Share

Terombang-ambing

“Sayna... maaf!”

Suara itu mengganggunya kala Sayna tengah duduk di kantin fakultas sembari menyantap potongan dimsum ayam dan ikan. Sabtu dan Minggu bersama Danish nyaris kacau karena panggilan telepon dari orang ini, Sayna tidak bisa untuk tidak kesal padanya. Kentara sekali jika Danish berusaha keras untuk memaklumi dan tidak membahas soal Gio lebih jauh selama mereka menghabiskan akhir minggu meski dia tampak terganggu.

“Say, jangan ngambek atuh, nanti cantiknya berkurang lho.” Gio tidak menyerah, masih menggoda dan berusaha membujuknya. “Kakak habis ini jaga di Pediatric sampai besok, kita nggak akan ketemu, pengen kangen-kangenan dulu.”

Fakultas kedokteran tempatnya menimba ilmu memang terletak tak jauh dari rumah sakit umum tempat coass nanti, jadi setelah menyelesaikan serangkaian prosedur kelulusan dan menyandang titel Sarjana Kedokteran, Giovani menjadi dokter muda di rumah sakit arahan universitas mereka. Letaknya tepat di seberang gedung, hanya dipisah oleh jalan raya.

“Sayna...”

“Kakak tahu akhir minggu aku sama Danish pasti bareng terus.”

“Tahu.” Gio duduk di seberangnya, menggenggam tangan Sayna yang langsung ditarik oleh gadis itu. “Tapi kakak kangen, kita jarang banget ketemu minggu lalu.”

“Kakak cari alasan dan cara buat menghancurkan kepercayaan Danish ke aku,” sanggahnya tak terima, dan Giovanni tertawa. Sayna jelas tahu, alasan membeli textbook di Palasari itu terlalu mengada-ada, mereka memakai e-book saat ini, dan Sobotta bukan yang dibutuhkan Sayna lagi.

“Kakak minta maaf kalau gitu, janji nggak akan diulang lagi. Ini baru dua kali kakak isengin kamu sama dia, kan?”

Sayna diam saja dan fokus menyantap dimsum di hadapannya. Giovanni adalah kakak tingkat yang pertama kali mengajaknya berbincang saat Sayna baru diterima untuk kuliah. Gio—panggil saja begitu, juga almamater dari SMA Nusantara Satu tempat Sayna sekolah dulu, usia mereka terpaut dua tahun.

Gio jelas lebih berpengalaman di kampus ini yang menyebabkan Sayna mau tidak mau membutuhkan bantuannya. Sudah jadi rahasia umum jika senioritas di fakultas kedokteran terkenal sangat tinggi, maka menjalin hubungan baik dengan senior adalah kunci. Dan Gio memang memberi banyak sekali kontribusi selama Sayna kuliah di sini. Kehadiran Gio sangat membantu, tapi juga cukup mengganggu.

“Dia marah banget, ya?” tanya Gio kepadanya, karena Sayna diam saja. “Biasanya pacar kamu gampangan, dicium dikit meleleh kayak plastik kena panas matahari.”

Iya, itu dulu. Sekarang Danish sudah jauh lebih dewasa, ini tahun kedua Sayna dan Danish menjalin hubungan, tentu beberapa hal telah berbeda. Danish tidak lagi segampangan itu.

“Aku ada praktikum habis ini, Kak. Udah masuk blok genital, nanti kayaknya aku sama teman-teman mau minta diajarin dan dibocorin soal buat skills lab. Kalau Kakak bisa.”

“Oh, jelas bisa.” Gio menyengir bangga, dia senang merasa dibutuhkan oleh gadis yang disukainya, meski belum bisa mencuri hati gadis itu sepenuhnya. “Genital itu kan ngobrak-ngabrik punya kamu.” Dia cengengesan. “Nanti kakak kasih bocoran deh pokoknya.”

“Makasih, Kak.” Sayna menghadiahkan senyum formal.

“Maafin, ya? Kakak janji nggak akan begitu lagi.”

“Iya.”

“Kakak akan jadi selingkuhan yang baik dan nggak banyak tingkah.” Gio mengedip genit sambil terkikik sementara Sayna mendelik kepadanya.

“Aku ke lab dulu,” pamit gadis itu buru-buru, menahan napas saat Gio mengusap kepalanya lalu pergi dari sana.

