"Dia anakku, Din."
Bagai petir di siang bolong. Gelegarnya meruntuhkan senyum yang terukir saat menyambutnya. Ku pandangi mas Angga dengan mata mengembun buram oleh air mata. Sementara bocah berusia tiga tahun dalam gendongan mas Rangga asyik memainkan dasinya, sembari mulut mungilnya mengoceh kecil. Di sampingnya seorang wanita muda seusiaku yang kuraba sebagai mamanya anak itu diam tak bersuara.
"Ke-kenapa mas. Kamu tega melakukan ini. Se-sejak kapan kamu..." Tetes bening itu sempurna luruh mengalir di pipiku. Tak mampu melanjutkan ucapanku. Sesak rasanya dada ini menerima kejutan senja.
"Kenapa? Kamu masih tanya kenapa? Itu karena kamu mandul, Dinda!"
Ibu mertua datang dari arah belakang dan menyambut anak kecil itu dengan raut sumringahnya.
"Ututu... cucu oma ganteng banget. Sini, ikut oma sayang."
"Ayo, Ri. Masuk. Anggap saja rumah sendiri. Hehe, tapi memang ini kan rumah suamimu."
Mereka melewatiku yang terpaku begitu saja. Wanita itu menunduk takut-takut.
"Kalian pasti lelah kan? Ga, ajak Riri ke kamar. Biar dia istirahat dulu. Vano biar sama mama. Nanti turun lagi buat makan malam ya?"
Mas Angga mengangguk nurut, melirikku sejenak. Lalu menggandeng tangan wanita itu dengan sebelah tangan yang lain menyeret koper. Inikah yang kamu namakan kerja di luar kota, Mas? Beberapa langkah mereka menjauh, tapi...
Cukup! Aku tidak tahan lagi. Aku berlari ke kamar dengan dada sesak."Dinda, tunggu!"
Aku abaikan panggilan mas Rangga."Halah! Ngapain perduliin si mandul. Biarin saja. Bisanya cuma nangis aja, giliran punya anak gak becus."
Perkataan mertua yang masih tertangkap gendang telingaku membuat sesak itu makin terasa. Ku banting keras pintu kamar dan menelungkupkan wajah di antara bantal-bantal. Meluapkan segenap perasaan yang kurasakan kini. Sesak, sakit, dan kecewa menjadi satu.
------------
Sejam lebih aku menangis tanpa henti. Wajah sembab dan mata mbendul ternyata tetap saja tak mengurangi sakitnya. Kenyataan bahwa mas Rangga telah menghianati pernikahan kita yang telah berjalan lima tahun itu tentu saja membuatku sakit hati. Apalagi anak itu baru berusia tiga tahun. Kapan? Kapan mas Rangga menikah dengan wanita itu. Kenapa baru aku tahu dia punya anak sebesar itu?
Ku pandangi sekali lagi wajahku di cermin. Buruk, sangat buruk. Ah, seharusnya aku tak selemah ini. Meski ini menyakitkan, boleh kan aku balas perlakuan mereka?
Ku basuh wajahku dengan air yang mengalir. Dinda, sudahi sedihmu. Ayo bangkit. Kembali rebut apa yang harusnya milikmu. Ku sunggingkan senyum miring yang terlihat licik dari pantulan kaca. Hey! Aku tidak jahat, aku hanya kembali bangkit. Dan mulai sekarang, kau cermin... kau adalah saksi kebangkitanku.
Aku merapihkan penampilan. Menghapus sisa-sisa sembab di wajahku dengan make up tipis. Tak lupa menambahkan eyeliner untuk menambah kesan tajam. Tak masalah untuk sedikit berdandan. Hal ini supaya aku tak terlihat lemah di mata wanita perebut itu.
"Selamat malam semuanya," sapaku pada mereka yang dengan bahagianya makan malam bersama berempat, tanpaku. Ku lihat raut kaget mas Angga, juga senyum wanita itu langsung sirna begitu melihatku. Beda lagi dengan ibu mertua yang menatapku sinis.
