Bab6
"Mas, jika kamu yang mandul bagaimana?" tanyaku.
Mas Andre menghela napas dan terlihat begitu malas berbincang denganku.
"Apa'an sih, El. Sudahlah, faktanya sekarang kamu yang mandul. Mas terima kamu apa adanya," tegas mas Andre sembari mendengkus kemudian berdiri.
"Mas." Aku memegang tangannya, agar dia tidak pergi begitu saja.
"Apa?" Wajah mas Andre terlihat begitu malas menatapku.
"Bagaimana jika kamu yang mandul, aku serius, Mas ...."
"Aku?" Mas Andre tertawa, seolah meremehkanku.
"El, sudahlah, nggak usah bahas hal ini lagi. Lagi pula jika aku mandul, Ibu pasti tetap akan menikahkan aku lagi."
"Kenapa?"
"Karena faktanya memang kamu yang mandul, dan tentang pertanyaan jika aku yang mandul, itu hanya omong kosong," tegas mas Andre, sembari melepaskan pegangan tanganku dan menjauh meninggalkan kamar.
Beginilah dahsyatnya efek dari sebuah kebohongan, aku nyaris tersingkir. Aku menyesal rasanya. Tapi setidaknya aku tahu, rupanya tidak ada ketulusan dalam pernikahan kami.
Mas Andre tidak lagi bersikap lembut. Semakin hari, sikapnya semakin dingin dan lebih banyak mengabaikanku.
Nyaris dua malam ini, mas Andre sibuk main ponselnya dan terkadang terdengar suara nya tengah tertawa berbicara di telepon dengan seseorang.
Mungkin itu Delia.
_____Mas Andre dan Ayah berangkat ke kantor, setelah dua hari libur kerja.
"El," panggil Ibu, setelah dua hari mendiamkanku.
"Iya, Bu." Aku berjalan menuju ruang keluarga, memenuhi panggilan tuan rumah.
Di ruang keluarga, wajah Ibu Delima menatap dingin kepadaku.
"Jangan duduk! Berdiri saja di situ!" titahnya. Aku mengangguk.
"Sejak kapan, kamu dekat dengan suami saya?" tanya Ibu Delima, membuat aku mengernyit.
Sejak kapan? Baru juga kemarin diajak, sudah di tanyai penuh curiga begitu.
"Maaf, Bu. Saya tidak pernah dekat sama Ayah! Kemarin pun saya hanya menuruti perintah Beliau," jelasku pelan, faktanya memang begitu.
"Bohong!" hardiknya berdiri, sembari menatap tajam wajahku.
Mengerikan sekali, rupanya Ibu mertuaku ini memiliki perangai kasar. Bukan hanya ucapannya yang kasar, tapi tingkahnya juga.
"Jangan macam- macam kamu! Berani kamu dekati suami saya, saya akan buat kamu menyesal telah mengenal keluarga ini," ancamnya tegas.
"Astagfirullah, hingga detik ini, saya masih sah menantu Ibu, istri dari anak Ibu dan Ayah. Bagaimana mungkin, Ibu berpikiran sejauh itu kepada saya?" lirihku.
"Nggak usah banyak bicara kamu! Dasar perempuan mandul!" hinanya. Oh Allah, bukan perkataan mandul yang membuatku bersedih, karena aku tidak mandul. Hanya saja, jika aku beneran mandul, mungkin hatiku akan sangat sakit mendengar hinaanya.
Tanpa terasa, air mata ini menetes.
"Saya sudah tahu tentang kamu! Rupanya, kamu bukan hanya sekedar mandul, tapi juga wanita miskin dan anak yatim. Saya heran, mengapa Andre memilih wanita sepertimu, yang tidak memiliki kelebihan apapun, malah menyandang sejuta kekurangan," ejeknya.
Allahu akbar, betapa kejamnya wanita yang bergelar Ibu mertuaku ini. Apakah dia sangat yakin, jika aku bisa memaafkan hinaannya ini di kemudian hari? Sungguh keterlaluan.
"Terima kasih hinaanya, Bu!" lirihku sembari mengusap air mata.
"Cih," desisnya.