Bohong kalau Sayna bilang dia tidak berdebar diperlakukan seperti itu, tapi dia sudah punya pacar dan semua orang tahu. Tahun pertama dia kuliah, Danish pernah berkunjung dan menunggunya di depan gedung, Sabtu sore setelah ujian kompetensi. Kehadiran pemuda itu tentu jadi perbincangan hangat, karena... Danish sangat menawan, tentu saja. Siapa yang tidak tertarik pada orang seperti Danish saat mata mereka masih sangat normal?

Namun kedekatannya dengan Giovanni sejak hari OSPEK pertama tidak bisa diabaikan begitu saja, Sayna sudah jadi pusat perhatian sejak pertama kemunculannya. Gio jelas menunjukkan bahwa dia tertarik, dan sialnya lagi, pemuda itu memegang posisi penting di fakultas ini. Sayna bisa mati jika terang-terangan mengabaikannya, gosip cepat menyebar, para senior saling berkabar siapa saja junior mereka yang tidak boleh diberi bantuan, dan Sayna tidak mau jadi salah satunya.

Gio sangat membantu sekali, Sayna tidak bisa memungkirinya.

“Say, maneh dari mana? Eleuh, Sabtu, Minggu sama anak Jakarta, Senin jeung si Kang Gio. Aing jatahnya hari apa atuh, Say?”

Gandeng maneh, Win!”

“Berisik, Erwin.”

Aing bogoh ka maneh, Say. Aku tresno karo kowe!”

Beberapa orang yang ada di sana menertawakan lelucon Erwin saat Sayna sampai di depan lab. Erwin, teman seangkatannya memang gencar sekali menyatakan cinta, sampai Sayna tidak tahu dia serius atau hanya main-main saja. Yang jelas, Erwin merasa tersingkir hanya dengan melihat penampakan Danish di akhir minggu saat menjemput Sayna atau langsung melipir ketika melihat Gio berada di sekitar mereka di hari-hari biasa.

Sudah jadi rahasia umum bahwa, Gio adalah milik Sayna dari Senin sampai Jumat, sisanya Sayna akan berkencan dengan pacarnya dari Jakarta.

“Kenapa, Say?” tanya Fika. “Dari pagi Kak Gio nyariin kamu, kamu menghindar terus. Ada masalah?”

Sayna mengiakan. “Dia sengaja telepon pas aku lagi bareng Danish hari Sabtu lalu, nyari perkara aja.”

“Danish marah?” Fika merasa khawatir pada Sayna, biar bagaimana juga dia ikut mengambil keuntungan dari hubungan Sayna dan senior mereka.

“Marah, tapi dia tahan aja, kan aku yang nggak enak.”

Fika mengembuskan napas, sedikit lega mendengarnya. Semua teman dekat Sayna tahu kalau gadis itu punya pacar ganteng dari Jakarta, pacar yang baik hati karena bersedia datang ke Bandung tiap minggu hanya demi bisa bertemu. Tapi kedekatan Sayna dan Gio membawa anugerah tersendiri bagi mereka, Giovanni tidak pelit ilmu. Dia bersedia memberi kelas tambahan secara cuma-cuma setelah pulang kuliah untuk Sayna dan teman-temannya. Skills lab sangat sulit, belajar menyuntik, mengambil darah, menjahit luka, tidak bisa dipelajari otodidak atau secara teori saja.

Dan Gio melakukannya untuk mereka, dia juga punya boneka peraga untuk ajang latihan. Selain itu, Gio murah hati memberi gambaran soal-soal yang keluar saat ujian di blok tertentu, jadi mereka bisa fokus mempelajari bab itu. Dia juga tidak pelit berbagi tips dan trik untuk menghadapi dosen-dosen yang pelit, Gio membagi semuanya pada mereka, lewat Sayna. Semua orang di sini menyetujui hubungan keduanya.

“Untung Danish udah tumbuh dewasa,” gumam Fika, meski tidak secara langsung mengenal pemuda itu. “Dia nggak semarah dulu pas tahu kamu diajak jajan seblak sama Kak Gio.”

Sayna tertawa, lalu mengangguk. Beberapa hal berubah, termasuk sikap pacarnya itu.

“Tapi, Say, kayaknya kamu harus segera menentukan mau jalan sama yang mana. Kasihan mereka berdua, untung aja Kak Gio pengertian, rela aja disebut selingkuhan.”

“Aku nggak selingkuh, Fika.” Sayna menyangkalnya, dia tidak suka disebut begitu.

Dia tidak membalas perasaan Gio, Sayna hanya... menghargainya. Dia di posisi sulit saat ini, perasaannya utuh pada Danish, tidak pernah berkurang. Gio bukan yang Sayna inginkan, dia hanya membutuhkan bantuan. Jadi, sah-sah saja, bukan?

