak sih?”

“Najis, gue malah geli.” Danish bergidik. “Kesannya malah kayak malaikat pencabut nyawa.”

Di luar dugaan, Arvin mengacungkan ibu jarinya dan tertawa senang. “Keren, Mam! Gue pake ya nanti, soalnya Juwi pendiem, gue demen deh ada bahan ngelucu kayak gini.“

Herdian tersenyum sinis. “Orang ganteng sih ngelucu kayak gitu dibilang humoris, nah coba gue yang ngelucu dikata stres aja kali.”

Danish tertawa sambil bertepuk tangan, membenarkan argumen Herdian barusan.

“Heh, bucin Sayna. Lo gimana? Masih deket tu anak sama katingnya?”

“Masih.” Danish mengangguk santai. Pakai adegan cium segala, tapi dia tidak bilang siapa-siapa.

“Sayna selingkuh?” tanya Herdian tak percaya. “Mendua?” Arvin dan Hamam mengangguk, tapi Danish tidak membenarkannya, Sayna tidak begitu. Sayna setia padanya. “Lo selingkuh juga lah, Nish! Dikata Indosiar apa, Sayna selingkuh terus Danish nyanyi lagu kumenangis... membayangkan....”

Mereka semua terkikik geli mendengarnya.

“Nah, itu tadi makanya ada si Dya. Bisa banget lo jadiin cadangan, kan?”

Danish menggelengkan kepala. “Ngadi-ngadi banget ni bocah,” ujarnya. “Dya itu adiknya Mas Arya, ipar gue, kita saudara.”

“Hm, ya ya ya.”

“Coba Dya mau sama gue, padahal mending sama gue sih. Mending gue ke mana-mana.” Hamam angkat bicara. “Gue bakal jadiin Dya ratu satu-satunya di istana yang gue bangun meskipun nggak megah. Sama Danish kan dia jadi yang kedua.”

“Istana apaan yang pintu kamar mandinya masih pake tali diiket ke paku.” Danish menggerutu, terkenang masa-masa mengerikan di kontrakan Hamam.

“Gue kalau jadi Dya sih mending pilih Danish bodo amat dijadiin yang kedua juga ketimbang jadi ratu di istana lo, Mam.”

Hamam menyipit sinis pada Herdian. “Lo nggak bisa liat gue bahagia sedetik aja, ya! Gue lagi ngayal juga tetep lo nggak rela.”

“Nggak sih, Mam. Gini aja, Dya itu anak sultan, dia susah didapatkan.”

Arvin menjentikkan jari, membenarkan pendapat Herdian.

“Eh, ya biarin aja. Kalau ada yang susah kenapa cari yang mudah?” Hamam pantang menyerah.

“Masalahnya, Mam, lo udah miskin terus ngerusak keturunan. Pasti kisah cinta lo sama Dya bakal penuh rintangan.”

“Sialan, langsung insekyur gue kalau bawa-bawa tampang.”

Arvin dan Danish tertawa. Herdian dan Hamam bergabung sebagai teman sekubu karena nasib mereka sama, tapi saat saling hina keduanya sama-sama mengerikan.

“Ke mana aja lo? Kenapa sih insekyurnya baru sekarang? Kan buriknya udah lama.”

“Tai lo, Vin!” Hamam melotot tidak senang, tapi percayalah, berkumpul seperti ini, saling menghina, adalah kegiatan senang-senang. “Nggak papa sih sebenernya kalau gue nggak punya pacar sampai sekarang, asal jangan nggak punya duit aja. Bahaya soalnya.”

“Bener, yang penting cuan.” Arvin memeragakan gesture uang dengan jari-jarinya. “Good looking belakangan.”

“Muka gue sih nggak tertolong lagi, Vin. Mesti operasi ke Thailand, gue mending rajin olahraga aja biar bentuk tubuh gue ateis.”

“Atletis!” sorak tiga teman Hamam mengoreksinya.

“Lagian lo operasi ke Thailand bukan muka lo yang cakepan, malah ketuker ntar sama selangkangan.”

“Eh, iya bener! Thailand tuh ngetop operasi kelaminnya, Mam!”

“Maksud lo burung gue pindah ke muka? Enak dong gue nggak mesti pake celana.”

Dasar Hamam gila. Danish bahkan sudah tidak bisa mengumpat karena capek tertawa.

“Jadi, Nish, lo sama Sayna kan berantem rutin tuh, tapi nggak putus-putus ya? Aneh juga.”

“Ya, nggak aneh, pea. Mereka berantem cuma karena beda pendapat, beda pandangan, bukan beda perasaan, jadi nggak gampang dipisahkan.”

“Wuidih! Arvin Teguh!” Hamam bertepuk tangan. “Maklum aja ya, gue bener-bener nggak berpengalaman, nggak pernah pacaran, apalagi putus. Pertama dan terakhir kalinya putus itu sama tali ari-ari gue pas lahir dulu.”

“Tai!” Danish, Herdian dan Arvin tergelak kencang mendengar banyolan Hamam.

“Jadi, Nish, lo nggak ada niatan jadiin si Dya selingkuhan?”

Danish buru-buru mengibaskan tangan. “Boro-boro selingkuhan, pacar sebiji aja ngajak mulu tawuran.”

Mereka lagi-lagi tertawa, meski hal itu tidak benar-benar lucu untuk ditertawakan.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status