"Din!"
Aku hiraukan panggilannya. Melanjutkan langkah menuju lobi lantai utama. Disana sudah berkumpul para karyawan. Langkahku mantap menuju tempatku disana.
"Selamat pagi, semua," sapaku sembari mengedarkan pandangan pada semua karyawan.
"Sudah lama tak jumpa ya? Ah, rasanya banyak yang berubah dari perusahaan ini. Mungkin untuk karyawan baru masih bertanya-tanya, siapa saya? Baiklah, saya jelaskan."
Aku melirik mas Angga dengan wajah pasrahnya."Saya Dinda Arumi Bahril, direktur Golden Future Company."
Tepuk membahana dari ruangan ini. Meski ada beberapa dari mereka ada yang saling berbisik. Wajar saja, selama menikah dengan mas Angga aku tidak pernah menginjakkan kaki disini.
"Mulai hari ini dan seterusnya saya yang menggantikan posisi pak Angga. Jadi untuk laporan, ataupun yang lainnya, harap diserahkan padaku."
Mas Angga menunduk. Mengusap poni rambutnya. Sampai terbukti kau sengaja menikahi wanita itu, aku tak akan segan menarik fasilitasmu, Mas. Kalau mau menikah lagi, modallah dari usahamu sendiri. Kecewa rasanya melihat fakta ini. Mas Angga yang dulu kukagumi berubah menjadi pengecut.
Kulanjutkan beberapa patah kata sebagai penjelasan, juga mengenai posisi mas Angga kini. Aku yakin mereka penasaran dengan alasan dibalik penurunan pangkatmu. Huh! Aku tidak akan membuka aib ini kecuali kau atau wanita itu sendiri.
Ku tinggalkan lobi dan kembali ke ruanganku.
--------------
Setelah kerjaan kantor hari ini, yang cukup menguras tenaga dan pikiran, aku pulang ke rumah. Tentu saja sendirian tanpa mas Angga. Biarkan saja. Aku masih berbaik hati membiarkannya memakai fasilitas yang ada.
Ku langkahkan kaki ke dalam. Tiba-tiba...Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Sontak kepalaku tertoleh seiring kerasnya tamparan itu. Aku meringis pelan. Pipiku panas dan perih.
"Wanita kurang ajar! Tak tahu diri!" Ibu mertua menatapku tajam penuh emosi.
"Apa maksudmu menurunkan jabatan Angga hah! Senang melihat putraku dipermalukan!"
Aku mengernyitkan dahi. Perih di pipiku masih terasa. Hanya saja penasaran mengalahkan rasa sakit itu. Apa yang membuat ibu mertua tahu kejadian di kantor? Atau mas Angga laporan.
Dia mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah video padaku. Aku mengerutkan dahi. Siapa yang merekamnya?
"Kamu sengaja kan? Mempermalukan Angga! Wanita tak tahu diri. Mentang-mentang kaya lalu kamu merendahkan anakku, hah!"
Mendengarnya kenapa aku ingin tertawa? Bukannya pagi tadi dia menghinaku numpang? Sekarang dibilang aku yang merendahkan mereka. Haha lucu.
"Mana mungkin aku merendahkan suami tercintaku, Bu. Haha... ibu ini lucu. Bukannya ibu bilang aku mandul? Tak berguna? Jadi apa salahnya kalau aku kembali ke pekerjaan asliku?"
"Halah! Kamu pamer kan? Mau merendahkan kami kan? Dasar wanita tukang pamer!"Astaga! Apa sih maunya. Lebih baik aku istirahat di kamar saja daripada mendengar ocehan tak bermutu itu. Tapi, lagi-lagi suara bentakan itu menyapa telingaku.
"Mau kemana kamu! Dasar mantu durhaka! Istri durhaka! Ku sumpahi kamu mandul selamanya!"
Mataku terpejam pelan, tapi tetap melanjutkan langkahku. Sakit hati, tentu saja. Siapa yang tidak sakit mendengar makian dan sumpah serampah seperti itu? Sebutir air mata sempat lolos. Tapi langsung ku usap. Tidak! Jangan dengarkan ucapannya. Selama ini aku sudah berusaha menjadi menantu dan istri yang baik, tapi malah dizolimi. Ini waktunya untuk bangkit, bukan untuk balas dendam. Tapi menyadarkan mereka bahwa yang mereka lakukan itu salah. Ya, sudah saatnya kamu bangkit, Dinda.