Asal hatinya tetap utuh untuk Danish, namanya bukan selingkuh, Sayna tidak mengkhianati kekasihnya. Dia hanya sesekali meladeni Gio sebagai ucapan terima kasih karena sudah memberi banyak bantuan, atau... bersedia diajak makan jika tengah kesepian. Hatinya tetap untuk Danish, Sayna tidak pernah berbagi perasaan.

Itu semua... boleh, kan?

Sayna hanya milik Danish, dia bahkan sudah memberi segalanya. Hubungan mereka tetap utuh, tidak boleh rapuh. Karenanya Sayna berani menempuh cara-cara itu.

****

Danish ingin membanting ponsel yang berdering sejak tadi selama dia tengah mengerjakan makalah di kelas, dan ketika melihat siapa pemanggilnya, pemuda itu membuang napas. Dia menerima telepon dengan perasaan kacau dan pikiran tidak keruan.

“Apa?” tanyanya ketus pada si pemanggil barusan.

“Katanya lo ke Bandung. Kuy, meet up. Gue jajanin odading Mang Oleh yang rasanya, anjing banget!”

“Nggak perlu makan odading Mang Oleh hidup gue udah anjing banget, Vin.”

Arvin terkikik sementara Danish mendecih sebagai reaksinya. “Kenapa? Berantem lo sama Sayna?” Tentu Arvin tahu, hal-hal yang membuat Danish kesal hanya berotasi di sekitar Sayna dan pekerjaannya. Kuliah bukan masalah.

“Nggak juga,” jawab Danish jujur, karena memang tidak begitu. Dia dan Sayna baik-baik saja. “Eh, lagian ini bukan weekend, gue nggak di Bandung kalau weekday, Vin.”

“Lha, bukannya ini hari Minggu, ya? Atau gue salah lihat?”

“Lo habis mabok genjer apa gimana?”

“Sebentar-sebentar.” Danish bisa mendengar suara krasak-krusuk di seberangnya. “Oh, gue habis dari Amerika sih, jadi gue kira masih Minggu, Nish. Sori.”

Danish menyengir kecil. “Ngapain lo dari Amrik?”

“Mau daftar jadi presiden. Hehe, udah dulu ya, gue mau jemput Juwi. Babay!”

Mungkin kalau ada penghargaan teman paling tidak jelas tahun ini, Danish akan menominasikan Arvin sebagai juaranya. Dia bisa sangat kesal karena panggilannya diabaikan, tapi juga bisa menjengkelkan ketika panggilannya diterima tapi tidak ada yang benar-benar ingin dia sampaikan. Belum lagi Hamam, Herdian, dan... Lianka yang kebetulan sekelas dengannya di sini sekarang, kapan Danish berhenti hidup dikelilingi orang-orang gila?

Dia melihat layar ponsel dan mendapati foto Aryan tengah berada di kereta cepat menuju kampus, lalu Angga yang tampak bahagia sejak pindah ke Yogyakarta. Angga bilang, dia senang tinggal di kota yang sama dengan tempat ibunya dikebumikan. Sementara Aryan bahagia di Eropa sana karena selama musim dingin nyaris tidak ada matahari jadi dia bisa senang-senang tanpa kepanasan. Danish ikut senang meski hanya bisa melihat mereka semua dari kejauhan.

Sudah tahun kedua, dan mereka hanya bertemu sesekali waktu liburan.

“Nish, lo tahu apa bahasa Inggrisnya pintu?”

“Kaget gue!” Danish pura-pura terperanjat.

“Belum woy!” seru gadis berambut jagung di hadapannya. “Door!”

“Oke, sip.”

“Kaget dong, ya ampun. Cape-cape ngelawak juga.”

“KAGET ANJIM!”

“Telat, ah. Males.”

“Oke, sip.”

“Danish!” Gadis itu memekik, namanya Celine, teman sekelas Danish di fakultasnya. “Bayar-bayar, Rabu kita persentasi, yap!”

Danish merogoh saku, menyerahkan lembaran uang pada gadis itu tanpa bertanya apa-apa. Itu sudah biasa, tugas kelompok yang hanya dikerjakan oleh satu atau dua orang, sisanya numpang nama.

“Tapi, Nish, lo harus baca bahan sedikit, ya. Nanti ada sesi tanya jawab, lo bagian jawab deh, kita bantu kok.”

“Oke.” Danish mengangguk. “Udah kelar emang bahannya? Ngerjain di rumah siapa?”

“Di rumah Lian, kapan hari di rumah gue. Tapi yang dateng juga cuma bertiga, lo sama cowok-cowok lain nggak ada.”

