Pramudya: *shared location*
Danish membuang napas ketika yang didapatinya begitu ponsel berdenting adalah pesan dari Pramudya. Gadis itu membalas pesannya berjam-jam yang lalu sejak Danish dan Sayna memutuskan tidak pergi ke mana-mana. Mereka sepakat untuk kembali ke tempat masing-masing, Danish ke hotel dan Sayna ke kosnya sendiri. Lupakan soal rencana kencan romantis di Lembang, Danish sudah tidak ingin membahasnya.
Sejak mendengar bahwa tragedi bulu mata di dahi Sayna adalah jejak Giovanni menyapukan bibir kurang ajarnya di sana, Danish sudah tidak berselera. Dia juga tidak dalam mood yang baik untuk mendengar Sayna bicara, memberi penjelasan, minta maaf dan minta kesempatan. Perasaan dan pikirannya tidak keruan. Danish mengantarnya pulang ke kosan, sementara dia sendiri tidur di hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengirimkan lokasi pada Pramudya.
Apa sih yang sudah dia lakukan?
Membalas perbuatan Sayna dengan memancing kedatangan Pramudya?
Gadis gila itu jelas paham kode sederhana, dan terbukti dalam empat jam setelah Danish mengirim pesan, Pramudya membalas dengan cara yang sama. Dia sudah menginjak tanah yang sama dengannya—Bandung, Pramudya baru saja mendarat di Bandara Hussein Sastranegara.
Gadis itu ada di Bandung sekarang, berkat Danish tentu saja.
Sayna : Maaf. Tapi gue tahu kalau lo butuh waktu. Cooling down dulu ya, Nish.
“Keterlaluan,” geramnya kasar melihat kembali pesan yang dikirim Sayna sejak mereka berpisah tadi di depan gedung kosnya.
Danish marah besar, dia sangat kesal, cemburu, muak, benci, ingin memukul sesuatu—Giovanni terutama, tapi tidak bisa. Ada sesuatu yang menahannya untuk tidak melakukan itu. Danish tidak bicara sama sekali, tapi suara di kepalanya sibuk memaki. Dia benci terjebak situasi seperti ini, pun terlalu malas jika harus adu mulut dan bertengkar dengan Sayna.
Gadis itu terlalu kuat untuk ditaklukan, Danish tidak bisa melawan. Dia punya jutaan alasan masuk akal yang tidak terbantahkan. Dan untuk kasus ciuman ini, Danish tidak mau mendengarkan. Apa pun alasannya, itu tidak pernah masuk akal. Jangan membiarkan Sayna mencari pembenaran lagi, Danish tidak sanggup kali ini. Dia memilih diam dan pergi.
“Debit bisa? Oh, matursuwun, Mbak. Terima kasih...”
Tidak ada kalimat yang terlontar sejak Danish menemukan gadis berperawakan mungil itu di kedatangan bandara. Mereka saling diam, Pramudya berhenti di depan gerai oleh-oleh Kartika Sari dan membeli bolen panggang kegemaran adiknya. Meski sudah sering keliling dunia, toh Pradnya tetap menyukai kudapan khas Indonesia. Dia menenteng kotak di itu dengan tangan kanan dan sebuah kartu serta struk belanjaan di tangan kirinya.
Kartu yang hampir Dya buang karena saldo di dalamnya hanya bersisa tiga juta, tapi Danish sigap meraih benda pipih itu untuk menyelamatkannya dari tempat sampah.
“Buat bayar parkir,” elaknya tak peduli Pramudya risih sekali pada banyak kartu pembayaran yang saldonya tidak seberapa—menurut dia. Orang kaya tidak kenal pecahan uang, Pramudya mungkin merasa tiga juta dalam kartunya kurang bermanfaat, jadi bantu dia memanfaatkannya. Danish tahu gadis itu tidak akan membuat PIN yang rumit selain 101010 atau 010101. Maka dia mengambil kartu itu dari Pramudya dan menyimpannya di dashboard.
“Mau ke mana?” tanya Dya saat mereka berdua sudah duduk di mobil, membelah kemacetan menuju tol Pasteur yang ramai akhir minggu begini.
