Share

Merengkuh Petaka

Menuju akhir blok, akhirnya Sayna dan teman seangkatannya ada di fase ini setelah lebih dari dua bulan bergelut dengan sistem humaniora neurologi. Meski agak berat, karena neuro atau saraf ada pada tiap tubuh manusia termasuk cadaver di lab fakultasnya, dia tetap tabah menjalani itu semua. Satu kali lagi kelas PBL – Program Best Learning dan kelas tutorial untuk kemudian menghadapi Skills Lab Sabtu nanti.

“Say, sini duduknya di sebelah aku!” panggil Fika sambil melambai padanya.

Belajar dengan sistem PBL berarti menghadiri kelas bersama seluruh teman seangkatannya di ruangan yang mirip gedung olahraga dengan kursi di atas undakan bertingkat. Semakin belakang, semakin tinggi letak kursinya dan Sayna suka berada di sana. Dia berjalan menaiki tangga untuk menyusul Fika yang sudah punya spot favorit di kelasnya.

Di depan sana, dosen siap memulai pelajaran, dua infokus di kiri dan kanan juga sudah dinyalakan. Hampir seluruh mahasiswa sudah berdatangan, mereka mengisi kursi-kursi langganan dengan mata belum sepenuhnya terbuka sempurna. Maklum saja, kelas PBL dimulai sejak pukul 6.

“Sayna, aku habis dari poli saraf kemarin.” Fika berbisik padanya.

“Terus?” tanya Sayna datar. “Betulan kamu kena Multiple Sclerosis?”

Fika terkikik sambil menutup mulut dan menggelengkan kepala. “Cuma kekurangan asupan aja, katanya kalori yang aku makan terlalu sedikit.”

Sayna ikut tertawa. Ini hal yang biasa terjadi pada mereka. Setiap berganti blok atau sub tema pelajaran, yang artinya mengganti tiap organ untuk dipelajari, mahasiswa kedokteran seperti mereka acap kali dihinggapi sindroma blok. Salah satu jenis penyakit akibat sugesti karena mengetahui hal-hal baru mengenai suatu organ dan kelainannya.

Misalnya akhir-akhir ini selama memasuki blok neurologi, mereka mempelajari bagaimana saraf terbentuk, tersusun, bekerja dan terluka. Dengan bantuan cadaver di lab praktikum, saraf-saraf manusia yang telah diawetkan sejak lama menyugesti pikiran di kepala. Terutama saat mempelajari saraf pusat di otak, melihat otak manusia sungguhan dan mengotak-atiknya untuk bahan pelajaran membuat anak-anak seperti mereka cenderung berpikir berlebihan. Sakit kepala biasa yang disebabkan kurangnya jam tidur saja bisa diartikan pada hal-hal mengerikan.

Seperti Fika yang menganggap dirinya mengidap multiple sclerosis, Sayna pernah mengalami migrain lalu berpikir bahwa tak akan lama lagi dia bisa saja terkena Bells Palsy jika sakit kepalanya tidak segera diobati. Maka dengan segera dia menuju rumah sakit tak jauh dari fakultas dan dokter di sana hanya menyarankan Sayna untuk tidur dalam jumlah cukup. Dia sangat kekurangan istirahat karena tugas dari kelas tutorial serta kelas umum menjelang ujian kompetensi kemampuan.

Sindroma blok hampir selalu menyerang mereka tiap kali berganti blok pelajaran. Setelah neurologi, mereka akan memasuki blok genital atau obgyn yang berhubungan dengan kandungan, kehamilan, kelahiran, dan kuretase. Sayna sangat tidak sabar, dia begitu menantikan blok ini, ingin benar-benar tahu bagaimana rahim dalam tubuhnya bekerja sampai nanti sanggup mengandung seorang bayi.

“Fika, nanti habis kelas tutorial tungguin aku di kantin, ya. Kita PBL bareng.”

