Berada di jarak yang sedekat ini, mengingatkanku dengan kemesraan kami yang telah lalu. Ah, bahkan masih terhitung hari kamu memperlakukanku seolah akulah satu-satunya wanita yang kau cintai. Tapi kini, fakta sudah terkuak. Sakit sekali. Ribuan jarum itu seperti kau tancapkan paksa di tubuhku.
Aku masih memalingkan wajah, tak sudi menatap wajahnya dari dekat. Usapan lembut di pipi yang semula membuatku melayang, kini aku justru muak.
"Din... Aku sudah pernah bilang kan sama kamu? Aku gak tahu apa-apa. Sumpah! Aku bahkan tidak sadar telah melakukannya dengan Riri."
"Cukup mas! Kau bilang tidak sengaja? Tapi, kini kamu menikmatinya, 'kan? Oke. Aku tahu kok, aku bukan wanita sempurna yang bisa memberimu anak. Ibumu benar, aku mungkin mandul. Tapi, untuk dikhianati begitu saja, maaf... Aku tidak serendah itu, Mas. Aku masih punya harga diri. Jadi, kalaupun kamu ceraikan aku sekarang, aku tidak masalah. Ayo, talak saja aku.""Tidak! Tidak akan pernah. Aku mencinta"Oke deh. Kalau urusan hati, gue gak ikut-ikut. Atut."Aku perlu membuktikan beberapa hal. Salah satunya mengenai perasaan mas Angga. Benarkah cintanya sudah meluntur untukku? Atau memang dia terpaksa menikah karena terlanjur menghamili Riri tanpa sengaja. Aku harus mengusutnya terlebih dahulu. Hati boleh sakit, tapi aku tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan. Toh, sekarang mas Angga tidak ada kuasa apapun atas hartaku. Jadi, dia tidak akan semena-mena, untuk saat ini. Dan, ketika nanti dia terbukti sengaja menyakitiku, aku bisa saja mendepaknya pergi. Tinggal lihat saja antara ibu mertua dan Riri. Siapakah dalang dibalik dalang yang sesungguhnya.Mengusir saja tidak cukup, mungkin dengan sedikit bermain-main?******Anak itu memang menyebalkan. Entah bagaimana mamanya mendidiknya. Anak sekecil itu, yang harus nya masih berada di fase polos-polosnya, tapi nyatanya pandai memaki dan melawanku yang notabene jauh diatas umur mamanya, apalagi umurnya.
Ucapan Mas Angga saat sendiri tadi terus terngiang. Dia masih mencintaiku? Tapi, kenapa kamu menghianatiku, Mas? Ah, andai saja waktu bisa diputar, akan aku singkirkan duri yang membuat kita jadi seperti ini. Jujur, aku menyesal telah membawa ibu mertua kesini jika malah membuat baktiku meluntur dan berganti rasa benci untuknya. Keluarga harmonis kita menjadi hancur dalam sekejap karena campur tangan beliau.Sebuah ketukan di pintu membuat lamunanku buyar. Kuusap air mata yang sempat menetes tadi. Tapi bukan untuk bergerak membuka pintu, melainkan untuk tidur."Dinda, ini aku. Tolong bukakan pintu sayang.""Dinda... Din..."Kututup telingaku dengan bantal. Memilih menggapai mimpi daripada membuka pintu dan berakhir perdebatan panjang.*****Hujan gerimis rintik menyapa indera pendengaran saat aku bangun tidur. Dingin. Apalagi tadi malam aku lupa mematikan AC kamar. Jam di nakas menunjuk pukul setengah empat pagi. Kebiasaan bangun pagi it
"Sudah, Bu, Din. Uhuk! Uhuk! Ini salahku. Kepalaku pusing melihat kalian berdebat. Hatchi!"Aku mengangkat tubuhku dari kursi. Mengibaskan rambut elegan. Mending pergi."Kamu mau kemana, Din?""Nanya. Ya kantor, lah," sahutku ketus. Derap heels terdengar membanggakan di telingaku."Tapi ini minggu. Uhuk! Kantor kan libur."Astaga! Kelamaan jadi ibu rumah tangga membuatku lupa. Wajahku memerah malu. Tapi sudah terlanjur kepalang basah. Jadi kulanjut saja langkahku."Aku ada urusan," sahutku menutupi wajah malu. Entah kemana, yang penting pergi. Sudah terlanjur juga.*****Akhirnya aku ke rumah Della. Della malah terbahak setelah mendengar ceritaku."Makanya, fokus sayang. Jangan-jangan emang bener, peletnya mas Angga terlalu kuat. Sampai sampai Lo jadi linglung."Kupukul tangannya yang memegangi perutnya karena tertawa ngakak. Sialan. Sahabatnya sedang kena sial, dia malah asyik menertawakan."Udah yuk. Daripada g
Ibu mertua, pelakor, dan bocah itu, kenapa ada disini?"Oo... Jadi begini kelakuan mu di belakang. Pantas saja sikapmu sekarang kurang ajar. Benar dugaan ku selama ini.""Ibu apa-apaan sih!" aku khawatir mr Arah akan berpikiran macam-macam."Suamimu di rumah terbaring sakit, tapi kamu malah enak-enakan selingkuh disini. Istri macam apa kamu, hah!""Bu, aku disini juga dalam rangka kerja. Mr Arav ini...""Halah! Sudah berapa lelaki yang menjamah tubuhmu! Pantas saja kamu mandul. Itu pasti karma akibat sering berzina."Tanganku mengepal, rahangku menyerah, merah, marah. Ku toleh pada pria Turki yang tetap memasang wajah datarnya itu."Maaf, mister. Sepertinya ada kesalahpahaman. Saya permisi dulu.""Never mind. Anda bisa selesaikan dulu."Aku tersenyum tipis. Memberi kode pada Della untuk menemani Mr Arav. Semoga Della bisa menyelesaikannya seperti tempo lalu."Bu, mari bicara di luar," ucapku seraya menggendong paksa Vano. Mengabaikan meski anak itu berteriak-teriak memberontak. Tak ad