“Transtudio, yuk! Deket dari sini, gue lagi pengen main.” Danish menjawab tanpa melirik orang di sebelahnya. “Lagi pengen nonjokin orang.” Dia bergumam pelan.
“Oh, kalau gitu jangan ke Transtudio, ke mal yang lain aja. Trans pasti rame, Nish.”
Pramudya tidak akan bertanya kenapa dan ada apa kepadanya. Dia tipe yang bisa bertindak seolah tidak mendengar apa-apa, tapi dia tahu harus berbuat apa, jadi Danish menurutinya.
Dulu—sekitar satu setengah tahun yang lalu, saat hubungan Danish dan orang di sekitarnya tidak serumit sekarang, mereka sering main sama-sama. Pradnya dan Pramudya sangat suka naik wahana, mereka bisa menghabiskan banyak waktu di Dufan, atau main ke tempat wisata yang menyediakan wahana ekstrem, panjat tebing, paralayang, hingga ke Pulau Seribu dan menikmati olahraga air. Dulu, mereka seakrab itu.
Danish sampai terbiasa disebut kembar tiga dengan Anya dan Dya.
“Paskal aja ya, Nish. Nggak jauh dari sini kok.”
Danish berdecak kecil. “Mana bisa, Dya? Ini udah jalur mau ke pintu tol, Pasteur nggak bisa muter. Kita masuk aja, ntar keluar di Cimahi, terus muter lagi.”
“Oh!” Pramudya membulatkan matanya. “Gue kira ke Paskal masuk tol juga.”
“Paskal deket dari sini, gue salah belok aja.”
Itu karena Pramudya terlambat memberi tahu ke mana tujuan mereka. Tidak apa, Pasteur ke Cimahi terhitung dekat, mereka bisa sampai di Paskal dengan cepat.
Pramudya melirik pemuda di sebelahnya diam-diam, Danish tampak tertekan, dia pasti bertengkar dengan Sayna. Karena kalau tidak, apa alasannya meminta Dya datang ke Bandung tiba-tiba? Jelas ini sebuah pelarian, juga bentuk balas dendam.
“Nish, lo tahu kenapa mal yang mau kita datangi dikasih nama Paskal?” Dya memecah hening, berharap Danish agak terhibur dengan kehadirannya.
“Nggak tahu.” Danish mengangkat bahu. “Memang kenapa?”
“Soalnya Paskal tuh lokasinya di jalan Pasir Kaliki, jadi disingkat deh, Paskal.”
Danish menyengir kecil, hidungnya berkerut. “Sok tahu.”
“Gue tahu.” Pramudya meyakinkannya. “Paskal itu berbagi bangunan sama Yellow Hotel, dua tahun lalu YH gabung ke grup perhotelan nasional yang dikepalai sama Singosari Grup, punyanya Bapak. Jadi gue iseng-iseng nanya, ternyata asal usul nama Paskal 23 itu nggak sekeren yang gue bayangkan. Kayak Mal Lenmarc di Surabaya.”
“Kenapa Lenmarc?” Danish mencoba menghargai lawan bicaranya dengan kembali bertanya.
“Lenmarc itu hadiah ulang tahunnya Mbak Lena sama Mbak Marcia, tapi orang-orang banyak yang nebak Lenmarc itu diambil dari kata Landmark yang ejaannya kurang sempurna. Sama kayak Paskal, bangunan semegah itu ternyata cuma dinamai sebatas singkatan jalan.”
Danish hanya menanggapi obrolan itu dengan senyum dan tawa tidak berselera. Dia fokus membawa kendaraan menuju tempat tujuan mereka setelah berhasil keluar dari tol dan balik kanan menyusuri jalan.
Sesampainya di Paskal, yang dilakukan Pramudya adalah mencari arena bermain dan mereka menemukan tempat itu ada di lantai dua melalui denah. Namun yang terjadi adalah, ketika sampai di sana, Danish hanya melihat ratusan bola dengan mainan anak balita berwarna kuning cerah, rumah-rumahan plastik, ayunan hingga lego-lego besar.
