Share

Miskin Gara-gara Nikah Lagi
Miskin Gara-gara Nikah Lagi
Penulis: FitriElmu

Awal Sengketa

"Dia anakku, Din."

Bagai petir di siang bolong. Gelegarnya meruntuhkan senyum yang terukir saat menyambutnya. Ku pandangi mas Angga dengan mata mengembun buram oleh air mata. Sementara bocah berusia tiga tahun dalam gendongan mas Rangga asyik memainkan dasinya, sembari mulut mungilnya mengoceh kecil. Di sampingnya seorang wanita muda seusiaku yang kuraba sebagai mamanya anak itu diam tak bersuara.

"Ke-kenapa mas. Kamu tega melakukan ini. Se-sejak kapan kamu..." Tetes bening itu sempurna luruh mengalir di pipiku. Tak mampu melanjutkan ucapanku. Sesak rasanya dada ini menerima kejutan senja.

"Kenapa? Kamu masih tanya kenapa? Itu karena kamu mandul, Dinda!"

Ibu mertua datang dari arah belakang dan menyambut anak kecil itu dengan raut sumringahnya.

"Ututu... cucu oma ganteng banget. Sini, ikut oma sayang."

"Ayo, Ri. Masuk. Anggap saja rumah sendiri. Hehe, tapi memang ini kan rumah suamimu."

Mereka melewatiku yang terpaku begitu saja. Wanita itu menunduk takut-takut.

"Kalian pasti lelah kan? Ga, ajak Riri ke kamar. Biar dia istirahat dulu. Vano biar sama mama. Nanti turun lagi buat makan malam ya?"

Mas Angga mengangguk nurut, melirikku sejenak. Lalu menggandeng tangan wanita itu dengan sebelah tangan yang lain menyeret koper. Inikah yang kamu namakan kerja di luar kota, Mas? Beberapa langkah mereka menjauh, tapi...

Cukup! Aku tidak tahan lagi. Aku berlari ke kamar dengan dada sesak.

"Dinda, tunggu!"

Aku abaikan panggilan mas Rangga.

"Halah! Ngapain perduliin si mandul. Biarin saja. Bisanya cuma nangis aja, giliran punya anak gak becus."

Perkataan mertua yang masih tertangkap gendang telingaku membuat sesak itu makin terasa. Ku banting keras pintu kamar dan menelungkupkan wajah di antara bantal-bantal. Meluapkan segenap perasaan yang kurasakan kini. Sesak, sakit, dan  kecewa menjadi satu.

------------

Sejam lebih aku menangis tanpa henti. Wajah sembab dan mata mbendul ternyata tetap saja tak mengurangi sakitnya. Kenyataan bahwa mas Rangga telah menghianati pernikahan kita yang telah berjalan lima tahun itu tentu saja membuatku sakit hati. Apalagi anak itu baru berusia tiga tahun. Kapan? Kapan mas Rangga menikah dengan wanita itu. Kenapa baru aku tahu dia punya anak sebesar itu?

Ku pandangi sekali lagi wajahku di cermin. Buruk, sangat buruk. Ah, seharusnya aku tak selemah ini. Meski ini menyakitkan, boleh kan aku balas perlakuan mereka? 

Ku basuh wajahku dengan air yang mengalir. Dinda, sudahi sedihmu. Ayo bangkit. Kembali rebut apa yang harusnya milikmu. Ku sunggingkan senyum miring yang terlihat licik dari pantulan kaca. Hey! Aku tidak jahat, aku hanya kembali bangkit. Dan mulai sekarang, kau cermin... kau adalah saksi kebangkitanku.

Aku merapihkan penampilan. Menghapus sisa-sisa sembab di wajahku dengan make up tipis. Tak lupa menambahkan eyeliner untuk menambah kesan tajam. Tak masalah untuk sedikit berdandan. Hal ini supaya aku tak terlihat lemah di mata wanita perebut itu.

"Selamat malam semuanya," sapaku pada mereka yang dengan bahagianya makan malam bersama berempat, tanpaku. Ku lihat raut kaget mas Angga, juga senyum wanita itu langsung sirna begitu melihatku. Beda lagi dengan ibu mertua yang menatapku sinis.

"Lapar juga ternyata. Aku pikir kau sudah kenyang makan bantal," sindirnya.

Aku tersenyum tipis. Mengambil kursi dan duduk di sebelah mas Angga yang kebetulan kosong. Tapi, tempatku biasa sudah di pakai wanita ini. Sialan.

"Tidak dong, Bu. Aku kan masih manusia, doyan nasi, doyan daging ayam itu tuh.  Bukan daging manusia loh, apalagi sampai melahap suami orang."

Ku lirik wanita itu menunduk. 

"Apa maksudmu? Nyindir?" sergah ibu mertua.

Aku terkekeh pelan. Menyendokkan nasi di piring.

"Dinda gak nyindir, Bu. Hanya saja kalau ada yang peka, ya tidak masalah," ucapku sembari mengulurkan tangan hendak mengambil ayam goreng. Tapi kalah cepat dengan disambar oleh ibu mertua.

"Ini buat cucuku. Makan yang lain sana."

Aku tertawa kecil. Rupanya terlalu lama mengalah membuatnya jadi tuan rumah. Baiklah, tak apa. Untuk sementara biarkan saja dia menikmati euforia sebagai mertua tak pernah salah.

"Namanya Vano, Din," ucap mas Angga tiba-tiba. Aku meliriknya malas. Mungkin dia sudah menerima sinyal tak mengenakkan dariku. Tunggu mas, ini belum seberapa, ada kejutan lain yang lebih dahsyat. Santai saja aku melahap makananku meski hanya dengan sayur tanpa lauk. Ternyata menangis tadi cukup menguras energi.

"Dan ini Riri," tunjuknya pada wanita disampingnya.

"Kami sudah menikah sirri. Riri ini temanku dulu, waktu SMA," lanjutnya lirih. Aku menjebikkan bibir tak peduli, manggut-manggut. Mengulurkan tangan pada wanita bernama Riri itu.

"Selamat ya, kamu sukses menjadi pelakor," senyumku sinis. Rupanya wanita itu tak seberingas dugaanku, mentalnya tempe. Buktinya saja dia tak berani mengangkat wajahnya.

"Maafkan saya, mbak. Ta-tapi saya tak bermaksud..."

"Minggil! Tangan ante jeyek!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status