Hari ini jadwalnya setelah kelas PBL adalah masuk ke kelas tutorial bersama teman kelompok yang sudah dibagi dan melakukan diskusi dengan seorang tutor ahli mulai pukul 10 hingga 12 nanti. Lalu meneruskan jadwal dengan PBL hingga pukul 4 sore, baru setelahnya masuk ke kelas kuliah umum. Seorang calon dokter juga perlu belajar pendidikan agama dan kewarganegaraan. Jadwal harian yang padat sekali, yang menyebabkan hari-harinya terasa singkat dan waktunya amat sedikit.

Yang menyebabkan... seseorang di sana tidak pernah mau berkirim pesan basa-basi. Sayna merindukannya, memupuk rindu selama seminggu kadang tidak semudah itu. Sesibuk apa pun dia, Danish masih setia bertengger di kepala. Namun melihat ponsel tanpa mendapat pesan dari pemuda itu atau sekadar ucapan, Sayna harus menelan kenyataan.

Danish bilang, dia tidak ingin mengganggu Sayna belajar. Dia benar-benar jadi pacar yang pengertian, lalu di sana Danish mulai mencari kesibukan hingga sibuk betulan. Sayna bisa menyempatkan waktu untuk mengobrol, tapi Danish tidak. Dia termakan asumsi pribadinya.

Danish: Sayna...

Sayna: Ya, Nish?

Sayna: Nish? Kenapa? Lagi apa?

Sayna memutar ponsel dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya mengetuk meja. Dia menunggu balasan, pesan itu sudah berjam-jam, Danish selalu menghilang tanpa alasan.

“Ya ampun, kenapa gue selalu fast respons padahal dia slow respons pisan?!” Sayna gregetan dengan ponsel dan notifikasinya yang tak kunjung menyala.

“Sayna, udah makan belum? Ayo nyeblak sama kakak!”

Berhubung Danish tidak ada, Sayna kadang-kadang menghabiskan waktu makan siang dengan kakak tingkatnya. Giovani Pramuraja, dua tahun di atasnya. Tidak apa-apa, Danish tidak akan marah, asal dia tidak tahu saja.

****

“Dya, rambut gue aneh ya emangnya?”

Pramudya menatap pemuda di sebelahnya sebelum benar-benar menjawab. Danish mengganti gaya rambut dengan sedikit sentuhan berbeda dan cukup permanen, rasanya sudah lebih dari seminggu dia melihat rambut Danish seperti itu.

“Jangan pegang!” kata Danish sambil menepis pelan tangan gadis itu. “Gue tanya, cukup jawab aja.”

“Cakep,” jawabnya singkat, padat dan jelas. Mungkin meski Danish dilumuri kotoran ayam sebadan-badan, bagi Pramudya dia tetap tampan.

“Cuma butuh waktu, kan? Maksud gue, awal-awal lihat pasti agak aneh, tapi setelah adaptasi, bakal terbiasa.”

Pramudya mengangguk saja, dia tidak tahu Danish sedang bicara apa.

Pada awalnya, kisah mereka dimulai ketika ketiganya—dengan Pradnya, saudari kembar Pramudya, terjebak situasi yang mengharuskan mereka tetap bersama, berinteraksi, saling memberi bantuan. Tapi itu sudah lama sekali, Danish bahkan hampir melupakannya, dan karena interaksi itu mereka bertiga jadi sering main bersama. Tidak melakukan hal aneh, benar-benar bermain seperti yang seharusnya. Ke taman hiburan, main basket, pergi ke arena panjat tebing, hanya hal-hal seperti itu.

Namun Sayna mengendusnya tak lama kemudian, dan sejak itu Danish kehilangan minat untuk main dengan si kembar meski mereka berdalih bahwa sekarang kita bersaudara. Bagi Sayna tidak begitu, dan Danish setuju. Pradnya menyerah lebih dulu, dia hanya melakukan hal-hal sewajarnya, tapi Pramudya berbeda. Dia masih nekat datang ke Jakarta tiap Jumat demi bertemu Danish. Pramudya memang agak kurang normal.

“Makasih.” Gadis itu mengucapkan kata sekadarnya sambil turun dari mobil menuju hotel di depan mereka.

“Dya,” panggil Danish padanya, Pramudya menoleh sekilas. “Kapan lo mau berhenti begini ke gue?”

