Share

Rahasia Mertua

Part3

"Apakah ini Istrinya Andre?" Salah satu dari rombongan itu bertanya, mungkin orang tua dari wanita itu.

"Benar sekali Jeng Mumun! Ini Istrinya Andre," jawab Ibu Delima santai, dia sambil meremehkanku. Entahlah apa maksud semua ini, aku semakin merasa tidak nyaman.

"Kenapa masih di pertahankan Jeng, lebih baik di ceraikan saja, dari pada harus berbagi suami dengan Delia." Ia berkata tanpa perasaan seperti itu pada Ibu, sambil memandangku dengan sinis.

Ibu Delima masih terdiam. Lalu melanjutkan makannya, sambil terlihat berpikir keras.

"Maaf Tante, Andre tidak akan menceraikan Elea, biar bagaimanapun juga Andre yang sudah memilih El, sebagai pendamping." 

"Tapi kan percuma saja, menikahi wanita mandul itu sama sekali tidak berguna!" ujar wanita itu lagi, dia kekeuh mempengaruhi suamiku dan Ibu Delima. Sedangkan aku seolah mematung berdiri seperti orang bodoh yang menahan perih hati mendengarkan ucapannya.

"Maaf Jeng, jangan terlalu jauh terlibat, meskipun Elea mandul. Saya tetap tidak mengizinkan orang lain menghina dia, selama dia masih berstatus istri dari anak saya!" ucap Ibu Delima menatap dingin ke arah calon besannya.

Tadi dia begitu antusias menghinaku, sekarang dia seakan tak terima orang lain ikut menghina, heran.

"Maaf Jeng, saya terbawa suasana!" ujar wanita tadi menyahut. Semua hening, bahkan aku sendiri jadi serba salah.

"Bu, saya pamit!" ujarku pelan. Ibu tidak menggubris ucapanku, aku segera melangkahkan kaki menuju ke kamar kami.

"El, mau kemana? Sudah rapi dan cantik," tanya Ayah yang baru datang dari kantornya.

Ayah mertuaku ini memang terlihat masih muda, sepertinya umur Ibu dan Ayah begitu jauh berbeda. Kalau di visualisasikan sama artis, Ayah berwajah seperti Anjasmara, dan Ibu seperti Sophia Latjuba.

"Mau ke kamar, Yah." Aku menyahut dengan wajah datar.

"Ada tamu ya?" tanya Ayah sambil berjalan menghampiriku.

"Tamu Ibu, ada diruang makan!" jawabku pelan.

"Terus, ngapain kamu ke kamar? Gak gabung di meja makan?" tanya Ayah lagi.

"Gak ada kursi untukku, Yah. Nanti saja Elea makannya!" ujarku sambil tersenyum tipis.

Ayah menghela napas pelan, dia lalu berjalan menuju dapur.

Ia hanya menatap sebentar ke arah meja makan, lalu berbalik lagi menuju tangga. 

Selesai acara makan-makan, keluarga besar Delia pun berpamitan kepada Ibu dan mas Andre.

"Eleanor!!" Ibu berteriak memanggilku.

Aku yang sedari tadinya merebahkan diri di kasur terlonjak kaget. Aku berlari menuju arah suara ibu berasal.

"Ada apa? Bu," tanyaku pelan.

"Sini duduk!" titahnya. Ayah yang mendengar suara Ibu pun menuruni anak tangga.

Kami semua kumpul di ruang keluarga. Melihat ke datangan Ayah, ibu menyambutnya dengan senyuman, lalu mencium takzim tangan suaminya itu.

"Bu, siapa tadi yang datang rame-rame?" tanya Ayah sambil duduk di sampingnya.

"Calon istrinya Andre, Yah. Ibu gak mau Andre tidak memiliki keturunan, sebab El, dinyatakan mandul!" ujar Ibu sinis, ia terlihat sangat tidak menyukaiku sama sekali.

"Bu, harus begitu caranya? Emang El siap di poligami, kamu ikhlas gak El?" Ayah memberondongku dengan berbagai pertanyaan.

"Berat, Yah!" jawabku jujur.

"Kalau berat 'CERAI', jangan diam saja," ujar Ibu menekankan kata cerai padaku.

"Bu, jangan keterlaluan!" tegur Ayah.