“Gue ikut deh pertemuan berikutnya, sekalian bantu hafalin bahan, ya.”

“Ih, baca aja sendiri. Ntar gue email, males gue ntar lo ribut lagi sama cewe lo. Lianka bilang mending cari aman aja.”

“Elah, santuy. Udah lama juga kejadiannya, dia udah lupa.”

Celine buru-buru menggelengkan kepala, tapi kemudian melebarkan mata. “Eh, jangan bilang lo udah putus sama cewek barbie itu?!” Danish mengerutkan alis, gosip dari mana memangnya? “Lo pacaran sama yang satunya, ya? Yang waktu itu pernah datang ke kelas dan bagi-bagi makanan?”

Yang dia maksud pasti Pramudya. Danish menutup matanya sembari mengembuskan napas mengingat segala kegilaan yang dilakukan dua gadis itu setahun belakangan. Sayna yang murka luar biasa melihat Danish ada di Insta-story Lianka saat mengerjakan tugas sama-sama di rumahnya, hingga Pramudya yang dengan murah hati mengirim truk kopi dan Nanny’s Papilon saat Danish ulang tahun ke kelas ini. Membagikannya cuma-cuma, tanpa bilang atau minta izin sebelumnya. Membuat Danish kaget saja.

“Sana, udah. Gue udah bayar.” Danish berkata sinis hingga Celine mendengkus sebal.

“Yeh, malah sensi. Lo biasanya begini tiap kangen sama Arvin.”

“Mana ada gue kangen, kesel iya. Udah, sana! Jangan sebut-sebut nama orang yang udah nggak ada.”

“Gue kirim Alfatihah buat Arvin kalau gitu, ya. Ditunggu acara makan-makannya.”

Danish mengibaskan tangan untuk meminta Celine segera meninggalkannya, kelas ini menyebalkan sejak Arvin tidak ada. Dia pindah semester lalu demi memperjuangkan gadis yang disukainya sejak SMA, benar-benar luar biasa. Perjuangan Danish yang pulang pergi ke Bandung tiap minggu demi Sayna tidak ada apa-apanya dibanding kegilaan Arvin pada Juwi.

Sejak saat itu, Danish sendirian. Dia sudah nyaman ke mana-mana dengan Arvin lalu ditinggalkan, ternyata Danish tipe orang yang tidak gampang dekat dengan yang lainnya meski ini sudah tahun kedua dia sekelas bersama teman-teman baru. Mungkin dia bisa berbaur, tapi Danish menyerah kalau harus dekat dengan orang-orang itu. Lalu setelahnya, pikiran Danish melanglang buana. Ada Lianka yang sekelas dengannya di sini tapi toh mereka tidak begitu dekat. Apalagi sejak kejadian Sayna melabrak gadis itu ketika melihat Danish ada di Insta-story nya, jelas Lianka menjaga jarak aman.

“Gue dikatain lonte sama cewek lo.” Gadis itu meringis. “Gue nggak mau ngadu ya, Nish, tapi Sayna keterlaluan. Dari SMA sejak kalian deket dan jadian dia mulai nggak waras ke gue, parah sih. Gue nggak bisa ngomong lagi, tapi lo jangan tersinggung kalau gue nggak seramah biasanya setelah ini. And yeah, awalnya gue seneng ada temen sekolah gue di sini, terutama itu lo, Nish. Kebayang benefitnya jadi anak baru yang punya temen paling cakep se-fakultas, but hell lo udah jauh dari Danish yang dulu gue kenal. Lo berubah.”

Hanya karena Danish ikut mengerjakan tugas kelompok di rumah Lianka, Sayna murka. Dia bilang, Danish tidak harus ikut, tidak harus bergabung untuk mengerjakannya, Danish tinggal patungan saja, Danish bukan tipe orang yang bisa diandalkan meski dia ikut-ikutan mengerjakan. Sayna tahu, jelas dia tahu seperti apa kemampuan Danish di bidang akademis. Jadi pergi ke rumah Lianka untuk tugas kelompok adalah sia-sia, tidak ada gunanya.

Dan Lianka benar, dulu Danish bisa tersenyum ke semua orang, tak peduli dia laki-laki atau perempuan, Danish berusaha ramah agar dirinya disukai dan diterima. Tapi sejak dia dan Sayna menjalin hubungan, semua berbeda. Danish berusaha menjaga hati dan perasaan kekasihnya, dia tidak lagi beramah tamah pada semua orang terutama jika orang itu perempuan. Entah ini disebut pengaruh atau justru sikap asli Danish yang seperti itu.