Meski berusaha menegarkan diri, tetap saja aku wanita yang gampang nangisan. Setelah tersakiti oleh penghianatan mas Angga, di tambah sumpah serampah ibu mertua tadi, rasanya dada ini makin sesak. Bagaimanapun juga aku takut, ada malaikat lewat yang mengamini sumpahnya. Ah, terlalu lama menangis, membuatku haus.Berjalan ke dapur, namun sayangnya harus melewati ruang tengah. Dan sialnya, mataku menangkap mereka yang tengah berkumpul. Ibu mertua bermain dengan cucunya itu, dan lebih menyesakkan, mas Angga tampak bahagia berada di situasi itu. Bismillah Dinda, kamu pasti bisa."D-dinda..."Kuhiraukan panggilan terkejut mas Angga dan melanjutkan tujuanku ke dapur. Sempat aku dengar ibu mertua yang mengompori mas Angga dan menyuruhnya untuk membiarkanku. Ku tenggak banyak-banyak cairan bening itu. Menetralkan sesak yang membakar.Pluk!Aku meringis. Sebuah benda mengenai punggungku dan jatub tergulir di lantai, kelereng. Pantas saja sakit. Saat k
"Tunggu, Din! Aku belum selesai sarapan."Aku menghiraukan teriakan mas Angga. Tetap melanjutkan langkah."Dinda... Dinda! Kamu dengar gak sih!"Tarikan tangan mas Angga membuat langkahku terhenti paksa. Menoleh kesal."Kenapa lagi, sih! Kamu mau bikin aku terlambat?""Kamu gak lihat aku lagi sarapan?"Aku merolingkan mata jenuh."Terus?""Ya tunggu dong. Kita kan berangkat bareng.""Kata siapa? Aku berangkat sendiri.""Tapi, mobil yang satunya gak ada di garasi.""Emang. Aku sewakan orang.""Terus, bagaimana aku ke kantor, Dinda?""Naik taksilah. Jangan kayak orang susah napa.""Dinda! Kamu kenapa sih?!""Aku? Pikir saja sendiri." menghempas kasar tangan Mas Angga. Membiarkannya berteriak-teriak di belakang. Kamu saja tega menduakanku, kenapa aku harus peduli denganmu, Mas?Tubuhku bersandar, memejamkan mata. Ku hela napas dalam-dalam. Sakit. Di satu sisi aku sadar, lima tahun tanpa anak memang
Berada di jarak yang sedekat ini, mengingatkanku dengan kemesraan kami yang telah lalu. Ah, bahkan masih terhitung hari kamu memperlakukanku seolah akulah satu-satunya wanita yang kau cintai. Tapi kini, fakta sudah terkuak. Sakit sekali. Ribuan jarum itu seperti kau tancapkan paksa di tubuhku.Aku masih memalingkan wajah, tak sudi menatap wajahnya dari dekat. Usapan lembut di pipi yang semula membuatku melayang, kini aku justru muak."Din... Aku sudah pernah bilang kan sama kamu? Aku gak tahu apa-apa. Sumpah! Aku bahkan tidak sadar telah melakukannya dengan Riri.""Cukup mas! Kau bilang tidak sengaja? Tapi, kini kamu menikmatinya, 'kan? Oke. Aku tahu kok, aku bukan wanita sempurna yang bisa memberimu anak. Ibumu benar, aku mungkin mandul. Tapi, untuk dikhianati begitu saja, maaf... Aku tidak serendah itu, Mas. Aku masih punya harga diri. Jadi, kalaupun kamu ceraikan aku sekarang, aku tidak masalah. Ayo, talak saja aku.""Tidak! Tidak akan pernah. Aku mencinta
"Oke deh. Kalau urusan hati, gue gak ikut-ikut. Atut."Aku perlu membuktikan beberapa hal. Salah satunya mengenai perasaan mas Angga. Benarkah cintanya sudah meluntur untukku? Atau memang dia terpaksa menikah karena terlanjur menghamili Riri tanpa sengaja. Aku harus mengusutnya terlebih dahulu. Hati boleh sakit, tapi aku tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan. Toh, sekarang mas Angga tidak ada kuasa apapun atas hartaku. Jadi, dia tidak akan semena-mena, untuk saat ini. Dan, ketika nanti dia terbukti sengaja menyakitiku, aku bisa saja mendepaknya pergi. Tinggal lihat saja antara ibu mertua dan Riri. Siapakah dalang dibalik dalang yang sesungguhnya.Mengusir saja tidak cukup, mungkin dengan sedikit bermain-main?******Anak itu memang menyebalkan. Entah bagaimana mamanya mendidiknya. Anak sekecil itu, yang harus nya masih berada di fase polos-polosnya, tapi nyatanya pandai memaki dan melawanku yang notabene jauh diatas umur mamanya, apalagi umurnya.