"Lapar juga ternyata. Aku pikir kau sudah kenyang makan bantal," sindirnya.
Aku tersenyum tipis. Mengambil kursi dan duduk di sebelah mas Angga yang kebetulan kosong. Tapi, tempatku biasa sudah di pakai wanita ini. Sialan.
"Tidak dong, Bu. Aku kan masih manusia, doyan nasi, doyan daging ayam itu tuh. Bukan daging manusia loh, apalagi sampai melahap suami orang."
Ku lirik wanita itu menunduk. "Apa maksudmu? Nyindir?" sergah ibu mertua.Aku terkekeh pelan. Menyendokkan nasi di piring."Dinda gak nyindir, Bu. Hanya saja kalau ada yang peka, ya tidak masalah," ucapku sembari mengulurkan tangan hendak mengambil ayam goreng. Tapi kalah cepat dengan disambar oleh ibu mertua.
"Ini buat cucuku. Makan yang lain sana."
Aku tertawa kecil. Rupanya terlalu lama mengalah membuatnya jadi tuan rumah. Baiklah, tak apa. Untuk sementara biarkan saja dia menikmati euforia sebagai mertua tak pernah salah.
"Namanya Vano, Din," ucap mas Angga tiba-tiba. Aku meliriknya malas. Mungkin dia sudah menerima sinyal tak mengenakkan dariku. Tunggu mas, ini belum seberapa, ada kejutan lain yang lebih dahsyat. Santai saja aku melahap makananku meski hanya dengan sayur tanpa lauk. Ternyata menangis tadi cukup menguras energi.
"Dan ini Riri," tunjuknya pada wanita disampingnya.
"Kami sudah menikah sirri. Riri ini temanku dulu, waktu SMA," lanjutnya lirih. Aku menjebikkan bibir tak peduli, manggut-manggut. Mengulurkan tangan pada wanita bernama Riri itu."Selamat ya, kamu sukses menjadi pelakor," senyumku sinis. Rupanya wanita itu tak seberingas dugaanku, mentalnya tempe. Buktinya saja dia tak berani mengangkat wajahnya.
"Maafkan saya, mbak. Ta-tapi saya tak bermaksud..."
"Minggil! Tangan ante jeyek!""Minggil! Tangan ante jeyek!"Aku sedikit tersentak saat tangan mungil itu mendorong tanganku yang memang melewati dirinya yang sedang di gendong mas Angga. Mata bulatnya menatapku dengan gerak marah."Kamu itu apa-apaan sih, Din. Pake manggil Riri pelakor. Gak ada, mereka sudah menikah. Dan kamu tahu kan, laki-laki bahkan boleh menikah dengan empat wanita. Kamu itu suami baru nikah dua kali saja sudah mureng. Gak punya iman kamu!"Aku mendesah kesal. Melanjutkan makan sembari mendengar ocehan mertuaku. Sudah cukup, Bu. Rasa hormat yang selalu ditanamkan mas Angga padaku lenyap begitu saja melihat tingkahmu tak ubahnya diktator.Awalnya aku menempati rumah besar peninggalan orang tuaku ini hanya berdua dengan mas Angga. Kakak laki-lakiku lebih memilih tinggal di luar negeri bersama istrinya mengurus perusahaan yang disana. Jadi untuk perusahaan disini, aku yang mengurusnya.Mas Angga ini awalnya pegawai di perusahaan. Orang keperc
