Share

1 - Grow Up!

Hello, Sayna bab 1

Danish memutar kemudinya dari kampus yang berlokasi di Joseph Wibowo Center menuju ke area Setiabudi karena seorang mahasiswa dengan pengeluaran sangat besar tidak diperkenankan istirahat sebelum menguras tenaganya sampai habis. Ya, dia harus bekerja sepulang mengenyam pendidikan di universitas tiap sore hari. Bukan pekerjaan kecil seperti mengantar cucian dengan sepeda motor lagi, sejak Danish tamat SMA dia mengurus salah satu cabang laundry milik ibunya yang biasa mereka sebut sebagai workshop.

Di tempat itu, Danish menduduki posisi sebagai branch manager atau kepala pimpinan workshop yang tugasnya menangangi sekaligus mengawasi operasional perusahaan. Awalnya dia pikir itu tidak akan sulit, hanya mengatasi beberapa masalah seperti mesin atau setrika rusak, kurir yang tidak masuk kerja atau terjebak macet, juga tetek bengek kecil lainnya, dan ternyata itu cuma ada dalam mimpi saja. Danish tidak pernah tahu jika memegang sebuah cabang akan membuatnya pusing bukan kepalang.

Memeriksa laporan keuangan, meneliti berapa persen keuntungan, hingga mengecek pasar serta terus mengawasi kepuasan pelanggan terus membuatnya berdebar-debar. Menjalankan bisnis tidak semudah kelihatannya. Dia ingin kembali ke SMA dan mengantar cucian saja, lalu digaji oleh Melia. Itu mudah dan menyenangkan ternyata.

“Bos!” panggil Hamam begitu Danish turun dari mobilnya.

Hamam adalah teman SMA-nya, Hamam kuliah kelas karyawan tiap sore hingga malam, siangnya dia bekerja di laundry yang Danish jalankan.

“Dari mana lo?” tanya Danish berbasa-basi. Hamam adalah si multifungsi, dia bisa berperan sebagai apa saja di cabang ini, tapi tugas utamanya concern di bagian distribusi.

“Abis dari apotek beli obat tidur,” jawab pemuda itu, dia mendorong pintu kaca dan pendingin ruangan di lobi laundry langsung menyambut keduanya. “Gue jalan pelan-pelan banget, Nish. Takut obatnya bangun.”

Danish tertawa, bertemu Hamam selalu berujung baik pada akhirnya. “Udah makan lo? Makan yuk! Laper gue.”

Hamam mengangguk. “Makan dulu baru cek kerjaan, ya. Gue mendapat angin kurang baik hari ini.”

“Ada apa lagi?” tanya Danish penasaran. “Ada yang minggat? Pindah cabang cuci? Minta kompensasi? Konter nakal? Atau jeles-jelesan lagi?”

Hamam mengangkat bahu, sepertinya begitu. Danish mengembuskan napas pelan, ini melelahkan. Sebab bisnis ini mengusung tema waralaba, maka daftar laundry berlabel Melia dan mitranya telah memiliki 83 outlet yang aktif beroperasi di seluruh Indonesia. Outlet tersebut terdiri dari cabang dan franchise yang berkonsep workshop, dan mengepalai sebuah workshop berarti membawahi lebih dari 25 agen atau konter laundry. Konter dan agen ini yang nantinya beroperasi langsung untuk menjangkau target market mereka sendiri di wilayah masing-masing.

Dengan sistem tersebut, agen dan konter membentuk sebuah jaringan yang saling terintergerasi satu sama lainnya. Namun beberapa hal tetap berjalan di luar rencana, 25 agen dan konter tidak selalu akur satu sama lain. Juga tidak mudah meminta mereka terus-terusan mempertahankan standar tertinggi saat pelanggan sepi. Beberapa agen nakal mulai mengurangi penggunaan detergen andalan laundry atau mengoplos pewangi dengan alkohol berlebih. Ini jelas masalah yang merugikan citra besar perusahaan.

“Mam, coba tenant baru yang mau kerja bareng kita itu apa namanya? Salon biasa, bukan? Kayak butik pengantinnya Kak Violeva?”