“Lo tahu kan, main deket tempat sampah ya kecipratan bau sampahnya.”

Mungkin benar, Danish mulai menyerupai tingkah Sayna yang notabene tidak terlalu ramah pada orang-orang. Sayna yang susah didekati, yang tidak ramah pada laki-laki, Danish menirunya dengan baik. Yang paling jelas adalah bagaimana dia bersikap pada Pramudya, Danish kasar sekali padanya. Mungkin bisa berbeda jika Dya bertemu Danish sebelum jadi pacar Sayna, pasti dia bisa lebih ramah layaknya Danish pada teman-teman perempuan di SMA. Danish yang suka saling menggoda, melempar tawa dan canda, sayang sekali semua sudah berbeda.

Hanya Sayna, hanya pada Sayna dia boleh melakukannya.

Pramudya: *Share location*

Panjang umur sekali gadis itu, karena pesan darinya tiba-tiba muncul saat Danish hanya membahasnya dalam pikiran. Tapi... ini masih hari Senin, kenapa Dya ada di Jakarta? Danish memeriksa lokasi yang dikirimkan Pramudya padanya. Sedang apa gadis itu? Apa dia baik-baik saja?

Sayna: Nish, jangan lupa makan siang sebelum ngopi, ya. Langsung pulang, selesai kerja pulang aja.

Danish: Bisa teleponan ntar malam?

Sayna: Gue ada kelas sampai jam 6 sore, habis itu cari makan, terus nugas. Selesai nugas, ya.

Sayna masuk kelas dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore, sangat timpang dan jauh berbeda dengan yang Danish jalani. Dia hanya ada kelas sampai pukul 2 siang hari ini, rencananya akan pergi ke suatu tempat sebelum ke laundry, Danish butuh refreshing. Pertemuan dengan Sayna di akhir minggu justru membuat Danish lebih tertekan dibanding biasanya. Aneh sekali harus terus memaklumi kedekatan gadis itu dengan kakak tingkatnya sementara mereka jelas-jelas tahu kalau pemuda itu jatuh hati pada Sayna.

Namun Sayna selalu memegang kendali—seperti biasa, meyakinkan Danish bahwa mereka harus saling percaya. Sayna tidak akan mengkhianatinya, Sayna akan menjaga hati untuknya, Sayna hanya miliknya, dan Danish percaya. Meski dia tetap tidak suka.

“Dia itu kating yang posisinya penting! Lo seneng kalau gue kena rumor nggak bener karena nyuekin Kak Gio hanya demi menjaga perasaan pacar gue yang bahkan tinggalnya aja di Jakarta, iya? Dia bantuin gue, Nish, dalam banyak hal, dan jujur aja gue butuh semua bantuannya. Gue di sini sendirian, lo tahu, kan? Dia ngajarin gue sebelum ujian praktek, dia ngasih banyak bantuan, dia bahkan nganterin gue nyari buku karena gue takut pulang sendiri kemalaman.”

“Itu karena dia suka sama lo, Sayna!”

“Terus kenapa?” Sayna murka padanya. “Kalau ada orang yang suka ke gue dan ngasih gue keuntungan, emang kenapa? Lo bahkan nggak di sini, kalau lo ada, gue nggak butuh dia, Nish. Lo pasti bisa nganterin gue ke mana-mana, kan? Lo juga bisa ngajarin gue ngejahit luka buat ujian. Iya, kan?”

Sayna, bakat bicara dan sarkasmenya. Danish jelas kalah. Itu pertengkaran terakhir karena Giovanni tahun lalu, setelah itu Danish tidak pernah menyinggung lagi kedekatan mereka. Dia menelan rasa cemburunya bulat-bulat. Sayna benar, tentu saja. Andai Danish ada di sana dan bisa menemaninya kapan saja, dia pasti tidak butuh angkutan umum atau Giovanni sebagai bantuan. Dan Sayna benar lagi, Danish tidak bisa mengajarinya kompetensi sebelum ujian praktek. Memangnya Danish siapa, sih? Dia bahkan diharamkan mencium bau disinfektan ala anak kedokteran, mana bisa orang seperti dirinya memberi Sayna bantuan.

Lagi pula, harusnya Danish terbiasa, sejak SMA Sayna banyak yang suka, banyak laki-laki yang ingin dekat dan jadi pacarnya. Risiko punya pacar cantik, tentu saja. Danish harus bisa memakluminya. Tidak apa-apa Sayna dekat dengan si kakak tingkat, asal dia menjaga hati, hubungan dan perasaan hanya untuk Danish seorang, bukan?

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status