Bragk!Ku gebrak meja. Membuat mereka tersentak. Bahkan sampai anak kecil itu menangis."A-apa maksudmu, Dinda!" Wajah ibu mertua memerah. Bergegas menyuruh wanita itu untuk menenangkan bocah kecil itu. Aku tersenyum tipis, menggeleng."Ah, tidak. Tadi ada nyamuk tak tahu diri hinggap di meja. Jadi aku memukulnya.""Alasan saja. Kamu itu lama-lama gak punya sopan santun ya?" bentaknya kasar. Aku mengangkat sebelah alisku."Huh! Tapi wajar saja. Ku dengar orang tuamu meninggal sejak kamu masih gadis kan? Pantas saja. Mereka mungkin stress melihat tingkahmu. Sampai mana? Atau jangan-jangan sebelum kamu menikah dengan Angga kamu sudah tidak perawan? Haha, bisa jadi sih. Kamu kan mandul. Jadi bukan masalah meski berzina berkali-kali. Tidak akan hamil juga."Wajahku memerah. Astaga, mertuaku ini mulutnya lemas sekali."Bu, kok ibu bilang kayak gitu sih," protes mas Angga. Emosi juga melihatnya yang dari tadi diam. Sedikitpun tak ad
"A-ku tidak tahu, Din. Bahkan aku tidak ingat apa-apa."Lagi-lagi aku tertawa."Mas, kamu kira ini sinetron? Novel? Aku tidak percaya yang seperti itu mas.""Tapi aku serius. Aku tidak ingat pernah menyentuh Riri. Saat itu, saat aku sedang menginap di hotel, kamu ingat kan? Aku pernah ada urusan di luar kota. Aku bertemu Riri lagi saat itu. Dan...""Sudahlah, Mas. Aku bosan mendengar ceritamu. Sekarang aku tanya, kamu pilih kehilangan anak itu atau aku?"Mas Angga terdiam. Hah, sudah kuduga. Kamu memang menginginkan anak itu mas. Huh! Padahal kamu sendiri yang memintaku untuk bersabar sampai saat itu tiba. Kita sama-sama subur, kamu tahu itu kan? Tapi tak sekalipun kamu mengungkap fakta di depan ibumu."Rupanya kamu bingung mas," aku tersenyum kecut. Mengambil selimut dan berbaring membelakanginya."Maafkan aku, Din.""Kembalilah ke kamar istri mudamu. Anakmu pasti menunggumu," ucapku tanpa menoleh.Tak lama terdengar derap
"Angga! Ibu bilang biar Dinda!"Mas Angga mendesah pelan. Mendongak sekilas lalu tetap memunguti beling itu. Ayolah, drama apalagi ini. Sungguh memuakkan. Selera makanku hilang begitu saja. Ku raih tas kecilku dia kursi dan melenggang keluar."Wanita sialan! Kamu mau kemana?"Aku mengibaskan tanganku tanpa menoleh."Dasar tidak punya sopan santun!"Tak ku hiraukan teriakan ibu mertua. Biarkan saja dia mengomel-ngomel.Ku ambil mobil yang paling bagus di garasi. Mengendarainya ke kantor. Hari ini, aku akan membuat pengumuman penting.****Sampai di kantor, seperti dugaanku, para karyawan lama yang sudah mengenalku terkejut. Buru-buru menunduk hormat. Aku tersenyum tipis, mengangguk memberi balasan sapaan pada mereka. Melanjutkan langkah ke lift menuju lantai paling atas dimana ruang direktur berada.Rupanya disana juga ku dapat euforia kehebohan mereka. Mungkin mereka juga bertanya-tanya, kenapa aku hanya datang sendi
"Din!"Aku hiraukan panggilannya. Melanjutkan langkah menuju lobi lantai utama. Disana sudah berkumpul para karyawan. Langkahku mantap menuju tempatku disana."Selamat pagi, semua," sapaku sembari mengedarkan pandangan pada semua karyawan."Sudah lama tak jumpa ya? Ah, rasanya banyak yang berubah dari perusahaan ini. Mungkin untuk karyawan baru masih bertanya-tanya, siapa saya? Baiklah, saya jelaskan."Aku melirik mas Angga dengan wajah pasrahnya."Saya Dinda Arumi Bahril, direktur Golden Future Company."Tepuk membahana dari ruangan ini. Meski ada beberapa dari mereka ada yang saling berbisik. Wajar saja, selama menikah dengan mas Angga aku tidak pernah menginjakkan kaki disini."Mulai hari ini dan seterusnya saya yang menggantikan posisi pak Angga. Jadi untuk laporan, ataupun yang lainnya, harap diserahkan padaku."Mas Angga menunduk. Mengusap poni rambutnya. Sampai terbukti kau sengaja menikahi wanita itu, aku tak akan s