Hamam mengangguk. “Tapi ini mostly kebaya gitu, Bu Vio kan gaun, ya.”

“Oh, oke.” Danish memutuskan untuk setuju pada penawaran kerja itu. Menjalin hubungan bisnis dengan instansi swasta atau tenant seperti salon, minimarket dan hotel, lumayan menguntungkan. Itu bisa menaikkan reputasi dan pemasukan pribadinya. “Yuk, makan pecel lele aja. Bokek gue.”

Hamam tertawa, mereka kembali keluar dari bangunan itu menuju pedagang kaki lima yang mulai berjejer memenuhi trotoar. Hari menjelang sore memang membuat para pedagang baru membuka gerainya, dan Danish lapar, jadi dia tidak sabar. Untung saja Hamam tidak berubah, dia masih teman yang dulu Danish kenal, yang tidak apa-apa meski diajak makan di tempat murah seperti sekarang.

Pengeluaran harian Danish cukup besar. Mengendarai SUV dengan kapasitas mesin hampir 3000 cc membutuhkan dana luar biasa untuk membeli bahan bakarnya. Belum lagi biaya tol, parkir, serta perawatan rutin. Di samping itu dia juga butuh mengisi perut selama tidak di rumah, belanja kebutuhan pribadi, dan nongkrong serta makan di tempat mewah. Tidak ada teman Danish yang bersedia makan pecel lele selain Hamam, jelas kalau 30 juta yang dijadikan anggaran bulanannya tidak berlebih meski masih bisa mencakup seluruh pengeluaran. Danish rindu jadi bocah SMA yang tidak tahu apa-apa.

“Nish, gue boleh pesen ati ampela, nggak?”

Danish mengangguk santai. “Pesen, pesen aja semua, makan sampai kenyang.”

Hamam mengacungkan ibu jari dengan bangga. Sebanyak apa makan di kaki lima? Danish dan Hamam tidak akan merogoh saku hingga satu juta. Beda cerita kalau yang diajak makan adalah Arvin Wijaya Pradipta. Temannya yang satu itu, sejak kuliah jadi—oke, dia panjang umur karena tiba-tiba saja ponsel Danish berdering dan menampilkan nama Arvin sebagai pemanggilnya.

“Apaan?” tanya Danish tanpa basa-basi atau apa.

“Nyokap gue.” Suara Arvin terdengar di seberang sana. “Lo tahu, kan? Dia pengen gabung sama Paguyuban Tante Melia.”

“Geng nyokap gue?” Danish menunjuk dada walau Arvin tidak akan melihatnya. “Itu Paguyuban janda-janda Kemang Raya, nyokap lo mau jadi janda apa gimana?”

“Amit-amit, Danish! Lo itu berdosa banget! Jangan solimi!”

“Solehudin, Vin!”

Arvin terkikik, serempak dengan Hamam yang ada di depannya. “Lah, ada siapa tuh? Si kunyuk?”

“Yoi!” Hamam dengan pengertian menyambutnya. “Gue lagi makan pecel lele sama Danish.”

“Anjim!” Arvin memekik. “Gue jadi keingetan, Mam, kapan hari gue dibangunin pas sore-sore terus banyak makanan di atas meja. Gue kira cewe gue tuh yang masak, taunya gue ketiduran di warteg.”

“Hahaha. Tai!” Hamam dan Danish tertawa.

“Apa kabar lo? Ngumpul, kuy!”

Danish memberi isyarat pada Hamam untuk tidak menuruti permintaan Arvin. “Gue oke, Vin, Alhamdulillah sehat jasmani dan rohayati. Tapi gue sibuk, nggak bisa kumpul dulu, banyak kerjaan dari Bos Danish.”

“Wuidih, gaya! Eh, iya nih, Nish... balik lagi ke obrolan kita tadi. Nyokap gue gimana? Pengen gabung Paguyuban katanya, tapi nggak mau jadi janda.”

“Ya, nggak bisa.” Danish menjawab dengan tenang. “Jadi janda dulu kalau mau ikutan sama geng-nya Melia Adiswara.”