"Pergi sana! Dasar mantu nggak berguna," makinya lagi. Aku berjalan terseok, meninggalkan ruang tamu.
"El," suara berat memanggil namaku. Langkah kakiku terhenti, kemudian berbalik badan.
"Ayah," lirih Ibu. Ibu berjalan mendekati Ayah lebih dulu.
"Ayah mendengar semuanya, Bu!" ucap Ayah.
"El kemari," pinta Ayah padaku.
"Apa sih, Yah?!" Ibu nampak tidak senang.
"Minta maaf sama, El," titah Ayah pada Ibu.
"Nggak mau! Apa'an sih, Yah? Ayah jangan menjatuhkan harga diri Ibu, ya!" seru Ibu memperingatkan.
"Ayah mendengar dengan jelas semuanya, bagaimana dengan lantangnya Ibu menghina menantu kita. Ibu sepertinya lupa becermin," tegas Ayah menatap tajam mata Ibu.
"Ap-- apa maksud Ayah?" tanya Ibu tergagap, dengan bibir yang gemetar.
"Ayah, maaf. El tidak apa- apa, maaf telah membuat keributan," sesalku.
"Ini bukan salah kamu, El. Ini murni salah Ibu."
"Ayah, mengapa Ayah jadi membela wanita ini segitunya?" protes Ibu.
"Semua yang Ibu lakukan, baik atau buruknya, itu menjadi tanggung jawab saya sebagai suami. Jika Ibu salah, wajar Ayah menegur, dan sekarang Ibu benar- benar salah, telah menghina El sesuka hati. Ibu jangan lupa, asal- usul Ibu," tegas ucapan Ayah, membuatku bertanya- tanya.
Asal- usul Ibu?
Ibu Delima merasa malu dan menangis, sembari berlari menjauh dari Ayah. Ibu berlari menaiki anak tangga, kemudian masuk ke dalam kamarnya dan membanting keras daun pintu.
"Ayah, maaf!" lirihku menunduk.
"Kamu tidak salah, El. Memang, Ibumu yang keterlaluan. Ayah mewakili Ibu, minta maaf sama kamu," ungkap Ayah.
"Iya, Ayah. Kalau begitu, El permisi," kataku lagi, bergegas menjauhi Ayah.
Bab7Entah mengapa, Ayah tiba- tiba kembali ke rumah lagi dan membuat Ibu semakin murka padaku.Bahkan, Ibu tidak keluar kamar sama sekali, hingga menjelang sore, Ayah dan mas Andre pulang kerja."Ibu mana El?" tanya Ayah ketika aku yang bukain pintu untuk mereka.Aku menyalami keduanya. "Ibu mengurung diri, Yah. Nggak mau keluar," sahutku."Memangnya Ibu kenapa, El?" tanya Mas Andre, yang memang tidak tahu apa- apa."Ada selisih paham sama Ayah," sahut ayah mertua.Mas Andre menatap dingin ke arahku. Kemudian tanpa bersuara, dia masuk ke dalam kamar.Aku menyusulnya, ketika Ayah menaiki anak tangga.Ketika mas Andre memasuki kamar mandi, ponselnya yang terletak di atas nakas terus bergetar. Aku melirik dan menemukan nama Delia terus melakukan panggilan telepon.Aku meraih benda pipih itu, dan menolak panggilan dari wanita itu. Dengan tangan gemetar, aku membuka ponsel mas Andre.Tujuanku langsung ke pesan W******. Lalu, nama Delia menjadi urutan atas dari W**** mas Andre. Dadaku be
Bab8Mas Andre berdehem. "Ehem, Ayah. Andre yakin, tidak mungkin itu terjadi."Ucapan mas Andre seakan meremehkanku.Kening Ayah mengernyit, nampaknya dia enggan menghentikan obrolan yang tidak nyaman ini."Kamu yakin, Ndre?" Ayah nampak memastikan."Yakinlah, Yah. Lagi pula, maaf. El ini terlalu biasa."Maksudnya apa? Aku melebarkan mata, menatap mas Andre tak percaya, bisa berkata seperti itu."Hidupnya di habiskan dengan memasak, mencuci dan mengurus Andre. Bau badannya, khas bau bawang dan bumbu dapur lainnya. Dan pakaiannya, seperti emak- emak anak 1," kekehnya membaca kekuranganku.Ayah tersenyum menanggapinya. "Setiap wanita itu cantik, jika dia berada di tangan yang tepat, contohnya Ibu kamu," sahut Ayah.Menarik, ini obrolan mereka semakin menarik.Biarlah aku layaknya patung tidak bertelinga, tidak bersuara, dan anggaplah aku setan, antara ada dan tiada.Mendengar Ayah mencontohkan Ibunya, mas Andre nampak tidak senang pada ayahnya itu."Ibu cantik dari dulu, jauh sebelum Ay
