Share

Maaf

Part4

Lumayan lama kami hening, merasa canggung. Selama setahun lebih menjadi menantunya, baru kali ini aku tinggal bersama mertua dan melihat jelas wajah Ayah dan Ibu mas Andre.

Dan untuk pertama kalinya, aku satu mobil dengan Ayah mertua.

"Yah, kita mau kemana?" Aku memberanikan diri bertanya pada Ayah, yang terlihat fokus menyetir mobilnya.

"Kita pergi berbelanja, kamu boleh membeli apapun yang kamu mau! Ayah yang bayarin!" ujarnya tetap dengan pandangan lurus kedepan.

"Serius, Yah??" tanyaku penuh keterkejutan.

"Serius!" balas Ayah singkat.

Demi apa? Punya mertua ganteng dan baik hati seperti ini, meskipun istrinya begitu kejam, setidaknya ayah mertua baik padaku.

Setidaknya aku masih memiliki harapan pada rumah tanggaku.

Aku tersenyum sumbang, kala mengingat perlakuan Ibu yang begitu tega dan dingin kepadaku.

Tanpa rasa tidak enak hati, aku membeli segala yang aku senangi bersama Ayah di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota kami.

"Yah, nanti kalau Ibu marah bagaimana?" tanyaku ragu.

"Biar itu menjadi urusan Ayah!" jawabnya sambil berjalan santai. 

Seharian full Ayah membawaku berbelanja, kesalon, hingga kami menonton bioskop layaknya sepasang kekasih. 

Aku bahkan tidak ingat lagi, bahwa laki-laki yang saat ini bersamaku, itu Ayah mertua.

Lelah, kami pun memutuskan pulang ketika selesai menghabiskan makan malam.

Di perjalanan pulang, Ayah membuka obrolan serius.

"El, Andre nggak ada nyari kamu?" tanyanya.

"Kebetulan, ponsel El mati," ujarku beralasan, padahal sengaja kumatikan.

"Kok sama, ponsel Ayah juga mati, sengaja. Biar Ibu nggak neror Ayah," ujarnya sambil tertawa renyah.

Aku pun ikut tertawa.

"Entar tidur diluar lagi," ejekku. Entah sejak kapan, kami bisa sedekat ini. Rasanya aku seperti menantu yang tidak berakhlak.

"Tidak masalah! Kan ada ruang tamu," jawabnya santai.

"Ah iya juga sih," sahutku lagi. Kami berdua ngobrol ngalur ngidul, sepanjang perjalanan.

"Sudah 1 tahun lebih kamu jadi menantu keluarga Arya, tapi Ayah tidak tahu kamu orang mana," ucap Ayah.

Aku pun memberikan penjelasan singkat mengenai asal- usulku.

"Oh, berat juga perjalanan kamu, El. Semoga kedua orang tuamu di berikan tempat terbaik disisinya," ucap Ayah mertua, yang kusahut dengan ucapan Aamiin.

"Kamu sudah siap di madu, El?" Lagi- lagi Ayah bertanya tentang hal itu.

"Nggak sih sebenarnya, Yah. Tapi aku sebatang kara, jika aku bercerai, maka aku nggak tau nasibku bagaimana ke depannya. Aku juga bukan orang berpendidikan," lirihku.

Begitulah faktanya diriku, sehingga aku memilih bertahan, meski rasa sakit ucapan Ibu Delima itu selalu menamparku setiap hari.

"Kamu sekolah lulusan apa, El?"

"SMA, Yah, cuma sampai disitu," jawabku.

Ayah mengangguk. "Jika memang tidak kuat, tidak usah di paksakan untuk menjalani, El."

"Nggak apa, Yah. Untuk wanita miskin seperti El ini, memang memilih diam adalah pilihan yang tepat," sahutku mantap.

Ayah tersenyum. "Baiklah, El. Apapun keputusan kamu, yang penting kamu bisa jalani, Ayah dukung."

Aku pun membalasnya dengan tersenyum.

Hingga mobil memasuki pekarangan rumah mewah Ayah.

Kami berdua pun keluar mobil, dan berjalan bersama menuju rumah.

"Bagus ...." Tepukan tangan Ibu Delima menghentikan langkah kami di muara pintu.

Ayah tetap masuk, dan aku berdiri di belakangnya.

"El, masuklah ke kamarmu!" titah Ayah.

"Jangan! Berani melangkah, saya akan usir kamu!" ancamnya. Kemudian mata Ibu melirik ke arah paperbag bawaanku.

"Apa itu? Kamu belanja, dan menghabiskan uang suamiku?" bentak Ibu Delima dengan murka.

Suamiku berdiri tepat di samping Ibunya.

"El, ada apa ini?" tanya suamiku pelan.

Aku masih diam menunduk.

"Saya yang sengaja membawa El untuk belanja, agar dia tidak depresi dengan perlakuan kalian," jawab Ayah.

"Ibu dan anak sama saja, tidak memiliki kepekaan. Apakah kalian tidak mikir perasaan El bagaimana? El ini memantu dan istri di rumah ini, tapi kalian sibuk mengurusi Delia yang notabane nya hanyalah orang lain, apakah kalian sakit?"

"Delia bukan orang lain, dia calon menantu kita," sahut Ibu tidak terima.

Ayah menatap suamiku. "Andre, sebagai laki- laki, seharusnya yang kamu utamakan itu kebahagiaan istrimu, bukan permintaan Ibu, yang jelas menyakiti hati istrimu."

"Anak laki- laki itu milik Ibunya, sampai kapanpun. Sebagai istri, seharusnya Eleanor sudah mengerti akan hal ini," bentak Ibu.

Aku merasa muak selalu disudutkan.

"Sudah cukup! Jika memang mas Andre ingin menikahi Delia, silahkan, El tidak akan larang."

Semua terdiam. "Menikahlah, Mas. Jika memang dari rahim wanita itu, bisa membuat keluarga ini mendapatkan keturunan, insya Allah aku ikhlas."

Usai berkata, aku langsung berlari memasuki kamar dengan meninggalkan paperbag barang belanjaanku itu begitu saja.

Mas Andre menyusulku, aku merebahkan diri dan memeluk bantal guling. Aku menangis sekuat- kuatnya, melawan rasa sakit yang luar biasa ini.

"El," panggilnya, aku tidak mau menyahut.

"El, maaf," ucapnya sembari duduk, dan memusut punggungku yang berbaring membelakanginya.

Apakah dia pikir, dengan kata maaf semua akan kembali baik- baik saja? Tidak sama sekali.

Hatiku seperti cermin yang sudah hancur, remuk berserakan.

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Rimby pus
dibilang kuat tpi bodoh masah mau di maduh entar dahlia punyak anak dia jadi bibisitternya
goodnovel comment avatar
Aleeaaz
Duh,,, karakter tokoh utamanya lemah bgt... Karena takut miskin jadi mau saja diinjak2 harga dirinya
goodnovel comment avatar
Yani Suryani
kok gak percaya diri sih eleanor takut miskin segala daripada merendahkan harga diri wanita mana ada perempuan yg mau dimadu cape deh kalau peran lemah gini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status