Share

Menjadi Istri Kedua Mantan Mertua
Menjadi Istri Kedua Mantan Mertua
Penulis: Rias Ardani

Menutupi Kenyataan

Menjadi Istri Kedua Mantan Mertua

part1

Plakkk ....

Satu tamparan mendarat di wajahku. Tatapan penuh kemurkaan Ibu mertuaku layangkan kepada diri ini.

"Rupanya kamu mandul, pantas saja sudah 1 tahun kalian menikah, tidak kunjung hamil juga," teriak Ibu Delima, Ibu mertuaku.

"I--ya, Bu, maafkan, Saya!" jawabku terbata- bata, sembari menahan sakitnya tamparan Ibu Delima ke wajahku.

Baru 2 bulan Ibu kembali ke Indonesia bersama Ayah mertua, Ibu sudah menciptakan suasana menyakitkan di rumah besar dan mewah ini.

Tidak ada sedikitpun terlihat belas kasihannya kepadaku sebagai sesama wanita. Dimatanya, rupanya aku ini hanyalah wanita tidak berguna, setelah tahu aku mandul.

Beginilah kesalahanku, menikah tanpa tahu bagaimana karakter mertuaku. Sebab, ketika aku dan Mas Andre menikah, Ibu dan suaminya berada di Luar Negeri, dan kami menempati rumah mereka selama setahun ini.

Kini Ibu kembali dan mempertanyakan, mengapa aku dan suami belum juga punya anak. Sehingga, kami memutuskan untuk memeriksakan kesehatan kami berdua hari ini.

"Andre! Ibu nggak sudi pnya menantu tidak berguna seperti dia!" tunjuk Ibu Delima. "Silahkan kamu pilih, menikah lagi atau ceraikan wanita ini. Bagaimana mungkin, kamu bisa terus dengannya tanpa seorang keturunan, itu sangat tidak masuk akal," lanjut Ibu Delima tanpa perasaan.

"Bu, tolong jangan begini, mana mungkin Andre menceraikan Eleanor. Biar bagaimana pun juga, Elea adalah istri pilihan Andre. Kurang lebihnya dia, itu resiko Andre sebagai suami."

"Jangan membantah kamu! Atau Ibu akan coret kamu dari daftar warisan! Mikir Andre, memang kamu mau tidak memiliki keturunan?" Mata Ibu Delima melotot kepada suamiku.

"Kamu keberatan Elea?" tanya Ibu kepadaku lagi, membuat aku terkejut.

Aku hanya menunduk, aku tidak mampu untuk menjawab, aku tidak kuasa untuk mengatakan iya.

"Jawab! Perempuan mandul jangan banyak gaya, kamu nggak kuat di madu? Ya cerai saja! Saya sangat tidak menyukai orang yang tidak bisa sadar diri." Kata-katanya sangat menusuk jiwa raga, hatiku seakan hancur berkeping-keping mendengar hinaan dan caciannya.

Namun aku tetap bungkam, entah jawaban apa yang seharusnya aku berikan kepada wanita yang bergelar Ibu Mertua itu.

Andai saja dia tahu yang sesungguhnya, apakah dia masih mampu berkata sekasar ini.

Perlahan kutatap wajah suamiku yang masih terdiam, ketika mendengar hardikkan Ibu tadi.

Aku sangat mencintai lelaki di sampingku ini, lelaki yang selama setahun ini hidup denganku begitu baik dan sangat lembut memperlakukanku.

"Mas," panggilku pelan, aku berharap mendapat pembelaan lagi, atas tekanan Ibu Delima ini.

Namun suamiku masih terdiam, mungkin dia juga tidak tahu harus bagaimana saat ini.

"Bagaimana? Jika memang sulit, silahkan ajukan perceraian. Saya yang akan bayar biayanya!" kejar Ibu Delima lagi tanpa perasaan. Dengan lantang, tanpa perduli sama sekali, Ibu Delima mampu merusak pertahanan hatiku. Seketika air mata ini mengalir deras jatuh di pipi, tubuhku terasa lunglai, seakan diri ini tidak lagi bisa berpijak.

"Drama sekali wanita ini, saya benar-benar muak!" cetus Ibu, sembari memalingkan wajahnya dariku.

Lagi- lagi suamiku hanya terdiam, tanpa bersuara sama sekali.

Perlahan kutatap lekat wajah suamiku, dia yang berjanji sehidup semati, dia yang berjanji akan menjadikanku bidadari satu-satunya dalam hidupnya. Tapi kini, dia tidak membelaku sama sekali.

"Baiklah, kuanggap diam kalian adalah setuju. Ibu akan carikan calon istri untuk Andre secepatnya," tukas Bu Delima. Dan lagi- lagi mas suamiku hanya terdiam.

Ibu pergi meninggalkan aku dan Mas Andre di ruang keluarga. Aku berjalan, mengikuti langkah suamiku memasuki kamar kami.

Hening, tidak ada pembicaraan apapun antara aku dan dia.

"Mas ...." Aku mencoba membuka suara.

"Maaf," lirihnya.