Ibu yang berang, akhirnya pergi meninggalkan ruang keluarga, dia berlari menaiki anak tangga dengan menghentak-hentakkan kaki. Terdengar suara bantingan pintu dengan keras. 

Ayah hanya menggeleng, kemudian menyusul Ibu ke dalam kamar.

"Mas, apakah kamu benar-benar akan menikah lagi?" tanyaku pelan.

"Nggak usah di bahas sekarang!" sahutnya dingin.

"Jujur aku belum siap, Mas! Jika itu benar terjadi, aku nggak sanggup," lirihku pelan.

Suamiku tidak menyahut apapun, dia seakan tidak mendengar perkataanku sama sekali.

"Pikirkan lagi, mas. Aku mohon!" ucapku lagi sambil mengiba.

Mas Andre tak bergeming, ia bahkan menatapku dengan dingin, semakin menambah luka di hatiku.

Andai kamu tahu yang sebenarnya.

Mas Andre pergi meninggalkanku masuk ke dalam kamar kami.

Haruskah aku bercerai dan kembali miskin lagi, lalu si wanita pengganti posisiku itu akan tertawa terbahak-bahak melihat kehancuranku.

Tidak, aku tidak mau tersingkir begitu saja.

Aku berniat bicara pada Ibu, bahwa aku menerima akan menerima Delia sebagai madu, aku tidak mau Ibu membenciku.

Lalu dia akan menyingkirkanku begitu saja, apalagi kini aku tahu, Mas Andre begitu akrab sama Delia.

Aku yakin, sulit bagi mas Andre menolak perjodohan ini.

Saat aku ingin mengetuk pintu kamar mereka.

Terdengar keributan antara Ayah dan Ibu Delima.

"Bu, kamu jangan lupa, bahwa sampai saat ini, kamu juga tidak akan bisa memberikanku keturunan!" terdengar suara lantang Ayah menghardik Ibu.

Degg ... Lalu Mas Andre anak siapa? Mengapa Ayah berucap seperti itu, aku penasaran dengan keributan mereka, kuputuskan untuk diam mendengarkan, di balik pintu kamar mereka.

"Mas, jangan sama kan aku dengan perempuan mandul itu! Sebab aku tidak mandul, semua terjadi itu karena ulahmu Mas!" jawab Ibu setengah berteriak.

"Elea," terdengar suara mas Andre memanggil namaku.

Aku segera berlari kecil menuruni anak tangga, aku takut Mas Andre melihatku yang lagi menguping keributan orang tuanya.

"Ada apa, Mas?" Aku berlari tergopoh-gopoh.

"Ayo istirahat, sudah malam!" ujarnya lembut, sambil merangkul bahuku, kami bersama masuk ke dalam kamar.

Di dalam kamar, Mas Andre menatapku lekat.

"Ada apa mas, menatapku seperti ini?" tanyaku pelan.

Mas Andre tersenyum. "Aku rindu," bisiknya ke arah telingaku. Tangannya mulai meraba, perlahan suamiku mendekati wajahku dan mencium bibir ini.

Ciuman yang semula lembut, kini berubah menjadi memburu, dengan tangannya yang mulai bergerak liar.

Ting ....

Panggilan telepon ke ponsel mas Andre menghentikan aktivitasnya mencium mesra bibirku.

Suamiku dan aku pun itu melihat, tertera nama Delia sedang memanggil. Hatiku seketika perih melihatnya, ternyata mereka sudah bertukar nomor ponsel.

"Mas keluar dulu," kata suamiku. Aku hanya terdiam, ketika mas Andre menjawab panggilan Delia dengan menjauh dari kamar.

Rasanya sakit sekali, tapi aku tidak berdaya melawan semua ini, oh Tuhan.

__________

Semenjak pertengkaran Ibu dan Ayah, mereka berdua terlihat dingin tak saling sapa, bahkan kini Ibu Delima semakin sinis terhadapku.

Apapun yang aku lakukan, selalu salah di mata Ibu. Semakin aku bertahan, semakin gencar juga dia menyerang pertahananku. Andai saja Ibu tahu, mungkin Ibu akan merasakan sakit yang lebih dari saat ini kurasakan.