Menjadi Istri Kedua Mantan MertuaBab9"Apa maksud Ayah? Ayah mau anak kita selamanya tidak punya keturunan?" Ayah mendengkus. "Semua pasti karena pengaruh wanita ini. Itu makanya, Ibu tidak senang Ayah dekat sama dia," tunjuk Ibu kepadaku.Entah mengapa, apapun yang aku lakukan, maupun yang tidak aku lakukan, selalu salah saja di mata Ibu Delima."Jangan suka menyalahkan orang lain, seharusnya Andre bersukur memiliki Istri sebaik Elea. Selain ramah, Elea bahkan tidak pernah melawan Ibu."Ibu mendengkus, membuatku semakin tidak nyaman karena pembelaan Ayah."Ayah sudahlah, ini rumah tangga Andre, Andre bisa mengatasinya sendiri," timpal mas Andre menenangahi. Sedangkan aku? Masih saja diam membisu, menampung semua rasa sakit yang mereka ciptakan di hati ini."Kalau kamu merasa dewasa, bangunlah rumah tangga yang sehat. Rumah tangga yang sehat itu, tidak saling menyakiti. Jika saling menyakiti, itu bukan lagi rumah tangga, tapi tepatnya rumah duka. Tugas lelaki beristri, itu membahag
Bab10Langkahku urung menuju ke belakang rumah. Aku putuskan untuk ke ruang keluarga saja. Ingin sekali hati mengetuk pintu kamar Bibi dan bertanya. Mengapa tangisnya begitu terdengar pilu? Tapi hatiku saja sedang tidak baik. Aku tidak ingin bertanding nasib padanya saat ini. Biarlah kuputuskan untuk pergi dan seolah tidak tahu apa- apa.Bukan tidak perduli, tapi lebih kepada memberi waktu, untuk Bibi meluapkan perasaannya dengan menangis.Di ruang keluarga, kubiarkan diri di selimuti kegelapan. Tidak ada niat di hati untuk ke kamar, langkah ini terasa berat, untuk tidur di samping mas Andre.Terlalu dalam, diri ini dihina, diremehkan dan tidak di perdulikan olehnya."Allah, aku tidak meminta banyak hal dalam hidup, hanya memohon kuatkan diri ini." Ingin sekali rasanya aku menangis kencang, membiarkan segala rasa sakit dalam hati menguap keluar. Tapi itu tidak mungkin kulakukan, hingga hanya bisa terisak pelan, menikmati rasa sakit yang kuciptakan sendiri, karena diri begitu bodoh
Bab11Langkahku tergesa, menuju ke kamar kami, agrrhhh, berani sekali dia.Sesampainya aku di depan pintu kamar kami yang terbuka, terlihat sosok wanita itu, berdiri di depan meja rias milikku."Ngapain kamu di kamar kami? Lancang sekali," ucapku, mengejutkan wanita itu.Aku memandangnya dari atas hingga bawah. Delia mengenakan celana leging hitam ketat, juga bra sport, dan jaket yang tidak dia kancing.Sepertinya dia ingin mengajak suamiku jogging."Aku ingin membangunkan calon suamiku," sahutnya santai, sembari berjalan, menuju ke arah kasur, tempat mas Andre masih terlelap."Keluar!" bentakku. "Dasar wanita tidak tahu malu," lanjutku tersulut emosi.Wanita itu bukannya keluar, malah tersenyum menyeringai, seolah sedang mengejekku."Mas," ucapnya sembari berniat duduk di kasur, samping suamiku terlelap.Dengan cepat, aku menarik lengannya dengan kasar dan mendorong wanita itu hingga terjatuh."Keluar! Dasar tidak tahu malu," teriakku lagi dengan keras, membuat mas Andre terbangun da