Ucapan Mas Angga saat sendiri tadi terus terngiang. Dia masih mencintaiku? Tapi, kenapa kamu menghianatiku, Mas? Ah, andai saja waktu bisa diputar, akan aku singkirkan duri yang membuat kita jadi seperti ini. Jujur, aku menyesal telah membawa ibu mertua kesini jika malah membuat baktiku meluntur dan berganti rasa benci untuknya. Keluarga harmonis kita menjadi hancur dalam sekejap karena campur tangan beliau.Sebuah ketukan di pintu membuat lamunanku buyar. Kuusap air mata yang sempat menetes tadi. Tapi bukan untuk bergerak membuka pintu, melainkan untuk tidur."Dinda, ini aku. Tolong bukakan pintu sayang.""Dinda... Din..."Kututup telingaku dengan bantal. Memilih menggapai mimpi daripada membuka pintu dan berakhir perdebatan panjang.*****Hujan gerimis rintik menyapa indera pendengaran saat aku bangun tidur. Dingin. Apalagi tadi malam aku lupa mematikan AC kamar. Jam di nakas menunjuk pukul setengah empat pagi. Kebiasaan bangun pagi it
"Sudah, Bu, Din. Uhuk! Uhuk! Ini salahku. Kepalaku pusing melihat kalian berdebat. Hatchi!"Aku mengangkat tubuhku dari kursi. Mengibaskan rambut elegan. Mending pergi."Kamu mau kemana, Din?""Nanya. Ya kantor, lah," sahutku ketus. Derap heels terdengar membanggakan di telingaku."Tapi ini minggu. Uhuk! Kantor kan libur."Astaga! Kelamaan jadi ibu rumah tangga membuatku lupa. Wajahku memerah malu. Tapi sudah terlanjur kepalang basah. Jadi kulanjut saja langkahku."Aku ada urusan," sahutku menutupi wajah malu. Entah kemana, yang penting pergi. Sudah terlanjur juga.*****Akhirnya aku ke rumah Della. Della malah terbahak setelah mendengar ceritaku."Makanya, fokus sayang. Jangan-jangan emang bener, peletnya mas Angga terlalu kuat. Sampai sampai Lo jadi linglung."Kupukul tangannya yang memegangi perutnya karena tertawa ngakak. Sialan. Sahabatnya sedang kena sial, dia malah asyik menertawakan."Udah yuk. Daripada g
Ibu mertua, pelakor, dan bocah itu, kenapa ada disini?"Oo... Jadi begini kelakuan mu di belakang. Pantas saja sikapmu sekarang kurang ajar. Benar dugaan ku selama ini.""Ibu apa-apaan sih!" aku khawatir mr Arah akan berpikiran macam-macam."Suamimu di rumah terbaring sakit, tapi kamu malah enak-enakan selingkuh disini. Istri macam apa kamu, hah!""Bu, aku disini juga dalam rangka kerja. Mr Arav ini...""Halah! Sudah berapa lelaki yang menjamah tubuhmu! Pantas saja kamu mandul. Itu pasti karma akibat sering berzina."Tanganku mengepal, rahangku menyerah, merah, marah. Ku toleh pada pria Turki yang tetap memasang wajah datarnya itu."Maaf, mister. Sepertinya ada kesalahpahaman. Saya permisi dulu.""Never mind. Anda bisa selesaikan dulu."Aku tersenyum tipis. Memberi kode pada Della untuk menemani Mr Arav. Semoga Della bisa menyelesaikannya seperti tempo lalu."Bu, mari bicara di luar," ucapku seraya menggendong paksa Vano. Mengabaikan meski anak itu berteriak-teriak memberontak. Tak ad
"Apa? Gak salah?" kekehku. Lucu sekali ibu mertuaku ini."Sory. Mobilku suci dari pantat pelakor. Cari aja taksi sana. Berangkat sendiri, pulang juga sendiri. Byee..."Ku tutup mobil dengan gerakan gemulai. Ternyata bakat centil itu masih ada. Haha."Dinda tunggu, Dinda! Kamu gak bisa ninggalin kami."Brum!Ku lambaikan tangan dari kaca mobil tanpa menoleh."Wanita sialan!"Oke. Bye.****Kepalaku terasa sakit. Menuntaskan emosi ternyata tak selamanya melegakan. Terkadang menimbulkan sesal setelahnya. Tapi, yang aku rasa sekarang adalah sakit. Meyadari nasibku seburuk ini.Gontai kaki berayun memasuki rumah. Sepi. Tentu, para benalu itu kan sedang jalan-jalan. Ku lanjutkan langkah menaiki tangga satu persatu.Cklek! Dan pemandangan di dalam membuat mataku membulat."Apa yang kamu lakukan disini, mas Angga!"Pria itu mengangkat wajah pucatnya. Keadaannya benar-benar mengenaskan. Dia berdiri dan menghampiriku yang mematung di depan pintu. Sejenak dia hanya menatapku dengan tatapan send