Dia menggeleng tanpa merasa berdosa atau apa. “Gue nggak ada rencana,” ucapnya.

“Lo bakal dituduh tukang rebut pacar orang kalau gitu.”

“Nggak apa-apa.” Pramudya memang punya mental sekuat baja. “Gue kalau dituduh ngerebut pacar orang ya gue rebut beneran lah, masa udah dapet fitnah tapi nggak dapet orangnya? Kan rugi.”

Entah kenapa Danish ikut menyengir dengan gadis itu setelah mendengar jawabannya. Pramudya bahkan tidak repot melambai atau bersikap manis, dia langsung balik badan dan meninggalkan Danish di mobil sendirian. Sebenarnya hubungan mereka lebih mirip pertemanan biasa, tapi Danish tahu kalau Sayna tidak akan suka, jadi dia memilih untuk terus mengabaikan keberadaan Pramudya.

Beberapa bulan lalu, Danish bahkan tidak bersedia menemuinya, Dya—begitu Danish memanggilnya, datang dari Surabaya setiap hari Jumat, mengirimnya lokasi dan menunggu di sana selama berjam-jam. Danish tidak pernah datang, sampai akhirnya dia sendiri penasaran, benarkah Pramudya sebatu itu? Apa dia kurang kerjaan? Dan kenyataan yang didapatinya memang demikian. Pramudya bisa menunggunya selama 8 jam, duduk di satu tempat tanpa berpindah, lalu pergi setelah mereka bertatap muka beberapa menit saja. Dia bahkan tidak terlihat marah sama sekali.

Hari ini Danish sedang berbaik hati, mood-nya bagus, jadi dia bersedia memberi tumpangan untuk gadis itu sampai ke hotel milik keluarganya sebelum Danish bertolak ke Bandung. Tidak apa-apa, mereka bahkan tidak mengobrol banyak, setelah kenal dekat ternyata Pramudya tidak terlalu suka bicara, dia banyak mendengarkan.

“Lo kenapa sih, Dya? Kenapa lo begini ke gue?” Danish pernah se-frustrasi itu ketika mendapati Pramudya menunggunya dari sore hingga tengah malam di sebuah kafe ternama.

“Kan gue bilang, gue suka sama lo.”

Itu bukan suka, tapi gila, Danish hanya tidak mengatakannya saja. “Kenapa lo suka sama gue?” tanyanya tak habis pikir. Orang suka bisa jadi benci kalau diperlakukan seperti Danish pada Pramudya.

“Karena lo ganteng.”

Jawaban Pramudya tidak pernah berubah, dari dulu hingga sekarang tiap dihadapkan pada pertanyaan yang sama. Dia keras kepala, bebal, membuat Danish sebal. Kadang Danish merasa tidak punya tanggung jawab apa-apa pada Pramudya, tapi juga merasa bersalah karena terus mengabaikannya. Mereka harusnya bisa berteman, andai Sayna tidak melarang Danish melakukannya.

“Gatel banget deh, heran. Mesti gue garuk pake garpu tala apa, ya? Ini cewek kayaknya ketempelan ulet bulu sebadan-badan.”

“Gue sama Dya dan Anya cuma temenan, Say.”

“Oh, cuma temenan? Terus gue sama lo sebelum pacaran statusnya apa? Pembantu sama majikan? Lo tahu apa potensinya temenan antara laki sama perempuan?”

Sayna pernah bilang begitu, jadi Danish tidak bisa berteman dengan Pramudya maupun teman-teman perempuan lainnya. Sayna tidak akan suka.

***

Danish: Sayna, ayo main!

Sayna: Main apa?

Danish: Adu kelamin.

Sayna: Cideug!

Sayna: Ayo! Di mana?

Danish: laugh

Sayna menyayanginya, itu yang selalu dia yakini ketika merelakan pusat tubuhnya dimasuki dan dihancurkan oleh sang kekasih. Tubuhnya lelah, dia baru saja pulang kuliah, tapi membiarkan Danish tidak mendapat apa-apa setelah melakukan perjalanan jauh dari Jakarta ke tempatnya, membuat Sayna merasa bersalah. Jadi, dia merelakan diri begitu saja. Lagi pula, Danish menyayanginya, jadi tidak apa-apa.