Meski berusaha menegarkan diri, tetap saja aku wanita yang gampang nangisan. Setelah tersakiti oleh penghianatan mas Angga, di tambah sumpah serampah ibu mertua tadi, rasanya dada ini makin sesak. Bagaimanapun juga aku takut, ada malaikat lewat yang mengamini sumpahnya. Ah, terlalu lama menangis, membuatku haus.Berjalan ke dapur, namun sayangnya harus melewati ruang tengah. Dan sialnya, mataku menangkap mereka yang tengah berkumpul. Ibu mertua bermain dengan cucunya itu, dan lebih menyesakkan, mas Angga tampak bahagia berada di situasi itu. Bismillah Dinda, kamu pasti bisa."D-dinda..."Kuhiraukan panggilan terkejut mas Angga dan melanjutkan tujuanku ke dapur. Sempat aku dengar ibu mertua yang mengompori mas Angga dan menyuruhnya untuk membiarkanku. Ku tenggak banyak-banyak cairan bening itu. Menetralkan sesak yang membakar.Pluk!Aku meringis. Sebuah benda mengenai punggungku dan jatub tergulir di lantai, kelereng. Pantas saja sakit. Saat k
"Tunggu, Din! Aku belum selesai sarapan."Aku menghiraukan teriakan mas Angga. Tetap melanjutkan langkah."Dinda... Dinda! Kamu dengar gak sih!"Tarikan tangan mas Angga membuat langkahku terhenti paksa. Menoleh kesal."Kenapa lagi, sih! Kamu mau bikin aku terlambat?""Kamu gak lihat aku lagi sarapan?"Aku merolingkan mata jenuh."Terus?""Ya tunggu dong. Kita kan berangkat bareng.""Kata siapa? Aku berangkat sendiri.""Tapi, mobil yang satunya gak ada di garasi.""Emang. Aku sewakan orang.""Terus, bagaimana aku ke kantor, Dinda?""Naik taksilah. Jangan kayak orang susah napa.""Dinda! Kamu kenapa sih?!""Aku? Pikir saja sendiri." menghempas kasar tangan Mas Angga. Membiarkannya berteriak-teriak di belakang. Kamu saja tega menduakanku, kenapa aku harus peduli denganmu, Mas?Tubuhku bersandar, memejamkan mata. Ku hela napas dalam-dalam. Sakit. Di satu sisi aku sadar, lima tahun tanpa anak memang
Berada di jarak yang sedekat ini, mengingatkanku dengan kemesraan kami yang telah lalu. Ah, bahkan masih terhitung hari kamu memperlakukanku seolah akulah satu-satunya wanita yang kau cintai. Tapi kini, fakta sudah terkuak. Sakit sekali. Ribuan jarum itu seperti kau tancapkan paksa di tubuhku.Aku masih memalingkan wajah, tak sudi menatap wajahnya dari dekat. Usapan lembut di pipi yang semula membuatku melayang, kini aku justru muak."Din... Aku sudah pernah bilang kan sama kamu? Aku gak tahu apa-apa. Sumpah! Aku bahkan tidak sadar telah melakukannya dengan Riri.""Cukup mas! Kau bilang tidak sengaja? Tapi, kini kamu menikmatinya, 'kan? Oke. Aku tahu kok, aku bukan wanita sempurna yang bisa memberimu anak. Ibumu benar, aku mungkin mandul. Tapi, untuk dikhianati begitu saja, maaf... Aku tidak serendah itu, Mas. Aku masih punya harga diri. Jadi, kalaupun kamu ceraikan aku sekarang, aku tidak masalah. Ayo, talak saja aku.""Tidak! Tidak akan pernah. Aku mencinta