Bab12"Dasar lebay," ejek Ibu lagi."Kamu, bisa nggak sih menciptakan rumah ini sedikit saja ketenangan? Selalu saja membuat masalah sama El, heran." Ibu tercengang mendengar ucapan Ayah. "Wanita mandul ini yang mulai, pagi- pagi sudah bertengkar sama Delia, sampai berani mendorong Delia dengan kasar," jelas Ibu, tidak mau Ayah membelaku.Aku semakin terisak dengan sengaja. "Ayah maafkan aku. Aku hanya tidak senang, Delia begitu lancang memasuki kamar kami tanpa izin. Biar bagaimana pun juga, kamar adalah privasi, yang tidak boleh sembarang orang memasukinya," jawabku lemah tanpa daya.Ayah nampak menatap Delia."Hey, dia bukan orang sembarangan! Delia calon istri Andre, menantu di rumah ini," bela Ibu Delima dengan suara keras padaku."Del, pulang!" titah Ayah, membuat Ibu kembali terkejut, begitu juga dengan Delia dan mas Andre."Sebagai perempuan baik- baik, seharusnya kamu tahu batasan dan adab dalam bertamu ke rumah orang," lanjut Ayah nampak kesal. Mampus kau Delia."Belain sa
Bab13"Ibu, ada apa?" Terdengar suara teriakkan mas Andre. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan cepat ke ruang utama yang menghubungkan tangga menuju kamar Ibu.Aku melihat ke lantai 2, terlihat mas Andre sedang berdiri di depan pintu kamar orang tuanya. Kemudian pintu kamar terbuka, muncul sosok Ibu yang begitu sangat emosi."Kamu ceraikan dia sekarang juga! Atau Ibu akan coret nama kamu dari kartu keluarga!" ancam Ibu kepada mas Andre.Aku masih terdiam, kemudian terdengar langkah kaki, mendekat ke arahku. Aku menoleh, terlihat Ayah dengan santai berjalan."Wanita mandul itu hanya benalu bagi keluarga ini, ceraikan dia," tegas suara Ibu. "El," sapa Ayah. Aku menoleh ke arahnya dengan mata berkaca- kaca."Iya, Yah."Kami berdua berdiri di depan tangga. "Kamu yakin tetap bertahan?" tanya Ayah, dengan lekat menatapku.Entah mengapa, Ayah begitu peduli padaku. "Apapun keputusan mas Andre, kali ini El akan ikuti," jawabku."Termasuk bercerai?" "Ya." Aku mengangguk pelan.Kemudian te
Bab14"Sudah siap?" tanya Ayah, yang tiba- tiba berdiri di depan kamar kami."Ada apa? Apakah Ayah akan membawa Elea?" tanya mas Andre, dengan raut wajah tak suka."Hhmmm, ya." Ayah menyahut santai.Mas Andre menatap Ayah dengan serius. "Ada apa sebenarnya ini? Mengapa Andre merasa, ada yang aneh dari sikap Ayah. Kesannya berlebihan sekali kepada El."Ayah tersenyum. "Kamu cemburu?""Tidak.""Lalu?""Ayah. Ingat, jika Ayah seperti ini, itu akan memperburuk hubungan Ayah sama Ibu.""Oh." Ayah hanya menyahut singkat kemudian pergi meninggalkan mas Andre yang menatap penuh kekesalan.Brakkk .... mas Andre menendang koperku begitu saja, membuatku sangat terkejut."Ada apa antara kamu sama Ayah? Apakah kalian ada hubungan spesial?" teriak mas Andre padaku. Apa dia sudah gila? Seenaknya menuduhku. Aku berdiri dengan emosi."Dasar gila, kamu yang bermain, kamu pula yang menuduh hal keji kepada orang lain. Asal kamu tau, aku tidak sejahat kamu," sahutku tak kalah keras."Gila? Kamu berani se