“Nish, bangun. Berat nih.” Dia mengeluh karena tubuh polos Danish menempel dan menindih tubuhnya yang tak seberapa besar, Sayna sudah kuwalahan menahan sejak mereka melakukan permainan. Kini sudah usai, Danish harusnya bisa melepas tautan mereka.

Pemuda itu menurut, napasnya masih pendek dan tersengal. Sayna kadang heran kenapa pemuda semanis itu bisa berubah jadi singa liar ketika tengah menggagahinya. Dia tidak seperti Danish yang Sayna kenal. Tidak terkendali, kadang sedikit kasar.

“Gimana rasanya? Lo udah merasa seperti jadi Iron man?” Dia menggoda, mengerling pada seseorang yang berusaha bangkit menindihnya.

“Gue ngerasa bakal jadi ayah dari anak-anak kita kelak.” Danish tersenyum lalu mengecup dahi Sayna lembut sebelum benar-benar berpindah tempat. “Gagal lagi, kan...” keluhnya pelan. Tatapan mereka tertuju pada karet-karet yang berserak di bawah ranjang. Sayna terkekeh kecil, dia tahu kalau Danish tidak akan kuat memakainya selama melakukan permainan. Pelindung jenis itu kabarnya aman, tapi mengurangi kadar kenikmatan, dan mereka berdua tidak menyukainya.

“Gue masih harus minum obat kalau gitu.” Sayna melenguh pelan saat merasakan hangat menjalar di antara kakinya. Danish tidak juga ahli walau sudah lama mereka melakukan itu, sudah berulang kali malah. Setiap minggu jika dia datang ke Bandung.

“Nggak enak, ya? Sakit, ya?” tanyanya perhatian.

Sayna tersenyum lalu menggeleng pelan, dia menarik Danish merapat ke dadanya, menempelkan kulit mereka yang masih lembab akibat kegiatan barusan. Minum pil kontrasepsi rutin layaknya perempuan bersuami sudah bukan masalah besar bagi Sayna, dia sudah biasa.

“Nggak apa-apa, Nish. Kan gue sayang sama lo.” Semuanya demi lo.

“Gue bakal usahain biar bisa shot di luar kayak orang-orang. Pake karet rasa rendang ternyata nggak nendang. Gue harus sering latihan, kan?”

Sayna tertawa. Latihan dalam kamus Danish tentu punya konotasi yang berbeda. “Keluar di dalem juga nggak papa, gue udah biasa.”

“Kasihan pacar gue yang cantik harus terus-terusan minum obat,” bisiknya manja. “Gue sayang banget sama lo, Sayna. Cinta banget malah.”

Keduanya tertawa, terdengar klise memang mendengar ungkapan sayang dan cinta disaat mereka baru selesai melakukan hubungan badan. Kelihatan bagai bualan, tapi entah kenapa Sayna percaya. Dia tahu kalau Danish tidak akan mengecewakannya.

“Lo masih ketemu sama Pramudya?” tanya Sayna tiba-tiba. Membuat Danish tersentak dengan alis sedikit terangkat, dan Sayna langsung paham tanpa menunggu jawabannya. “Masih aja ya, hama banget dia.”

“Uh, Sayna...” Danish mendekapnya erat. “Gue harus gimana jelasinnya dan yakinin lo kalau gue sama Dya nggak ada apa-apa?”

Sayna mengangguk-anggukkan kepala, dia tahu, jelas dia tahu Danish seperti apa. Tidak perlu kata-kata, semua sikap Danish sudah meyakinkannya, tapi tetap ada bagian dari dirinya yang tidak tenang saat tahu kalau seseorang seperti Danish sedang diperjuangkan oleh orang lain juga, bukan hanya dirinya. Pramudya Gayatri sangat cantik, dia anak orang kaya raya, dan bukan tipe ratu drama seperti yang Sayna bayangkan. Gadis itu justru sangat halus, dan Sayna takut kalau perasaan Danish padanya akan tergerus.