“Ya ampun, berarti bukan yang ini.” Pramudya terkikik sendiri menyadari tujuan mereka keliru. “Gue kira Kidzoona itu sama kayak Timezone, Amazone, Fun Station atau Game Master gitu.”
Danish tidak menanggapinya, dia berjalan cepat ke arah lift yang pintunya terbuka lalu membiarkan Pramudya berlari-lari kecil mengejar di belakang, bahkan tidak repot-repot menahan pintu lift untuk gadis itu. Tetapi Pramudya bukan Pradnya yang akan mengomeli keisengannya, gadis itu diam saja, senang sekali disiksa.
“Di lantai tiga emang ada?” tanya Danish saat keduanya sudah aman bersama.
“Ada Miniapolis.”
Dan mereka pun akhirnya sampai di tujuan, Miniapolis ada satu lantai di atas Kidzoona, tidak jauh sama sekali. Dari luar sudah terlihat wahana permainan anak dengan lampu dan warna ceria, sedikit lebih luas dari Kidzoona karena di dalamnya ada bianglala, tapi Pramudya tidak mendapati apa pun di sana. Tidak ada mainan yang dia incar untuk dimainkan bersama.
“Ini mainan anak TK, Dya.” Danish protes, tepat seperti dugaannya.
“Gue nggak tahu kalau di Paskal nggak ada mainan seru, Nish. Sori.”
“Tadi gue cuma pengen nonjok orang, sekarang pengen nginjek-nginjek juga kayaknya.”
Pramudya hanya menggembungkan pipi sebagai reaksi atas rasa bersalahnya. Dia memang tidak sama dengan Sayna yang cerdas dan terencana. Sayna tidak akan melakukan kesalahan seperti ini, gadis itu tahu, pintar dan pasti mengantisipasi. Ah, Sayna... Danish jadi merindukannya. Kenapa juga harus ada Gio hari ini?
Kenapa Sayna harus dicium Gio dan Danish mengetahuinya?
Andai dia tidak tahu, pasti tidak akan seperti itu.
“Jadi sekarang gimana?” tanya Dya putus asa. Satu lagi yang membuatnya berbeda dengan Sayna, Pramudya tidak pandai mengimprovisasi. “Makan? Belanja?”
“Di sini nggak ada Balenciaga,” ujar Danish ketus. Dia berjalan menuju eskalator dengan kedua tangan masuk ke saku. “Lo mau pake baju murah emangnya?”
Pramudya hanya mengerjap tanpa menjawab. Dia juga tidak seperti Pradnya yang senang mengomel dan banyak bicara.
“Kita ke Ciwalk aja.” Gadis itu memutuskan tiba-tiba, setelah beberapa waktu berkutat dengan ponselnya. “Gue bukan orang Bandung, Nish. Coba lo ajak gue jalan-jalan di Surabaya, gue tahu bakal ajak lo ke mana aja.”
Danish melirik gadis itu sekilas dan berjalan tanpa bicara ke parkiran. Ciwalk cukup jauh ditambah lalu lintas Bandung yang padat akhir minggu, tapi itu terdengar lebih baik dibanding harus berduaan dengan Pramudya di mal besar dan berjalan tanpa tujuan.
