Share

Gegabah

Bragk!

Ku gebrak meja. Membuat mereka tersentak.  Bahkan sampai anak kecil itu menangis.

"A-apa maksudmu, Dinda!" Wajah ibu mertua memerah. Bergegas menyuruh wanita itu untuk menenangkan bocah kecil itu. Aku tersenyum tipis, menggeleng.

"Ah, tidak. Tadi ada nyamuk tak tahu diri hinggap di meja. Jadi aku memukulnya."

"Alasan saja. Kamu itu lama-lama gak punya sopan santun ya?" bentaknya kasar. Aku mengangkat sebelah alisku.

"Huh! Tapi wajar saja. Ku dengar orang tuamu meninggal sejak kamu masih gadis kan? Pantas saja. Mereka mungkin stress melihat tingkahmu. Sampai mana? Atau jangan-jangan sebelum kamu menikah dengan Angga kamu sudah tidak perawan? Haha, bisa jadi sih. Kamu kan mandul. Jadi bukan masalah meski berzina berkali-kali. Tidak akan hamil juga."

Wajahku memerah. Astaga, mertuaku ini mulutnya lemas sekali. 

"Bu, kok ibu bilang kayak gitu sih," protes mas Angga. Emosi juga melihatnya yang dari tadi diam. Sedikitpun tak adakah niatan untuk membelaku. Atau wanita itu benar-benar sudah merebut sepenuhnya dariku. 

"Kenapa? Ibu benar kan? Coba ibu tanya sekali lagi. Malam pertama apa ada darah di sprei kalian? Gak ada kan?"

Wajahku memerah. Jadi, mas Angga sampai menceritakan hal intim itu pada ibunya. Keterlaluan. Memang benar malam itu tak ada darah keperawananku. Tapi bukan berarti aku sudah tidak perawan. Masa gadisku, aku ini tomboy, sering mendaki gunung, ikutnya saja olahraga ekstrim seperti bungee jumping. Hanya saja berubah menjadi kalem sejak menikah dengan mas Angga. Dia selalu mengajariku untuk mengalah dan hormat pada orang yang lebih tua. Tapi, ini keterlaluan sekali.

"Nah, benar kan? Memang dasarnya saja wanita nakal. Masih untung anakku menikahimu. Masih untung kamu tak diusir dari sini. Cuma numpang saja belagu."

Aku tersenyum miring. Melirik mas Angga yang menunduk.

"Oh ya?"

"Emm, cuma numpang ya?"

Tatapanku tak teralih dari mas Angga yang kini pucat. Kau sudah membangkitkan sisi lainku, mas Angga. 

"Baiklah. Mulai besok, aku kembali ke kantor, Mas," ucapku sembari melenggang santai dari meja makan panas itu. Tak peduli dengan reaksi mereka.

***

Bukan tanpa alasan aku melakukan ini. Sejauh ini aku sudah bertahan saat ini mertua mulai menyindir-nyindir kelemahanku yang belum bisa hamil. Aku mencoba menghormatinya seperti selama ini mas Angga mengajariku. Kalau saja mereka tahu betapa bar-barnya aku dimasa lalu, hmm... tentu mereka akan takjub dengan perubahanku. Tapi ternyata mereka malah membunyikan genderang perang. Siapa takut? Dinda tak pernah mengenal rasa takut.

Mataku terpejam merasakan sesak dalam dadaku. Sedih, tentu saja. Emosi, apalagi. Teringat bagaimana awal kita menjalin kasih, begitu indah. Tapi sebongkah masalah, mampu mengobrak abrik kenangan indah yang sempat tercipta.

"Hah!" 

Ku hela napas kasar nan berat. Berbaring menatap atap kamar, tersenyum miris pada cicak yang mengejar nyamuk, semangat sekali. Andai setelah mendapatkan nyamuk lalu mereka jatuh cinta, akankah kisahnya lebih tragis dariku?

Cklek!

Suara pintu dibuka. Ku usap kasar air mata yang sempat mengalir. 

"Din..."

Aku tersenyum tipis. Beringsut menarik bobot tubuhku dan bersandar di headboard. Mas Angga duduk di sampingku.

"Kenapa mas kesini? Bukannya istri barumu lebih membutuhkanmu daripada istri mandul sepertiku?" 

"Din, jangan begitu."

Ku hempas tangan yang hampir menyentuh bahuku. 

"Singkirkan tanganmu, Mas."

Hela napas terdengar pelan. Cuih! Aku yang tersakiti, Mas. Bukan kamu. Jangan berlagak terluka.

"Aku tidak bermaksud menikahinya, Din. Serius?"

"Haha. Lucu sekali kamu, Mas. Kalau tidak serius, kenapa bisa sampai nongol tuh bocah? Kamu kira urusan ranjang itu sepele?"

Membayangkan saja, rasanya menjijikkan. Siapa yang kamu bayangkan saat kita bersama, apakah wanita itu?

"A-ku tidak tahu, Din. Bahkan aku tidak ingat apa-apa."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status