“Sumpah, ini syaratnya berat banget! Tapi nanti gue coba bilangin nyokap deh, dia pilih masuk Paguyuban apa bertahan sama bokap gue. Udah, ya, ntar ngopi bareng, Nish.”

“Sinting,” umpat Danish pelan begitu sambungan dimatikan. Bagaimana bisa Arvin seenteng itu memikirkan ibunya harus jadi janda demi bergabung dengan geng Melia? Dia tidak tahu saja bagaimana para wanita yang tergabung di sana sangat ingin kembali membangun keluarga, termasuk ibunya.

Ya, Danish tahu kalau Melia dekat dengan seorang pria. Dia hanya belum bisa menerima saja. Harusnya ibu Arvin tidak usah tergoda masuk Paguyuban itu, atau para wanita di sana mendadak jadi pelakor semua, karena seingat Danish ayahnya Arvin selain gagah juga baik hati. Tipe-tipe yang seru diperjuangkan.

Pramudya : *Share location*

Sebelum menutup kembali ponselnya, Danish menyempatkan diri untuk melihat pesan yang tertera sejak pagi. Gadis itu lagi, gadis gila yang tidak ada habisnya menempeli Danish seperti lintah. Tidak juga sih, sebenarnya. Pramudya tidak selengket lintah, hanya... dia seolah tidak pernah menyerah, bagaimanapun Danish berusaha untuk menghalaunya.

“Hari Jumat, ya.” Dia bergumam pelan.

Mungkin karena siklusnya berulang, Danish sampai hafal kapan Pramudya akan terbang dari Surabaya ke Jakarta hanya demi menemuinya. Tiap Jumat, gadis itu mengirimkan lokasi tempatnya berada dan menunggu Danish di sana. Well, tentu saja Danish tidak peduli dan tidak pernah datang—pada awalnya.

“Ke Bandung kapan lo?” tanya Hamam peka. Jumat adalah surga baginya, karena Sabtu waktunya bertemu dengan Sayna, biasanya Danish merasa sangat bahagia.

“Nggak tahu ntar malam apa besok aja. Katanya Sayna ada ujian Skills Lab Sabtu pagi, paling bisa main bareng gue sorenya deh.”

“Nggak kebayang gimana otak gue kalau jadi Sayna ya, Nish. Sabtu aja bisa-bisanya dia ada ujian.”

Danish mengiakan, tentu saja. Untuk orang-orang seperti mereka, di mana kuliah hanya formalitas atau kalau tidak kuliah akan dianggap jadi manusia gagal, tentu sangat paham perasaan Hamam. Itu sebabnya dia sangat menghargai Sayna dan waktu yang mereka habiskan bersama. Di hari-hari biasa, Danish terbiasa menjauh dan hanya mengabarinya sesekali, seperti malam sebelum tidur atau pagi sebelum ke kampus. Kuliah Sayna sangat penting, dia bekerja keras untuk itu, Danish tidak boleh jadi pengganggunya.

Mereka berbeda, Sayna kuliah untuk jadi orang bergelar profesional yang kelak akan membantu banyak orang, sementara Danish? Entahlah, dia sendiri bingung apa tujuan pastinya kuliah di Bisnis Manajemen. Hal seperti itu bahkan bisa dipelajari tanpa harus kuliah, karena pada prakteknya dunia bisnis sangat beragam juga berbeda. Kadang menurut Danish, beberapa teori yang dipelajarinya di kelas agak kurang berguna. Bisnis tidak seperti ilmu kedokteran yang punya kunci tetap dan konstan, itu terus berkembang sesuai zaman, bahkan dari segi pembukuan.

“Lo nggak pacaran, Mam? Duit udah banyak padahal, apa lagi alesannya?” Danish mengalihkan obrolan saat piring-piring nasi uduk dan lele, ayam serta ati ampela goreng terhidang di hadapan mereka.

“Ntar dulu lah, personal branding gue masih perlu dikembangkan.”

“Bahasa lo tai amat.”