Ia bahkan tidak lagi memanggilku dengan sebutan, Nak, sayang atau Elea, tapi wanita mandul. Betapa menyakitkannya sebutan itu.

Delia kini datang berkunjung ke rumah ini, dia membawakan buah-buahan untuk Ibu, yang memang senang makan buah.

"Hai, sayang! Kamu bawa apa?" ujar Ibu menyambut manis ke datangan Delia, dia memeluknya lalu menggandeng wanita itu menuju ruang keluarga.

Aku yang sedari tadi bersantai diruang keluarga, diacuhkan mereka, seakan aku tidak pernah terlihat ada di sana.

"Mas Andre kemana ya, Bu?" tanya Delia membuka obrolan saat mereka duduk.

"Andre masih di kantor sayang, bentar lagi pulang! Biasa makan siang di rumah sama Ayahnya," jawab Ibu dengan lembut, sangat berbeda sekali saat dia memperlakukanku.

Delia hanya mengangguk dan memasang senyum bahagianya.

Satu jam berlalu, mereka begitu asik dengan obrolan renyahnya, sedangkan aku hanya sibuk memainkan ponsel milikku. Sesekali kuseka pelan air mata yang begitu ingin sekali tumpah.

Terdengar suara deru mesin mobil memasuki pekarangan rumah. Sepertinya Mas Andre dan Ayah telah tiba di rumah. Seperti biasa, mereka selalu makan siang bersama.

"Ada tamu!" sapa Ayah yang memasuki pintu depan rumah, dia berjalan sambil tersenyum pada Delia dan Ibu, di susul Mas Andre yang berada di belakangnya.

Aku yang dipojokan ruangan, hanya terdiam tanpa suara.

"Sayang! Ayo makan," ujar Mas Andre menyapaku yang sedari tadi hanya diam.

Aku berjalan gontai, mengikutinya menuju meja makan, kutarik kursi biasa tempatku makan.

"Jangan disitu! Itu tempat Delia," ujar Ibu menegurku.

Aku pindah ke sebelah kursi yang didekat Ayah.

Kulihat Delia tersenyum mengejekku.

"Yah, ini calon menantu kita yang baru!" ujar Ibu memperkenalkan Delia.

Ayah hanya tersenyum pada Delia, begitu pula Delia yang terlihat berbinar-binar di kenalkan sebagai menantu baru.

Selama makan siang, aku tak sedikit pun bersuara, hanya Mas Andre, Delia dan Ibu yang terus menerus tertawa renyah disela makan siang mereka. 

Aku sama halnya dengan Ayah, kami hanya menyimak obrolan mereka, tanpa ikut terlibat.

Selesai makan siang, aku kembali rebahan di ruang keluarga sambil memainkan ponselku, ponsel inilah teman sepiku. 

Sedangkan Ibu, Delia dan Mas Andre berkumpul di ruang tamu.

"El, kamu ngapain di sini sendirian?" Ayah yang tiba-tiba datang, sontak saja membuatku terkejut.

"Hhmmm, nggak apa- apa, Yah."

Ayah mertua menghela napas berat.

"El, ikut Ayah!" titahnya, aku pun tanpa menjawab lagi, langsung berdiri mengekor Ayah.

"Mau kemana, Mas?" tanya Ibu yang terheran melihat Ayah yang berlalu keluar rumah tanpa bicara, disusul olehku yang berjalan di belakang Ayah mertua.

Kami berdua masuk ke dalam mobil, tanpa bicara apapun, Ayah melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah.

Ibu, Delia dan Mas Andre hanya terdiam menatap kepergian mobil Ayah.

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Rimby pus
dia takut miskin tpi dia menderita,mendin miskin asal bagia ha ha ha
goodnovel comment avatar
NiaVanyaChristi
si Eleanor kenapa gak jujur ya ,yg ditutupin apa sich ,kok aneh di tutup tutupin segala
goodnovel comment avatar
Nesty Orienta
Sis/bro author, sbg pembaca koq saya udh mendapat kesan si tokoh utama ini perempuan bodoh yg takut miskin ya. sadar sama kebodohannya tp diem aja sok merasa terzolimi tp semua gegara dia sbg biang kerok. andai..andai..andai aja terus sm kebodohannya, seolah dy korbannya, ga berkelas sm sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status