Danish melepas tautan tubuh mereka, berbaring menatap langit-langit dengan isi kepala tidak berada di tempat. Dia bingung harus bagaimana, mereka bahkan sudah bertukar nomor ponsel, Sayna memakai nomornya dan Danish sebaliknya, nyaris tidak ada yang Danish sembunyikan dari Sayna.

“Temenan juga nggak boleh, ya?” rengek Sayna manja. “Cewek kayak Dya bukan orang yang bisa lo jadiin temen, Nish. Dia jelas-jelas bilang suka, dan gue nggak suka dengernya.”

Pemuda itu mengangguk. “Gue nggak akan temenan sama Dya.”

“Anya juga,” imbuhnya. “Kembaran Dya, lo nggak boleh temenan sama mereka.”

“Iya.” Danish menyanggupinya, mereka berdua bukan masalah, bahkan teman-teman kuliahnya saja bisa dijauhi, apalagi hanya si kembar Pradnya dan Pramudya.

“Ini rambut kenapa, sih?” tanya Sayna, mengalihkan obrolan mereka. “Cakepan yang biasa, Nish. Nggak usah dikeritingin gini, ngide banget deh.”

Danish terkekeh. Dia ingat beberapa waktu lalu saat ke salon dengan Violeva lalu mengganti model rambut dengan sesuatu yang tidak pernah dia coba. Terasa aneh pada awalnya, tapi lama kelamaan Danish jadi suka, imejnya seolah ikut berubah, dia merasa lebih dewasa.

“Jelek banget ya emangnya? Aneh banget?”

“Nggak sih, gue ngerasa kurang cocok aja kalau lo pakai style begini. Terus... ya, gue kurang suka sebenernya, gue mau Danish yang biasa.”

“Oke, gampang. Ntar gue ke salon lagi kalau gitu. Atau lo mau nenenin gue sekarang?”

“Hah? Kok nenenin?”

Mereka berdua tergelak bahagia. “Nemenin maksudnya, typo gue.”

“Bohong banget! Mana ada typo modelnya begitu.” Sayna berbaring miring untuk memeluk kekasihnya yang punya tubuh tegap, atletis dan sangat menggoda. “Kita harus visioner, Nish, hubungan kita udah sejauh ini, kan? Mikirnya harus jauh kedepan.”

“Wah, gue visioner banget kalau gitu. Gue bahkan udah mikir nanti kuburan kita harus sebelahan, Say.”

Sayna terkikik lalu menyentil hidung mancung pacarnya. “Rahim gue berkedut dengernya.”

Mereka berdua tertawa, lalu diam setelahnya.

“Kok diem? Kenapa, Say?” Danish yang kali ini membuka obrolan.

“Hm, kepikiran aja gimana kalau lo nanti masuk surga.”

Random sekali memang, obrolan mereka. “Mikirnya gitu, kenapa?”

“Gue iri dong sama bidadarinya.”

Danish tertawa, dia menarik Sayna lalu mendekapnya erat. “Sesama bidadari jangan iri. Lagian nih, ya, masa orang kayak gue masuk surga sih, Say?”

“Oh, iya. Lo kan ahli neraka.”

Lagi-lagi tawa mengudara. Tawa yang bahagia, tawa dari orang yang sedang gila karena cinta. Cinta yang memutus logika dan mengancam masa depan—sebenarnya. Namun mereka berdua terus berusaha meredam-redam, di dunia ini banyak pasangan yang melakukannya, bukan? Tidak hanya Danish dan Sayna, orang lain juga sama. Jadi, jangan terlalu dibesar-besarkan, dalihnya.

“Say, pengen latihan lagi, ya?”

“Latihan apa?” Sayna melakukan gerak antisipasi mendengar Danish kembali ke posisi siap siaga.

“Latihan, biar nggak shot di dalem terus. Kalau nggak latihan nggak akan pernah bisa. Kata pepatah, anda bisa karena biasa.”

“Alesan!”