****
Sayna merebahkan diri di tempat tidur dan menatap langit-langit kamarnya yang berwarna abu-abu. Dia tahu kalau Danish marah besar dan tengah merasa cemburu, kekasihnya butuh waktu. Pun Sayna tidak punya alasan apalagi pembelaan. Dia jelas salah, Sayna bersalah pada kekasihnya, dia tidak memungkiri itu. Padahal Danish banyak sekali mengalah.Namun dirinya bisa apa? Ciuman Gio mendarat tiba-tiba di dahinya tanpa bisa dicegah. Sayna bahkan tidak punya cukup waktu untuk marah, dia terlalu kaget dan lengah. Dan menjelaskan pada Danish sungguh tidak berguna, dia sedang tidak ingin mendengar apa-apa.Apa yang dilakukannya sekarang? Apa Danish sedang tidur siang? Atau dia langsung pulang ke Jakarta? Apa dia main ke tempat Arvin? Jalan-jalan ke Lembang? Sayna ingin sekali bertanya, tapi dia tahu itu tidak bisa. Jangan sekarang, jangan saat ini.“Nish, maaf...” Sayna bergumam lirih, merasakan hatinya pun ikut perih.Memposisikan diri andai mendengar kek
Semua orang memandanginya, dan itu tidak dalam artian yang baik. Sayna melirik gadis-gadis di sekeliling dengan mata setengah menyipit. Mereka sudah berjuang sejak semester awal, bersama-sama, belajar di kelas yang sama, satu angkatan penuh. Jadi jelas dia hidup dalam ruang lingkup keluarga besar.Masalahnya sekarang mereka mempunyai tugas dari dosen Patologi Klinis yang artinya tengah mempelajari bagian sumber penyakit pada manusia dengan analisis dan identifikasi melalui media cairan. Para mahasiswa itu harus membawa berbagai cairan ke laboratorium untuk diteliti, dan jenisnya beragam sekali. Mulai dari darah, urin, cairan tinja, air mata, ludah, dahak, nanah, cairan sendi, cairan sumsum tulang belakang, cerebrosfinal fluid hingga.... sperma.Ya, cairan sumber kehidupan itu pun tak luput dari bahan penelitian.“Itu nggak dibenarkan.” Rosma berapi-api ketika mendengar Ayuna mengatakan bahwa mereka bisa membeli bahan praktikum tadi ke seorang makelar
Hari Jumat yang entah kenapa Danish tunggu-tunggu, bukan karena kedatangan Pramudya ya, hanya saja Jumat berarti hari terakhir dari seluruh kegiatannya. Danish akan bekerja dengan semangat serta ke kampus lebih awal dibanding hari-hari biasa karena Jumat adalah hari terakhir tiap minggunya untuk menyambut Sabtu yang berharga.Saat ini dia tengah menyetir dengan panggilan video menyala dari seseorang yang begitu dicintainya, Sayna. Gadis itu punya waktu senggang sebelum masuk ke kelas tutorial pukul dua siang, jadi mereka berbincang selama Danish di perjalanan pulang.“Nish, cakep banget pake baju koko habis Jumatan,” goda Sayna sambil mengedip-ngedipkan mata, melihat kekasihnya mengenakan setelan putih berkancing dengan kerah rendah. “Jadi pengen—”“Pengen apa?” potong Danish segera, tahu Sayna akan mengatakan yang bukan-bukan, mengganggu konsentrasinya berkendara.“Pengen ketemu lah, pengen peluk, pengen ci
“Nish, tahan....” Sayna mendengar suara erangan tertahan dari kekasihnya yang dalam hitungan detik akan menjemput bola. Ini sudah kali kedua mereka mencoba, Danish bahkan minum obat penguat agar bisa kembali bermain setelah mendapatkan jatah wajib tiap minggunya. “Nish, angkat!” “Argh!” Danish berhenti bergerak, napasnya tersengal-sengal, kakinya nyeri, nyaris kram. Sayna ingin dia orgasme dua kali dalam kurun waktu beberapa jam. Mungkin bisa, nafsunya masih membara, tapi tubuh Danish lelah. Dia belum istirahat sejak menyetir dari Jakarta ke Bandung, malah langsung bersenang-senang. “Capek?” tanya Sayna pelan. Jemarinya menyusuri punggung dengan kulit yang amat lembut, wangi parfum Danish bercampur keringat membuat Sayna berdebar-debar. Padahal ini bukan kali pertama untuk mereka. “Sebentar.” Danish berbisik pelan di telinga gadisnya. Dia suka kegiatan ini, hal yang dinanti-nanti tiap jadwal kencan mereka seminggu sekali. Tapi Da
Danish melamun saat mengingat kembali percakapannya dengan Sayna tadi malam. Aneh sekali rasanya mendengar gadis itu bicara begitu. Meminta yang tidak-tidak, seolah dia akan melakukan sesuatu. Semoga saja tidak, semoga itu hanya perasaannya.“Gue tahu kok, kalau gue egois banget selama ini. Maaf, ya? Mulai sekarang kita main adil, lo juga bisa berlaku sama ke gue, Nish. Maaf karena gue terlalu mencekik lo selama ini.”Berlaku adil itu, bagaimana? Danish tidak punya orang yang membuatnya bergantung seperti Gio pada Sayna. Dan dia memakai istilah mencekik, bukan lagi mengekang atau mengukung. Sayna menyadari bagaimana kerasnya hubungan dan peraturan mereka selama ini. Dia bilang, ajaib sekali Danish bisa bertahan selama itu. Dia pasti tidak tahu sebesar apa Danish menyukainya.Lalu maksud Sayna itu apa?Kalau Sayna mau Danish memperlakukannya sama seperti dia memperlakukan Danish selama ini, sudah pasti hubungan mereka tidak akan bertahan lama.