Hamam tergelak kencang. Lalu mereka makan dalam hening, Hamam sibuk menghalau pedas dari sambal tomat yang ada di piringnya, sementara pikiran Danish melayang-layang. Hidup terasa berat akhir-akhir ini, banyak beban yang menggelanyutinya, dan biasanya akhir minggu adalah hal yang paling dia tunggu. Itu adalah waktu untuk Danish dan Sayna bertemu. Mereka bisa main seharian—bahkan semalaman suntuk, sama-sama mengisi energi dan melepas rindu.

Namun di hari-hari biasa, Danish tahu diri, dia jarang menghubungi gadis itu, dia tidak ingin mengganggu atau menunggu. Normal bukan, saat mengirim pesan Danish mengharap balasan? Dia tidak ingin seharian menantikan hal itu, Sayna sibuk, dia itu calon dokter beda dengan dirinya. Jadi, jangan ganggu dia. Selamatkan masa depan dan impiannya. Bertemu dua hari dalam seminggu jauh lebih berharga dibanding obrolan chat basa-basi biasa, bukan?

Sayna: Baru kelar kelas tutorial di Jumat yang indah ini. Laporan.

Sayna: Anyway, lo tahu nggak apa yang lebih kecil dari semut?

Danish menyengir lebar ketika mendapat pesan yang datang tiba-tiba sore itu.

Danish: Apa?

Sayna: Kesempatan lo buat masuk surga. Hahaha.

Danish: Nggak lucu.

Danish: Lo tau nggak apa yang kurang di dunia ini?

Sayna: Apa?

Danish: Akhlak lo, Sayna.

Sayna: Kamu solimi! Sini gue minta foto dulu, pacar gue yang ganteng pake baju apa hari ini?

Danish tiba-tiba menyalakan kamera dan memeriksa penampilannya. Rambut lepek, wajah agak berminyak, pakaian yang lusuh, tapi Sayna mencintainya, pasti dia baik-baik saja melihat Danish seperti apa pun juga.

Danish: sent a photo

Danish: Buat apa sih minta-minta foto?

Sayna: Mau ditaro di buku yasin. Hehe.

Danish: Astagfirullah kamu so sweet sekali. Gue baper sampe akhirat!

Sayna: Rambut lo kenapa deh, Nish?

Danish: Jelek, ya?

Sayna: Nggak juga sih, masih belum terbiasa aja gue liatnya. Lo berangkat kapan?

Danish: Sekarang, boleh? Tapi gue nginep di kosan lo, besok baru check in di hotel, gimana?

Sayna: Wtf.

Danish: Gue punya kondom rasa rendang.

Sayna: Hahaha, gila!

Sayna: Gue pengen yang rasa empal gentong dong!

Sayna: Atau yang rasa seblak, kayaknya enak.

Danish: Cewek gue lebih gila ternyata.

Danish tersenyum senang. Seolah beban seluruh dunia ini lepas dari bahunya. Rindunya selama seminggu mencair sudah. Mereka tidak punya banyak waktu untuk mengobrol banyak via pesan, Sayna sibuk, Danish berusaha menyibukkan dirinya. Kuliah, bekerja, mengajar di kelas taekwondo pemula, olahraga, atau apa saja, asal dia sibuk dan tidak terus ingat pada Sayna.

“Mam, gue cabut, udah gue bayar ya.”

Danish meninggalkan Hamam sendiri di tukang pecel lele sore itu tanpa memeriksa pekerjaannya di laundry. Itu bisa nanti, dia ingin merelaksasi diri saat ini. Pulang ke rumah sebentar lalu menuju tol ke Bandung setelah menemui seseorang yang sepertinya sudah menunggu Danish sejak pagi di Senayan City.

“Dya,” panggil Danish acuh tak acuh pada seorang gadis yang sudah menghabiskan bergelas-gelas minuman dan telah menanti kedatangannya selama berjam-jam. “Gue berangkat ke Bandung sekarang.” Dia meneruskan tanpa melihat wajah Pramudya lebih lama apalagi bersedia menunggu jawaban darinya.

Itu tidak perlu. Danish tidak punya kewajiban untuk melakukannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status