"Kamu tidak salah," kataku.

"Maaf," ulangnya lagi.

Aku diam, melihat mas Andre yang menunduk sembari menarik napas berkali- kali.

"Aku tidak bisa menolak kemauan Ibu," lirihnya lagi, membuatku sangat terkejut. Apa ini? Apa maksudnya?

"Mas, maksud kamu apa?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Ibu benar, keturunan itu sangat penting! Elea. Tidak mungkin rasanya, jika aku tidak menginginkan itu! Aku ingin sekali memiliki keturunan," ucapnya serak.

"Apakah sudah ada niat sebelumnya, Mas. Bahwa kamu memang ingin menikah lagi?" tanyaku langsung pada intinya.

"Elea, tolong sayang, ke sampingkan ego kita, apakah kamu tidak ingin memiliki seorang anak, bahkan jika harus dari rahim wanita lain, yang penting itu anak aku. Berarti anakmu juga, sayang, Mas mohon. Mengertilah!" ujarnya setengah memohon, memberi pengertian kepadaku.

Sungguh tidak terduga, suami yang aku cintai, tega berkata semudah itu, seakan diri ini tidak memiliki perasaan.

Aku terdiam membeku disudut kamar, tidak pernah aku menyangka, pernikahan indah yang meriah, harus berakhir luka. Petaka status mandul tersebut, membuatku seakan terusir dari hati suamiku.

'Andai saja aku bisa jujur.' batinku. Kuhirup udara sebanyak mungkin, agar rasa sesak dalam dada segera menghilang.

"El, mas janji akan adil dan selalu mencintai kalian?" ucap suamiku, sambil menggenggam tanganku yang kini gemetar.

Aku menatap lekat wajah tampannya, wajah yang selalu menenduhkan hati, kini membuat mataku selalu memancarkan air mata penuh luka.

"Sekarang aku paham, Mas. Kamu tidak seutuhnya mencintaiku, kini memang harus kuterima kenyataannya, jika akhirnya aku yang akan disisihkan." Usai berkata, aku berdiri menuju ranjang, dan membaringkan diri yang merasa sangat lelah.

Suamiku masih terdiam, tanpa pembelaan diri apapun.

_______

'Aku tidak meminta semua cobaanmu berubah, aku hanya meminta kekuatan, ketabahan dalam menjalani bahtera rumah tangga dan kehidupan. Aku ikhlas sebab cintaku pada suamiku, tidak akan berkurang sedikitpun, meski kenyataan kini menghantamku.'

Setelah bercerita dalam doa, aku keluar menuju dapur, seperti biasa, aku akan berjibaku di dapur bersama Inem pembantu rumah tangga.

Mas Andre menyukai masakkanku, sehingga masalah masak memasak, itu akan menjadi tugas utamaku di keluarga ini.

Begitu dahsyatnya pengaruh sebuah keturunan bagi kehidupan. Andai saja mereka tahu kenyataannya, mungkin Aku tidak akan di perlakukan seburuk ini. Tapi aku tidak ingin melihat air mata di wajah suaminya tercinta. Hingga rela menanggung semuanya seorang diri.

Usai makan malam sudah siap, Ibu memasuki ruang makan bersama Ayah mertua.

Rupanya Beliau sudah datang. Untuk pertama kalinya, aku melihat wajah Ayah mertua dengan jelas. Wajah yang masih terlihat muda, layaknya pria matang pada umumnya.

"Dimana Andre?" tanya Ibu Delima, aku yang sedang menuang minuman pun menyahut.

"Masih di kamar."

"Cepat panggil," pinta Ibu. Aku mengangguk. "Katakan padanya Ayahnya datang."

"Baik, Bu."

Aku pun bergegas menuju kamar kami. Di dalam kamar, kulihat mas Andre termenung seorang diri.

"Mas," panggilku. Mas Andre tidak menoleh, hanya menyahut hemmmm.

Aku melangkah masuk, mendekatinya.

"Makan malam sudah siap, Ibu sudah menunggu di meja makan, ada Ayah juga."

"Rupanya Ayah sudah pulang dari luar kota," gumam mas Andre.

Kami pun berjalan ke ruang makan, mas Andre terlihat kurang bersemangat.

"Malam Ayah," sapa Mas Andre.

"Hai, malam juga," sahut Ayah mertua ramah.

"Yah, selama seminggu jangan dinas keluar kota dulu, ya!" pinta Ibu Delima.

Ayah mertua mengernyit. "Kenapa?"

"Ada seseorang yang ingin Ibu kenalkan," kata Ibu Delima.

"Siapa?"

"Calon istri Andre yang kedua," sahut Ibu, dan sukses menyakiti hatiku kembali.

Komen (22)
goodnovel comment avatar
Ririn Rianah
padahal gak mandul tapi bilang mandul rada gak masuk akal istri berbohong gitu,pantes lah suaminya kecewa
goodnovel comment avatar
Rimby pus
manpat ceritanya
goodnovel comment avatar
Nani Widiarti
sakiittt bgt dengarnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status