Share

Penjelasan Tak Berguna

"A-ku tidak tahu, Din. Bahkan aku tidak ingat apa-apa."

Lagi-lagi aku tertawa.

"Mas, kamu kira ini sinetron? Novel? Aku tidak percaya yang seperti itu mas."

"Tapi aku serius. Aku tidak ingat pernah menyentuh Riri. Saat itu, saat aku sedang menginap di hotel, kamu ingat kan? Aku pernah ada urusan di luar kota. Aku bertemu Riri lagi saat itu. Dan..."

"Sudahlah, Mas. Aku bosan mendengar ceritamu. Sekarang aku tanya, kamu pilih kehilangan anak itu atau aku?"

Mas Angga terdiam. Hah, sudah kuduga. Kamu memang menginginkan anak itu mas. Huh! Padahal kamu sendiri yang memintaku untuk bersabar sampai saat itu tiba. Kita sama-sama subur, kamu tahu itu kan? Tapi tak sekalipun kamu mengungkap fakta di depan ibumu. 

"Rupanya kamu bingung mas," aku tersenyum kecut. Mengambil selimut dan berbaring membelakanginya.

"Maafkan aku, Din."

"Kembalilah ke kamar istri mudamu. Anakmu pasti menunggumu," ucapku tanpa menoleh.

Tak lama terdengar derap langkah menjauh. Hingga suara pintu tertutup, aku baru menoleh nanar. Air mataku kembali menetes.

Aih, Dinda... kamu tak boleh lemah. Ku usap kasar air mataku.

--------------

"Ante jeyek! Itu kulsi mama. Jangan dekat-dekat papaku."

Mata kecilnya melotot galak padaku. Dia pikir itu menakutkan, mengancam seseorang yang bahkan lebih tua darinya.

"Sudah sayang. Biarkan mama Dinda duduk ya? Ayo, Vino minum susunya dulu."

Cih! Meski kamu bersikap seolah membela, aku tidak akan luluh, Mas. Aku mencibir, dasar anak kecil. Seenaknya saja dia mengusirku dari tempat dudukku. Tidak, ini rumahku. Tak akan kubiarkan siapapun bertingkah diktator. Termasuk anak itu. Cuek saja mengambil piring kosong.

"Minggir, Ante!"

Prang!

Piring yang ku pegang jatuh karena di dorong anak itu. 

"Kau!" 

Anak itu langsung memeluk mas Angga, mencari perlindungan. Ku hembuskan napas kasar. Astaga, ini anak kecil, sabar Dinda, sabar. Rasanya emosiku di uji. Ah, bisa-bisa tensi darahku naik dadakan kalau begini. 

"Ada apa ini? Astaga!"

Apalagi ini... aku merotasikan bola mataku malas.

"Oma. Huwaa... ante jeyek nakal. Huwaa..."

Ini lagi, anak kenapa nangis. Mas Angga kewalahan mengurusi bocah yang menggeliat-geliat di pangkuannya. Mamanya dari belakang buru-buru datang.

"Kamu apakan Vino, Dinda!" bentak ibu mertua.

"Kamu nakutin Vino? Iya? Pake banting-banting piring? Kamu pikir ini piring gak mahal, hah!"

"Bu, sudah, Bu. Jangan ikut-ikut teriak. Kasihan,Vino takut." Lihatlah, kompak sekali mas Angga dan wanita bernama Riri itu mengurusi Vino yang menangis. Makin muak aku melihatnya.

"Makanya, ibu suruh kamu cerain Dinda malah nolak. Wanita mandul cuma bikin rusuh aja dipertahankan."

O...begitu rupanya.

"Kamu ingin kita cerai, Mas?" tatapku pada mas Angga, tenang. Pria itu tergagap.

"Ah, enggak. Ibu apaan sih. Sudah ku bilang, aku mencintai Dinda, Bu. Sampai kapanpun aku tidak bisa menceraikan dia."

Senyum smirk tersungging di bibirku.

"Dengar sendiri kan, Bu? Anakmu sangat sangat mencintaiku. Mana mungkin dia menceraikan aku," ucapku berlagak jumawa, melipat tangan di depan dada. Ah, suara tangis bocah itu membuat telingaku pekak. Bukan karena aku tak sayang anak kecil. Tapi dipikir sendirilah, anak itu anak maduku, sudah begitu sifatnya menyebalkan lagi.

"Halah! Paling kamu pake pelet kan? Kamu melet Angga sampai dia segitunya cintanya sama kamu. Dasar gila!"

"Tidak apa. Tapi ibu lihat sendiri kan? Begitu kuatnya efek pelet yang dihasilkan," ejekku. 

Huh! Padahal pelet yang ku maksud itu harta. Apalagi. Tentu saja mas Angga tak mau posisinya turun kembali, atau lebih parah takut ku depak dari kantor. Hmm, tidak seperti itu mas, aku ingin bermain-main dulu. Uh, menyedihkan sekali. Hanya gara-gara anak, luntur sudah kisah indah kita, Mas.

"Sudah... sudah... kenapa sih malah ribut terus."

Mas Angga melerai dan berjongkok memberesi pecahan beling.

"Angga, biarkan Dinda yang membersihkan."

"Angga saja, Bu. Ini bukan salah Dinda."

"Angga! Ibu bilang biar Dinda!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status