Minggu berlalu dengan cepat setelah pagi-pagi sekali Danish dan Sayna harus pulang dari Lembang. Sementara kekasihnya meneruskan perjalanan hingga ke Jakarta, Sayna berada di kamar kosnya. Sejak sampai hingga malam hari dia tidur nyenyak sekali. Sudah jelas kecapaian, karena kegiatan yang dihabiskan dengan Danish bukan main. Sayna kelelahan.Kendati yang, em.... lebih banyak bergerak adalah pemuda itu, tetap saja sebagai objek yang dituju Sayna pun merasa capek, lemas dan letih. Berat badan Danish sepertinya naik akhir-akhir ini, dia makin berat saja saat bertumpu di atasnya.Ibunda: Teh, jangan lupa sarapan, ya. Ibu doakan apa pun yang Teteh jalani hari ini lancar.Sayna melihat ke luar jendela kamarnya, masih gelap, dia yakin ibunda pasti baru selesai beribadah dan langsung menghubunginya di awal minggu ini. Tidak ada drama bangun kesiangan Senin pagi karena minggunya Sayna tidur nyenyak sekali. Dia menggeliat bangun, memotret dirinya sendiri lalu mengirim fot
“Gue pengen pergi,” gumam pemuda itu pelan dengan kelopak mata yang terbuka perlahan. “Gue nggak suka dia ada di sini.”Danish melirik ke samping, Pramudya duduk seperti patung hidup di sebelahnya, tidak memberi reaksi apa-apa.“Tiap dia ada, gue nggak mau pulang.” Danish menambahkan, kendati Pramudya mungkin tidak mengerti apa maksudnya. “Tapi Mama suka banget sama orang itu, Dya.”Dan perasaan ibunya tidak bisa dicampuri, Danish tahu dengan pasti.“Dya...”“Ayo pergi!”“Gue nggak betah kalau dia ada di rumah.”“Jangan pulang.”Entah kenapa, meski itu terdengar tidak baik, Danish tersenyum dibuatnya. Dya memberikan hal-hal yang ingin Danish dengar. Sejujurnya, Danish tahu dia harus bagaimana, bersikap seperti apa, menerima keadaan dan membiarkan ibunya bahagia. Tapi nanti. Saat ini, dia hanya ingin dibenarkan oleh seseorang, dibela,
Hujan deras mengguyur siang menuju sore hari itu. Danish yang awalnya hanya berencana mengajak Pramudya membeli pakan Bolu terpaksa harus meneduh lebih dulu. Mereka pergi ke laundry Melia terdekat dari komplek perumahan, ada Hamam dan para pekerja di sana, mereka tidak berduaan selama menanti hujan. Danish memeriksa ponsel, tidak ada pesan dari Sayna seharian—selain tadi pagi untuk menyemangatinya.Dia rindu. Kenapa tetes hujan selalu membuat suasana menjadi sendu? Padahal baru kemarin mereka bertemu.“Bahasa Jawanya apa tuh? Kan kalau Sunda Neng, Dya maunya dipanggil apa?”Danish melirik Hamam yang suaranya sayup-sayup ditelan angin dan hujan di luar sana, deras sekali. Dia jadi membayangkan yang tidak-tidak, apa yang dilakukan ibunya bersama seorang pria di rumah? Danish jelas tahu kalau Melia rindu belaian dan sentuhan. Dia mengerti itu, usianya 20 tahun sekarang.“Dya aja.” Suara Pramudya baru terdengar kendati H