"Apa? Gak salah?" kekehku. Lucu sekali ibu mertuaku ini."Sory. Mobilku suci dari pantat pelakor. Cari aja taksi sana. Berangkat sendiri, pulang juga sendiri. Byee..."Ku tutup mobil dengan gerakan gemulai. Ternyata bakat centil itu masih ada. Haha."Dinda tunggu, Dinda! Kamu gak bisa ninggalin kami."Brum!Ku lambaikan tangan dari kaca mobil tanpa menoleh."Wanita sialan!"Oke. Bye.****Kepalaku terasa sakit. Menuntaskan emosi ternyata tak selamanya melegakan. Terkadang menimbulkan sesal setelahnya. Tapi, yang aku rasa sekarang adalah sakit. Meyadari nasibku seburuk ini.Gontai kaki berayun memasuki rumah. Sepi. Tentu, para benalu itu kan sedang jalan-jalan. Ku lanjutkan langkah menaiki tangga satu persatu.Cklek! Dan pemandangan di dalam membuat mataku membulat."Apa yang kamu lakukan disini, mas Angga!"Pria itu mengangkat wajah pucatnya. Keadaannya benar-benar mengenaskan. Dia berdiri dan menghampiriku yang mematung di depan pintu. Sejenak dia hanya menatapku dengan tatapan send
Setelah apa yang dilakukannya, aku tidak langsung bisa menerima mas Angga begitu saja. Rasanya masih terbayang ada orang lain yang sudah disentuh oleh mas Angga. Tapi, demi bagaimanapun juga dia sudah berjanji. Jadi, mau tak mau, aku harus merawatnya lagi seperti dulu. Panasnya sudah turun. Hanya tinggal flu.Dan kini dia minta disuapi makan. Tak apa. Tak ada salahnya membuat pria ini kembali ke pelukanku. Itu akan membuat pelakor dan ibu mertua meraung tak terima. Aku tidak perlu bermain kotor untuk membuat mereka tersiksa secara perlahan."Terimakasih, sayang. Aku janji akan memanfaatkan kesempatan ini untuk membuktikannya."Bibirku tersungging tipis. Meski aku masih mencintainya, tapi sakit itu masih ada. Menjaga diri untuk tidak terlalu larut dalam cinta adalah cara terbaik menjaga diri dari kehancuran. Lelaki itu terus tersenyum dengan mulut mengunyah makanan. Sayangnya kemesraan yang baru berjalan beberapa waktu itu harus terjeda lagi. Apalagi kalau bukan karena ibu mertua yang
"Papa... Papa... Endon...""Papa lagi sibuk. Ikut mama aja sana."Padahal aku lihat mas Angga tidak ngapa-ngapain, cuma memotong kuku. Aku berpura-pura tidak melihatnya. Menatap layar kaca."Papa... Huwaa!"Bocah itu meraung. Sampai volume tivi pun kalah."Astaga... Cucu oma.""Ikut papa... Huwaa...""Ya ampun, Angga. Ini loh, Vino mau ikut kok dicuekin. Gendong dulu, nih.""Angga sibuk, Bu.""Sibuk apa? Motong kukunya kan bisa nanti lagi. Wong anaknya nangis keras sampek guling-guling gini kok dibiarin aja kamu ini."Kulihat mas Angga malah beranjak ke arah tangga. Menapakkan kaki panjangnya ke tiap anak tangga."Angga!"Mas Angga benar-benar tak peduli."Ya ampun anak itu. Lama-lama bikin stress."Aku tersenyum tipis. Jahat ya? Gak papa deh, sesekali."Cup... Cup sayang. Udah. Ikut oma aja ya? Papa lagi capek. Belum sembuh.""Papa... Huwaa... Papa nakal!""Udah... Cup... Cup. Vino nonton kartun aja ya? Mau? Nonton Upin Ipin?"Entah apa reaksi anak itu, netraku tak teralih dari layar
"Apa pernah aku mengatakan menyesal menikah denganmu, hmm?"Aku memalingkan wajah. Berjalan ke arah meja rias. Mendudukkan pantat di kursi. Lantas memakai krim wajah."Aku tidak membahas pernikahan kita. Tapi, apa kamu menyesali keputusanmu menyetujui persyaratanku?" ucapku, melihat pria itu dari pantulan kaca rias. Dia tersenyum. Lagi-lagi memeluk leher ku dari belakang, meletakkan kepalanya di pundakku."Apa kamu pernah mengobrol dengan Riri?""Untuk apa?" balasku tak suka."Akan lebih baik kalau kamu mengkaji inti permasalahan kita, sayang.""Tidak... Jangan salah paham dulu." aku mendengkus. Hampir menyemprotnya dengan ucapan kasar, tapi dia menyadarinya lebih dulu. Buru-buru menyahutnya."Aku hanya tidak ingin kamu menyimpan dendam, Din. Bagaimana pun juga, Riri itu korban. Kita sama-sama tidak menginginkan situasi itu. Coba bayangkan, terjebak dalam situasi terduga, tentu menyakitkan. Rasanya tidak etis jika kita membuatnya tersiksa.""Aku tidak peduli."Beranjak bangkit, hingga