Di antara mereka, nyaris tidak pernah ada penolakan. Sama seperti Danish yang selalu menuruti keinginan Sayna, gadis itu pun melakukan hal yang sama dalam hal lainnya. Meski kadang tidak sesuai ekspektasi, tidak seperti keinginan di hati, tapi demi kenyamanan bersama, mereka melakukannya.

Danish turun di antara perpotongan leher gadisnya, mengagumi tulang selangka yang terukir dan menambah keindahan wujud Sayna. Di matanya, Sayna bukan manusia. Gadis itu lebih menyerupai dewi yang sedang plesiran ke bumi dan sengaja datang untuk menggoda. Keindahan Sayna sulit dijelaskan, dia terberkati kecantikan Aphrodite atas segala pesonanya. Sayna manis, memabukkan, tapi memiliki racun yang melumpuhkan.

Danish mati, risikonya mati dan bertekuk lutut di bawah kuasa dan keindahan Sayna. Namun dia tidak peduli, bahkan orang jenius sekalipun akan tetap hilang akal dan rela menjemput ajal untuk mengambil keindahan beracun dari gadis ini.

Mereka saling memagut, bersentuh kulit dengan kulit, untuk kemudian bersatu dalam gelora yang memabukkan. Danish merasai karena tindakannya sendiri, erangan Sayna di bawah sana membuatnya gila. Jantungnya berdebar menggila, memompa aliran darah yang lebih keras dibanding seharusnya. Sementara Sayna berpasrah atas perlakuan itu, dia bersedia dihancurkan berkali-kali oleh kekasihnya, karena mereka saling mencinta, tentu saja.

“Nish....”

“Sshhh...” Danish mendesis di telinganya, tidak melepas kungkungan atau apa, sementara sebelah tangan terentang jauh, meraih benda berbunyi yang menginterupsi kegiatan menyenangkan itu.

“Halo, Sayna? Lagi apa?”

Suara laki-laki, yang otomatis membuat seluruh pergerakan Danish terhenti.

“Kakak lagi di Palasari nih, nyari Sobotta buat kamu. Bisa ke sini? Atau mau dijemput?”

Sayna jelas bisa mendengarnya, suara Gio bergaung meski pengeras suara panggilan tidak dinyalakan. Dia bernapas tertahan, di atasnya Danish sudah memerah.

“Cuma te..man, Nish.” Gadis itu tersengal begitu mengungkap alibi, sementara tangan Danish yang beringas telah melempar jauh ponselnya ke ujung tempat tidur. “Kak Gio itu—”

“Sshh... udah,” ucapnya pelan. Danish menggeram dan memusatkan seluruh fokus tubuh pada kegiatan mereka sekarang. Dia jelas kesal, tapi memaki Sayna saat tengah menyecap madu dari tubuhnya hanya dilakukan para buaya. Danish bukan, dia memahami gadisnya. Sayna-nya.

Dia tahu Giovanni hanya teman. Teman yang jatuh cinta pada kekasihnya.

“Nish... argh... pelan-pe...lan...”

Danish pasti sudah keterlaluan. Dia adalah pacar yang pengertian, dia tidak akan marah, tapi saat ini butuh sekali pelampiasan.

“Nish... please...

“Tahan... sedi..kit.” Dia mulai tidak keruan, ini semua butuh disalurkan. Danish membungkam gadis manisnya agar tidak menjerit terlalu keras sementara dia menikmati pelepasan. Tidak apa-apa, Sayna harus diberi pelajaran. “Thank you,” ucapnya pelan sambil mengecup bibir ranum gadis itu sekali lagi sebelum melepas penyatuan mereka berdua.

Sayna mengerang, seluruh tubuhnya nyeri, napasnya tersengal, tapi dia bahagia melihat cara Danish menatap dan mengucap terima kasih padanya. Tidak apa-apa. Hubungan mereka butuh sedikit letih, usaha lebih dan pertahanan yang gigih.

“Gue yang temenin beli textbook-nya, habis itu kita jalan ke alun-alun, ya. Lo mau, kan?”

“Mau.” Sayna tersenyum cerah. Merasa bahagia karena Danish memahaminya. Tidak mempermasalahkan hubungan Giovanni dengannya. Tidak seperti yang Sayna lakukan padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status